• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan landasan teori, penelitian terdahulu, serta kerangka pemikiran yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukandalam penelitian ini:

- Beras

- Cabai Merah - Bawang Merah - Telur Ayam

- Daging Ayam Komoditas Pangan

Harga Komoditas

21

1). Harga beras berpengaruh terhadap positif dan signifikan terhadap Inflasi di Kota Sibolga.

2). Harga cabai merah berpengaruh terhadap positif dan signifikan terhadap Inflasi di Kota Sibolga.

3). Harga bawang merah berpengaruh terhadap positif dan signifikan terhadap Inflasi di Kota Sibolga.

4). Harga telur ayam berpengaruh terhadap positif dan signifikan terhadap Inflasi di Kota Sibolga.

5). Harga daging ayam berpengaruh terhadap positif dan signifikan terhadap Inflasi di Kota Sibolga.

6). Inflasi periode sebelumnya berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di Kota Sibolga.

3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) berdasarkan pertimbangan bahwa Kota Sibolga merupakan salah satu dari empat kota besar di Provinsi Sumatera Utara yang menyumbang inflasi Provinsi Sumatera Utara.

3.2 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data yang digunakan berupa data sekunder yaitu data inflasi di Kota Sibolga ,harga beras, harga cabai merah, harga bawang merah , harga telur ayam dan harga daging ayam. Data yang digunakan adalah data time series berupa data bulanan dari Januari 2013 sampai Desember 2018.

Data ini didapat sumber-sumber terpercaya yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik Ekonomi dan Statistik Indonesia Bank Indonesia (SEKI BI), Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional berbagai website dan artikel serta literatur-literatur lain yang terkait dengan penelitian ini.

3.3 Metode Analisis Data

3.3.1 Partial Adjustment Model (PAM)

Model penyesuaian parsial atau dikenal dengan Partial Adjustment Model (PAM) adalah model analisis data yang mengasumsikan keberadaan suatu hubungan equilibrium jangka panjang antara dua atau lebih variabel ekonomi.

Dalam jangka pendek, namun demikian, yang terjadi adalah disequilibrium. Dengan mekanisme penyesuaian parsial, suatu proporsi dari disequilibrium pada suatu periode dikoreksi pada priode berikutnya. Proses penyesuaian dengan demikian

23

menjadi sebuah alat untuk merekonsiliasi perilaku jangka pendek dan jangka panjang (Putri, 2016).

Model ini berasumsi bahwa peubah tidak bebas (Y) yang diharapakan dalam periode t (ditulis Yt*) tidak dapat diobservas secara langsung. Peubah Yt* akan tergantung kepada peubah bebas (Xi) yang aktual.

Secara matematis dapat ditulis sebagai berikut:

Yt = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + Ut...(a) Dimana :

Yt = Inflasi yang diharapkan βo =Intersep

β1,2,3,4,5= Koefisien regresi parsial X1 = Harga Beras

Peubah Yt* tidak teramat karena masih merupakan target sehingga peubah ini harus diganti dengan memakai modelnya. Oleh karena itu asumsi dari hipotesisnya adalah sebagai berikut .

Yt – Yt-1 = δ (Y*t – Y t-1 )...(b) Dimana δ adalah koefisien penyesuaian parsial, yang karenanya memiliki nilai 0 < δ < 1;Yt - Yt-1 adalah penyesuaian aktual; sementara Y*t - Yt-1 adalah penyesuaian yang diinginkan.

Apabila persamaan (a) dan (b) disubtitusikan maka akan diperoleh persamaan baru sebagai berikut.

Yt = Yt-1 + δ (βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 –Yt-1 ) +Ut...(c) Yt = δβo+ (1- δ)Yt-1 + δβ1X1 + δβ2X2 +δβ3X3 +δβ4X4 + δβ5X5 + Ut...(d)

Jika, δβo= α0, β1 = α1, β2 = α2, β3 = α3, β4 = α4, β5 = α5(1- δ) = α6, maka didapat persamaan sebagai berikut ini.

Yt = α0 + α1X1 + α2X2 + α3X3 +α4X4 + α5X5 + α6Y(t-1)+ Ut...(e) Persamaan (e) = elastisitas inflasi terhadap harga komoditi pangan dalam jangka pendek.

