• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Angka Lempeng Total (ALT), Angka Kapang/Khamir (AKK), dan identifikasi staphylococcus aureus dalam jamu cekok dari penjual jamu racik ``x`` di Yogyakarta - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Uji Angka Lempeng Total (ALT), Angka Kapang/Khamir (AKK), dan identifikasi staphylococcus aureus dalam jamu cekok dari penjual jamu racik ``x`` di Yogyakarta - USD Repository"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

PENJUAL JAMU RACIK “X” DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Arellia Oktaviori

NIM : 108114108

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PENJUAL JAMU RACIK “X” DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh:

Arellia Oktaviori

NIM : 108114108

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau;

Janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu;

Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau;

Aku akan memegang engkau

dengan tangan kanan-

Ku yang membawa kemenangan”

Yesaya, 41 : 10

Kupersembahkan karya kecilku ini untuk:

Tuhan Yesus Kristus sumber kekuatan dan pengharapanku,

Papah, mamah, dan adik-adik ku yang tersayang

Seseorang yang selalu memberi motivasi,

Saudara-saudaraku dan Teman-temanku

(6)
(7)
(8)

vii PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya dalam penelitian dan

penyusunan skripsi yang berjudul “Uji Angka Lempeng Total (ALT), Angka

Kapang/Khamir (AKK), dan Identifikasi Staphylococcus aureus dalam Jamu

Cekok dari Penjual Jamu Racik “X” di Yogyakarta” sehingga dapat

diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Skripsi ini disusun sebagai salah

satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, banyak kendala yang dihadapi

penulis. Akan tetapi, di tengah kesulitan tersebut penulis mendapat dukungan,

bimbingan, kritik dan saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku Dosen Pembimbing atas

kebijaksanaan, perhatian, kesabaran serta waktu, tenaga, dan pikiran

dalam membimbing penyusunan skripsi ini.

3. Prof. Dr. C. J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan

(9)

viii

4. Ibu Damiana Sapta Candrasari, M.Sc. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan saran dan kritik yang membangun dalam penyusunan

skripsi ini.

5. Ibu CM. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm, Apt. selaku Ketua Program

Studi Farmasi sekaligus Ketua Tim Panitia Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma.

6. Ibu Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si. atas perhatian, pengarahan,

masukan, kritik, saran, dan kesabarannya dalam membimbing

penyusunan skripsi ini.

7. Seluruh dosen dan staf karyawan fakultas farmasi yang telah

mendukung dan memberikan ilmu kefarmasian serta membentu dalam

proses penyelesaian skripsi ini.

8. Seluruh pegawai Laboratorium Kesehatan Yogyakarta, khususnya

bagian mikrobiologi yang telah banyak membantu penulis dalam

pelaksaan penelitian laboratorium.

9. Teman-teman seperjuangan dalam penelitian ini yang telah bekerja

sama dan selalu memberikan dukungan : Ribka Alvianita, Maria Dyah

Kartika, Anastasia Ika, dan Theresia Nurida Ambarwulan.

10.Teman-teman angkatan 2010, khususnya FKK B dan FSM C 2010

11.Teman-teman terkasih kost Wisma Ananda

12.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang

telah membantu dan memberikan dukungan dalam penelitaian ini

(10)

ix

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis menerima segala ktitik dan saran yang bersifat membangun demi

sempurnanya skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

memberikan informasi kepada pembaca.

(11)

x DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN………... ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………. ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

(12)

xi

BAB III. METODE PENELITIAN ... 21

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 21

1. Variabel penelitian ... 21

2. Definisi operasional ... 22

C. Bahan Penelitian ... 22

D. Alat Penelitian ... 23

E. Tata Cara Penelitian ... 23

1. Penentuan dan pemilihan sampel ... 23

2. Homogenisasi dan pengenceran sampel ... 24

3. Uji ALT ... 24

4. Uji AKK ... 25

5. Uji Identifikasi S.aureus ... 25

F. Analisis hasil ... 30

BAB IV. PEMBAHASAN ... 35

A. Penentuan dan Pemilihan Sampel ... 35

B. Homogenisasi dan Pengenceran Sampel... 36

(13)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sampel jamu cekok dalam wadah steril ... 36

Gambar 2. Kontrol media dan kontrol negative pada uji ALT ... 39

Gambar 3. Hasil pengujian ALT setelah inkubasi 48 jam ... 40

Gambar 4. Hasil pengujian AKK dari kontrol negatif dan sampel setelah

inkubasi 5 hari ... 46

Gambar 5. Media Giolitti – Cantoni Broth ... 52

Gambar 6. Hasil uji isolasi pada kontrol positif S.aureus ATCC 25923 dan sampel jamu cekok ... 55

Gambar 7. Hasil uji fermentasi gula-gula pada kontrol positif S.aureus

ATCC 25923 dan sampel jamu cekok ... 57

Gambar 8. Hasil uji koagulase pada kontrol positif S.aureus ATCC 25923 dan sampel jamu cekok ... 60

Gambar 9. Hasil uji katalase pada kontrol positif S.aureus ATCC 25923 dan sampel jamu cekok ... 61

(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Hasil identifikasi positif S.aureus ... 29

Tabel II. Angka lempeng total rata-rata pada jamu cekok yang diproduksi

oleh penjual jamu racik “X” di Yogyakarta ... 41

Tabel III. Angka kapang/khamir rata-rata pada jamu cekok yang diproduksi

oleh penjual jamu racik “X” di Yogyakarta ... 47

Tabel IV. Hasil uji identifikasi S.aureus dalam jamu cekok ... 64

Tabel V. Hasil uji identifikasi S.aureus dalam jamu cekok dan karakteristik

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat ijin penelitian di Balai Laboratorium Kesehatan

Yogyakarta ... 62

Lampiran 2. Hasil perhitungan uji ALT pada jamu cekok setelah inkubasi

48 jam ... 73

Lampiran 3. Hasil perhitungan uji AKK pada jamu cekok setelah inkubasi

(16)

xv INTISARI

Jamu cekok merupakan salah satu obat tradisional yang banyak diminati oleh masyarakat. Ramuan jamu cekok digunakan untuk meningkatkan nafsu makan pada anak-anak. Proses pembuatan dan penyajian sediaan jamu cekok dilakukan secara tradisional dan kurang memperhatikan kebersihan, maka tidak menutup kemungkinan dapat tercemar oleh mikroorganisme. Untuk mengetahui kualitas dan keamanannya secara mikrobiologis, maka perlu dilakukan pengujian. Pengujian tersebut meliputi uji Angka Lempeng Total, Angka Kapang/Khamir dan identifikasi bakteri patogen, khususnya Staphylococcus aureus.

