• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil skoring histologi testis ikan patin siam stadia juvenil (Tabel 4) menunjukkan bahwa perkembangan sel testis paling cepat ditunjukkan oleh

perlakuan 17α-metiltestosteron (D). Gambaran testis setiap minggu pengambilan data menunjukkan bahwa testis ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa mengalami perkembangan menuju kematangan, sedangkan pada perlakuan kontrol negatif (A) perkembangan terjadi sangat lambat dan masih pada tahap spermatogonia (bakal sel sperma) (Lampiran 5). Pada stadia calon induk perkembangan testis dinilai dari sebaran spermatozoa. Sebaran spermatozoa ikan uji perlakuan F maupun G menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan kontrol negatif (A). Pada minggu ke-8 sebaran spermatozoa ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa mencapai 75% sedangkan pada kontrol negatif sebaran spermatozoa dibawah 50%.

Tabel 4. Skoring tahap perkembangan sel testis ikan patin siam stadia juvenil dan calon induk yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa melalui pakan selama delapan minggu (A dan E: kontrol negatif; B dan F: ECJ 37,5 mg kg ikan -1 hari-1; C dan G: ECJ 187,5 mg kg ikan-1 hari-1; D dan H: 17α -metiltestosteron 50 µg kg ikan-1 minggu-1)

Stadia Perlakuan Minggu ke-

0 2 4 6 8 Juvenil A 0 0 0 0 0 B 0 0 1 1 2 C 0 0 0 1 1 D 0 1 1 2 2 a a a ab a a a a b a a b b b b a a a a a 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 0 2 4 6 8 T es tost er on ( ngml -1) Minggu ke-E F G H b)

16 Calon Induk E 3 4a 4a 4b 4b F 3 4a 4b 4c 4c G 3 4b 4b 4c 4c H 3 4b 4c 4c 4d Keterangan:

0 = Tahap spermatogonia, belum terjadi spermatogenesis

1 = Spermatogenesis tahap awal, telah terbentuk spermatosit primer 2 = Telah terbentuk spermatosit sekunder

3 = Perkembangan sel telah mencapai spermatid

4 = Sudah terbentuk spermatozoa (a) 0,1-24,9%; b) 25,0-49,9%; c) 50,0-74,5% d) 75,0-100%)

7. Kualitas Sperma

Kepadatan sperma ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa dan 17α -metiltestosteron lebih padat dibandingkan kontrol negatif (p<0,05) sejak minggu ke-4 (Tabel 5). Hasil tersebut selaras dengan hasil pengukuran kadar spermatokrit sperma ikan uji. Kadar spermatokrit meningkat pada perlakuan ekstrak cabe jawa

dan 17α-metiltestosteron dan menunjukkan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol negatif (E) (p<0,05). Perlakuan ekstrak cabe jawa baik dosis tinggi maupun dosis rendah dan 17α-metiltestosteron (H) memiliki durasi motilitas sperma yang lebih lama dibandingkan kontrol negatif (E) (p<0,05). Sperma perlakuan ekstrak cabe jawa mampu motil lebih dari 5 menit sedangkan sperma ikan kontrol negatif hanya 2,4 menit (Tabel 5). Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume sperma yang dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan bobot testis. Volume sperma ikan yang diberi perlakuan cabe jawa (G)

dan 17α-metiltestosteron (H) lebih tinggi daripada kontrol negatif pada minggu ke-4, 6, dan 8 (p<0,05). pH sperma ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa,

17α-metiltestosteron, maupun kontrol negatif memiliki kisaran antara 8 hingga 9. Tabel 5. Kualitas sperma calon induk patin siam yang diberi perlakuan ekstrak cabe

jawa melalui pakan pada minggu ke-2 hingga ke-8 (E: kontrol negatif; F: ECJ 37,5 mg kg ikan-1 hari-1; G: ECJ 187,5 mg kg ikan-1 hari-1; H: 17α -metiltestosteron 50 µg kg ikan-1 minggu-1)

Minggu Perlakuan

Kualitas Sperma Kepadatan

pH Volume Spermatokrit Motilitas

(x109ml-1) (ml) (%) (detik) ke-2 E 40,83±3,82a 8-9 0,41±0,29a 60,50±9,98a 146,00±39,69a F 36,67±1,44a 8-9 0,98±0,13b 66,81±2,13a 135,33±17,93a G 39,17±3,82a 8-9 0,65±0,10a 59,27±4,96a 101,00±14,00a H 48,33±3,82b 8 0,48±0,03a 57,41±4,79a 139,67±35,73a ke-4 E 40,00±2,50a 8 0,72±0,24a 65,67±2,51a 272,33±33,84b F 50,83±5,20b 8 1,29±0,09b 73,81±4,76ab 192,67±27,39a G 50,83±1,44b 8-9 1,63±0,28c 73,69±5,78ab 263,75±36,25b H 68,33±6,29c 8-9 1,18±0,21b 75,52±5,28b 304,83±40,83b

