BAB IV. PEMBAHASAN
B. Homogenisasi dan Pengenceran Sampel
Homogenisasi sampel merupakan tahap awal penyiapan sampel yang
dilakukan sebelum dilakukan pengujian selanjutnya, yaitu uji ALT, AKK, dan
identifikasi S.aureus. Homogenisasi dilakukan untuk memperoleh distribusi yang
seragam di dalam sampel yang akan ditetapkan.
Proses homogenisasi dilakukan secara aseptis dekat dengan nyala api
bunsen, dengan mengencerkan 25 ml sampel menggunakan 225 ml larutan
pengencer dan dihomogenkan dengan stomacher sehingga diperoleh suspensi
dengan pengenceran 10-1.Kemudian dari pengenceran tersebut diambil 1 ml dan
pengenceran 10-2 sampai pengenceran 10-5. Pengenceran suspensi sampel
dilakukan untuk mendapatkan koloni yang terpisah dan jumlah koloni yang
sekurang-kurangnya dalam satu cawan memenuhi range yang telah ditetapkan
sehingga mempermudah perhitungan koloni. Jika tidak dilakukan pengenceran,
maka koloni yang tumbuh akan sangat pekat sehingga akan mempersulit proses
perhitungan jumlah koloni. Hal ini disebabkan karena jumlah mikrobia yang
terdapat dalam sampel tersebut tidak diketahui sebelumnya.
Larutan pengencer yang digunakan adalah Peptone Dilution Fluids
(PDF), yang juga berperan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan mikrobia
karena banyak mengandung pepton. Pepton merupakan salah satu sumber
nitrogen yang dapat digunakan oleh mikrobia untuk dapat hidup dan tumbuh
dalam media yang sesuai (Bridson, 2006).
C. Uji Angka Lempeng Total (ALT)
Uji ALT merupakan salah satu parameter mikrobiologis yang dilakukan
untuk menentukan jumlah cemaran mikroba, khususnya bakteri yang terdapat
dalam sediaan jamu cekok. Prinsip pengujian ALT yaitu pertumbuhan bakteri
mesofilik setelah sampel diinokulasi dan diinkubasi dalam media pembenihan
yang sesuai pada suhu 350C selama 24 - 48 jam (SNI, 1992). Suhu inkubasi 350C
digunakan untuk menghambat pertumbuhan fungi, karena suhu optimum
pertumbuhan fungi berkisar pada suhu 25 - 300C, sedangkan suhu optimum
pertumbuhan bakteri mesofilik adalah 25 - 450C sehingga bakteri dapat tumbuh
dihitung dengan cara viable count, dimana diasumsikan bahwa setiap sel
mikrobia yang hidup akan tumbuh membentuk satu koloni setelah diinkubasikan
dalam media pembiakan pada kondisi yang sesuai (Hadioetomo, 1995).
Dalam uji ALT, setiap sampel dibuat seri pengencer 10-1 sampai 10-5 dan
masing-masing pengenceran dibuat duplo dengan tujuan untuk meningkatan
akurasi perhitungan. Setelah semua sampel diencerkan, maka sampel ditanam
dalam media Plate Count Agar (PCA) yang mengandung sumber nutrisi untuk
pertumbuhan bakteri. Teknik penanaman menggunakan metode taburan (pour
plate), dimana media PCA dituangkan ke dalam cawan petri yang berisi 1 ml
sampel, kemudian didinginkan hingga padat dan diinkubasi dengan posisi
terbalik agar uap air yang terkondensasi pada tutup cawan tidak menetes ke
media sehingga tidak mengganggu perhitungan koloni. Metode pour plate
digunakan karena tidak diketahui sifat akan kebutuhan oksigen dari bakteri yang
terdapat dalam sampel jamu cekok, sehingga bakteri yang bersifat aerob dan
anaerob dapat tumbuh dengan baik pada media dan jumlah koloni yang dihitung
merupakan jumlah keseluruhan sel yang hidup.
Setiap proses pengerjaan dalam penelitian dilakukan secara aseptis yaitu
dekat dengan nyala lampu spiritus (jarak 20 cm dari nyala lampu spiritus) dan di
dalam Microbiological Safety Cabinet (MSC). Proses pengerjaan secara aseptis
dilakukan untuk menghindari adanya kontaminasi baik pada alat maupun bahan
digunakan yang dapat mempengaruhi nilai ALT yang dihasilkan. Untuk
mengetahui bahwa bakteri yang tumbuh pada media biakan merupakan bakteri
media dan kontrol pelarut. Kontrol media hanya berisi PCA, yang dimaksukan
untuk memastikan bahwa media yang digunakan tidak terkontaminasi sehingga
bakteri yang tumbuh bukan berasal dari media yang digunakan. Kontrol pelarut
dibuat dengan menambahkan media PCA dan pelarut tanpa penambahan sampel.