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif eksploratif. Tujuan penelitian adalah untuk memberikan informasi mengenai angka lempeng total, angka kapang/khamir dan ada tidaknya cemaran bakteri S.aureus pada sampel jamu cekok dari penjual jamu racik “X” di Yogyakarta.

Hasil pengujian pada ketiga sampel jamu cekok diperoleh ALT berkisar antara 3,4 x 106 - 1,9 x 107 koloni/ml, AKK berkisar antara 1,1 x 105 – 1,3 x 105, dan cemaran S.aureus adalah negatif.

(17)

xvi ABSTRACT

Jamu cekok is the one of traditional medicines needed by public. That is useful to increase appetite for children. The manufacture processing and presenting of Jamu cekok those are less attention of hygiene will increase the possibility of microorganism contaminating. This condition requires testing to determine the microbiological quality and safety. The determination test includes the total plate count, the number of mold/yeast, and identification of pathogenic bacteria, especially Staphylococcus aureus.

This is a non-experimental research with descriptive - explorative design. The purpose of this research is to provide information about the total plate count, the number of mold/yeast, and the presence of S.aureus in Jamu cekok’s samples from Jamu Racik “X” seller in Yogyakarta.

The research’s result on three samples of jamu cekok were show that the ranged of the Total Plate Count is between 3.4 x 106– 1.9 x 107 colonies/ml, the Number of Mold/Yeast is between 1.1 x 105 – 1.3x 105 colonies/ml, and S.aureus

contamination was negative.

Key words: Jamu Cekok, Total Plate Count, The Number of Mold/Yeast,

(18)

1 BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin modern

pada zaman sekarang tidak mengurangi penggunaan obat tradisional oleh

masyarakat di negara-negara berkembang terutama Indonesia. Obat tradisional

telah diterima secara luas oleh masyarakat walaupun sudah banyak beredar

obat-obatan modern di kalangan masyarakat. Masyarakat menggunakan obat

tradisional karena obat tradsional memiliki harga yang relatif murah dan efek

samping yang lebih kecil bahkan tidak ada daripada obat-obat sintetik (Latief,

2012).

Menurut peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik

Indonesia, obat tradisional dikelompokkan menjadi tiga golongan yaitu jamu, obat

herbal terstandar dan fitofarmaka. Salah satu golongan obat tradisional yang

banyak diminati oleh masyarakat hingga saat ini adalah jamu. Penggunaan jamu

masih sangat populer dan banyak diminati oleh masyarakat terutama yang tinggal

di daerah pedesaan (Pramudya, 2008). Di Indonesia, jamu telah diterima dan

digunakan oleh masyarakat secara turun-temurun sebagai alternatif pengobatan

untuk menyembuhkan suatu penyakit dan meningkatkan kesehatan (Wasito,

2011). Hal ini diperkuat dengan data yang dihimpun dalam Riset Kesehatan Dasar

(19)

mengonsumsi jamu dan sekitar 95,6% diantaranya merasakan khasiat jamu dalam

meningkatkan kesehatan (Depkes RI, 2011).

Jamu cekok merupakan salah satu jenis jamu yang paling banyak diminati

oleh masyarakat. Jamu cekok biasa digunakan untuk meningkatkan nafsu makan

dan mengobati beberapa penyakit pada anak-anak (Limananti dan Triratnawati,

2003). Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No : 661 tahun 1994 , cairan

obat dalam adalah sediaan obat tradisonal berupa larutan emulsi atau suspensi

dalam air, bahan bakunya berasal dari serbuk simplisia atau sediaan galenik dan

digunakan sebagai obat dalam (Depkes RI, 1994).

Di Yogyakarta terdapat salah satu pedagang jamu cekok yang banyak

diminati oleh masyarakat. Konsumen jamu cekok tidak hanya berasal dari kota

Yogyakarta, tetapi dari luar kota Yogyakarta pun banyak yang membeli dan

mengonsumsi jamu cekok yang diproduksi oleh penjual jamu racik “X”

(Limananti dan Triratnawati, 2003). Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh

peneliti pada bulan September 2013, ramuan jamu cekok dibuat sendiri oleh

penjual jamu racik “X” dengan bahan dasar temulawak (Curcuma xanthorrhiza),

lempuyang gajah (Zingiber zerumbet ), brotowali (Tinospora tuberculata), temu

ireng (Curcuma aeruginosa) serta daun pepaya (Carica papaya). Pembuatan jamu

cekok dilakukan secara sederhana dengan jumlah yang sesuai kebutuhan tanpa

takaran yang baku dan proses pembuatannya dilakukan sehari sebelum dijual,

yaitu pada pukul 09.00 WIB. Bahan-bahan sesuai kebutuhan dicuci satu kali

dengan dicelupkan ke dalam ember yang berisi air, ditumbuk kasar dengan

(20)

harinya siap untuk dijual. Selama proses penjualan, bahan-bahan jamu yang telah

diolah disimpan dalam wadah besar (panci) yang terbuka. Penjualan jamu racik

“X” dimulai dari pukul 06.00 WIB sampai pukul 19.30 WIB. Selama rentang

waktu tersebut, tidak dilakukan pemanasan ulang pada jamu dan peralatan yang

digunakan hanya dibilas menggunakan air.

Berdasarkan hasil observasi, proses pembuatan dan penyimpanan jamu

tersebut memungkinkan adanya cemaran mikroorganisme pada jamu. Dalam

KepMenKes no. 661/MENKES/SK/VII/1994 tentang persyaratan obat tradisional,

diatur batas aman mikroorganisme yang terdapat dalam obat tradisional, yaitu

dalam Angka Lempeng Total tidak lebih dari 104, Angka Kapang/Khamir tidak

lebih dari 103 dan tidak mengandung mikroba patogen. Salah satu mikroba

patogen yang perlu diwaspadai dalam sediaan jamu cekok adalah Staphylococcus

aureus (Depkes RI, 1994).

