• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENGANTAR

D. Hipertrigliseridemia

Hipertrigliseridemia adalah peningkatan kadar trigliserida puasa, kelainan lipoprotein juga dapat diamati baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Hipertrigliseridemia dapat diklasifikasikan ke dalam tipe primer dan sekunder. Klasifikasi kelainan trigliserida harus didasarkan pada diagnosis molekular, namun dasar molekular untuk hipertrigliseridemia primer hanya ditemukan kurang dari 5% untuk seluruh kasus, dan untuk kasus hipertrigliseridemia sekunder, tidak ada komponen genetik yang reprodusible. Kebanyakan pasien dengan hipertrigliseridemia mempunyai sekurang-kurangnya satu faktor sekunder. Penyebab sekunder yang berkontribusi untuk hipertrigliseridemia yaitu obesitas, sindrom metabolik dengan kadar trigliserida >1,7 mmol/L, diabetes melitus terutama tipe II, konsumsi alkohol, penyakit ginjal, terutama uremia atau glomerulonefritis, hipotiroid, penyakit autoimun, misalnya paraproteinemia atau SLE, dan obat-obatan, seperti

kortikosteroid, estrogen, tamoxifen, antihipertensi, isotretinoin (Yuan, Al-Shali, Hegele, 2007).

2. Mekanisme hipertrigliseridemia berkontribusi pada stroke iskemik

Hipertrigliseridemia dapat menyebabkan stroke iskemik melalui aterosklerosis dan atau pembentukan trombus. Penelitian menunjukkan bahwa hipertrigliseridemia meningkatkan pengembangan aterosklerosis melalui beberapa mekanisme. Hipertrigliseridemia postprandial pada pasien diabetes ditunjukkan dengan adanya disfungsi endotel, stres oksidatif karena lemak yang diturunkan dari radikal bebas, dan gangguan vasodilatasi endotelium (Antonios, Angiolillo, Silliman, 2008).

Triglyceride rich lipoprotein, termasuk VLDL dan IDL, selain partikel kolesterol LDL, terjebak dalam dinding pembuluh darah dan ditemukan dalam plak aterosklerotik manusia. Hipertrigliseridemia kronis dikaitkan dengan disfungsi endotel dalam penelitian untuk pasien dengan kolesterol LDL normal. Peningkatan adhesi molekul sel dianggap sebagai penanda disfungsi sel endotel dan telah ditunjukkan pada pasien hipertrigliseridemia (Antonios, et al., 2008).

Mekanisme lain dari hipertrigliseridemia yang dapat menyebabkan aterosklerosis adalah dengan peningkatan C-reactive protein (CRP). C-reactive protein merupakan penanda peradangan yang telah dikaitkan dengan peradangan sistemik dan peningkatan risiko terserang Coronary Artery Disease (CAD). Peningkatan CRP telah dikaitkan dengan peningkatan kadar trigliserida serta LDL trigliserida. Penelitian dengan 83 perempuan yang mengalami obesitas (rata-rata BMI= 33,8) dan diberikan intervensi berupa diet pembatasan lemak menunjukkan

adanya korelasi baseline CRP dengan BMI (p=0,01). Diet yang telah dilakukan selama 12 minggu menunjukkan korelasi CRP dengan kadar trigliserida (p = 0,009), tetapi tidak dengan lemak lain atau kadar glukosa. Pasien yang diberikan terapi statin dengan peningkatan kadar trigliserida >150 mg/dL menunjukkan pula adanya peningkatan kadar CRP (p=0,0001). Peningkatan kolesterol LDL dan kadar CRP dapat selalu diprediksi dari kejadian kardiovaskular pertama, namun sangat sedikit ditemukan korelasi antara kedua pengukuran itu. Peningkatan risiko CAD ditunjukkan dengan adanya peningkatan kadar CRP, namun tidak tampak kaitannya dengan peningkatan kadar kolesterol LDL, sebaliknya LDL trigliserida (trigliserida adalah komponen kecil dari partikel LDL) menunjukkan hubungan dengan peningkatan CRP dan peningkatan risiko CAD (Antonios, et al., 2008).

Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan 739 subjek penelitian yang mengalami CAD dan 570 kontrol berpasangan menunjukkan korelasi yang signifikan antara trigliserida dan CRP, molekul adhesi, interleukin 6, dan fibrinogen. Trigliserida merupakan prediktor CAD yang lebih kuat daripada kolesterol LDL (rasio odds 1,3 vs 1,1; p<0,001). Pengukuran ketebalan arteri intima-media dianggap sebagai penanda aterosklerosis dini pada manusia. Peningkatan ketebalan arteri intima-media menunjukkan hubungan dengan peningkatan peradangan, kadar fibrinogen, dan sirkulasi adhesi molekul, yang semuanya berhubungan dengan hipertrigliseridemia. Penelitian Framingham menunjukkan kadar trigliserida puasa (Lipid Research Clinics Program Protocol yaitu semua lemak diambil setelah 6-12 jam puasa) tidak berhubungan dengan aterosklerosis pada areteri karotis ketika data

dianalisis dengan model regresi logistik multivariate, namun kadar trigliserida tetap meningkat selama 3-6 jam setelah makan, karena itu keadaan meningkatnya kadar trigliserida postprandial dapat bertahan selama beberapa jam setiap hari dan mungkin lebih mewakili kebiasaan pasien daripada kadar saat puasa. Teno et al. dalam penelitiannya menemukan hubungan hipertrigliseridemia postprandial dengan ketebalan arteri intima-media dengan metode cohort dalam suatu kelompok yang terdiri dari 61 pasien diabetes tipe 2. Peneliti menemukan bahwa pasien dengan kadar trigliserida postprandial tertinggi memiliki ketebalan arteri intima-media terbesar, yang diukur dengan USG (p<0,01). Sisa partikel postprandial dari trigliseride-rich lipoprotein juga telah ditemukan menjadi faktor risiko aterosklerosis dini (Antonios, et al., 2008).

Hipertrigliseridemia dapat menjadi faktor risiko untuk penyakit serebrovaskular melalui terjadinya trombosis. Efek ini dihasilkan oleh perubahan thrombogenic dari pembekuan sistem serta peningkatan viskositas plasma. Simpson et al. melaporkan bahwa 18 pasien yang mengalami hipertrigliseridemia kronis (kadar trigliserida puasa dalam plasma 504,4 mg/dL) memiliki plasma fibrinogen konsentrasi yang lebih tinggi, aktivitas fibrinolitik yang lebih rendah, dan faktor pembekuan Xc yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan fibrinogen menunjukkan prediktor kuat untuk kejadian vaskular dan telah dikaitkan dengan perkembangan penyakit arteri karotis. Hiperviskositas dapat mengakibatkan iskemik jaringan akibat gangguan aliran, kerusakan pada antarmuka endotelium darah oleh tegangan geser, dan peningkatan terjadinya trombosis. Hiperviskositas ini

menyebabkan hipertrigliseridemia karena dapat berkontribusi pada disfungsi endotel, iskemik jaringan, dan kilomikronemia (Antonios, et al., 2008).

Trigliserida rich lipoprotein seperti kilomikron dan VLDL telah terbukti menimbulkan peningkatan viskositas saat ditambahkan pada plasma bebas lipoprotein secara in vitro. Efeknya lebih besar dari kolesterol LDL sehingga mendukung kontribusi yang lebih besar pada viskositas plasma. Pasien dengan hiperlipoproteinemia tipe IV dan tipe IIb (ditandai dengan peningkatan kadar trigliserida) memiliki viskositas plasma lebih tinggi daripada hiperlipoproteinemia tipe IIa (yang biasanya dihubungkan dengan peningkatan kolesterol tapi trigliserida normal) atau subjek normal. Menurunkan kadar trigliserida menggunakan gemfibrozil pada pasien hiperlipoproteinemia tipe IV atau V dapat menurunkan viskositas plasma tanpa mengubah tingkat fibrinogen. Peningkatan kadar trigliserida (juga fibrinogen, total protein, kolesterol LDL dan kolesterol total) berkorelasi positif dengan peningkatan viskositas plasma, oleh karena itu hipertrigliseridemia dapat meningkatkan risiko stroke iskemik dengan meningkatkan prothrombotic sampai efeknya pada koagulasi dan viskositas plasma (Antonios, et al., 2008).