Pembuatan kontrol pelarut dimaksudkan untuk memastikan bahwa bakteri yang
tumbuh bukan berasal dari larutan pengencer yang digunakan.
Gambar 2. Kontrol media (A) dan kontrol pelarut (B)
Pada gambar 2, tidak tampak adanya pertumbuhan koloni bakteri pada
media setelah diinkubasi pada suhu 35 0C selama 24-48 jam. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa media maupun pelarut yang digunakan tidak mengandung
bakteri dan koloni yang tumbuh pada media biakan benar-benar bakteri yang
berasal dari sampel jamu cekok tersebut.
Koloni yang tumbuh pada media setelah diinkubasi pada suhu 35 ± 10C
selama 24 - 48 jam, dihitung menggunakan cara yang ditetapkan dalam Standar
Nasional Indonesia No. 01-2897-1992 dan jumlah koloni yang tumbuh dinyatakan B A
sebagai jumlah koloni per mL sampel. Pada pengujian ALT, dipilih cawan petri
yang menunjukkan pertumbuhan koloni berada dalam rentang 25 - 250 koloni.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MENKES /SK /VI I/1994,
nilai ALT pada cairan obat dalam tidak boleh lebih dari 104 koloni/ml sehingga
ALT harus ditekan sekecil mungkin.
Gambar 3. Hasil pengujian ALT setelah inkubasi 48 jam
Keterangan gambar :
A : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-1 B : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-2 C : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-3 D : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-4 E : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-5
B A B E D C
Pada gambar 3, tampak adanya pertumbuhan koloni bakteri berwarna
putih pada media dengan seri pengenceran 10-1 - 10-5. Koloni yang tumbuh
dihitung dan dinyatakan hasilnya sebagai jumlah koloni per mL. Seri pengenceran
yang digunakan untuk menghitung jumlah koloni tergantung pada kepekatan
suspense dari masing-masing sampel. Pada setiap sampel dengan seri pengeceran
10-1 - 10-3 memiliki jumlah koloni yang sangat banyak dan pekat sehingga sulit
untuk dihitung dan tidak digunakan untuk menghitung jumlah koloni.
Tabel II. Angka Lempeng Total pada Jamu Cekok yang diproduksi
oleh penjual jamu Racik “X” di Yogyakarta
Sampel Pengenceran Total koloni (koloni/ml) ALT (koloni/ml) I 10-1 ∞ 10-2 ∞ 10-3 ∞ 3,4 x 106 10-4 9,1 x 105 10-5 5,9 x 106
Sampel Pengenceran Total koloni (koloni/ml) ALT (koloni/ml) II 10-1 ∞ 10-2 ∞ 10-3 ∞ 1,9 x 107 10-4 ∞ 10-5 1,9 x 107
Sampel Pengenceran Total koloni (koloni/ml) ALT (koloni/ml) III 10-1 ∞ 10-2 ∞ 10-3 ∞ 9,6 x 106 10-4 2,2 x 106 10-5 1,7 x 107
Berdasarkan tabel II (tabel lengkap pada lampiran 2), terlihat bahwa pada
setiap sampel dengan pengenceran 10-1 sampai pengenceran 10-3 dan 10-4 untuk
sampel 2, memiliki jumlah koloni yang sangat banyak dan sulit untuk dihitung
sehingga jumlah koloni dinyatakan tak terhingga (∞). Pada sampel 1 dan 3, cawan
petri yang digunakan untuk perhitungan jumlah koloni adalah pengenceran 10-4
dan 10-5 karena pada pengenceran tersebut memiliki jumlah koloni yang berada
dalam rentang 25 – 250 koloni, sedangkan pada sampel 2, hanya pengenceran 10-5 yang memiliki jumlah koloni dalam rentang 25 – 250 koloni, sehingga dapat digunakan untuk perhitungan ALT.
