• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hipotesis Biaya Politik

Dalam dokumen SKRIPSI OLEH MEGAPIO S. SITOMPUL (Halaman 33-40)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3 Hipotesis Biaya Politik

Biaya politis muncul akibat kepentingan perusahaan dengan pemerintah. Pihak pemerintah memiliki kekuatan untuk melakukan pengalihan kekayaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya ( pemerintah dengan masyarakat) berdasarkan peraturan-peraturan yang dibuatnya. Watts dan Zimmerman (1986) menyatakan bahwa manajer ingin mengecilkan laba dengan tujuan untuk mengecilkan biaya politis yang ditanggung oleh perusahaan. Hal ini akan mengakibatkan manajer cenderung memilih prosedur dan metode akuntansi yang melaporkan laba lebih rendah atau konservatif.

Hipotesis biaya politik juga sering disebut dengan nama size hypothesis, dimana hipotesis ini mengatakan bahwa semakin besar sebuah perusahaan, maka manajer cenderung akan memilih prosedur akuntansi yang mengalihkan pelaporan laba dari periode berjalan ke periode mendatang, cateris paribus (Watts dan Zimmerman, 1986).

2.1.4 Pajak

Dengan sifat multi disiplinnya, maka atas istilah “pajak” tidak ada arti tunggal yang pas untuk semua tujuan dan konteks. Barry Larking (2005, International Tax Glossary) menyebut pajak sebagai pungutan pemerintah berdasar Undang-undang (UU) tanpa imbalan dan bukan sanksi atau denda kecuali ada pelanggaran administrasi atau pidana pajak.

Pasal 1 angka 1 UU 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan stdtd UU 16/2009 (UU KUP) menyebut pajak sebagai kontribusi wajib pada negara yang terutang orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasar UU tanpa imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Secara operasional, OECD (dari International Tax Glossary,2005) mengartikan pajak sebagai pembayaran pada pemerintah tanpa imbalan. Dari aspek ekonomi, Rochmat Soemitro (dari Djafar Saidi, 2011, Pembaharuan Hukum Pajak) menyebut pajak sebagai transfer aset privat ke sektor public berdasar UU yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung untuk pembiayaan umum, mendorong, atau mengendalikan kegiatan di luar keuangan negara.

Musgrave (1989, Public Finance in Theory and Practice) menyebut pajak sebagai pembayaran atau transfer sumber daya sektor privat tanpa imbalan langsung atau sebagai penarikan pemerintah dari sektor swasta tanpa menimbulkan utang kepada pembayar. Secara hukum, Soemitro menyebut pajak sebagai perikatan berdasar UU yang

mewajibkan orang dengan syarat tertentu (tatsbestand, tax nexus/connection/allegiance) membayar uang ke negara yang dapat dipaksakan, guna membiayai kepentingan umum. Dari hukum administrasi, UU Pajak menimbulkan hubungan fiscal antara negara sebagai pemegang yurisdiksi pemajakan dengan WP sebagai debitor pajak untuk membayar utang pajak jika terpenuhi persyaratan sesuai ketentuan. Paradigma utang pajak timbul karena UU (bukan ketetapan) dibakukan dalam sistem self assessment sejak reformasi pajak 1983.

Secara tradisional, pajak dibedakan atas pajak langsung (direct tax) dan pajak tidak langsung (indirect tax). Beban pajak langsung dipikul penanggung sebenarnya (destinataris), sedangkan beban pajak tidak langsung dapat digeser ke pihak lain. Sistem bisnis/ekonomi kontemporer makin kompleks, model elektronik, digital dan teknologi bisnis makinn maju, maka pembedaan pajak langsung dan tidak langsung menjadi relatif karena proses alokasi beban pajak antar pelaku ekonomi amat kompleks. Demikian juga pembedaan pajak subjektif dan objektif, amat relative karena pada era digital ini kegiatan ekonomi dapat dilakukan siapa saja dan dari mana saja tanpa kehadiran fisik subjek pelaku sehingga praktik pemungutan semua jenis pajak lebih bersifat objektif via pemotongan-pemungutan.

