• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. LANDASAN TEORITIS

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan teori dan kerangka konseptual, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

H1 : Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh positif terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal.

H2 : Inflasi dapat memoderasi hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

Belanja modal adalah komponen belanja langsung dalam anggaran pemerintah yang menghasilkan output berupa aset tetap. Dalam pemanfaatan aset tetap yang dihasilkan tersebut, ada yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik atau dipakai oleh masyarakat (seperti jalan, jembatan, trotoar, gedung olah raga, stadion, jogging track, halte, dan rambu lalu lintas) dan ada yang tidak langsung dimanfaatkan oleh publik (seperti gedung kantor pemerintahan). Dalam perspektif kebijakan publik, sebagian besar belanja modal berhubungan dengan pelayanan publik, sehingga pada setiap anggaran tahunan jumlahnya semestinya relatif besar.

Namun, tidak selalu belanja modal berhubungan langsung dengan pelayanan publik. Beberapa proyek fisik menghasilkan output berupa bangunan yang sepenuhnya dinikmati oleh aparatur (birokrasi) atau satuan kerja yang tidak berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik. Sebagai contoh adalah belanja modal untuk pembangunan kantor Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) atau inspektorat daerah. Oleh karena itu, tidak tepat jika dikatakan bahwa belanja modal adalah belanja publik, atau sebaliknya, belanja publik adalah belanja modal. Pengaktegorian ke dalam belanja publik dan belanja aparatur mengandung bias dari aspek penggunaan makna fungsi belanja (outcome).

Pada prinsipnya alokasi belanja modal dibuat untuk menghasilkan aset tetap milik pemerintah daerah yang sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah dan atau

masyarakat di daerah bersangkutan. Dalam perspektif penganggaran partisipatif, keterlibatan masyarakat diharapkan dapat memberikan masukan penting dalam memilih aset tetap yang akan diperoleh dari pelaksanaan anggaran belanja modal. Penyediaan fasilitas publik yang sesuai dengan kebutuhan publik merupakan keniscayaan, bukan suatu pilihan.

Pada kenyataannya, praktik penganggaran belanja modal di pemerintah daerah cenderung bersinggungan dengan korupsi atau pencarian rente (rent-seeking) oleh para pembuat keputusan anggaran (budget actors). Setiap tahapan dalam penganggaran memang memiliki ruang untuk korupsi (Isaksen, 2005), namun korupsi dalam pengadaan aset tetap atau barang modal, terutama yang memiliki spesifikasi khusus, termasuk yang paling sering terjadi (Tanzi, 2001).

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penganggaran belanja modal adalah belanja ikutan setelah aset tetap diperoleh, yakni belanja operasional dan pemeliharaannya aset tetap bersangkutan. Untuk itu, perlu dilakukan penghitungan yang cermat agar nantinya tidak membebani anggaran berupa pengurangan atas alokasi anggaran untuk bidang/sektor lain (trade-off). Dalam ilmu ekonomi, trade-off yang besar akan menghasilkan kebijakan yang tidak optimal.

Dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sesedikit mungkin campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah, UU tersebut memberikan penegasan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya ke dalam belanja-belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan dan kemampuan daerah. Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas & Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai pedoman dalam pengalokasian sumber daya dalam APBD.

Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun, adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah yang ada di masyarakat.

Peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti infrastruktur dan peralatan sangat penting untuk meningkatkan produktivitas perekonomian karena semakin tinggi belanja modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian. Saragih (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal yang produktif seperti untuk melakukan aktivitas pembangunan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Darwanto dan Yustikasari (2006) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program–program

pelayanan publik. Kedua pendapat ini menyirat pentingnya mengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik.

Pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah karena memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat rencana keuangannya sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat berpengaruh pada kemajuan daerahnya. Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru yang akan memepengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004). Pembangunan ekonomi ini ditandai dengan meningkatnya produktivitas dan meningkatnya pendapatan per kapita penduduk sehingga terjadi perbaikan kesejahteraan. Kenyataan yang terjadi dalam pemerintah daerah saat ini adalah dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak selalu diikuti dengan peningkatan belanja modal hal ini dapat dilihat dari kecilnya jumlah belanja modal yang dianggarkan dibandingkan dengan total anggaran belanja daerah.

Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

Peningkatan PAD diharapkan meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik tetapi yang terjadi adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan hal ini disebabkan karena pendapatan asli daerah tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya, dimana persentasi belanja lainnya lebih besar daripada belanja modal itu sendiri. Jadi hal seperti inilah yang menyebabkan kualitas pelayanan publik tidak naik, melainkan bisa semakin menurun. Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai kegiatannya, maka dari itu menimbulkan ketimpangan fiscal antara satu daerah dengan lainnya. Untuk mengatasi hal ini pemerintah mengalokasikan dana dengan APBN sebagai sumbernya ini untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan dari pemerintah salah satunya adalan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahaan (UU 32/2004). Makan dengan adanya transfer dana pusat ini diharapkan pemerintah daerah bias mengalokasikan PAD yang didapatnyauntuk membiayai belanja modal didaerahnya.

Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004) . DAK ini penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat dan hanya digunakan untuk semua kegitan yang termasuk komponen belanja

modal dan Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan dana pendamoing sebesar 10% dari nilai DAK yang diterima untuk mendanai kegiatan fisik.

Dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk memilih Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai variabel independen penelitian karena variabel-variabel tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Selain itu, peneliti juga memilih Inflasi sebagai variabel moderating yang akan memperkuat atau memperlemah pengaruh variabel indepen terhadap variabel dependen.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Pentingnya belanja modal untuk meningkatkan pelayanan publik oleh Pemerintah Daerah maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara parsial dan simultan terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal? 2. Apakah Inflasi sebagai variabel moderating mampu memoderasi hubungan

antara Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan Pengalokasian Anggaran Belanja Modal?

1.3 TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Dokumen terkait