Nilai ALT dari ketiga sampel jamu cekok yang diambil dalam tiga waktu
yang berbeda menunjukkan nilai ALT melebihi standar yang diperbolehkan.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No:661/MENKES/SK/VII/1994,
Angka lempeng total tidak boleh lebih dari 104 (Depkes RI, 1994). Angka
lempeng total yang tinggi pada sampel jamu yang diteliti kemungkinan
disebabkan karena proses pembuatan maupun proses penyimpanan yang kurang
higienis seperti bahan baku jamu cekok berupa rimpang yang tumbuh di dalam
tanah hanya dicuci satu kali menggunakan air dan bagian kulit rimpang tidak
dikupas sehingga ada kemungkinan tercemar bakteri yang hidup di tanah seperti
Escherichia coli, Pseudomonas dan Bacillus species (Reid and Wong, 2005).
Selain itu, peralatan yang digunakan hanya dibilas menggunakan air, racikan jamu
cekok yang disimpan dalam wadah besar terbuka dan peramu atau penjual tidak
mencuci tangan sebelum meramu atau mencekokkan jamu tersebut. Tingginya
baku atau pengolahan jamu cekok tercemar oleh bakteri yang hidup di air seperti
Escherichia coli, Salmonella, Shigella, Pseudomonas dan Vibrio cholerae
(Cabral, 2010). Proses pengemasan dan transportasi juga dapat mempengaruhi
tingginya nilai ALT jamu cekok seperti saat memasukkan sampel ke dalam botol
steril tidak secara aseptis yaitu dekat dengan lampu bunsen dan sampel jamu
cekok yang tumpah tidak dibersihkan dengan kasa yang diberi alkohol, serta saat
proses transportasi ada cemaran mikroba melalui udara.
D. Uji angka kapang/khamir (AKK)
Uji angka kapang/khamir merupakan salah satu parameter mikrobiologis
yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar jumlah kapang/khamir yang
terdapat dalam sediaan obat tradisional. Jumlah kapang/khamir yang melebihi
batas yang ditetapkan menunjukkan kemunduran mutu obat tradisional dan
dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan Prinsip
pengujian AKK adalah melihat adanya pertumbuhan kapang/khamir pada media
yang sesuai setelah diinkubasi selama 5 hari pada suhu 250C. Kapang/khamir
memiliki struktur yang lebih kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama
untuk membentuk spora (Bryson, 2006).
Untuk mengetahui berapa besar jumlah kapang/khamir yang terdapat
dalam sediaan jamu cekok, maka dapat digunakan metode hitungan cawan petri
yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang hidup akan berkembang
menjadi satu koloni. Perhitungan sel-sel hidup dilakukan dengan metode plate
count yaitu menghitung jumlah sel yang mampu membentuk koloni pada media
merupakan suatu indeks bagi jumlah mikroorganisme yang terkandung dalam
obat tradisional dan berkembang menjadi satu koloni.
Media yang digunakan pada pengujian AKK adalah media Potato
Dextrose Agar (PDA) yang mengandung nutrisi yang sangat baik untuk
pertumbuhan kapang/khamir, seperti dekstrosa dan ekstrak kentang. Dekstrosa
dan ekstrak kentang berfungsi sebagai sumber energi untuk menstimulasi
pertumbuhan konidia kapang/khamir. Media PDA memiliki pH yang sesuai
dengan pH optimum pertumbuhan kapang/khamir yaitu 5,6 ± 0,2. Pada media
PDA yang digunakan ditambahkan asam laktat yang berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan bakteri sehingga yang dapat tumbuh adalah
kapang/khamir (Bridson 2006).
Pada uji AKK, penanaman koloni dilakukan dengan metode tabur (pour
plate). Metode pour plate digunakan karena khamir bersifat fakultatif, yaitu
khamir dapat hidup dalam keadaan aerob maupun anaerob. Khamir yang terdapat
dalam sampel jamu cekok tidak diketahui sifat akan kebutuhan oksigennya
sehingga metode pour plate digunakan supaya khamir yang bersifat aerob
maupun anaerob dapat tumbuh dengan baik dan dihitung jumlah keseluruhan sel
yang hidup.
Media PDA cair steril dituang dalam cawan petri yang berisi suspensi
sampel dan didinginkan hingga padat. Kemudian diinkubasi pada suhu 250C atau
suhu kamar selama lima hari dan diamati pada hari ke-3 sampai hari ke-5.
