• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Aspek Kesehatan

Pernah sakit ketika bekerja

Ya 23 59.0

Tidak 16 41.0

Tetap bekerja saat sakit

Ya 20 51.3

Tidak 19 48.7

Pernah mengalami luka terbuka

Pernah 19 48.7

Aspek kebersihan terkait higiene personal meliputi mandi, kebersihan tangan, cara mencuci tangan, pemakaian sarung tangan serta apron. Hasil penelitian menunjukkan seluruh pekerja kantin (100%) menyatakan mandi sebelum berangkat bekerja. Praktik mencuci tangan selalu dikerjakan ketika akan menangani makanan (82.1%) dan tak satupun menyatakan tidak mencuci tangan ketika akan menangani makanan (0%). Mayoritas pekerja kantin juga menyatakan selalu mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi (89.7%), pekerja kantin lainnya menyatakan bahwa mereka tidak selalu (kadang-kadang) (7.7%) bahkan tidak pernah (2.6%) mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi. Hampir seluruh pekerja kantin mencuci tangan dengan menggunakan air dan sabun (92.3%), namun masih terdapat pekerja kantin yang hanya mencuci tangan dengan air saja tanpa memakai sabun (7.7%). Mayoritas pekerja kantin menyatakan memotong kuku secara rutin (84.6%) dengan frekuensi memotong kuku paling banyak yaitu setiap seminggu sekali (56.4%).

Sebanyak 46.2% pekerja kantin menyatakan bahwa mereka selalu memakai apron ketika memasak, 28.2% menyatakan tidak pernah, dan 25.6% menyatakan kadang-kadang memakai apron ketika memasak. Persentase pekerja kantin yang menyatakan memakai sarung tangan ketika menangani makanan tidak lebih dari 10.3%, sebagian besar menyatakan meskipun tidak memakai sarung tangan tetapi pekerja kantin menggunakan capitan sebagai pengganti sarung tangan (79.5%). Selain itu, masih terdapat pekerja kantin yang menyatakan tidak memakai sarung tangan maupun capitan ketika menangani makanan (10.3%).

Aspek kebiasaan terkait higiene personal adalah merokok dan memakai perhiasan. Mayoritas pekerja kantin menyatakan tidak memiliki kebiasaan merokok (71.8%), sedangkan sebanyak 28.2% pekerja menyatakan memiliki kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok ini paling banyak dilakukan di dalam kantin (79.5%) dan mayoritas pekerja kantin tidak mencuci tangan setelah merokok (87.2%). Mayoritas pekerja kantin menyatakan tidak memakai perhiasan terutama pada jari tangan ketika menangani makanan (71.8%), tetapi masih terdapat pekerja kantin yang memiliki kebiasaan memakai perhiasan pada jari tangan ketika memasak (28.2%).

Kesehatan pekerja kantin juga merupakan aspek penting dalam praktik higiene personal. Mayoritas pekerja kantin menyatakan pernah sakit selama bekerja di kantin (59.0%) dan tetap bekerja ketika sakit (51.3%). Mayoritas pekerja kantin pernah mengalami luka terbuka (51.3%).

Mencuci tangan merupakan hal penting terutama ketika pada awal kegiatan penanganan makanan (Bas et al. 2006). Mencuci tangan sebaiknya dilakukan setelah ke toilet, menangani bahan mentah dan sampah, memegang bagian tubuh, menyentuh bahan kimia, dan setelah memegang permukaan peralatan (White et al. 1995). Menurut Marriot (1993), bakteri dapat dipindahkan oleh tangan yang menyentuh peralatan kotor, pangan yang terkontaminasi atau bagian tubuh lainnya. Ketika hal ini terjadi, pekerja kantin harus mencuci tangan menggunakan sabun atau menggunakan sanitizer untuk mengurangi kontaminasi silang.