3. Penatalaksanaan

Kadar trigliserida yang tinggi berhubungan dengan pankreatitis dan konsekuensi lain dari sindrom kilomikron. Tingginya kadar trigliserida karena faktor genetik sering muncul bersamaan dengan penyebab lain yang juga dapat meningkatkan kadar trigliserida, seperti diabetes. Diet lemak (10-20% kalori),

penurunan berat badan, pembatasan konsumsi alkohol, dan pengobatan dari penyakit yang muncul bersamaan merupakan dasar terapi. Obat yang digunakan untuk terapi hipertrigliseridemia adalah gemfibrozil, niasin, dan statin berpotensi tinggi (atorvastatin, rosuvastatin, dan simvastatin). Fenofibrat merupakan obat pilihan dalam kombinasi dengan statin karena dapat meminimalkan adanya interaksi obat. Terapi dikatakan berhasil jika dapat menurunkan kadar trigliserida hingga kurang dari 500 mg/dL (Talbert, cit., DiPiro, et al., 2009). Pertimbangan terapi untuk hipertrigliseridemia:

1. Kadar trigliserida masuk dalam kriteria batas tinggi (150-199 mg/dL). Tujuan utama dalam terapi pada rentang kadar ini yaitu mencapai kadar kolesterol LDL yang diinginkan. Perubahan gaya hidup merupakan terapi pertama yang dilakukan saat kadar trigliserida mencapai batas tinggi yaitu dengan mengontrol berat badan, olah raga rutin dan teratur, mengurangi rokok, pembatasan konsumsi alkohol jika penggunaan berlebihan, dan menghindari konsumsi karbohidrat berlebih. Pada rentang kadar ini, tidak diberikan terapi farmakologis (NCEP, 2004).

2. Kadar trigliserida masuk dalam kriteria tinggi (200-499 mg/dL).

Tujuan utama dalam terapi pada rentang kadar ini yaitu mencapai kadar kolesterol LDL yang diinginkan. Tujuan kedua yaitu mencapai kadar non kolesterol HDL yang diinginkan yaitu sebesar 30 mg/dL lebih tinggi dari kadar kolesterol LDL yang ingin dicapai. Terapi utama yang diberikan adalah perubahan gaya hidup berupa pengurangan berat badan dan peningkatan

aktivitas fisik. Terapi sekunder yang bisa diberikan untuk mencapai kadar kolesterol HDL yang diinginkan, antara lain dengan pemberian statin yang dapat menurunkan kolesterol LDL dan kolesterol VLDL. Fibrat dan asam nikotinik yang dapat menurunkan VLDL-trigliserida dan kolesterol VLDL (NCEP, 2004).

3. Kadar trigliserida masuk dalam kriteria sangat tinggi (≥500 mg/dL).

Tujuan utama dalam terapi ini yaitu menurunkan kadar trigliserida untuk mencegah pankretitis akut, sedangkan prioritas yang kedua yaitu mencegah Coronary Heart Disease (CHD). Terapi farmakologis untuk mencegah CHD dengan kadar trigliserida yang sangat tinggi belum dibuktikan dengan uji klinik (NCEP, 2004).

E. Edukasi

Edukasi dalam arti formal adalah suatu proses penyampaian bahan atau materi pendidikan oleh pendidik kepada sasaran pendidikan guna mencapai perubahan perilaku (tujuan). Edukasi kesehatan sangat penting untuk menunjang program-program kesehatan yang lain. Pemilihan metode edukasi harus memperhatikan subjek edukasi apakah itu merupakan individu, kelompok, masyarakat/massa, serta harus mempertimbangkan pendidikan formal. Cara Belajar Insan Aktif (CBIA) dan ceramah merupakan metode edukasi yang diberikan untuk kelompok besar (lebih dari 15 orang), metode ini sesuai untuk sasaran/subjek yang

berpendidikan tinggi/rendah (Notoatmodjo, 2003). Bentuk pendekatan atau edukasi yang digunakan antara lain:

1. Bimbingan dan penyuluhan

Kontak antara subjek penelitian dan peneliti dengan cara ini menjadi lebih intensif. Setiap masalah yang dihadapi subjek penelitian dapat diteliti oleh peneliti sehingga dapat dibantu dalam penyelesaiannya. Pada akhirnya subjek penelitian dapat menangkap dan menerimanya, kemudian berdasarkan kesadaran dapat mengubah perilaku sehatnya (Notoatmodjo, 2003).