Pengamatan dilakukan pada hari ke-3 untuk memudahkan perhitungan jumlah
maksimal sehingga koloni mudah dihitung dan menghindari kesalahan
perhitungan koloni yang bertumpuk. Sedangkan pada hari ke-5, pertumbuhan
kapang/khamir sudah mencapai puncaknya sehingga jumlah koloni yang tumbuh
pada media merupakan jumlah koloni total. Suhu inkubator yang digunakan
adalah 250C karena merupakan suhu yang optimum untuk pertumbuhan
kapang/khamir. Cawan petri diinkubasi secara terbalik supaya uap yang
terkondensasi pada tutup cawan petri tidak menetes pada media yang dapat
mengganggu perhitungan jumlah koloni.
Setiap proses penelitian dilakukan secara aseptis untuk menghindari
terjadi kontaminasi pada alat dan bahan yang digunakan. Untuk memastikan
bahwa kapang/khamir yang tumbuh pada media benar-benar berasal dari sampel,
maka perlu dibuat kontrol media dan kontrol pelarut yang digunakan. Pembuatan
kontrol media dan pelarut dimaksudkan untuk memastikan bahwa media dan
pelarut yang digunakan benar-benar steril dan bebas dari kontaminasi
mikroorganisme sehingga koloni kapang/khamir yang tumbuh benar-benar
berasal dari sampel.
Setelah inkubasi selama 5 hari, koloni yang tumbuh dihitung. Koloni
kapang yang dihitung adalah koloni yang berserabut seperti kapas. Sedangkan
koloni khamir yang dihitung adalah koloni terpisah yang berbentuk bulat dan
berwarna putih (Gambar B). Koloni yang tumbuh dihitung dan dianalisis sesuai
Gambar 4. Hasil pengujian AKK jamu cekok setelah inkubasi 5 hari: kontrol negatif (A), sampel (B)
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MENKES/SK/
VII/1994, nilai AKK pada cairan obat dalam adalah tidak boleh lebih dari 103
koloni/ml. Oleh karena itu, jumlah kapang/khamir dalam sediaan obat tradisional
harus < 103 koloni/ ml sampel sehingga aman dikonsumsi. Apabila jumlah
cemaran mikroba melebihi batas, dikhawatirkan dapat berdampak negatif bagi
kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi obat tradisional tersebut. B A
Tabel III. Angka Kapang/Khamir pada Jamu Cekok yang diproduksi
oleh penjual jamu Racik “X” di Yogyakarta
Sampel Pengenceran Total koloni (koloni/ml) AKK (koloni/ml) I 10-1 ∞ 10-2 2,6 x 104 10-3 1,9 x 105 1,1 x 105 10-4 1,5 x 106 10-5 1,2 x 107
Sampel Pengenceran Total koloni (koloni/ml) AKK (koloni/ml) II 10-1 ∞ 10-2 2,2 x 104 10-3 1,9 x 105 1,1 x 105 10-4 1,5 x 106 10-5 8,4 x 106
Sampel Pengenceran Total koloni (koloni/ml) AKK (koloni/ml) III 10-1 ∞ 10-2 2,8 x 104 10-3 2,3 x 105 1,3 x 105 10-4 1,7 x 106 10-5 1,2 x 107
Keterangan : data pada kolom yang berwarna oranye adalah data yang digunakan untuk perhitungan
Hasil pengujian pada tabel III (tabel lengkap pada lampiran 3),
menunjukkan bahwa nilai AKK sampel jamu cekok melebihi batas yang
ditetapkan. AKK yang diperbolehkan oleh Depkes RI pada KepMenKes RI No:
661/MENKES/SK/VII/1994, yaitu 103 koloni/ml (Depkes RI, 1994). Hal ini
kemungkinan karena saat memanaskan atau mengukus ramuan jamu cekok,
ramuan jamu cekok. Hal tersebut menyebabkan ramuan jamu cekok mengandung
banyak air sehingga kapang/khamir dapat tumbuh pada ramuan jamu cekok
karena kapang/khamir tumbuh dalam kondisi yang lembab/banyak air. Selain itu,
kontaminasi kapang/khamir juga dapat melalui bahan baku jamu cekok yang
tumbuh di dalam tanah. Kapang/khamir terutama terdapat di dalam tanah dan
sebagian besar bahan baku yang digunakan tumbuh di dalam tanah.
Kapang/khamir yang terdapat di dalam tanah yaitu Aspergillus flavus,
Aspergillus parasiticus dan Candida albicans (Pratiwi 2008). Oleh karena itu,
kapang/khamir sangat mudah mencemari bahan baku tersebut dan apabila bahan
baku tersebut tidak dicuci dengan bersih, maka kontaminasi kapang/khamir
semakin tinggi, sehingga nilai AKK juga semakin tinggi.