Mikroorganisme yang berasal dari alat pencernaan dapat melekat pada tangan pekerja kantin yang mengunjungi kamar kecil dan tidak mencuci tangannya dengan baik sebelum kembali bekerja. Menurut Winarno (1999), setiap kali keluar dari kamar mandi atau kamar kecil sebaiknya tangan dibersihkan dengan air hangat dan sabun lalu di lap atau dikeringkan menggunakan hand dryer. Cuci tangan yang tidak benar dan mandi yang jarang akan meningkatkan jumlah mikroorganisme yang bercampur dengan sel-sel mati pada permukaan kulit (Marriot 1999). Salah satu cara yang efektif untuk mengurangi S. aureus pada tangan pekerja kantin adalah dengan pencucian menggunakan sabun antiseptik. Penggunaan larutan iodium 0.4% dan Dettol 4% dapat mengurangi total mikroba S. aureus dan koliform pada tangan (Kuswanti 2002). Pencegahan kontaminasi silang S. aureus dari bahan mentah ke matang pada tahap persiapan harus diperhatikan. Bakteri patogen yang berasal dari alat pencernaan yang menimbulkan penyakit melalui makanan adalah Salmonella, stretokoki fekal, Clostridium perfringens, Enteropatogenic Escheria coli (EEC), dan Shigella (Jenie 1988).

Memakai sarung tangan dapat menjadi solusi. Sarung tangan tidak berarti menggantikan cuci tangan, tetapi untuk lebih memastikan keamanan pangan dan mencegah dari kontaminasi silang (TPH 2004). Sarung tangan dapat mencegah perpindahan bakteri patogen dari jari dan tangan ke makanan. Menurut Widyati

dan Yuliarsih (2002) saat mengambil makanan harus menggunakan sendok, penjepit, garpu atau menggunakan sarung tangan plastik sekali pakai. Menurut Moehyi (1992) memegang makanan secara langsung selain tampak tidak etis juga akan mengurangi kepercayaan pelanggan. Jadi, selain untuk mencegah pencemaran juga tidak sesuai dengan etika jika memegang makanan dengan tangan, terlebih jika hal tersebut terlihat oleh konsumen.

Menjaga agar kuku tidak panjang saat menangani makanan dan tidak memakai perhiasan di tangan ketika memasak merupakan aspek penting terkait kebersihan tangan (Bas et al. 2006; NFSMI 2009). Menurut Forsythe & Hayes (1998), di bawah kuku dapat ditemukan bakteri patogen sampai 107 CFU/cm² sehingga mencuci tangan dengan sabun sebelum mengolah makanan merupakan suatu keharusan. Kuku pekerja kantin tidak boleh panjang dan harus dalam keadaan bersih tanpa kotoran, karena kuku yang dibiarkan panjang akan menjadi sarang bakteri. Marriot (1999) juga menjelaskan penyebaran bakteri yang paling mudah adalah melalui kotoran yang berada pada kuku (bagian dalam kuku), sehingga frekuensi memotong kuku juga harus diperhatikan minimal 2 kali seminggu. Pekerja kantin tidak diperbolehkan memakai perhiasan selama menangani makanan karena akan menjadi sumber kontaminasi silang serta kemungkinan jatuh ke dalam makanan. Selain itu, kulit di bawah tempat perhiasaan akan menjadi tempat berkumpulnya bakteri serta perhiasan berukir dapat menjadi tempat berkumpulnya kotoran yang merupakan sumber bakteri sewaktu mencuci tangan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 715/Menkes/SK/V/2003, pengolah makanan disarankan tidak boleh memakai perhiasan kecuali cincin kawin yang tidak berukir.

Pakaian yang digunakan oleh pekerja kantin di dapur harus bersih dan sebaiknya menggunakan apron atau baju khusus memasak. Apron merupakan salah satu bentuk pakaian pelindung (protective clothes) seperti halnya sarung tangan yang harus digunakan oleh orang yang menangani makanan. Pakaian yang digunakan harus diganti setiap hari karena pakaian yang kotor merupakan salah satu sumber bakteri atau penyakit. Pakaian yang digunakan di dapur selayaknya dipilih model yang dapat melindungi tubuh pada waktu memasak, mudah dicuci,