17 ke-6 E 57,08±1,91a 8 1,10±0,10a 74,91±6,96a 262,67±23,67a F 69,44±2,41b 8-9 1,30±0,10a 76,14±5,92a 270,75±18,25a G 56,67±3,82a 8-9 1,82±0,18b 71,79±3,74a 277,17±31,08a H 70,00±4,33b 8-9 1,88±0,20b 78,36±2,80a 382,75±30,75b ke-8 E 60,00±3,31a 8-9 1,15±0,15a 75,25±5,01a 146,00±13,00a F 69,17±1,61b 8-9 1,74±0,21b 74,32±2,35a 330,00±37,51b G 71,39±2,10b 8-9 2,84±0,23b 71,44±3,27a 302,67±14,51b H 76,25±2,17c 8 2,95±0,20c 88,47±9,71b 385,00±32,00c

Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (p<0,05). Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata dan simpangan baku.

Pembahasan

Penggunaan ekstrak tanaman obat pada hewan budidaya mulai banyak diaplikasikan karena mulai terjadi peralihan penggunaan bahan sintetis menjadi bahan-bahan alami. Tanaman obat digunakan bukan hanya pada aspek kesehatan hewan budidaya namun telah digunakan hingga aspek nutrisi pakan dan juga reproduksi. Tanaman obat yang digunakan dalam aspek reproduksi umumnya bersifat aprodisiaka, androgenik, maupun estrogenik. Melnyk & Marcone (2011) menyatakan bahwa aprodisiaka berfungsi untuk meregangkan jaringan otot polos corpus covernosum pada hewan, meningkatkan kualitas ereksi, serta dapat meningkatkan perilaku seksual pada manusia dan hewan. Telah banyak penelitian yang menunjukkan efek positif aprodisiaka dalam peningkatan performa reproduksi, namun penelitian lanjutan mengenai mekanisme kerja dari aprodisiaka masih sangat dibutuhkan. Penggunaan tanaman obat untuk peningkatan kesuburan induk betina lele afrika (Clarias gariepinus) dilakukan dengan pengaplikasian ekstrak Garcinia kola (Dada & Ajilore 2009) dan Kigelia africana (Dada et al. 2010). Manipulasi hormonal dalam pemijahan buatan (induced breeding) juga dilakukan pada induk betina lele afrika dengan menggunakan Ageratum conyzoides

(Apeh 2011) dan Terminalia superba (Oduyebo 2011). Selain itu, pengaplikasian tanaman obat pada induk jantan lele afrika (C. gariepinus) juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas sperma dengan menggunakan koro benguk (Mucuna pruriens) (Dada & Ogunduyile 2011) dan Kigelia africana (Adeparusi et al. 2010). Menurut Adedeji et al. (2006), penggunaan tanaman obat mulai diteliti dan dikembangkan karena tanaman obat memberikan efek yang sedikit bahkan tidak memiliki efek samping sama sekali. Minimnya efek samping yang disebabkan oleh tanaman obat cabe jawa pada penelitian ini dibuktikan dengan kelangsungan hidup dan bobot tubuh ikan uji yang tidak berbeda pada semua perlakuan (p>0,05) (Gambar 2 dan 3). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak cabe jawa yang diberikan tidak berpengaruh terhadap metabolisme ikan uji. Menurut Wahyoedi et al. (2004) berdasarkan hasil uji toksisitas akut (LD-50) tidak ditemukan kelainan yang spesifik dan gejala lain pada hati, jantung, ginjal, usus, lambung, testes maupun ovarium anak ayam sebagai akibat pemberian ekstrak etanol cabe jawa. Penelitian yang dilakukan oleh Isnawati et al. (2002) menunjukkan bahwa ekstrak buah cabe jawa yang diuji dengan metoda Ames tidak memperlihatkan adanya efek mutagenik pada bakteri uji sehingga aman untuk dikonsumsi. Selain itu, kombinasi

18

DMPA (Depot Medroksiprogesteron Asetat) dan ekstrak cabe jawa tidak mempengaruhi berat badan, hematologi, dan biokimia darah tikus (Yurnadi et al. 2011).