Staphylococcus aureus sering ditemukan dalam saluran pernafasan,

permukaan kulit dan rambut hewan berdarah. Lebih dari 30-50% populasi

manusia adalah pembawa S.aureus sehingga dapat menyebabkan kontaminasi

pada makanan termasuk pada pengolahan obat tradisional (Le Loir, Baron, and

Gautier, 2003). Adanya kontaminasi S.aureus dapat menyebabkan terjadinya

keracunan dengan gejala umum yang muncul 2-6 jam setelah mengonsumsi

makanan yang terkontaminasi, seperti mual, muntah, kram perut, diare dan lemas

(21)

Bakteri S.aureus dimungkinkan dapat hidup dalam sedian jamu cekok

karena adanya kesesuaian suhu maupun pH antara habitat hidup S. aureus dan

sediaan jamu cekok. Bakteri S.aureus dan jenis staphylococci lainnya dapat

menghasilkan berbagai enzim dan toksin yang menyebabkan infeksi pada manusia

maupun hewan, sehingga dapat menyebabkan terjadinya foodborne intoxication

(Brooks, 2007). Foodborne intoxication adalah penyakit yang terjadi akibat

mengonsumsi makanan yang terkontaminasi toksin (racun) dari bakteri, jamur,

atau bahan kimia (Albert, 2013).

Adanya cemaran mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan penurunan

kualitas dan keamanan jamu cekok. Usaha jamu ini merupakan usaha jamu

racikan tanpa izin edar sehingga kualitas dan keamanan jamu cekok tersebut

belum terjamin. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk melakukan uji cemaran

mikroorganisme yang meliputi uji angka lempeng total, angka kapang/khamir,

dan identifikasi cemaran mikroba patogen, khususnya S.aureus dalam jamu cekok

yang diproduksi oleh penjual jamu racik “X” sehingga dapat menjamin kualitas

dan keamanan jamu tersebut.

1. Perumusan Masalah

a. Berapa angka lempeng total dan angka kapang/khamir dalam jamu cekok dari

penjual jamu racik “X” di Yogyakarta?

b. Apakah pada jamu cekok dari penjual jamu racik “X” di Yogyakarta

(22)

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran pustaka, belum pernah ada publikasi penelitian

tentang uji angka lempeng total, angka kapang/khamir, dan identifikasi

Staphylococcus aureus dalam jamu cekok dari penjual jamu racik “X” di

Yogyakarta.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

perkembangan ilmu pengetahuan mengenai angka lempeng total, angka

kapang/khamir, dan ada tidaknya Staphylococcus aureus pada jamu cekok dari

penjual jamu racik “X” di Yogyakarta.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai kualitas dan keamanan jamu cekok yang dijual oleh

pedagang jamu racik “X” dilihat dari angka lempeng total, angka

kapang/khamir, dan ada tidaknya Staphylococcus aureus, sehingga kesehatan

masyarakat menjadi lebih terjamin.

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui kualitas dan keamanan berdasarkan ada tidaknya cemaran

(23)

2. Tujuan khusus

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai:

a. Angka Lempeng Total dan Angka Kapang/Khamir pada jamu cekok dari

penjual jamu racik “X” di Yogyakarta.

b. Hasil uji cemaran Staphylococcus aureus pada penjual jamu cekok dari

(24)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Obat Tradisional

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 007 tahun 2012 pasal 1

menyebutkan bahwa ; obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang

berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sari atau gelenik,

atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun menurun

untuk pengobatan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di

masyarakat (Depkes RI, 2012).

Menurut peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, obat

tradisional dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu jamu, obat herbal

terstandar, dan fitofarmaka. Jamu adalah ramuan yang terbuat dari bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran bahan

tersebut yang telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat

herbal terstandar adalah obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan

khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah

terstandarisasi. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah

dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik pada

hewan percobaan dan uji klinis pada manusia serta bahan baku dan produknya

(25)

Obat tradisional telah digunakan sejak lama oleh semua lapisan

masyarakat untuk pengobatan maupun perawatan kesehatan. Khasiat obat

tradisional tidak dapat dirasakan secara langsung setelah mengonsumsi obat

tradisional tersebut tetapi secara bertahap dengan mengonsumsi terus menerus.

Oleh karena itu, obat tradisional harus terjamin mutu dan keamanannya sehingga

aman dikonsumsi masyarakat (Wasito, 2011). Berdasarkan Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 661/MENKES/SK/VII/1994 tentang persyaratan obat

tradisional, terutama cairan obat dalam, yaitu keseragaman volum, tidak boleh

mengandung Angka Lempeng Total lebih dari 104, Angka Kapang/Khamir tidak

lebih dari 103, aflatoksin tidak dari 30 bpj, dan tidak boleh mengandung bakteri

patogen Escherichia coli, Salmonella, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas

aeruginosa (Depkes RI, 1994).

B. Jamu Cekok

Jamu cekok merupakan jamu yang paling banyak diminati oleh

masyarakat dan biasanya digunakan untuk meningkatkan nafsu makan pada

anak. Metode pemberian jamu cekok sangat khas, yaitu semua ramuan bahan

ditempatkan pada selembar kain serupa sapu tangan dan bagian ujungnya

disatukan seperti membungkus, kemudian diperas dan dicekokkan atau memaksa

anak untuk membuka mulutnya sehingga cairan jamu dapat masuk ke dalam

mulut (Limananti dan Triratnawati, 2003).

Jamu cekok merupakan sediaan cairan obat dalam yang terbuat dari

(26)

1. Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) merupakan tanaman yang

tergolong dalam famili Zingiberaceae, berbatang semu, dan banyak

dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Bagian tanaman yang digunakan

adalah rimpang. Rimpang temulawak mengandung xanthorrizol,

kurkuminoid, minyak atsiri, protein, lemak, selulosa, dan mineral. Rimpang

temulawak berkhasiat untuk meningkatkan nafsu makan, menurunkan

kolesterol, memperbaiki fungsi pencernaan, memelihara kesehatan fungsi

hati, dan sebagai antioksidan (Rahardjo, 2010).

2. Lempuyang gajah

Lempuyang gajah (Zingiber zerumbet L.) memiliki bau yang tajam,

rasa pedas dan bersifat hangat. Lempuyang gajah mengandung alkaloid,

camphene, camphor, gingerol, zingiberol, minyak esensial, ferulic acid, dan

chlorogenic acid. Lempuyang gajah berkhasiat untuk meningkatkan nafsu

makan, mengobati perut, cacingan, disentri, gangguan empedu, kejang pada

anak, radang ginjal (nephritis), radang usus (enteritis), radang lambung

(gastritis), sembelit, anemia, dan penyakit kulit (Hariana, 2008).