dapat menyerap keringat, tidak panas, dan ukurannya tidak ketat sehingga tidak mengganggu pada waktu bekerja (Widyati & Yuliarsih 2002).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat beberapa pekerja kantin yang merokok pada saat menjajakan makanan, namun kegiatan merokok dilakukan pada saat menunggu pembeli oleh pedagang laki-laki. Hal ini serupa dengan penelitian Susanna (2003) yang menyatakan adanya kebiasaan merokok yang sering terlihat pada saat penjamah makanan sedang menunggu pembeli. Menurut Depkes RI (2001), kebiasaan merokok di lingkungan pengolahan makanan mengandung banyak risiko, antara lain bakteri dari mulut dan bibir dapat dipindahkan ke tangan sehingga tangan menjadi kotor dan akan mencemari makanan. Selain itu, abu rokok dapat jatuh ke dalam makanan serta dapat menimbulkan bau asap rokok yang dapat mengotori udara. Menurut CAC (2003), setiap orang yang menangani makanan harus menahan diri dari kebiasaan merokok karena merokok dapat memungkinkan kontaminasi pada makanan.

Pekerja kantin yang menangani makanan dapat menjadi sumber pencemaran terhadap makanan, terutama apabila pekerja kantin sedang menderita suatu penyakit atau karier. Orang yang menderita penyakit seharusnya tidak diperbolehkan untuk memasuki area penanganan makanan, karena terdapat kemungkinan dapat mencemari makanan (CAC 2003; Bas et al. 2006). Saat bersin sejumlah bakteri akan berpindah ke udara dan mungkin akan mencemari makanan yang sedang ditangani. Sejumlah bakteri dan virus penyebab penyakit pada manusia dapat pula ditemukan di mulut, khususnya pada pekerja kantin yang sakit. Mikroorganisme tersebut akan berpindah ke individu atau makanan saat pekerja kantin yang sakit tersebut bersin atau berbicara. Tangan dengan luka atau memar yang terinfeksi merupakan sumber stafilokoki virulen, demikian pula pada bagian tubuh lain yang terinfeksi karena mungkin pekerja kantin menggaruk atau menyentuh luka tersebut. Luka menyebabkan bakteri pada kulit akan masuk ke bagian dalam kulit dan terjadilah infeksi. Adanya luka koreng atau luka bernanah mempunyai risiko yang besar dalam menularkan penyakit ke dalam makanan (Depkes RI 2001). Jalur masuknya S. aureus ke dalam bahan pangan biasanya melalui jaringan kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar, gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain.

Adanya penyimpangan dalam praktik higiene personal pekerja kantin diduga karena memiliki kebiasaan yang melekat dan sulit untuk diubah. Menurut Taryoto (1991), kebiasaan merupakan tindakan yang secara otomatis dilakukan oleh seseorang pada suatu keadaan tertentu, tanpa atau dengan pemikiran yang sangat terbatas. Untuk mengubah suatu kebiasaan diperlukan waktu yang panjang dan harus didukung dengan sarana yang memadai.

Kesadaran pentingnya higiene personal akan memengaruhi pekerja kantin untuk melakukan praktik sesuai dengan pengetahuannya. Pengetahuan diperlukan sebelum melakukan suatu perbuatan secara sadar. Namun, perbuatan yang dikehendaki mungkin tidak akan berlangsung sampai seseorang mendapat petunjuk yang cukup kuat untuk memicu motivasi berbuat berdasarkan pengetahuan tersebut (WHO 2006).

Diharapkan kepada pihak kampus untuk meningkatkan sosialisasi mengenai penerapan kebijakan keamanan yaitu mengenai peraturan, sanksi, pengawasan serta penyuluhan yang rutin kepada pengelola kantin dan pekerja kantin. Pihak kampus diharapkan untuk lebih memperhatikan praktik keamanan pangan pada semua aspek, terutama pada higiene personal. Cara yang diberikan dapat berupa bantuan fasilitas dari pihak kampus kepada pengelola kantin dan pekerja kantin. Diharapkan kepada semua pihak untuk dapat bekerjasama dalam melakukan pengawasan yang berhubungan dengan keamanan pangan jajanan di kampus.

