• Tidak ada hasil yang ditemukan

HISAB DAN RU’YAT

Dalam dokumen MEMAHAMI HAKEKAT TAUHID (Halaman 94-98)

Puasa Ramadlon termasuk aktivitas ibadah yang metode atau tatacaranya telah ditetapkan oleh Allah swt. Dengan kata lain ia adalah ibadah yang bersifat tauqifiy (ditentukan apa adanya oleh Allah). Manusia tidak boleh menetapkan sendiri metode maupun tata cara untuk beribadah kepada Allah; termasuk di dalamnya menentukan masuknya bulan Ramadlan dan Syawal. Untuk itu, syara’ telah menentukan cara menetapkan awal dan akhir Ramadlon.

Lalu, metode dan tata cara mana yang paling dekat dengan kebenaran al-Quran dan Sunnah dalam menentukan awal dan akhir Ramadlon? Hisab atau ru’yat? Mathla’

universal, atau mathla’ lokal?

Bila kita meneliti argumentasi hisab dan ru’yat, kita akan berkesimpulan, bahwa ru’yat adalah pendapat yang paling rajih.

Pertama, penganut hisab membangun argumentasi mereka dengan keumuman

ayat-ayat al-Quran, “Dialah yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan bercahaya, dan ditetapkan manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.”(10:5). Masih banyak lagi ayat yang mempunyai pengertian senada. ‘

Ayat ini dan ayat-ayat yang senada pengertiannya, tidak menunjukkan sama sekali perintah untuk memulai puasa Ramadlon dengan hisab. Ayat itu hanya berhubungan dengan kegunaan diciptakannya matahari, bulan, dan manzilah-manzilahnya (kedudukan), yakni untuk mengetahui bilangan tahun, dan waktu. Namun penganut hisab menyatakan bahwa puasa Ramadlon bisa ditetapkan dengan memperhatikan perjalanan bulan berdasar mafhum ayat ini. Mereka menyatakan bahwa, diciptakannya matahari dan bulan agar kita mengetahui bilangan tahun dan bulan. Atas dasar itu, kita juga bisa menentukan kapan mulai masuk bulan Ramadlan dengan cara perhitungan (hisab).

Pendapat ini lemah karena, pertama, ayat ini umum dan berlaku kaidah

‘umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Pada kasus penentuan awal Ramadlon, ada nash sharih yang menyatakan bahwa penentuan awal dan akhir Ramadlon harus berdasarkan ru’yat bukan dengan hisab. Riwayat ini merupakan pentakhshish keumuman ayat-ayat di atas. Rasulullah saw bersabda,

“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari". (HR. Bukhari Muslim).

"Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian ber-puasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah." (HR. Muslim).

Atas dasar itu, keumuman surat 10:5 dikususkan oleh hadits riwayat Bukhari dan Muslim tersebut. Padahal, kaedah ushul fiqh menyatakan, “wajib membawa umum menuju khusus bila ditemukan dalil yang lebih khusus”. Untuk itu mengamalkan dalil yang lebih khusus adalah kewajiban dan lebih utama.

Kedua, penganut hisab menetapkan keabsahan hisab bersandar kepada mafhum surat 10:5. Padahal ada nash sharih yang menjelaskan tentang ru’yat. Dalam kondisi seperti ini –mafhum bertemu dengan nash sharih--, menurut ‘ulama ushul, mafhum harus dikalahkan bila ada nash sharih yang menentangnya. Walhasil, mafhum bolehnya hisab yang diambil dari surat 10:5 harus ditinggalkan dan harus mengikuti hadits sharih riwayat Bukhari dan Muslim di atas.

Kedua, penganut hisab juga menyandarkan pendapatnya pada hadits riwayat Imam Bukhari, “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” Berdasar hadits ini mereka menyatakan bahwa ‘illat (sebab tasyri’) dilakukan ru’yat adalah karena saat itu kaum muslimin tidak mengetahui ilmu hisab.