3. Brotowali

Tanaman brotowali (Tinospora condifilia L.) mengandung alkaloid,

glikosida, zat pahit pikroretin serta berberina. Brotowali dapat digunakan

untuk meningkatkan nafsu makan, mengobati luka, borok, gatal-gatal, kencing

(27)

4. Temu hitam

Temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb) mengandung kurkumin,

tanin,kurkumenol, kurkumol, germakon dan kurdion. Temu hitam memiliki

khasiat antara lain untuk menambah nafsu makan, cacingan, nyeri haid,

ambeien, membersihkan darah setelah melahirkan, meningkatkan stamina,

menyuburkan kandungan, dan menetralkan racun dalam tubuh. Bagian yang

sering digunakan adalah bagian rimpang (Anonim, 2013).

5. Daun pepaya

Daun pepaya (Carica papaya L.) mengandung alkaloid karpain,

tanin, flavonoid, papain dan saponin. Daun pepaya berkhasiat untuk

menambah nafsu makan, obat jerawat, mengobati demam berdarah,

melancarkan produksi ASI dan saluran pencernaan, dan bisa juga sebagai anti

kanker (Agoes, 2010).

C. Angka Lempeng Total (ALT)

Angka Lempeng Total (ALT) merupakan metode kuantitatif yang

digunakan untuk menetapkan angka bakteri aerob mesofil yang terdapat dalam

obat tradisional. Prinsip pengujian angka lempeng total, yaitu dengan melihat

pertumbuhan koloni bakteri aerob mesofil pada media agar setelah diinkubasi

selama 24-48 jam dan dihitung jumlah bakteri yang hidup (Radji, 2010).

Penentuan jumlah bakteri dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara

(28)

1. Jumlah bakteri secara keseluruhan ( total cell count)

Pada metode total cell count, dihitung semua bakteri baik yang hidup

maupun yang mati. Perhitungan dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu :

a. Menghitung langsung secara mikroskopis

Jumlah bakteri dihitung dalam satuan isi yang sangat kecil dan

menggunakan kaca obyek khusus yang bergaris (Petroff-Hauser) berbentuk

bujur sangkar. Jumlah cairan yang terdapat antara kaca obyek dan kaca

penutup mempunyai volume tertentu, sehingga satuan isi yang terdapat dalam

bujur sangkar juga tertentu (Lay, 1994).

Cairan yang mengandung jumlah bakteri yang tinggi dapat

menggunakan cara ini. Selain menghitung secara langsung dengan mata, dapat

pula digunakan alat penghitung elektronik coulters counter. Alat ini dapat

menghitung semua benda yang memiliki ukuran diameter 30 µm, sehingga

cairan yang akan dihitung jumlah bakterinya haruslah benar-benar hanya

mengandung bakteri (Lay,1994).

Pada penghitungan dengan metode menghitung langsung secara

mikroskopis, hasil dari pengenceran bahan diteteskan pada kaca obyek khusus

yang terdapat kolom-kolom penghitung (hemasitometer) dan diamati dengan

mikroskop untuk menentukan jumlah sel. Misalnya didapatkan jumlah yang

terhitung 12 sel, maka penghitung jumlah sel adalah : 12 x 25 x 50 x 103 = 1,5

x 107 sel/ml, di mana 12 : jumlah sel yang terhitung, 25 : jumlah kotak pada

ruang penghitung yang digunakan untuk meghitung, 50 : volume tiap-tiap

(29)

bakteri yang hidup maupun mati dapat dihitung dengan ditambahkan zat

pewarna metilen biru. Sel yang mati akan tampak berwarna biru, sedangkan

sel yang hidup akan tampak tidak berwarna karena sel hidup mampu

mereduksi zat warna tersebut secara enzimatik. Adapun kerugian dari metode

ini yaitu kesalahan dalam menghitung akibat sistem pengencerannya tidak

homogen lagi (Lay, 1994).

b. Menghitung dengan cara kekeruhan

Perhitungan dengan cara kekeruhan dilakukan dengan menggunakan alat

spektrofotometer. Dasar teknik ini adalah banyaknya cahaya yang diabsorpsi

sebanding dengan banyaknya sel bakteri pada batas-batas tertentu. Jumlah

mikroba dalam suspensi dapat ditentukan dengan menentukan kerapatan optik.

Pengukuran kerapatan optik menggunakan kolorimeter yang membiaskan

cahaya dengan gelombang tertentu. Gelombang cahaya melewati suspensi

biakan dan banyaknya cahaya yang ditransmisikan setelah melewati suspensi

diukur. Jumlah cahaya yang ditransmisiskan setelah melewati suspensi biakan

berbanding terbalik dengan jumlah mikroba dan jumlah cahaya yang

diabsorpsi. Jumlah cahaya yang diabsorpsi tergantung pada bentuk dan besar

sel (Lay, 1994).

Spektrofotometer dapat mengukur kepekatan sel dari suspensi dalam

%T (transmittance) atau OD ( jumlah cahaya yang diabsorpsi dan

disebarkan). OD digunakan sebagai satuan hitungan, karena OD sebanding

(30)

2. Jumlah bakteri yang hidup (viable count)

Cara ini hanya menggambarkan jumlah sel yang hidup, sehingga lebih

tepat bila dibandingkan dengan cara total cell count. Pada metode ini

diasumsikan bahwa setiap sel mikroba hidup dalam suspensi akan tumbuh

menjadi 1 koloni setelah diinkubasikan dalam media biakan dan lingkungan

yang sesuai. Setelah masa inkubasi, jumlah koloni yang tumbuh dihitung dan

merupakan perkiraan atau dugaan dari jumlah mikroba dalam suspensi

tertentu (Hadioetomo, 1985). Koloni yang tumbuh tidak selalu berasal dari 1

sel mikroba, karena beberapa mikroba tertentu cenderung untuk berkelompok

atau berantai. Bila ditumbuhkan pada media dan lingkungan yang sesuai

kelompok bakteri ini hanya akan menghasilkan 1 koloni. Lempeng agar yang

digunakan untuk perhitungan, yaitu lempeng agar yang mengandung 30 - 300

koloni. Lempeng agar dengan koloni >300 sulit untuk dihitung sehingga

kemungkinan kesalahan perhitungan sangat besar. Pengenceran sampel akan

membantu untuk memperoleh penghitungan jumlah yang benar, namun

pengenceran yang terlalu tinggi akan menghasilkan lempeng agar dengan

jumlah koloni yang rendah (<30 koloni). Lempeng demikian tidak absah

secara statistik untuk digunakan dalam perhitungan (Lay,1994).