Staphylococcus aureus sebagai Indikator Higiene Personal

Pekerja kantin merupakan salah satu sumber kontaminasi utama dalam penyajian makanan.Penelitian ini menilai higiene personal pekerja kantin melalui pengujian keberadaan S. aureus pada telapak tangan dan baju pekerja kantin. Staphylococcus aureus paling sering ditemukan pada tangan dan wajah manusia. Pekerja kantin dapat mencemari bahan makanan atau daging sebesar 103 sampai 104 CFU/cm² per menit oleh tangan, pakaian maupun alat-alat yang dipergunakan (Eley 1992). Kehadiran bakteri ini pada makanan mencerminkan higiene pekerja yang kurang baik.

Higiene Tangan Pekerja KantinBerdasarkan Jumlah S. aureus

Tangan merupakan bagian tubuh yang paling banyak memungkinkan keberadaan bakteri S. aureus apabila seorang pekerja kantin tidak menjaga higiene personal dengan baik. Tangan digunakan untuk keperluan bermacam-macam seperti menyentuh benda-benda, mengorek hidung, telinga, dan bagian tubuh lainnya sehingga dapat menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme (Winarno 2004). Tingkat kontaminasi S. aureus pada tangan pekerja kantin disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Tingkat kontaminasi S. aureus pada tangan pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga

Tingkat kontaminasi Jumlah responden Presentase (%)

Tidak ada 0 0.0 Jarang 10 25.6 Rendah 6 15.4 Tinggi 17 43.6 Sangat tinggi 6 15.4 Jumlah 39 100.0

Tabel 6 menunjukkan bahwa S. aureus terdapat pada tangan dari seluruh pekerja kantin (100%), dengan tingkat kontaminasi yang berbeda-beda. Tingkat kontaminasi S. aureus pada tangan pekerja kantin mayoritas masuk ke dalam kategori kontaminasi tinggi (43.6%). Jumlah S. aureus pada tangan pekerja kantin yang menangani makanan harus tidak ada atau 0 CFU untuk menunjukkan higiene personal yang baik (CCD 2000). Menurut Jay (2000) S. aureus dapat dijumpai dalam jumlah 103−106 CFU/cm2 pada permukaan kulit yang lembab.

Keberadaan S. aureus kemungkinan disebabkan tangan pekerja kantin tanpa sadar menyentuh bagian tubuhnya seperti hidung, rambut dan bagian lain dari tubuh, peralatan kotor, pangan tercemar, baju, serta benda lain yang terkontaminasi. Memegang uang secara langsung merupakan praktik yang biasa dilakukan oleh pekerja kantin. Uang merupakan sumber kontaminasi yang sering tidak disadari oleh pekerja kantin (Nuraida et al. 2009). Lap untuk mengeringkan tangan juga dapat terkontaminasi S. aureus (Oller & Mitchell 2009).

Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Kuswanti (2002) melaporkan bahwa, S. aureus dan bakteri koliform

terdapat pada tangan dari seluruh pekerja kantin (100%) di kantin Sapta Darma Fakultas Teknologi Pertanian IPB Dramaga. Rizkiriani (2010) juga melaporkan bahwa di kantin Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, semua tangan pekerja kantin (100%) mengandung S. aureus dengan kategori banyak sekali (>11 CFU/cawan). Berbeda dengan hasil penelitian ini, Sari (2010) menunjukkan bahwa S. aureus positif pada tangan pekerja kantin (40%) di kantin lingkar kampus IPB. Dwintasari (2010) juga melaporkan tangan pekerja kantin di 5 dari total 8 kantin bubur ayam, positif mengandung S. aureus. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan higiene personal pekerja kantin yang menangani makanan belum dilaksanakan dengan baik dan benar serta belum ada perubahan dari tahun ke tahun.

