• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIV/AIDS

Dalam dokumen Hubungan Kadar CD4 (Halaman 38-46)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS

2.1.1. Definisi 2.1.1.1.Definisi HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus dari famili le ntivirus dari retrovirus hewan. Istilah HIV telah digunakan sejak 1986 sebagai nama untuk retrovirus yang diusulkan pertama kali sebagai penyebab AIDS oleh Luc Montagnier dari Perancis, yang awalnya menamakannya LAV ( lymphadenopathy-associated virus) dan oleh Robert Gallo dari Amerika Serikat, yang awalnya menamakannya HTLV-III (human T lymphotropic virus type III ) (Puraja, 2008).

Dikenal dua tipe HIV, yaitu HIV -1 yang ditemukan pada tahun 1983, dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di Afrika Barat. Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV -1, sedangkan HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.

2.1.1.2.Definisi AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus).

Penyakit ini dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus yang bersifat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan limfoma primer di otak. Dengan ditegakkannya penyakit -penyakit tersebut, meskipun hasil pemeriksaan laboratorium untuk infeksi HIV belum dilakukan atau tidak dapat

diambil kesimpulan, maka diagnosis AIDS telah dapat ditegakkan (Kapita Selekta Kedokteran, 2000).

2.1.2. Diagnosis HIV/AIDS

Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:

1. Cara langsung, yaitu isolasi virus dari sampel. Umumnya dapat menggunakan mikroskop elektron dan deteksi antigen virus adalah dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Penggunaan PCR antara lain untuk:

 Tes HIV pada bayi karena zat anti dari ibu masih ada pada bayi sehingga menghambat pemeriksaan serologis.

 Menetapkan status infeksi pada individu serokonversi

 Tes pada kelompok resiko tinggi sebelum terjadi serokonversi  Tes konfirmasi untuk HIV 2 sebab sensitivitas ELISA untuk HIV

-2 rendah

2. Cara tidak langsung, yaitu dengan melihat respons zat anti spesifik. Tes, misalnya:

 ELISA, sensitivitasnya tinggi (98. 1-100%). Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot.

Western blot, spesitifitas tinggi (99.6-100%). Namun, pemeriksaan ini cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Mutlak diperlukan untuk konfirmasi hasil pemeriksaan ELISA positif.

Immunofluorescent assay (IFA)

Radioimmunopraecipitation assay (RIPA) Menurut WHO, HIV terbagi atas 4 derajat, yaitu:

 Derajat I

2. Persistent generalized lymphadenopathy 3. Acute retroviral seroconvertion syndrome

Gejala : demam, radang tenggorokan, sakit kepala, ruam kulit, nyeri otot, hasil belum menunjukkan HIV (+)

 Derajat II

Gejala : berat badan menurun <10%, minor mucocutaneous manisfestation, e.g.prurigo, fungal nail, oral ulceration, herpes zoster, Infeksi Saluran Nafas Atas berulang

 Derajat III

Gejala : bergejela tetapi aktivitas masih normal, berat badan menu run >10%, kronik diare tidak jelas penyebabnya >1 bulan, oral candidiasis, oral hair leukopenia, pulmonary TB, infeksi bakteri berat: pneumonia, pyomyositis.

 Derajat IV

Gejala : berkembang penyakit -penyakit seperti penyakit saraf, infeksi oportunistik, keganasan/neoplasma: lymphoma dan Kaposi’s sarcoma, HIV encephalopathy, extrapulmonary TB.

2.1.3. Struktur HIV

Partikel virus HIV-1 yang berdiameter sepesepuluhribu mm (0.1µm) diselubungi oleh dwilapis fosfolipid seperti halnya membran sel pada umumnya. Kond isi ini memberikan kemudahan terjadinya fusi antara kedua membran. Selubung virus tersebut dilengkapi dengan tonjolan -tonjolan protein pada seluruh permukaan seperti jeruji. Pada setiap ujung luar dilengkapi dengan struktur berbentuk bulat telur seperti to mbol pintu dengan sebuah cekungan. Bagian protein yang menembus selubung virus sampai ke bagian dalam berbentuk batang. Seluruh bangunan protein tersebut disebut gp160, karena berat molekulnya 160, dan bagian yang berbentuk bulat telur disebut gp120 yang melanjutkan struktur seperti batang dalam selubung menjadi gp41. Di sebelah dalam selubung luar virus dilengkapi dengan selubung protein (kapsid). Di bagian tengah virus terdapat “inti” yang terdiri atas substansi genetik berbentuk dua untaian RNA dengan enzimreverse transcriptase(Subowo, 2010).

Gambar 2.1. Struktur HIV Sumber: Castillo, 2005

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah mo lekul CD4+ pada permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4+ saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4+, tapi dapat diinfeksi oleh HIV yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkiraka n merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus kedalam sel. Di samping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya HIV ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4 (Nasronudin, 2007 ).

Gambar 2.2. Patofisiologi HIV Sumber: Castillo, 2005

2.1.5. Daur hidup HIV

Menurut Subowo pada tahun 2010, daur hidup HIV -1 dapat dibedakan dalam 4 tahap :

1. Tahap masuknya virus dalam sel.

2. Tahap transkripsi mundur dan integrasi genom.

3. Tahap replikasi (memperbanyak diri di dalam sel inang). 4. Tahap perakitan dan pendewasaan virus.

2.1.6. Faktor Risiko HIV

Menurut WHO pada tahun 2011, ada beberapa per ilaku hidup yang menghasilkan risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya infeksi HIV, antara lain :

1. Hubungan seksual tanpa pelindung secara vaginal maupun anal.

2. Infeksi menular seksual lain seperti syphilis, herpes, chlamydia, gonorrhoea, dan vaginosis bakterial.

3. Menggunakan jarum bekas dan peralatan medis lain yang mengandung HIV. 4. Menerima injeksi yang tidak ama n, transfusi darah, prosedur medis yang tidak

steril.

5. Tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja pada tenaga medis.

2.1.7. Cara Penularan HIV

Awal infeksi biasanya terjadi dengan cara paparan cairan tubuh yang berasal dari orang yang terinfeksi HIV. Virus HIV ditemukan sebagai partikel virus yang bebas dan terdapat dalam sel yang terinfeksi, dalam semen, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Jalan penularan yang paling diketahui di seluruh dunia adalah melalui persetubuhan. Penggunaan jarum suntik bekas ya ng tercemar oleh HIV pada orang -orang yang menggunakan obat -obatan intravena, dan penggunaan darah atau produknya untuk tujuan pengobatan, juga merupakan cara infeksi yang biasa terjadi. Rute lain yang penting dalam penularan HIV yaitu berasal dari ibu yan g terinfeksi HIV kepada anaknya. Ibu-ibu tersebut dapat menularkan HIV kepada anaknya ketika mereka

melahirkan atau melalui pemberian ASI (Subowo, 2010). HIV juga dapat menular pada janin melalui ari-ari (plasenta) (Depkes, 2008).

HIV tidak dapat menular melalui kegiatan seperti gigitan serangga, bersalaman, bersentuhan, berpelukan bahkan beciuman, menggunakan peralatan makan bersama, menggunakan jamban bersama, bahkan tinggal serumah dengan orang yang terpapar HIV (Depkes, 2008).

Berbagai kegiatan yang dapat mengakibatkan penularan HIV antara lain :

1. Berhubungan seks baik secara anal maupun vaginal tanpa menggunakan pengaman dengan pasangan terinfeksi HIV.

2. Transmisi ibu terinfeksi HIV ke anak pada masa kehamilan, melahirkan dan menyusui.

3. Transmisi melalui transfusi darah yang terinfeksi HIV.

4. Penggunaan jarum suntik secara bersama -sama, tattooing, peralatan skin piercing, dan peralatan-peralatan operasi (WHO, 2011).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2010), cara penularan terbanyak adalah melalui hubungan heteroseksual (51.3%), Injection Drug User atau pengguna Narkoba suntik/Penasun (39.6%), Lelaki Seks Lelaki (3.1%), dan perinatal atau dari ibu pengidap kepada bayinya (2.6%).

2.1.8. Imunopatogenesis Penyakit AIDS

Menurut Subowo (2010), mekanisme merosotnya jumlah sel -sel CD4+misalnya dapat disebabkan karena :

1. HIV dapat menyerang, membunuh ataupun melumpuhkan sel -sel CD4+ yang sangat dibutuhkan untuk pemekaran cadangan limfoid CD4+.

2. Merosotnya jumlah sel -sel CD4+ dapat pula disebabkan oleh adanya sekresi substansi toksik terhadap sel TCD4+, yang diinduksi oleh HIV terhadap sel CD4+tertentu.

3. Telah dibuktikan pula bahwa pro tein selubung virus (gp120) yang berada pada permukaan sel inang yang telah diinfeksi HIV akan berikatan dengan molekul CD4+pada sel-sel tubuh yang tidak diinfeksi. Reaksi antara 2 molekul tersebut akan mengakibatkan berfusinya membran sel inang yang tidak terinfeksi sehingga terbentuklah sinsitium atau sel datia multinuclear yang mengandung HIV. Terbentuknya sel datia tersebu t diikuti oleh sitolisis yang mengakibatkan kematian sel dalam waktu yang sangat pendek.

4. Fenomena autoimunitas dengan maksud melenyapkan sel -sel CD4+ yang mengikat molekul gp120 bebas.

2.1.9. Penatalaksanaan HIV/AIDS

Tujuan pengobatan penderita dengan pen yakit defisiensi imun umumnya adalah untuk mengurangi kejadian dan dampak infeksi seperti menjauhi subyek dengn penyakit menular, memantau penderita terhadap infeksi, menggunakan antibiotik/antiviral yang benar, imunisasi aktif atau pasif bila memungkinkan dan memperbaiki komponen sistem imun yang detektif dengan transfer pasif atau transplantasi (Baratawidjaja, 2009).

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan obat efektif. Siklus virus HIV menunjukkan beberapa titik rentan yang diduga d apat dicegah obat antiviral. Ada 2 jenis obat antivirus yang digunakan untuk mengobati infeksi HIV dan AIDS. Analog nukleotide mencegah aktivitas reverse transcriptase seperti timidine-AZT, dideoksinosin dan dideoksisitidin yang dapat mengurangi kadar RNA HIV dalam plasma. Biasanya obat-obat tersebut tidak berhasil menghentikan progres penyakit oleh karena timbulnya bentuk mutasi reverse transcriptase yang resisten terhadap obat. Inhibitor protease virus sekarang digunakan untuk mencegah protein prekursor m enjadi kapsid virus matan dan proteincore(Baratawidjaja, 2009).

Dalam dokumen Hubungan Kadar CD4 (Halaman 38-46)

Dokumen terkait