Jika mereka telah mengetahui hisab tentunya hisab diperbolehkan untuk mengganti ru’yat. Pendapat inipun sebenarnya sangat lemah. Pertama, hadits ini berbentuk akhbariyyah, yakni hanya menceritakan kondisi kaum muslimin pada saat itu. Ditinjau dari arah manapun, ummi bukanlah ‘illah (sebab tasyri’) ru’yat. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa bila mereka tidak ummi lagi, mereka boleh menetapkan Ramadlon dengan hisab. Atas dasar itu, hadits ini tidak menunjukkan perintah kepada kaum muslimin untuk melakukan hisab, akan tetapi hanya pemberitahuan mengenai kondisi kaum muslim pada saat itu. Kedua, kebolehan hisab yang digali dari hadits inididasarkan pada mafhum hadits ini. Padahal mafhum bila bertentangan dengan nash yang sharih, “Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah."

(HR. Muslim), maka mafhum harus dikalahkan. Mafhum kebolehan hisab tentu akan bertentangan dengan makna sharih yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang berbicara

tentang rukyat.

Ketiga, penganut hisab juga menyandarkan pendapat mereka dengan hadits riwayat Imam Muslim,"Sesungguhnya bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian ber-puasa hingga melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah."

(HR. Muslim),

Mereka menyatakan bahwa “perkirakanlah” disini artinya hitunglah, yakni bolehnya menetapkan awal Ramadlon dengan hisab. Pendapat ini pun juga lemah.

Sebab, untuk menafsirkan kata “perkirakanlah”, maka kita harus melihat konteks hadits tersebut secara utuh, dan membandingkan dengan nash-nash hadits lainnya.

Jika kita perhatikan nash-nash hadits lain dapat disimpulkan bahwa “faqduruulahu”

(perkirakan), artinya adalah “sempurnakanlah bilangan bulannya.” Sebagaimana riwayat menyebutkan, "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari". (HR. Bukhari Muslim). "Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari".(HR. An Nasa’i) . Lebih jelas lagi bila kita membaca hadits riwayat Muslim, “Berpuasalah karena melihat bulan, dan berbuka puasalah karena melihat bulan, jika mendung, maka perkirakanlah (faqdurulah) (bulan Sya’ban) 30 hari.”

Dengan demikian,penafsiran yang tepat terhadap kata faqdurulahu adalah sempurnakan (faakmiluu) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, dan bukan menunjukkan bolehnya hisab. Dengan kata lain, jika kalian telah merukyat dan terhalang mendung maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Selain itu, seandainya makna “faqdurulah” adalah hisab, tentunya Rasulullah saw tidak akan menyatakan kalimat,”Jika kalian terhalang mendung.” Sebab, hisab tidak dipengaruhi ada mendung atau tidak.

Keempat, penganut hisab juga menyatakan bahwa kata “liru’yatihi”

(melihatnya), tidak melulu bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata

“ra’a”, dapat diartikan berpikir. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra’a, bisa diartikan dengan memikirkan, atau bisa diartikan bolehnya menetapkan awal Ramadlon dengan hisab. Pendapat ini juga lemah. Bila kita perhatikan keseluruhan nash hadits sangat jelas, bahwa ru’yat di sana berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab. "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari". (HR. Bukhari Muslim)."Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal), maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga puluh hari".(HR. An Nasa’i). Pada hadits itu juga ada kata, jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga pula hari”. Lafadz ini dengan jelas menunjukkan bahwa ru’yat dalam nash tersebut berarti melihat dengan mata telanjang, bukan hisab. Sebab bila lafadz ra’a diartikan dengan hisab, maka apakah mendung (awan) bisa mengganggu perhitungan?

Penafsiran itu juga akan bertentangan dengan sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” (HR. Bukhari).

Hadits ini menceritakan bahwa Rasulullah saw tidak melakukan hisab. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tafsir “liru’yatihi” adalah menghitung (bukan melihat dengan mata telanjang)? sedangkan Rasulullah saw tidak (bisa) melakukan hisab? Bukankah hadits di atas juga ucapan Rasul, dan terjadi pada masa Rasulullah? Dengan hak apa kita menafsirkan ucapan Rasulullah (ra’a) dengan hisab?

KRITIK ATAS MATHLA’

Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan). ‘Ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa bila satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 4 farsakh dari pusat ru’yat bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut.

Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yat sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain. Mereka menyandarkan alasan mereka dengan riwayat dari Kuraib, Diriwayatkan dari Kuraib bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, ‘Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadlan. Ibnu Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’

Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at’. Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’. Aku jawab lagi: ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya.

Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah’. Dia berkata lagi: ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilan-gan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya’. Aku lalu ber-tanya: ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’. Dia menjawab: ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami’." (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).