Selain parameter kelangsungan hidup dan bobot tubuh, penimbangan bobot testis juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstak cabe jawa terhadap ikan uji. Bobot testis ikan baik stadia juvenil maupun calon induk meningkat pada setiap sampling yang dilakukan. Bobot testis ikan uji yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa dan 17α-metiltestosteron lebih tinggi daripada kontrol negatif (p<0,05) baik ikan stadia juvenil maupun calon induk (Gambar 4). Bobot testis tertinggi pada ikan stadia juvenil ditunjukkan pada perlakuan 17α -metiltestosteron (kontrol positif). Bobot testis perlakuan B (ECJ 37,5 mg kg ikan-1 hari-1) menunjukkan hasil yang sama dengan perlakuan 17α-metiltestosteron (p>0,05). Berbeda dengan hasil yang ditunjukkan oleh ikan stadia juvenil, bobot testis pada ikan stadia calon induk tertinggi ditunjukkan pada perlakuan G (ECJ 187,5 mg kg ikan-1 hari-1). Perlakuan G menunjukkan bobot testis yang lebih tinggi daripada kontrol negatif (tanpa perlakuan) (p<0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak cabe jawa menyebabkan peningkatan bobot testis yang lebih tinggi daripada kontrol negatif. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahjoedi et al. (2004) pada anak ayam yang diberi perlakuan ekstrak etanol cabe jawa yang menunjukkan adanya respon androgenik yang ditandai dengan peningkatan bobot jengger hewan uji. Pertambahan bobot testis hewan uji menandakan bahwa terjadi perkembangan testis. Menurut Cerda et al.

1996, peningkatan bobot testis berhubungan erat dengan proses spermatogenesis. Spermatogeniesis merupakan proses perkembangan spermatogonium menjadi spermatid (Fujaya 2004).

Berbanding lurus dengan nilai dari bobot testis yang didapatkan, GSI setiap perlakuan mengalami peningkatan yang signifikan. Nilai GSI tertinggi pada ikan stadia juvenil ditunjukkan oleh perlakuan D (kontrol positif) yaitu sebesar 0,45±0,06 (Gambar 5a). Setelah dilakukan uji lanjut Duncan nilai GSI pada ikan stadia juvenil, perlakuan B (ECJ 37,5 mg kg ikan-1 hari-1) menunjukkan hasil yang

sama dengan perlakuan D (17α-metiltestosteron) (p>0,05). Sedangkan pada ikan stadia calon induk, semua perlakuan ekstrak cabe jawa (F dan G) serta kontrol positif (H) menunjukkan GSI yang lebih tinggi daripada kontrol negatif (p<0,05). Berdasarkan Gambar 5b, nilai GSI tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan G (ECJ 187,5 mg kg ikan-1 hari-1) yaitu sebesar 5,40±1,04. Menurut Tang & Affandi (2001), selama proses reproduksi pertambahan bobot gonad ikan jantan mencapai 5-10% dari bobot tubuh ikan. Nilai GSI pada ikan patin mekong raksasa (Pangasianodon gigas) saat matang gonad sebesar 2,12%, sedangkan saat belum matang gonad sebesar 0,05% (Meng-umphan et al. 2004). Pada ikan baung (Hemibargus nemurus), GSI berkisar antara 1,14±0,02% hingga 7,06±1,40% (Adebiyi et al. 2012). Menurut Zeyl et al. (2014), nilai GSI telah menjadi protokol standar dalam memilih ikan dalam proses reproduksi. Nilai GSI juga dapat dijadikan estimasi untuk kematangan gonad dan pemijahan pada banyak spesies. GSI akan terus meningkat seiring dengan pematangan gonad ikan dan akan mencapai nilai maksimal ketika periode puncak kematangan gonad (Nandikeswari & Anandan 2013).

Konsentrasi testosteron darah yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol negatif (p<0,05) baik ikan stadia juvenil

19

maupun calon induk (Gambar 6). Konsentrasi testosteron darah ikan stadia juvenil (Gambar 6a) pada perlakuan B (ECJ 37,5 mg kg ikan-1 hari-1) lebih tinggi daripada perlakuan A (kontrol negatif) (p<0,05). Hasil serupa juga ditunjukkan oleh ikan stadia calon induk (Gambar 6b), perlakuan G (ECJ 187,5 mg kg ikan-1 hari-1) menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan A (kontrol negatif) (p<0,05). Berdasarkan penelitian Moeloek et al. (2010), ekstrak cabe jawa pada dosis 100 mg/hari dapat meningkatkan kadar testosteron darah 78% pasien hipogonad hingga 2 kali lipat pada hari pertama perlakuan. Namun, konsentrasi testosteron darah akan turun ke nilai awal (base line) setelah penghentian pemberian. Hal ini disebabkan ekstrak cabe jawa berpengaruh secara spontan dan memiliki daya tinggal (duration of action) yang singkat. Selain itu, pemberian piperin dan fraksi tak larut heksan bebas piperin ekstrak etanol buah cabe jawa dapat meningkatkan kadar testosteron darah pada tikus putih jantan (Muslichah 2011).