Menurut Marriot (1999), kelenjar dalam kulit mengeluarkan (sekresi) keringat dan minyak. Kulit berfungsi secara konstan mengatur pengeluaran keringat, minyak dan sel-sel yang mati ke bagian permukaan. Jika bahan-bahan tersebut bercampur dengan bahan-bahan dari lingkungan sekitarnya, seperti debu, kotoran, lemak, dan sel-sel mati pada permukaan kulit akan membentuk suatu lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme. Akibatnya mikroorganisme tersebut akan berpindah ke makanan apabila pekerja kantin tidak mencuci tangan dengan benar.

Menurut Winarno (1999) dianjurkan setiap kali keluar dari kamar mandi atau kamar kecil sebaiknya tangan dibersihkan dengan air hangat dan sabun lalu dikeringkan menggunakan hand dryer. Marriot (1999) juga menjelaskan penyebaran bakteri yang paling mudah adalah melalui kotoran yang berada pada kuku (bagian dalam kuku). Menurut Lowbury et al. (1963) yang diacu dalam Jenie (1988), mencuci tangan terutama dengan sabun dan disinfektan dapat membunuh banyak mikroorganisme. Hal ini disebabkan karena pada sabun terdapat ikatan antara natrium atau kalium dengan asam lemak tinggi dan bersifat germisida sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan pada mikroorganisme, akibatnya mikroorganisme mudah terlepas dari kulit. Sabun mengandung bahan aktif TCC dan triclosan serta Pipper Betle Leaf Oil, yaitu senyawa aktif yang bersifat antiseptik, sehingga dapat membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan hidup. Antiseptik merupakan bahan

kimia yang mencegah multiplikasi mikroorganisme pada permukaan tubuh dengan cara membunuh mikroorganisme tersebut atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas metaboliknya.

Higiene Baju Pekerja KantinBerdasarkan Jumlah S. aureus

Pekerja kantin yang menangani makanan seharusnya mengenakan baju khusus. Baju kotor dapat menjadi tempat mikroorganisme sehingga baju pekerja kantin harus diganti setiap hari. Jumlah S. aureus pada baju pekerja kantin disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat kontaminasi S. aureus baju pekerja kantin di kampus IPB Dramaga

Tingkat kontaminasi Jumlah responden Presentase (%)

Tidak ada 0 0.0 Jarang 21 53.8 Rendah 8 20.5 Tinggi 8 20.5 Sangat tinggi 2 5.2 Jumlah 39 100.0

Tabel 7 menunjukkan bahwa seluruh baju pekerja kantin (100%) terkontaminasi S. aureus, dengan tingkat kontaminasi yang berbeda-beda. Tingkat kontaminasi S. aureus pada baju pekerja kantin mayoritas masuk ke dalam kategori kontaminasi jarang (53.8%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lues dan Tonder (2007) yang menunjukkan bahwa tingkat kontaminasi S. aureus pada baju lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kontaminasi S. aureus pada tangan pekerja kantin. Hal ini kemungkinan disebabkan S. aureus bukan merupakan mikroorganisme normal pada baju seperti halnya di kulit. Kemungkinan baju hanya sebagai perantara perpindahan mikroorganisme yang berasal dari tangan, badan, keringat, rambut, air, pangan tercemar, dan debu di udara. Mikroorganisme yang terdapat di udara biasanya melekat pada bahan padat misalnya debu atau terdapat dalam droplet air yang mungkin dapat menempel pada baju (Gobel & Risco 2008). Selain itu, mekanisme penyebaran S. aureus melalui udara yaitu bersin dan batuk akan memudahkan bakteri mengontaminasi baju pekerja kantin (Gaman & Sherington 1992).

Lidwell et al. (1974) melakukan studi yang dilakukan di rumah sakit London, yaitu efektifitas transfer S. aureus oleh pasien pembawa pada sistem pernafasan ke baju tidur sebesar 5.6%. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa terdapat 30% sistem pernafasan pengolah bahan pangan di Brazil yang mengandung S. aureus, dan setelah dikonfirmasi lebih lanjut sebesar 31.71% mulut dan hidung (sistem pernafasan) manusia sehat merupakan pembawa S. aureus. Hal ini memperlihatkan bahwa efektifitas perpindahan S. aureus melalui sistem pernafasan atau udara sistem pernafasan cukup besar Acco et al. (2003).