Persamaan (a) = elastisitas inflasi terhadap harga komoditi pangan dalam jangka panjang.

Dimana :

Yt = Inflasi α0 =Intersep

α 1,2,3,4,5= Koefisien regresi parsial X1 = Harga Beras

X2 = Harga Cabai Merah X3 = Harga Bawang Merah X4 = Harga Telur Ayam X5 = Harga Daging Ayam Ut = Error

25

3.3.2 Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik umumnya dilakukan terhadap regresi yang memiliki 2 atau lebih variabel penjelas. Uji asumsi klasik ini terdiri dari beberapa pengujian yaitu Multikolinieritas (Multikol), Heteroskedastisitas (Hetero), Autokorelasi, dan Normalitas.

1. Uji Multikolineritas

Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan atau korelasi diantara variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi kolerasi diantara variabel independen .

Deteksi ada atau tidaknya multikolinieritas di dalam model regresi dapat dilihat dari besaran VIF (Variance Inflation Factor) dan tolerance. Multikolinearitas terjadi apabila nilai VIF diatas 10 atau tolerance value di bawah 0,10. Sedangkan multikolinearitas tidak terjadi apabila nilai VIF di bawah 10 atau tolerance value diatas 0,10 (Atikah, 2016).

Nilai VIF dapat dihitung dengan rumus yaitu sebagai berikut : VIF = R2 / (k-1)

1-Rj2

2. Uji Heterokedatisitas

Menurut Santoso (2002), uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Untuk pengambilankeputusan dalam uji heterokedastisitas pada uji Breuch Pagan Godfrey adalah sebagai berikut,

Jika nilai Obs *R-Squared < ⍺, maka terjadi gejala heterokedastisitas Jika nilai Obs *R-Squared > ⍺, maka tidak tejadi gejala heterokedastisitas.

3. Uji Autokorelasi

Menurut Tony Wikaya (2009), uji autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya (t-1. Untuk pengambilan keputusan dalam uji autokorelasi pada uji Breuch Godfrey adalah sebagai berikut,

-Jika nilai Prob. Chi Square < ⍺, maka terjadi autokorelasi -Jika nilai Prob. Chi Square > ⍺, maka tidak tejadi autokorelasi.

4. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak ( Akila, 2017 ). Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Data berdistribusi normal atau tidak normal dapat diketahui dengan ketetuan

- Jika nilai probalility < α (5%), maka data tidak berdistribusi normal -Jika nilai probability > α (5%), maka data berdistribusi normal

3.4 Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman atas pengertian dan penafsiran istilah-istilah penelitian ini, maka penulis membuat beberapa definisi dan batasan operasional sebagai berikut:

3.4.1 Defenisi Operasional

a).Pengaruh adalah kontribusi yang diberikan oleh fluktuasi harga komoditi pangan terhadap inflasi di Kota Sibolga.

b).Inflasi adalah kenaikan tingkat harga barang dan jasa secara umum pada periode waktu tertentu. Data yang digunakan adalah data inflasi perbulan .

27

c).Komoditi pangan adalah salah satu bagian dari kelompok bahan makanan yang berkontribusi terhadap nilai inflasi di Kota Sibolga.

d).Harga beras adalah data harga rata – rata perbulan tingkat konsumen di Kota Sibolga per kilogram.

e).Harga cabai merah adalah data harga rata – rata perbulan tingkat konsumen di Kota Sibolga per kilogram.

f). Harga bawang merah adalah data harga rata – rata perbulan tingkat konsumen di Kota Sibolga per kilogram.

g). Harga telur ayam adalah data harga rata – rata perbulan tingkat konsumen di Kota Sibolga per kilogram.

h). Harga daging ayam adalah data harga rata – rata perbulan tingkat konsumen di Kota Sibolga per kilogram.

3.4.2 Batasan Operasional

1.Waktu penelitian dilakukan pada tahun 2019.

2.Data yang digunakan adalah data inflasi dan data harga komoditi pangan perbulan.