Peningkatan konsentrasi testosteron tersebut diduga karena ekstrak cabe jawa bersifat atau bertindak sebagai fitofarmaka androgenik yang dapat meningkatkan kadar testosteron darah (Moeloek et al. 2010). Senyawa alkaloid pada cabe jawa yang diduga memiliki efek androgenik adalah piperin. Dada & Ogunduyile (2011) menyatakan bahwa alkaloid dapat menstimulasi sekresi hormon testosteron untuk memenuhi ketersediaan di gonad. Disamping piperin, cabe jawa mengandung sitosterol (termasuk senyawa sterol) yang merupakan kolesterol khas tumbuhan (fitosterol) yang dapat digunakan sebagai prekursor hormon steroid. Tremblay & Kraak (1998) menyatakan bahwa reseptor androgen dan estrogen pada hewan dapat mengikat fitosterol, sehingga dapat mempengaruhi seks rasio, gonad, dan hormonal (Hewit et al. 2008). Yurnadi et al. 2006 menyatakan bahwa senyawa sitosterol yang terkandung dalam buah cabe jawa bekerja sebagai tonik seksual pada sistem hormonal tikus. Pada dosis yang rendah, diduga senyawa sitosterol dapat mengaktifkan poros hipotalamus-hipofisis-testis melalui mekanisme umpanbalik (feedback) positif. Kondisi tersebut akan menstabilkan proses spermatogenesis dan berakibat terjadinya peningkatan konsentrasi spermatozoa.

Histologi gonad merupakan metode yang dapat memberikan gambaran langsung tahap perkembangan gamet pada gonad (Lowerre-Barbieri et al. 2010). Perkembangan testis (spermatogenesis) sangat berkaitan dengan konsentrasi testosteron darah. Hafez et al. (2000) menyatakan bahwa hormon utama yang berperan dalam sistem reproduksi jantan adalah hormon testosteron. Secara umum hormon ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan spermatogonium, perkembangan spermatosit primer dan sekunder serta diferensiasi spermatosit menjadi sperma atau dengan kata lain hormon testosteron berperan utama dalam spermatogenesis. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi testosteron darah maka status sel testis semakin matang. Pada ikan stadia juvenil, hasil histologi testis menunjukkan bahwa perkembangan sel testis ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa 37,5 mg kg ikan-1 hari-1 lebih cepat daripada kontrol negatif (Tabel 4). Perlakuan tersebut

menunjukkan hasil yang sama dengan perlakuan kontrol positif (17α -metiltestosteron) sejak minggu keempat perlakuan. Gambaran testis setiap minggu pengambilan data menunjukkan bahwa testis ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa dan kontrol positif (17α-metiltestosteron) mengalami perkembangan menuju kematangan. Sedangkan, perkembangan testis ikan kontrol negatif terjadi

20

sangat lambat dan masih pada tahap spermatogonia (bakal sel sperma) (Lampiran 5). Hasil yang selaras juga ditunjukkan pada hasil pembacaan histologi testis ikan stadia calon induk. Spermatozoa ikan uji mulai terbentuk pada minggu kedua penelitian. Sebaran spermatozoa ikan uji yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa baik dosis rendah (F) maupun dosis tinggi (G) menunjukkan hasil yang yang lebih tinggi daripada kontrol negatif sejak minggu ke-4. Sebaran spermatozoa ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa mencapai 75% pada minggu kedelapan sedangkan pada kontrol negatif sebaran spermatozoa dibawah 50% (Tabel 4; Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa cabe jawa yang mengandung alkaloid, diduga dapat meningkatkan testosteron darah yang dapat memacu pembentukan

spermatozoa dan memiliki efek yang sama dengan 17α-metiltestosteron dalam perkembangan spermatozoa ikan uji.