2. Wawancara

Cara ini sebenarnya merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan. Wawancara antara peneliti dengan subjek penelitian bertujuan untuk menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, apakah ia tertarik atau tidak terhadap perubahan, untuk mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi itu mempunyai dasar pengertian dan kesadaran yang kuat, dan apabila belum, maka perlu adanya penyuluhan yang lebih mendalam lagi (Notoatmodjo, 2003).

3. Ceramah

Metode yang baik untuk subjek penelitian yang berpendidikan tinggi maupun rendah dan untuk kelompok besar. Kelompok besar adalah apabila subjek penelitian lebih dari 15 orang (Notoatmodjo, 2003).

F. Perubahan Pola Hidup

Terapi Perubahan Pola Hidup (TPH) bermaksud mengubah segala kebiasaan atau pola hidup yang tidak mendukung perbaikan faktor-faktor risiko menjadi perilaku yang positif, antara lain berhenti merokok, meningkatkan keaktifan, perbaikan sikap mental ke arah yang positif, dan yang tidak kalah penting adalah diet yang tepat berkaitan dengan kesehatan jantung dan pembuluh darah (Soeharto, 2004). Setiap orang memiliki berbagai tingkat keberhasilan dalam menurunkan kolesterol dengan mengubah diet mereka. Perubahan pola makan dapat menurunkan kolesterol dengan jumlah bervariasi. Perubahan diet biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan sebelum menggunakan obat penurun kolesterol (Anonim, 2009e).

Therapeutic Lifestyle Changes (TLC) direkomendasikan oleh National Cholesterol Education Program dari US National Institutes of Health. Diet fokus utama adalah untuk mengurangi jumlah lemak jenuh yang dikonsumsi karena lemak jenuh meningkatkan kolesterol. Mengurangi lemak jenuh dalam diet dapat juga dilakukan dengan membatasi jumlah daging dan produk susu yang dikonsumsi. Memilih produk yang rendah lemak dapat dilakukan untuk mengganti konsumsi makanan tersebut. Menggantikan sebagian besar lemak hewani dalam diet dengan lemak tak jenuh, khususnya minyak tak jenuh tunggal, seperti zaitun, kanola, atau minyak kacang. Penggantian lemak tak jenuh tunggal dapat menurunkan kolesterol LDL dan menjaga kolesterol HDL tetap tinggi. Pelaksanaan diet juga tetap harus

menjaga kalori yang cukup untuk menjaga berat badan yang diinginkan dan menghindari kenaikan berat badan (Anonim, 2009e).

Panduan diet terdiri dari tingkat 1 dan tingkat 2. Pembagian ini didasarkan atas sasaran yang dituju, yaitu tercapainya kadar profil lemak darah normal. Tingkat 2 dilakukan jika diet tingkat 1 belum berhasil mencapai sasaran, karena tidak semua individu dapat merespon diet dalam tingkat yang sama (Soeharto, 2004).

Tabel IV: Batasan Diet Tingkat 1 Rata-rata Setiap Hari Menurut AHA dan NCEP (Soeharto, 2004)

1. Tidak merokok

2. Tingkat masukan kalori dan aktivitas fisik yang sesuai untuk mencegah kegemukan dan mengurangi berat badan

3. Konsumsi lemak sebesar 30% atau kurang dari kalori setiap harinya. 4. Konsumsi maksimal 8-10% kalori dari asam lemak jenuh.

5. Konsumsi maksimal 10% dari total kalori berasal dari asam lemak tidak jenuh majemuk.

6. Konsumsi maksimal 10% dari total kalori berasal dari asam lemak tidak jenuh tunggal.

7. Konsumsi maksimal 300 mg/hari kolesterol. 8. Konsumsi tidak lebih dari 2,4 gram garam.

9. Konsumsi 55-60% dari kalori yang berbentuk karbohidrat kompleks. 10. Protein berjumlah 15-20% dari total kalori.

11. Serat yang larut = 20-30 gram/hari.

12. Sterol asal tumbuh-tumbuhan = 2 gram/hari.

Tabel V: Batasan Diet Tingkat 2 Rata-rata Setiap Hari Menurut AHA (Soeharto, 2004)

1. Konsumsi maksimal 7% kalori dari asam lemak jenuh. 2. Konsumsi maksimal 200 mg/hari kolesterol.

Dokumen terkait