3. Daerah penelitian dilakukan di Kota Sibolga Sumatera Utara.

4.1 Gambaran Umum Kota Sibolga 4.1.1 Sejarah Singkat Kota Sibolga

Kota Sibolga dahulunya merupakan Bandar kecil di Teluk Tapian Nauli dan terletak di Poncan Ketek. Pulau kecil ini letaknya tidak jauh dari kota Sibolga yang sekarang ini. Diperkirakan Bandar tersebut berdiri sekitar abad delapan belas dan sebagai penguasa adalah “Datuk Bandar”.

Kemudian pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, pada abad sembilan belas didirikan Bandar Baru yaitu Kota Sibolga yang sekarang, karena Bandar di Pulau Poncan Ketek dianggap tidak akan dapat berkembang. Disamping pulaunya terlalu kecil juga tidak memungkinkan menjadi Kota Pelabuhan yang fungsinya bukan saja sebagai tempat bongkar muat barang tetapi juga akan berkembang sebagai Kota Perdagangan. Akhirnya Bandar Pulau Poncan Ketek mati bahkan bekas-bekasnya pun tidak terlihat saat ini. Sebaliknya Bandar Baru yaitu Kota Sibolga yang sekarang berkembang pesat menjadi Kota Pelabuhan dan Perdagangan.

Kemudian dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor: 19 Tahun 1979 tentang pola dasar Pembangunan Daerah Sumatera Utara, Sibolga ditetapkan Pusat Pembangunan Wilayah I Pantai Barat Sumatera Utara. Perkembangan terakhir yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Daerah Nomor: 4 Tahun 2001, tentang Pembentukan Organisasi Kantor Kecamatan, Sibolga dibagi menjadi 4 (empat) Kecamatan, yaitu: Kecamatan Sibolga Utara, Kecamatan Sibolga Kota, Kecamatan Sibolga Selatan, dan Kecamatan Sibolga Sambas.

29

4.1.2 Kondisi Geografi

Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Sibolga,2018

Gambar 5. Peta Kota Sibolga Kabupaten Tapanuli Tengah

Kota Sibolga berdiri di atas daratan pantai, lereng, dan pegunungan, dimana hampir seluruh penduduknya bermukim di dataran pantai yang rendah. Terletak pada ketinggian berkisar antara 0 – 150 meter dari atas permukaan laut, dengan kemiringan lahan kawasan kota ini bervariasi antara 0-2 % sampai lebih dari 40 %.

Kota Sibolga terletak di Pantai Barat Provinsi Sumatera Utara yaitu di Teluk Tapian Nauli, ± 350 Km selatan Kota Medan. Secara geografis wilayah Sibolga terletak antara 1º 42’1º 46′ Lintang Utara dan 98º 44′ – 98º 48′ Bujur Timur.

Kota Sibolga secara administratif terdiri dari 4 Kecamatan dan 17 Kelurahan dan Luas 2.778 Ha atau 27, 78 Km² dimana hanya berkisar 10,77 Km² yang layak huni.

Dengan demikian, menurut luas lahan, Sibolga termasuk kota terkecil di Indonesia.

Sumber: Sibolga Dalam Angka, 2018

Gambar 6. Luas Kecamatan di Kota Sibolga

Kota Sibolga terdiri dari 4 Kecamatan besar, yaitu Sibolga Selatan, Sibolga Sambas, Sibolga Kota dan Sibolga Utara. Sibolga Selatan merupakan kecamatan terbesar diantara ketiga kecamatan lainnya, dengan luas wilayah 3,14 km2dengan jumlah kelurahan dan lingkungan terbanyak. Berikut adalah tabel jumlah kelurahan dan kecamatan yang ada di empat kecamatan di Sibolga tahun 2017.

Tabel 2. Jumlah Kelurahan dan Lingkungan Menurut Kecamatan

No. Kecamatan Kelurahan Lingkungan

1. Sibolga Utara 5 25

2. Sibolga Kota 4 16

3. Sibolga Selatan 4 28

4. Sibolga Sambas 4 17

Kota Sibolga 17 86

Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2018

Iklim kota Sibolga termasuk cukup panas dengan suhu maksimum mencapai 32° C dan minimum 21.6° C. Sementara curah hujan di Sibolga cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November

31

dengan jumlah sekitar 798 mm, sedang hujan terbanyak terjadi pada Desember yakni 26 hari.