Secara umum pajak dipungut guna membiayai kepentingan bersama dan pembangunan kesejahteraan rakyat. Kepentingan bersama berupa barang dan jasa publik, seperti: pertahanan dan keamanan,

penegakan, dan sistem hukum, perlindungan tumpah darah, warga dan harta, infrastruktur, fasilitas umum dan sosial, dan redistribusi kekayaan serta peningkatan kemakmuran. Dalam masyarakat modern, pajak juga digunakan dalam membiayai jasa layanan umum, seperti: sistem Pendidikan, Kesehatan, penyediaan air bersih, energi, kebersihan, daur ulang sampah , transportasi umum, siaran media massa, jasa telkom, santunan difabel dan lanjut usia, pengangguran, pengentasan kemiskinan, dan santunan sosial lainnya.

Pajak dipungut dengan UU, artinya sebagai wujud kewajiban kenegaraan seluruh warga secara gotong royong berperan serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan, pungutan pajak harus diputuskan dengan persetujuan rakyat melalui wakilnya di parlemen. Segenap warga telah sepakat menyetujui besaran kontribusi dari sebagian sumber dayanya untuk kepentingan bersama, menggerakkan roda pemerintahan menyediakan layanan public, memajukan negara dan memakmurkan rakyat. UU pajak secara sosial- politis merupakan perjanjian transfer sumber daya rakyat pasa negara sebagai penerimaan yang dilaksanakan administrasi pajak secara wajar, pasti dan adil sesuai dengan tata kelola yang sehat (good governance). Pemerintah dan DJP ingin semua WP melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban pajaknya. Konsep kepatuhan sukarela dan responsibilitas DJP mendorong kepatuhan pada kewajiban pajak WP sebagai kunci dalam administrasi pajak modern yang efektif dan efisien. Disebut efektif jika administrasi pajak mampu mencapai target

kepatuhan dan penerimaan. Efisien jika capaian itu diperoleh sumber daya murah.

Perpajakan menjadi sarana kebijakan fiskal. Aturan pajak sebagai hasil pengambilan keputusan politik parlemen dan pemerintah. Politisi memanfaatkan pemajakan sebagai sarana mencapai tujuan politisnya, terutama dalam tahun politik. Hasil politik ini berbeda antar negara dan antar waktu, sehingga sistem pajak di berbagai belahan dunia heterogen.

Dalam Ideologi Of Taxation, Enstein (1961) menyebut fondasi sistem pajak menunjukkan hasil kompromi dari berbagai kepentingan dengan tujuan pembentukan privilese dalam rangka efisiensi beban pajak, sementara kelompok keungan publik ingin optimalnya penerimaan negara.

Walau ideologi politik dan kelompok kepentingan berperan penting dalam desain sistem pajak, namun banyak pandangan dasar atau prinsip pemajakan yang menyebut pentingnya pemajakan harus diatur berdasar prinsip- prinsip pemajakan yang berterima umum ( generally accepted taxing principles).

Efisiensi pemungutan pajak Adam Smith, oleh John Baptiste Colbert disebut dalam maksim ‘the art of taxation consist of so plucking the goose as to obtain largest possible amount of feathers with the smallest possible amount of hissing’. Pemajakan berdasar prinsip ability to pay sering dikaitkan dengan prinsip keadilan (equity) dan manfaat (benefit of principle). Prinsip manfaat merujuk pada membayar pajak sesuai manfaat yang diperoleh dari barang/jasa publik pemerintah.

Prinsip pemajakan lainnya, termasuk stabilitas, fleksibikitas, netralitas, dan simplisitas.

1. Stabilitas: sistem pajak harus memberi arus penerimaan stabil dan predictable. Karena itu, sistem pajak harus bergantung pada kombinasi beberapa jenis pajak untuk mengurangi tingginya risiko fluktuasi tahunan penerimaan.