Hadits ini mereka gunakan sandaran keabsahan mathla’. Padahal bila kita meneliti lebih lanjut pendapat para penganut mathla’, kita akan dapatkan sesungguhnya pendapat mereka adalah lemah. Pertama, sebenarnya dalil yang mereka gunakan adalah ijtihad Ibnu Abbas, bukan hadits yang diriwayatkan secara marfu’. Walaupun hadits itu secara lafdziyyah seakan-akan menunjukkan marfu’, yakni perkataan Ibnu Abbas, “Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami’, namun bila kita bandingkan riwayat-riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sendiri, maka terlihatlah bahwa perkataan Ibnu Abbas itu adalah hasil ijtihad beliau sendiri. Ibnu Abbas sendiri banyak meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat dari Kuraib di atas. Semisal riwayat dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw, “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal. Dan janganlah kalian berbuka berpuasa (mengakhiri Ramadlan) hingga kalian melihatnya pula. Maka jika (pandangan) kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan sebanyak tiga puluh hari".(Hr. Bukhari Muslim).

Atas dasar itu, hadits dari Kuraib adalah ijtihad pribadi Ibnu Abbas. Ijtihad shahabat tidak layak digunakan dalil untuk menetapkan hukum.

Kedua, hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithab (seruannya) berlaku bagi seluruh kaum muslimin. Kata “shuumuu liru’yatihi” adalah lafadz umum.

Artinya, bila satu daerah telah melihat bulan, maka wilayah yang lain harus berpuasa karena hasil ru’yat daerah tersebut. Imam Syaukani menyatakan, "Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitab (pembicaraan) yang tertuju kepada siapa saja di antara kaum muslimin yang khitab itu telah sampai kepadanya."Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum muslimin telah melihatnya. Ru’yat penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum muslimin lainnya."

Imam Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain." [lihat pula

pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy; Fath al-Baariy; Bab Shiyaam].

Kedua, riwayat Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar itu, ia tidak bisa digunakan sebagai dalil atau apa pun untuk mentakhsis (mengkhususkan) keumuman lafadz yang terdapat dalam hadist “shuumuu liru’yatihi”.

Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syara’ harus dalil syara’ pula. Sehingga, hadist-hadist tersebut tetap dalam keumumannya. Sebagaimana kaidah ushul: "Sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya".

Ketiga, selain itu ijtihad Abdullah Ibnu Abbas ra. di atas bertentangan dengan makna yang shorih (eksplisit) hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor;

"Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka (kaum Muslimin) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya". (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm)

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yatul hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah Al Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah Al Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Kebolehan mathla’ juga akan bertentangan dengan riwayat Ibnu Abbas sendiri,

"Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad SAW kemudian berkata, ‘Sungguh saya telah melihat hilal’. Rasulullah bertanya, ‘Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya’. Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah Anda bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?’

Orang tersebut menjawab, ‘Ya’. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Wahai Bilal umumkan kepada manusia (masyarakat) agar mereka berpuasa besok." (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah & Ibnu Hiban)

Keempat, perbedaan mathla’ secara ‘aqli pun akan sangat janggal. Daerah yang terletak dalam satu bujur harusnya bisa memulai dalam waktu yang sama. Sebab, daerah yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda atau berselisih waktu. Namun, faktanya dengan adanya negara-negara bangsa, daerah-daerah yang terletak satu bujur memulai puasa tidaklah serentak, padahal secara astronomi harusnya bisa memulai puasa secara bersamaan. Selain itu, daerah yang terletak beda bujur, selisih waktu terjauh tidak sampai sehari. Jika demikian, tidak mungkin ada selisih waktu lebih dari sehari. Adanya mathla’ memungkin suatu daerah berbeda dengan daerah lain, meskipun secara astronomi harusnya tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat dalam memulai atau mengakhiri puasa Ramadlan.

Kenyataan seperti ini mengharuskan kita meninggalkan mathla’.

Kelima, dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan umat Islam seluruh dunia, kaum muslimin akan lebih arif memilih pendapat untuk serentak melakukan puasa Ramadlon di seluruh dunia. Harapannya, langkah semacam ini merupakan titik awal menuju persatuan umat Islam seluruh dunia.

Dalam dokumen MEMAHAMI HAKEKAT TAUHID (Halaman 94-98)