Tabel 3. Jumlah Hari Dan Curah Hujan Kota Sibolga Pertahun

No. Tahun Jumlah Hari Hujan Curah Hujan Rata-Rata (mm)

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Sibolga,2018

Pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan otoritas Pemerintah Kota Sibolga adalah Poncan Gadang, Poncan Ketek, Pulau Sarudik dan pulau Panjang. Umumnya pulau-pulau ini bukan menjadi kawasan hunian penduduk. Adapun sungai-sungai yang mengalir di Kota Sibolga ialah Aek Doras, Sihopo-hopo, Aek Muara Baiyon dan Aek Horsik, dengan tipe sungai kecil dan sangat dangkal.

Kecuali sebelah barat yang berbatasan dengan Samudera Hindia, seluruh wilayah daratan Kota Sibolga berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah. Itulah sebabnya secara sosial dan kebudayaan, Sibolga dan Tapanuli Tengah memang tidak terpisahkan bahkan secara tradisional sering kali dianggap sama saja.

4.1.3 Kondisi Penduduk

Pada tahun 2017 jumlah penduduk Kota Sibolga mencapai 87.090 orang.

Penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan Sibolga Selatan (35,13 persen) dan paling sedikit di Kecamatan Sibolga Kota (16.29 persen). Kota Sibolga memiliki 18,566 rumah tangga dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 5 orang. Hal ini menunjukkan bahwa setiap rumah tangga memiliki sekitar 5 orang anggota rumah tangga. Penduduk Kota Sibolga tahun 2017 tergolong berstruktur usia muda,

dimana jumlah penduduk yang berusia dibawah 15 tahun ada sebanyak 27.768 orang (31,88 persen), sedangkan penduduk berusia 65 tahun ke atas ada sebanyak 2.796 orang (3,21 persen).

Tabel 4. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga, dan Rata – Rata Anggota Rumah Tangga Menurut Kecamatan dan Kelurahan

No. Kecamatan

Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2018

Angka Beban Tanggungan (Dependency Ratio) Kota Sibolga pada tahun 2017 adalah sebesar 54,07 persen. Angka ini menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif (usia 15 - 64 tahun) menanggung sekitar 54 sampai 55 orang penduduk usia tidak produktif (usia dibawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas)

33

4.1.4 Keadaan Ekonomi

Pada tahun 2017, Kota Sibolga mengalami inflasi selama 9 bulan, sementara 3 bulan lainnya terjadi deflasi. Inflasi dengan nilai tertinggi terjadi pada bulan November sebesar 1,11 persen dan inflasi terendah pada bulan April sebesar 0,25 persen. Sementara itu deflasi dengan nilai tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 1,34 persen dan deflasi terendah pada bulan Juli sebesar 0,23 persen.

Bila dilihat inflasi tahun kalender menurut kelompok pengeluarannya, selama tahun 2017 kelompok bahan makanan satu satunya kelompok pengeluaran yang mangalami deflasi, sedangkan kelompok lainnya mengalami inflasi. Diantara kelompok pengeluaran yang mengalami inflasi, kelompok perumahan, listrik, gas dan bahan bakar mengalami inflasi tertinggi, di ikuti kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan, serta kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau.

5.1 Hasil

5.1.1 Uji Stasioner Data

Dalam analisis data time series, pengujian stasioner data penting dilakukan, karena penggunaan data yang tidak stasioner dapat menimbulkan masalah spurious regression dimana data akan menunjukkan hasil yang signifikan namun tidak memiliki makna kausal yang jelas. Bila data tidak stasioner maka akan diperoleh regresi yang palsu (spurious), timbul fenomena autokorelasi dan juga tidak dapat menggeneralisasi hasil regresi tersebut untuk waktu yang berbeda.

Untuk mengetahui apakah data time series yang digunakan stasioner atau tidak stasioner, digunakan uji akar unit (unit roots test). Uji akar unit dilakukan dengan menggunakan metode Dicky Fuller (DF), dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : terdapat unit root (data tidak stasioner) H1 : tidak terdapat unit root (data stasioner)

-Jika nilai selang kepercayaan <5% dan nilai t statistik lebih besar dari nilai kritis MacKinnon pada level 1%, 5%, dan 10%, maka H0 ditolak

-Jika nilai selang kepercayaan >5% dan nilai t statistik lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon pada level 1%, 5%, dan 10%, maka H0 diterima