Angka Lempeng Total harus ditekan sekecil mungkin. Angka lempeng

total dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat industri tersebut melaksanakan

(31)

lempeng total maka semakin tinggi nilai penerapan CPOTB di industri tersebut

(Depkes RI, 1994).

D. Angka Kapang/ Khamir (AKK)

Kapang adalah kelompok mikroba yang tergolong dalam fungi multi

seluler yang memiliki filamen sebagai ciri khas morfologi kapang yang

membedakan dengan khamir. Sifat-sifat umum kapang antara lain; memiliki

inti sel, berspora, mempunyai bagian-bagian tubuh yang berfilamen dengan

dinding sel yang mengandung selulosa dan khitin atau keduanya, dapat

berkembang biak secara seksual maupun aseksual, dan bersifat obligat aerob

(Diffen, 2013).

Khamir adalah fungi uniselular yang tidak memiliki filamen. Khamir

tidak mempunyai flagela sehingga tidak dapat bergerak aktif. Khamir

memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, lunak dan berwarna krem.

Pada umumnya khamir hidup di daun tanaman dan bunga, tanah dan air

(Brooks, 2007).

Khamir dapat berkembang biak secara bertunas, pembelahan sel,

pembentukan spora aseksual, dan pembentukan spora seksual. Khamir

dapat tumbuh dengan baik pada pH asam (4-4,5), suhu optimum 25-300C

dan suhu maksimum 35-470C. Khamir dapat tumbuh baik pada kondisi

aerobik (memerlukan oksigen) dan ada sebagian khamir yang bersifat

(32)

Khamir dapat bersifat patogen dan menyebabkan infeksi pada

manusia. Khamir yang bersifat patogen dan paling sering menyebabkan

infeksi adalah Candida albicans. Candida albicans terdapat di membran

mukosa mulut, saluran pernapasan, saluran pencernaan, vagina , kulit dan di

bawah jari-jari kuku. Selain itu, Candida albicans juga terdapat dalam

lingkungan seperti tanah, tanaman, makanan dan makanan ternak

(Hellmensen, 1999). Candida yang terdapat di dalam tubuh akan dikontrol

oleh bakteri baik agar jumlahnya rendah dan seimbang dengan cara

memfagositosis candida tersebut. Saat pertumbuhannya berlebihan, candida

akan mengkolonisasi saluran pencernaan dan membentuk strukstur seperti

akar yang disebut rizoid. Rizoid dapat menembus mukosa atau dinding usus

dan menyebabkan terbentuknya lubang sehingga dapat masuk ke sistemik

(aliran darah). Kondisi ini disebut sebagai sindrom kebocoran usus (leaky

gut syndrome). Kebocoran pada dinding usus akan menyebakan khamir

(Candida) dapat menyebar ke berbagai bagian tubuh seperti mulut, sinus,

tenggorokan, saluran reproduksi, jantung dan kulit sehingga dapat

menyebabkan infeksi penyakit (Disable world, 2007)

Kapang/khamir dapat mencemari obat tradisional terutama jamu

cekok, melalui bahan baku yang digunakan dalam pengolahan jamu cekok

seperti rimpang temulawak,temu hitam dan lempuyang gajah yang pada

umumnya tumbuh didalam tanah. Pada umumnya kapang/khamir terdapat di

dalam tanah. Bahan baku yang tumbuh di dalam tanah tersebut memiliki

(33)

seperti keadaan tanah yang lembab atau basah dan kandungan air yang

terdapat dalam bahan baku obat tradisional. Oleh karena itu, bahan baku

yang digunakan harus dicuci bersih sebelum digunakan sehingga dapat

mengurangi kontaminasi kapang/khamir (Pratiwi 2008).

Beberapa jenis fungi dapat memproduksi senyawa beracun (toksin)

yang disebut dengan mikotoksin. Mikotoksin adalah metabolit sekunder

yang diproduksi oleh fungi yang dapat menyebabkan penyakit dan kematian

pada manusia maupun hewan. Pada umumnya mikotoksin tahan terhadap

panas sehingga dengan pengolahan atau pemasakan pun tidak menjamin

hilangnya atau berkurangnya aktivitas toksin tersebut (Brooks, 2007).

Mikotoksin yang dapat mencemari makanan, terutama obat

tradisional adalah aflatoksin. Aflatoksin adalah racun yang dihasilkan oleh

kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Kedua jenis fungi ini

secara alami terdapat didalam tanah sehingga sangat mudah mencemari

tanaman yang umumnya tumbuh di dalam tanah seperti biji kacang atau

empon-empon. Bahan baku yang kurang baik dan proses pengolahan yang

tidak tepat dapat meningkatkan kontaminasi aflatoksin pada makanan.

Apabila mengonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dosis tinggi

dalam jangka pendek dapat menyebabkan keracunan akut dan

mengakibatkan terjadinya kerusakan hati, serta pada kasus yang serius dapat

menyebabkan kematian. Sedangakan apabila mengonsumsi makanan yang

mengandung aflatoksin dengan dosis menengah hingga rendah dalam jangka

(34)

kekebalan tubuh, mengganggu metabolism protein, dan mengganggu

ketersediaan gizi mikro. Aflatoksin juga dapat mengganggu pertumbuhan

anak dan mengganggu janin jika dikonsumsi oleh wanita hamil (Pratiwi,

2008).

Angka kapang/khamir merupakan jumlah kapang dan khamir yang

terdapat dalam suatu sampel. Semakin besar jumlah kapang dan kamir,

maka menunjukkan kemunduran dari mutu obat tradisional (Depkes RI,

1994 ; Radji,2010).

Jumlah kapang/ khamir yang terdapat dalam suatu sampel dapat

ditentukan beradasarkan prosedur dalam Metode Analisis Pusat Pengujian

Obat dan Makanan Nasional. Koloni kapang/khamir yang tumbuh pada

media setelah diinkubasi selama 5 hari pada suhu 250C dihitung dan dipilih

cawan petri yang mengandung 10-150 koloni. Hasil perhitungan dinyatakan

sebagai jumlah koloni kapang/khamir yang terdapat dalam satu milliliter

sampel (Anonim,2006).

E. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang memiliki

ciri-ciri tidak berspora, tidak bergerak, berdiameter sekitar 0,5 - 1 µm, menghasilkan

enzim katalase dan bersifat koagulase positif. Bakteri S.aureus biasanya

membentuk koloni berwarna abu-abu hingga kuning tua kecoklatan (Hennekine

(35)

370C tetapi suhu terbaik untuk menghasilkan pigmen adalah suhu ruangan

(20-250C) (Brooks, 2007).

S.aureus dapat ditemukan dalam saluran pernafasan, permukaan kulit

dan rambut hewan berdarah panas terutama manusia.Lebih dari 30-50% populasi

manusia adalah pembawa S. aureus (Le Loir dkk., 2003). Makanan yang diolah

menggunakan tangan atau yang kontak langsung dengan tangan (salah satunya

adalah jamu cekok) sangat mudah tercemar oleh bakteri S.aureus. Hal ini dapat

terjadi karena S.aureus merupakan flora normal yang terdapat pada permukaan

kulit (Hennekinne, 2009). Hampir semua orang pernah mengalami infeksi

S.aureus selama hidupnya dengan tingkat keparahan yang beragam, dari

keracunan makanan atau infeksi kulit ringan hingga infeksi berat yang

mengancam jiwa (Brooks, 2007).

S.aureus dapat menghasilkan enterotoksin yang tahan panas dan dapat

menyebabkan keracunan makanan pada manusia bersama dengan makanan yang

terkontaminasi. Apabila makanan yang dikonsumsi terkontaminasi oleh

Staphylococcal enterotoksin (SE), maka SE akan masuk ke saluran pencernaan

dan mencapai usus halus. Selanjutnya toksin tersebut akan merusak dinding usus

halus dan menimbulkan sekresi jaringan usus dengan cepat (Brooks, 2007).

F. Media

Media adalah suatu substrat yang mengandung unsur-unsur makanan

(nutrisi) yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Mikroba

dapat tumbuh dengan baik pada suatu media yang memiliki kondisi lingkungan

(36)

memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda dalam persyaratan

pertumbuhannya. Ada mikroba yang dapat hidup pada media yang mengandung

sulfur dan ada pula yang membutuhkan tambahan zat-zat tertentu untuk dapat

hidup. Berdasarkan karakteristik pertumbuhan mikroba inilah yang menyebabkan

beberapa peneliti memodifikasi media sebagai penunjang pertumbuhan mikroba

(Rao, 2013).

Media yang digunakan dalam penelitian, antara lain:

1. Plate Count Agar

Plate Count Agar (PCA) merupakan media yang digunakan untuk

menghitung jumlah bakteri yang terdapat dalam produk susu dan produk

makanan lainnya, termasuk obat tradisional. Plate Count Agar mengandung

nutrisi yang penting bagi pertumbuhan mikroorganisme (Bridson, 2006).

2. Pepton Dextrose Agar

Pepton Dextrose Agar (PDA) merupakan media yang digunakan untuk

menstimulasi pertumbuhan konidia fungi (kapang/khamir). Pepton Dextrose

Agar mengandung dekstrosa dan ekstrak kentang sebagai sumber nutrisi

yang baik untuk pertumbuhan fungi (Bridson, 2006).

3. Giolitti- Cantoni Broth

Media Giolitti- Cantoni Broth merupakan media pengkayaan S.aureus yang

digunakan sebelum prosedur isolasi. Media Giolitti- Cantoni Broth

mengandung tripton, ekstrak daging sapi, ekstrak khamir, D-manitol,

natrium klorida, litium klorida, glisin, vitamin dan mineral (Oxoid, 2013a).

(37)

Baird Parker Agar (BPA) merupakan salah satu media selektif yang

digunakan untuk memperoleh biakan murni S.aureus berdasarkan karakter

biokimianya yang akan mempengaruhi sifat pertumbuhan bakteri pada

media (BPOM RI,2008). Baird Parker Agar mengandung natrium piruvat

yang berfungsi untuk melindungi sel yang rusak, emulsi kuning telur sebagai

agen diagnostik, dan litium, glisin serta tellurit sebagai agen selektif (Oxoid,

2013b).

G. Keterangan Empiris

Penelitian ALT, AKK, dan identifikasi S.aureus dilakukan untuk

menjamin keamanan obat tradisional untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang cemaran

mikroorganisme dalam sediaan obat tradisional, yaitu jamu cekok yang

(38)

21 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian non eksperimental dengan

rancangan penelitan deskriptif eksploratif. Penelitian dilakukan di Laboratorium

Balai Kesehatan Yogyakarta.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas : waktu pengambilan sampel jamu cekok yang dijual oleh

penjual jamu racik “X” di Yogyakarta

b. Variabel tergantung : nilai angka lempeng total (ALT), angka

kapang/khamir (AKK), keberadaan S.aureus yang terdapat dalam sediaan

jamu cekok yang diperoleh dari penjual jamu racik “X” di Yogyakarta.

c. Variabel pengacau terkendali : suhu inkubasi, lama inkubasi, media yang

digunakan, sterilisasi alat, sterilisasi media

d. Variabel pengacau tak terkendali : cara pembuatan jamu cekok, kualitas

(39)

2. Definisi operasional

a. Jamu cekok adalah suatu ramuan yang berbahan dasar temulawak,

lempuyang gajah dan temu hitam yang telah dihaluskan dan diberi sedikit

air rebusan brotowali dan daun pepaya, ditempatkan pada kain kecil dan

setiap bagian ujung kain diikat seperti membungkus, kemudian diperas

dan diberikan kepada anak dengan cara dicekok atau membuka paksa

mulut anak sehingga cairannya masuk ke dalam mulut.

b. Angka Lempeng Total (ALT) merupakan jumlah koloni bakteri yang

terdapat dalam tiap 1 ml sampel jamu cekok.

c. Angka kapang/khamir (AKK) merupakan jumlah koloni kapang dan

khamir yang terdapat dalam jamu cekok dan dihitung dengan rumus yang

telah ditentukan tanpa membedakan morfologi koloni.

d. Uji Staphylococcus aureus merupakan uji yang dilakukan untuk

menetapkan adanya S.aureus dengan cara melihat ada tidaknya

pertumbuhan S.aureus pada media yang digunakan.