2. Fleksibilitas: sistem pajak harus lentur pada perubahan kondisi ekonomi dan politik.

3. Netralitas: sistem pajak harus netral( tidak memihak) dan tidak mendistorsi keputusan ekonomi.

4. Simplisitas: sistem pajak harus simple dan dapat dimengerti , dengan eksemsi minimal, bebas loopholes (celah regulasi yang bisa disalah gunakan) dan dengan biaya pelaksanaan efisien.

Secara administratif, sistem pajak harus dilaksanakan dalam bernegara agar tujuannya tercapai. Untuk itu secara prinsip, pajak harus mudah administrasi dan pematuhannya (ease of administration and compliance). Neumark (dalam Prof. Dr. Gunadi, 2020) menyebut empat syarat mudah administrasi dan pematuhan : clarity, continuity, economy, dan convenience.

1. Kejelasan, maksudnya semua peraturan perundang-undangan perpajakan khususnya dalam pemungutan harus dapat dipahami (comprehensible), tidak boleh menimbulkan keraguan atau beda

tafsir, tapi harus menimbulkan kepastian dan kejelasan untuk WP dan aparat pajak.

2. Kontinuitas, artinya peraturan pajak sedapat mungkin tidak sering berubah. Perubahan lebih pada konteks pembaruan UU Perpajakan (tax reform) secara umum dan sistematis.

3. Economy, artinya biaya pengawasan, penagihan, penghitungan, dam administrasi DJP (Ditjen Pajak; administrative costs) harus seminimal mungkin dan konsisten dengan tujuan pajak lainnya.

4. Convenience: jumlah dan waktu pembayaran harus memudahkan WP, misalnya tepat waktu pada saat memperoleh penghasilan (pay as you earn), dapat diangsur atau ditangguhkan karena kesulitan dana. Sanksi finansial kelambatan hendaknya terukur dan negosiabel, dan ada Batasan maksimalnya.

Smith (dalam Gunadi, 2020) menyebut empat unsur kritis pemajakan: tarif, ekualitas, intrusi, dan sanksi/ pinalti.

1. Tarif harus moderat. Jika terlalu rendah, kehidupan dan properti warga tidak dapat dilindungi; namun jika terlalu tinggi akan menghambat ekonomi. Tarif pajak dapat mendorong pelarian/penghindaran, emigrasi/pindah residensi, dan pembangkangan/revolusi. Tarif pajak harus mencerminkan bukan hanya berapa warga mampu membayar tetapi juga berapa yang ingin mereka bayar.

2. Ekualitas, adalah kebajikan. Karena meminta tiada diskriminasi atas kelompok warga terkait tarif, eksepsi, pengutamaan, dan beban. Kekurangannya adalah bisa ekstrim progresif atau regresif.

Sistem regresif secara tidak wajar membebani si miskin, sistem progresif yang ekstrem menjadi pencurian kesejahteraan. Pajak menyentuh arena kegiatan ekonomi luas, bahkan dengan tarif sama, akan tidak terhindarkan adanya moderasi progresivitas.

3. Intrusi/gangguan, apapun yang dipajaki harus di survey, tetapi seberap ekstensif harus dilakukan. Apakah kita mengorbankan banyak kebebasan untuk kepatuhan pajak? Adam Smith mengusulkan pendekatan moderat tanpa hukuman keras dan tanpa intrusi totalitarian dan pengawasan.

4. Sanksi pinalti, sebagai harga yang harus dibayar mereka yang berperilaku tidak patuh pajak dan mewakili tambahan biaya atas jumlah pajak semestinya yang dibayar tidak sesuai UU. Secara sosiologis, sanksi moderat umumnya dapat diterima semua pihak.

Dalam dokumen SKRIPSI OLEH MEGAPIO S. SITOMPUL (Halaman 33-40)

Dokumen terkait