Tabel.5 Hasil Uji Stasioner Data Tingkat Level (α=5%)

Variabel DF t Statistik Mackinnon Prob Keterangan Inflasi -7,643012 -2,902953 0,0000 Stasioner Beras -2,157878 -2,902953 0,2234 Tidak Stasioner Cabai Merah -3,673400 -2,902953 0,0065 Stasioner Bawang Merah -3,701774 -2,902953 0,0060 Stasioner Telur Ayam -1,252712 -2,902953 0,6470 Tidak Stasioner Daging Ayam -4,087977 -2,902953 0,0019 Stasioner

Sumber : Pengolahan Data (2019)

35

Hasil dari uji ADF test pada tingkat level menunjukkan bahwa dari keenam variabel penelitian yang digunakan, terdapat empat variabel yang lulus dalam uji stasioner data . Dimana nilai t statistic ADF lebih besar dari nilai Mackinnon taraf uji 5% (H0 ditolak) antara lain, data inflasi, harga cabai merah, harga bawang merah dan harga daging ayam. Namun , terdapat dua data yang tidak stasioner, dimana nilai t statistic ADF lebih besar dari nilai Mackinnon taraf uji 5% (H0 diterima) antara lain, harga beras dan harga telur ayam.Oleh karena itu, perlu dilakukan uji derajat integrasi atau uji stasioner pada derajat difference sampai semua data variabel penelitian stasioner secara serempak.

Tabel.6 Uji Hasil Uji Stasioner Data Tingkat First Difference

Variabel DF t Statistik Mackinnon Prob Keterangan Inflasi -8,273239 -2,906210 0,0000 Stasioner

Beras -10,47773 -2,903566 0,0001 Stasioner

Cabai Merah -8,776910 -2,903566 0,0000 Stasioner Bawang Merah -9,282793 -2,903566 0,0000 Stasioner Telur Ayam -10,98113 -2,903566 0,0001 Stasioner Daging Ayam -7,663306 -2,,904198 0,0000 Stasioner

Sumber : Pengolahan Data (2019)

Hasil dari uji ADF test pada tingkat difference menunjukkan bahwa keenam variabel penelitian yang digunakan sudah stasioner, dengan nilai t statistik ADF lebih besar dari nilai Mackinnon tara uji 5% (H0 ditolak, data stasioner)

5.1.2 Hasil Uji Asumsi Klasik

Pengujian asumsi klasik umumnya dilakukan terhadap regresi yang memiliki 2 atau lebih variabel penjelas. Uji asumsi klasik ini terdiri dari beberapa pengujian yaitu Multikolinieritas (Multikol), Heteroskedastisitas (Hetero), Autokorelasi, dan Normalitas.

1. Multikoleniaritas

Uji multikolinieritas digunakan untuk mengetahui apakah ada hubungan atau korelasi diantara variabel independen. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi kolerasi diantara variabel independen .

Kriteria uji multikoleniaritas adalah sebagai berkut.

-Jika nilai centered VIF < 10 maka tidak terjadi multikoleniaritas -Jika nilai centered VIF > 10, maka terjadi multikoleniaritas.

Dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : terjadi multikoleniaritas H1 : tidak terjadi multikoleniaritas

Tabel 7. Hasil Uji Multikoleniaritas VIF (Variance Inflation Factor)

Variabel Coeffient

Harga Beras 4.817902 30783.54 1.337139

Harga Cabai Merah 0.128188 1019.680 1.329431

Harga Bawang Merah 0.245356 1939.077 1.176151

Harga Telur Ayam 0.191621 1330.676 1.142936

Harga Daging Ayam 1.844441 15162.12 1.326902

Sumber: Pengolahan Data (2019)

Hasil uji multikoleniaritas dengan menggunakan VIF (Variance Inflation Factor), nilai setiap variabel penelitian adalah lebih kecil dari 10, maka dapat disimpulkan H0 ditolak, tidak terjadi multikoleniaritas pada data penelitian.

2. Heterokedastisitas

Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Untuk pengambilan keputusan dalam uji heterokedastisitas pada uji Breuch Pagan Godfrey adalah sebagai berikut,

- Jika nilai Obs *R-Squared < ⍺, maka terjadi gejala heterokedastisitas

37

- Jika nilai Obs *R-Squared > ⍺, maka tidak tejadi gejala heterokedastisitas.

Dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : terjadi gejala heterokedastisitas H1 : tidak terjadi gejala heterokedastisitas

Berdasarkan hasil uji Breuch Pagan Godfrey diperoleh nilai Obs *R-Squared adalah 11.39037 dimana nilai tersebut lebih besar dari ⍺ (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak, data variabel tersebut tidak terjadi gejala heterokedastisitas.

3. Autokorelasi

Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya (t-1). . Untuk pengambilan keputusan dalam uji autokorelasi pada uji Breuch Godfrey adalah sebagai berikut,

-Jika nilai Prob. Chi Square < ⍺, maka terjadi autokorelasi -Jika nilai Prob. Chi Square > ⍺, maka tidak tejadi autokorelasi.

Dari hasil perhitungan uji autokorelasi Breuch Godfrey diperoleh nilai Prob Chi Square adalah 0.1817 dimana nilai Prob Chi-Square hasil uji Breusch-Godfrey lebih besar dari ⍺ (0,05). Dapat disimpulkan H0 ditolak, tidak terjadi autokorekasi pada varibel dalam penelitian ini.

4. Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Data berdistribusi normal atau tidak normal dapat diketahui dengan ketetuan

- Jika nilai probalility < α (5%), maka data tidak berdistribusi normal

-Jika nilai probability > α (5%), maka data berdistribusi normal.

Uji normalitas dengan menggunakan E-Views 9.0 dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : data tidak berdistribusi normal H1 : data berdistribusi normal

Dari hasil analisis diperoleh nilai statistik awal uji probablity Jarque-Bera sebesar 0.417342 nilai tersebut lebih besar dari ⍺ (5%), sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak, data yang digunakan telah berdistribusi normal.

5.1.3 Hasil Uji Partial Adjustment Model (PAM)

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis tentang pengaruh inflasi dalam jangka panjang dan jangka pendek dengan variabel dependen adalah nilai inflasi periode tahun 2013 sampai 2018 dan variabel independen harga beras, bawang merah, cabai merah, telur ayam, dan daging ayam pada tahun yang sama.

Berdasarkan hasil regresi dengan Partial Adjustment Model (PAM) , maka model ekonometrika yang didapatkan dalam jangka pendek adalah sebagai berikut.

Yt =

α

0 +

α

1X1 +

α

2X2 +

α

3X3 +

α

4X4 +

α

5X5 +

α

6Y(t-1) + Ut Tabel 8. Uji Partial Adjustment Model (PAM)

Variabel Coeffient Std.Error t-Statistic Prob

C 3.185456 19.07315 0.167013 0.8679

Harga Beras -3.618240 2.194972 -1.648422 0.1042 Harga Cabai Merah 1.045008 0.358033 2.918749 0.0048 Harga Bawang Merah 0.292588 0.495335 0.590688 0.5568 Harga Telur Ayam -0.501136 0.437746 -1.144810 0.2566 Harga Daging Ayam 2.077853 1.358102 1.529968 0.1310

Inflasi(-1) -0.045905 0.119884 -0382912 0.7031

Sumber: Pengolahan Data (2019)

Untuk penyesuaian jangka pendek, berdasarkan perhitungan penyesuaian pada Tabel diatas, maka diperoleh persamaan dan analisis sebagai berikut.

Yt = 3.185456 - 3.618240X1 + 1.045008X2 + 0.292588X3 – 0.501136X4 + 2.077853X5 - 0.045905Y(t-1) + Ut

39

Berdasarkan hasil regresi dengan Partial Adjustment Model (PAM) , maka persamaan dalam jangka panjang adalah sebagai berikut.

Yt = βo + β1X1 + β2X2 + β3X3 - β4X4 + β5X5 + Ut

Tabel.9 Hasil Estimasi Pengaruh Jangka Panjang

Variabel Rumus Jangka Panjang

C

α

0

= α

0

Untuk penyesuaian jangka panjang, berdasarkan perhitungan penyesuaian pada Tabel diatas, maka diperoleh persamaan dan analisis sebagai berikut.

Yt = 3.045645 - 3.459434X1 + 0.999142X2 + 0.279746X3 - 0.479141X4 + 1.986655X5 + Ut

Maka berdasarkan hasil uji Partial Adjustment Model (PAM) diperoleh hasil sebagai berikut .