Evaluasi kualitas sperma pada ikan budidaya diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dalam fertilisasi telur terutama pada pemijahan buatan. Kualitas sperma pada ikan sangat dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik serta sangat bergantung pada faktor genetik, fisiologi, dan juga faktor lingkungan (Rurangwa et al. 2004). Parameter kualitas sperma yang umumnya diukur untuk penilaian performa reproduksi antara lain: kepadatan sperma, pH sperma, volume sperma, kadar spermatokrit, dan motilitas sperma. Kepadatan sperma tertinggi ditunjukkan pada pengamatan minggu ke-8 (Tabel 5). Perlakuan yang diberikan pada ikan uji baik

ekstrak cabe jawa (F dan G) maupun 17α-metiltestosteron (H) menunjukkan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol negatif (p<0,05). Hasil tersebut selaras dengan hasil pengukuran kadar spermatokrit sperma ikan uji. Hasil persentase dari perbandingan antara padatan sperma dengan cairan sperma tersebut meningkatkan pada perlakuan ekstrak cabe (F dan G) jawa dan 17α -metiltestosteron (H) dan menunjukkan nilai yang lebih tinggi daripada kontrol negatif (E) (p<0,05). Kadar spermatokrit dapat digunakan sebagai indikator kekentalan sperma. Jika nilai spermatokrit tinggi maka dapat disimpulkan bahwa cairan sperma tersebut bersifat kental sehingga memiliki padatan spermatozoa yang lebih banyak dibandingkan dengan cairan seminalnya. Kadar spermatokrit yang rendah menunjukkan cairan sperma tersebut memiliki kandungan padatan spermatozoa yang lebih sedikit dibandingkan dengan cairan seminalnya.

Motilitas sperma merupakan indikator kualitas sperma yang paling umum digunakan karena motilitas yang baik merupakan prasyarat pembuahan dan berkorelasi erat dengan keberhasilan pembuahan (Rurangwa et al. 2004). Namun, keberhasilan pembuahan juga sangat tergantung pada kualitas telur yang dibuahi. Interaksi antara telur dan cairan semen juga memiliki pengaruh tersendiri terhadap keberhasilan pembuahan (Adewumi et al. 2005). Pada kebanyakan ikan air tawar, durasi motilitas sperma umumnya hanya mencapai 2 menit dan sperma sangat aktif bergerak 30 hingga 35 detik (Kime et al. 2001). Selain itu, sperma ikan air tawar umumnya memiliki durasi motil yang lebih singkat daripada ikan laut (Rurangwa

et al. 2004). Menurut Lahnsteiner et al. (1983), respon rangsangan aktivitas spermatozoa tergantung pada pH, tekanan osmotik, dan kandungan ion (sodium dan kalium) pada medium yang mengelilinginya. Ciereszko & Dabrowski (1994), menyatakan bahwa aktifitas enzim Aspartate Aminotransferase (AspAT) memiliki korelasi positif terhadap motilitas sperma dan pembuahan telur. Panjang pendeknya ukuran ekor sperma juga dapat menentukan keaktifan sperma dalam bergerak. Semakin panjang ekor sperma maka semakin aktif sperma tersebut bergerak

21

(Affandi dan Tang 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa durasi motilitas sperma terlama ditunjukkan pada minggu ke-8. Durasi motiltas sperma ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa (F dan G) lebih lama daripada kontrol negatif (p<0,05). Sperma perlakuan ekstrak cabe jawa (F dan G) mampu motil hingga melebihi 5 menit sedangkan durasi motilitas sperma ikan kontrol negatif hanya mencapai 2,4 menit (Tabel 5). Hal ini menunjukkan bahwa sperma ikan yang diberi perlakuan cabe jawa memiliki performa yang lebih baik daripada sperma ikan yang tidak diberikan perlakuan apapun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume sperma yang dihasilkan meningkat seiring dengan peningkatan bobot testis. Volume sperma ikan yang diberi perlakuan cabe jawa (F dan G) menunjukkan nilai yang lebih tinggi daripada kontrol negatif pada minggu ke-4, 6, dan 8 (p<0,05). Hal ini membuktikan bahwa ekstrak cabe jawa yang dapat meningkatkan kadar testosteron mengakibatkan peningkatan volume sperma yang dihasilkan. Fujaya (2004) menyatakan bahwa testosteron dan 11-ketotestosteron menyebabkan spermatogenesis dan spermiogenesis pada ikan.

pH sperma juga memiliki pengaruh terhadap kualitas sperma serta kualitas pembuahan telur. Billard & Cossom (1992) menyatakan bahwa pH dibawah 7,8 dapat menyebabkan penghambatan motilitas sperma. pH optimal untuk sperma ikan berkisar antara 8,0 hingga 8,2 (Lahnsteiner et al. 1998). Meskipun pH sperma ikan yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa memiliki kisaran antara 8 hingga 9 tetapi kisaran pH sperma tersebut menunjukkan hasil yang sama dengan kontrol negatif (tanpa pemberian perlakuan). Hal ini menunjukkan bahwa pH sperma yang diberi perlakuan ekstrak cabe jawa masuk dalam kisaran normal meskipun bukan dalam kisaran optimum.

Dokumen terkait