Baju pekerja kantin yang menangani makanan sebaiknya dipilih model yang dapat melindungi tubuh pada waktu memasak, mudah dicuci, menyerap keringat, terbuat dari bahan yang kuat, tidak panas, dan ukurannya nyaman dipakai yakni tidak ketat atau terlalu longgar sehingga tidak mengganggu pada saat bekerja. Baju yang dipakai sebaiknya berwarna terang atau putih, sehingga kotoran akan lebih mudah dideteksi jika terdapat pada baju, dan hendaknya menggunakan baju yang berlengan menutupi bahu dan ketiak pekerja.

Apron merupakan kain penutup baju yang digunakan sebagai pelindung agar baju tetap bersih. Menurut Moehyi (1992), baju yang digunakan pekerja harus bersih dan tidak boleh digunakan sebagai lap tangan, apron harus ditanggalkan bila meninggalkan tempat pengolahan. Pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan higiene pengolahan makanan karena tidak terdapat debu atau kotoran yang melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat menyebabkan pencemaran makanan.

Hubungan antara Jumlah S. aureus pada Tangan dan Baju Pekerja Kantin Sebaran rataan jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin di kampus IPB Dramaga disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Sebaran jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga.

Box plot menunjukkan rataan jumlah S. aureus pada tangan lebih tinggi (48.2±5.0 CFU/cawan) dibandingkan dengan rataan jumlah S. aureus pada baju (20.7±2.9 CFU/cawan) pekerja kantin. Gambar 6 memperlihatkan bahwa jumlah S. aureus pada tangan lebih menyebar dengan jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah S. aureus pada baju pekerja kantin. Menurut Hertzberger et al. (1982) S. aureus merupakan mikroorganisme normal yang terdapat di kulit manusia sehat, sehingga tidak menutup kemungkinan apabila jumlah S. aureus pada tangan lebih tinggi. Selain itu, S. aureus bukan mikroorganisme normal di baju. Staphylococcus aureus banyak terdapat di udara, tanah, debu, air yang mungkin dapat mencemari baju yang dipakai pekerja kantin sehingga positif mengandung S. aureus. Adanya kemungkinan terjadi kontaminasi silang antara tangan terhadap baju pekerja atau sebaliknya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Hubungan antara jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin di dalam kampus IPB Dramaga

Higiene Baju

P r

Tangan 0.536 0.102

Tabel 8 menunjukkan tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji, yaitu jumlah S. aureus pada tangan dengan jumlah S. aureus pada baju pekerja kantin (p>0.05). Jumlah S. aureus pada tangan tidak memengaruhi jumlah S. aureus pada baju pekerja kantin, begitupun sebaliknya.

Hasil uji korelasi tersebut menunjukkan bahwa jumlah S. aureus pada tangan dan baju pekerja kantin kemungkinan besar bukan karena adanya kontaminasi silang dari baju pekerja ke tangan ataupun sebaliknya. Menurut Acco et al. (2003), efektifitas perpindahan S. aureus melalui sistem pernafasan atau udara sistem pernafasan pada baju sebesar 5.6%. Terdapat 30% sistem pernafasan pengolah bahan pangan di Brazil yang mengandung S. aureus, dan setelah dikonfirmasi lebih lanjut sebesar 31.71% mulut dan hidung (sistem pernafasan) manusia sehat merupakan pembawa S. aureus.

Hasil uji korelasi ini berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Lues dan Tonder (2007), yang menyatakan keberadaan S. aureus di tangan dan baju mempunyai korelasi yang sedang (r=0.56) disebabkan oleh adanya konsekuensi atau akibat dari pekerja kantin yang memiliki tangan kotor dan sering memegang baju kerja. Menurut Buckle et al. (1987) terdapat salah satu kebiasaan tangan yang tidak disadari saat mengolah makanan yaitu menyentuh dan meraba baju kerja.

Dokumen terkait