Tabel 10. Hasil estimasi jangka pendek dan jangka panjang uji Partial Adjustment Model (PAM)

Variabel Jangka Pendek Jangka Panjang

Harga Beras -3.618240 -3.459434

Harga Cabai Merah 1.045008 0.999142

Harga Bawang Merah 0.292588 0.279746

Harga Telur Ayam -0.501136 -0.479141

Harga Daging Ayam 2.077853 1.986655

Inflasi(-1) -0.045905 -0.043890

Sumber : Pengolahan Data,2019

5.2 Pembahasan

5.2.1 Pengaruh Harga Beras Terhadap Inflasi

Tabel 11. Hasil Uji Partial Adjustment Model (PAM) Harga Beras

Sumber:Pengolahan Data,2019

Berdasarkan hasil regresi metode Partial Adjustment Model (PAM) yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa nilai koefisien jangka pendek harga beras terhadap inflasi sebesar -3.618240 dimana apabila terjadi kenaikan harga beras sebesar 1%

maka akan terjadi penurunan inflasi sebesar 3.618240% pada jangka pendek dan sebaliknya dengan anggapan bahwa variabel independen lainnya dianggap konstan (Ceteris paribus). Nilai koefisien jangka panjang harga beras terhadap inflasi sebesar - 3.459434 dimana apabila terjadi kenaikan harga beras sebesar 1% maka akan terjadi penurunan inflasi sebesar - 3.459434% pada jangka panjang dan sebaliknya dengan anggapan bahwa variabel independen lainnya dianggap konstan (Ceteris paribus).

Dalam jangka panjang elastistas harga beras terhadap inflasi di Kota Sibolga lebih baik. Sedangkan variabel harga beras berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap inflasi. Artinya, peningkatan harga beras tidak berpengaruh nyata terhadap

Variabel Jangka Pendek Jangka Panjang Probability

Beras -3.618240 - 3.459434 0.1042

41

nilai inflasi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai probability adalah 0.1042, dimana nilai probability lebih besar dari α(0,05).

Adapun variabel harga beras tidak sesuai dengan hipotesis penelitian karena variabel beras tidak berpengaruh signifikan terhadap inflasi di Kota Sibolga. Hal ini bertolak belakang dengan hasil penelitian Setiawan (2015), bahwa fluktuasi harga beras memiliki pengaruh terhadap keragaman inflasi di Provinsi Banten. Hal ini dikarenakan bahwa beras merupakan makanan pokok utama masyarakat di Indonesia, sehingga kenaikan harga beras tentu tidak akan menurunkan konsumsi beras ditengah- tengah masyarakat. Namun, kontribusi harga beras, beberapa tahun ini bisa dikatakan tidak terlalu andil peubahan nilai inflasi dikarenakan harga beras sendiri telah diatur oleh Pemerintah melalui permendag No. 57 Tahun 2017 tentang penetapan harga eceran tertinggi beras.

5.2.2 Pengaruh Harga Cabai Merah Terhadap Inflasi

Tabel 12. Hasil Uji Partial Adjustment Model (PAM) Harga Cabai Merah

Sumber: Pengolahan Data,2019

Berdasarkan hasil regresi metode Partial Adjustment Model (PAM) yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa nilai koefisien jangka pendek harga cabai merah terhadap inflasi sebesar 1.045008 dimana apabila terjadi kenaikan harga cabai merah sebesar 1% maka akan terjadi kenaikan inflasi sebesar 1.045008% pada jangka pendek dan sebaliknya dengan anggapan bahwa variabel independen lainnya dianggap konstan (Ceteris paribus). Nilai koefisien jangka panjang harga cabai merah terhadap inflasi sebesar 0.999142 dimana apabila terjadi kenaikan harga cabai merah sebesar 1% maka akan terjadi kenaikan inflasi sebesar 0.999142% pada

Variabel Jangka Pendek Jangka Panjang Probability

Cabai Merah 1.045008 0.999142 0.0048

jangka panjang dan sebaliknyadengan anggapan bahwa variabel independen lainnya

jangka panjang dan sebaliknyadengan anggapan bahwa variabel independen lainnya

Dokumen terkait