C. Bahan Penelitian

1. Bahan utama yang digunakan, yaitu jamu cekok dari penjual jamu racik

“X” di Yogyakarta

2. Media yang digunakan antara lain Plate Count Agar (PCA) untuk uji ALT,

Potato Dextrose Agar (PDA) untuk uji AKK, media pengkayaan (Giolitti-

Cantoni Broth), media selektif (Baird Parker Agar), media identifikasi

(40)

Saccharose Broth, Simmon Citrate Agar, Sulphur Indole Motility Agar,

dan Nutrient Agar).

3. Pereaksi yang digunakan adalah reagen Staphylococcus aureus Kit

(Plamatec), H2O2 3%, Perwarnaan Gram (Gram A, Gram B, Gram C,

Gram D).

4. Bakteri pembanding : Staphylococcus aureus ATCC 25923

D. Alat Penelitian

Microbiological Safety Cabinet (MSC), Inkubator (WTC Bider),

stomacher, Mikroskop (Olympus Corp. Model U-MDOB3), pipet tetes, tabung

reaksi (Pyrex), cawan petri (Pyrex), pipet volume (Pyrex), gelas ukur (Pyrex),

neraca analitik (Sartorius), lampu spiritus dan jarum ose dispossible.

E. Tata Cara Penelitian 1. Penentuan dan pemilihan sampel

Sampel jamu cekok yang digunakan adalah jamu cekok yang dibuat

sendiri oleh penjual “X” di Yogyakarta yang sudah puluhan tahun menjual

jamu cekok dan sangat terkenal bahkan sampai luar Jogja. Sampel jamu

cekok diambil sebanyak tiga kali dalam waktu yang berbeda dengan selang

waktu selama 1 minggu. Sampel diambil dan dipindahkan ke dalam botol

steril. Kemudian sampel jamu dibawa ke laboratorium dan dilakukan

pengujian yang meliputi uji Angka Lempeng Total, Angka Kapang/Khamir

(41)

2. Homogenisasi dan pengenceran sampel

Sampel yang akan diuji terlebih dahulu dihomogenkan dengan larutan

pengencer pepton dilution fluid (PDF). Sebanyak 25 ml sampel jamu cekok

ditambahkan dengan 225 ml larutan pepton dilution fluid (1:10) sehingga

diperoleh pengenceran 10-1. Hasil pengenceran, dipipet sebanyak 1 ml sampel

ke dalam tabung yang berisi 9 ml larutan pengencer PDF sehingga diperoleh

pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan demikian seterusnya sehingga

diperoleh pengenceran bertingkat sampai 10-5.

3. Uji ALT

Sampel dari masing-masing pengenceran diambil sebanyak 1 ml,

dimasukkan ke dalam cawan petri dan dibuat duplo. Setiap cawan petri

tersebut dituangkan sebanyak 15 ml media PCA yang telah dicairkan yang

bersuhu 45 ± 10C dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama. Cawan

petri digoyangkan dengan hati-hati hingga tercampur merata. Untuk

mengetahui sterilitas media dan pengencer dibuat uji kontrol (blangko)

dengan diberikan 1 ml pengencer dan media pada satu media cawan petri,

dibiarkan hingga membeku (memadat). Setelah media memadat, cawan petri

diinkubasi pada suhu 35 ± 10C selama 24-48 jam. Koloni yang tumbuh pada

setiap cawan petri yang mengandung 25-250 koloni setelah 48 jam dicatat.

Koloni yang tumbuh pada cawan petri dihitung rata-rata jumlah koloni dan

dikalikan dengan faktor pengencer yang digunakan. Hasil dinyatakan

(42)

4. Uji AKK

Sampel jamu cekok dari masing-masing pengenceran diambil

sebanyak 1 ml, dimasukkan ke dalam cawan petri dan dibuat duplo. Setiap

cawan petri ditambahkan sebanyak 15 ml media PDA yang telah dicairkan

pada suhu 45 ± 10C dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama. Cawan

petri digoyang dengan hati-hati hingga sampel dan media tercampur merata,

dibiarkan hingga membeku (memadat). Untuk mengetahui sterilitas media

dan pengencer dibuat uji kontrol (blangko). Setelah media memadat, cawan

petri diinkubasikan pada suhu 250C atau suhu kamar selama 5 hari dan

diamati pada hari ke-3 sampai hari ke-5. Dicatat pertumbuhan koloni pada

setiap cawan petri yang mengandung 10-150 koloni. Jumlah koloni yang

tumbuh dihitung dengan mengalikan jumlah koloni pada cawan dengan

faktor pengencer yang digunakan kemudian diambil angka rata-rata. Hasil

dinyatakan sebagai angka lempeng total dalam tiap gram atau ml sampel

(Anonim, 2006).

5. Uji identifikasi S.aureus

a. Uji pengkayaan dalam media Giolitti-Cantoni Broth

Secara aseptik, dipipet 1mL cuplikan tiap sampel dan dimasukkan ke

dalam tabung yang berisi 9 mL Giolitti-Cantoni Broth, dicampur homogen

dan diinkubasi pada suhu 35- 370C selama 24 jam. Pada kontrol positif,

ditanam 1 jarum ose bakteri S.aureus ATCC 25923 ke dalam tabung reaksi

yang berisi 9 mL Giolitti-Cantoni Broth, dikocok homogen dan

(43)

perubahan warna pada media menjadi hitam keruh yang menunjukkan adanya

pertumbuhan S.aureus.

b. Isolasi koloni S.aureus dari jamu cekok dalam media selektif Baird Parker

Agar

Satu sengkelit koloni dari uji pengkayaan diambil dan digoreskan

pada lempeng media selektif Baird Parker Agar dengan teknik streak plate .

Pada kontrol positif S.aureus ATCC 25923 juga dilakukan hal yang sama.

Kemudian semua lempeng diinkubasikan 35- 370C selama 48 jam dengan

posisi lempeng terbalik. Setelah 48 jam, diamati adanya pertumbuhan koloni

yang berwarna hitam mengkilat dan zona putih disekelilingnya. Hasil

perlakuan dibandingkan dengan kontrol positif.

c. Identifikasi S.aureus

Satu koloni spesifik yang tumbuh pada media selektif Baird Parker

Agar dipilih dan ditanamkan pada media Nutrient Agar (NA) miring secara

goresan. Kemudian dilakukan uji fermentasi gula-gula, uji motilitas, uji sitrat,

(44)

1) Uji fermentasi gula-gula

Koloni yang dipilih adalah koloni tersangka biakan yang tumbuh

pada media Baird Parker Agar dan kontrol positif S.aureus ATCC 25923.

Kemudian diinokulasikan pada media Glucose Broth, Lactose Broth,

Mannitol Broth, Maltosa Broth, dan Saccharose Broth secara aseptik.

Diinkubasikan 35- 370C selama 24 jam, diamati perubahan warna pada media

menjadi kuning dan tidak adanya gas yang terjadi setelah diinkubasi selama

24 jam.

2) Uji motilitas

Koloni yang digunakan adalah koloni tersangka biakan yang tumbuh pada

media Baird Parker Agar dan kontrol positif S.aureus ATCC 25923,

kemudian diinokulasikan secara aseptik pada media Sulphur Indol Motility

(SIM) dengan cara ditusukan tegak lurus pada media agar tegak dan

diinkubasi pada suhu 35-370C selama 24 jam. Perubahan yang terjadi pada

media diamati dan hasil perlakuan dinyatakan positif terdapat S.aureus

apabila tidak menyebarnya pertumbuhan bakteri pada bekas tusukan pada

media yang menunjukkan bakteri tersebut bersifat non motil.

3) Uji sitrat

Koloni yang digunakan adalah koloni tersangka biakan yang tumbuh

pada media Baird Parker Agar dan kontrol positif S.aureus ATCC 25923,

kemudian diinokulasikan secara aseptik pada media Simmon’s Citrate Agar

(SCA) dengan cara ditusukan tegak lurus pada media agar tegak dan

(45)

pada media diamati, apabila media dari hijau menjadi biru bahwa bakteri

mampu menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber energi.

4) Uji koagulase

Koloni yang digunakan adalah koloni tersangka biakan yang tumbuh

pada media Baird Parker Agar dan kontrol positif S.aureus ATCC 25923,

kemudian diinokulasikan secara aseptik pada media NA miring dan dinkubasi

pada suhu 35-370C selama 24 jam. Satu ose bakteri pada media NA miring

diambil, diletakkan pada kaca objek dan diteteskan reagen S.aureus Kit. Hasil

uji dinyatakan positif terdapat S.aureus apabila terjadi penggumpalan.

5) Uji katalase

Koloni yang digunakan adalah koloni tersangka biakan yang tumbuh

pada media Baird Parker Agar dan kontrol positif S.aureus ATCC 25923,

kemudian diinokulasikan secara aseptik pada media NA miring dan

diinkubasi pada suhu 35-370C selama 24 jam. Satu ose bakteri dari NA

miring diambil, diletakkan pada kaca objek dan diteteskan reagen H2O2 3%.

Hasil uji dinyatakan positif terdapat S.aureus apabila terjadi reduksi H2O2

akan terlihat adanya gelembung O2 di sekitar pertumbuhan bakteri.

6) Uji mikroskopik dengan pengecatan Gram

Koloni yang digunakan adalah koloni tersangka biakan yang tumbuh

pada media Baird Parker Agar dan kontrol positif S.aureus ATCC 25923,

kemudian diinokulasikan secara aseptik pada media NA miring dan

diinkubasi pada suhu 35-370C selama 24 jam. Sebanyak satu ose bakteri pada

(46)

dengan kaca penutup yang sudah dibersihkan dan difiksasi di atas nyala api

bunsen. Kemudian diteteskan zat warna dasar (kristal violet) sebanyak 2 tetes

dan didiamkan selama 1 menit. Setelah itu dicuci dengan air mengalir dan

dikeringkan. Kemudian ditetesi dengan larutan lugol iodin dan didiamkan

selama 1 menit. Setelah kering, dicuci dengan alkohol (larutan peluntur)

sebanyak 2 tetes dan didiamkan ± 30 detik, dicuci dengan air mengalir lalu

dikeringkan. Selanjutnya diberi zat warna pembanding atau penutup yaitu

safranin sebanyak 2 tetes dan didiamkan selama 2 menit. Kemudian dicuci

dengan air mengalir lalu dikeringkan. Selanjutnya diamati dengan mikroskop

dan hasil uji dinyatakan positif terdapat S.aureus apabila berbentuk kokus

dan berwarna ungu serta bergerombol

7) Interpretasi hasil

S.aureus dinyatakan positif terdapat dalam jamu cekok apabila hasil

menunjukkan identitas sesuai tabel I

(47)

F. Analisis Hasil 1. Uji ALT

Cara menghitung dan menyatakan hasil pengujian, sebagai berikut:

a. Cawan petri yang dipilih untuk perhitungan adalah cawan petri dari satu

pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 25 - 250 setiap

cawan. Semua koloni dalam cawan petri dihitung. Rata-rata koloni

dihitung dan dikalikan dengan faktor pengenceran. Hasilnya dinyatakan

sebagai jumlah bakteri per milliliter atau gram.

b. Jika salah satu dari dua cawan petri terdapat jumlah koloni lebih kecil dari

25 atau lebih besar dari 250, dihitung rata-rata jumlah koloni, dikalikan

dengan faktor pengenceran dan hasilnya dinyatakan sebagai jumlah bakteri

permililiter atau gram.

c. Jika hasil dari dua pengenceran jumlahnya berturut-turut terletak antara

25 - 250 koloni, dihitung jumlah koloni dari masing-masing pengenceran

seperti yang disebut pada butir a dan b di atas, dan dihitung rata-rata

jumlah koloni dari kedua pengenceran tersebut. Jika jumlah yang tertinggi

lebih besar dari dua kali jumlah yang terkecil, jumlah yang lebih kecil

dinyatakan sebagai jumlah bakteri per milliliter atau gram.

d. Jika rata-rata jumlah koloni masing-masing cawan petri tidak terletak

antara 25 - 250 koloni, dihitung jumlah koloni seperti pada butir a dan b di

atas, dan dinyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan per milliliter atau

(48)

e. Jika jumlah koloni dari semua pengenceran lebih dari 250 koloni, maka

setiap dua cawan petri dengan pengenteran tertinggi di bagi ke dalam 2,4

atau 8 sektor. Dihitung jumlah koloni dalam satu bagian atau lebih. Untuk

mendapatkan jumlah koloni dalam satu cawan petri, dihitung rata-rata

jumlah koloni dan dikalikan dengan faktor pembagi dan pengenceran.

Hasil dinyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan per mililiter atau gram.

f. Jika dalam 1/8 bagian cawan petri terdapat lebih dari 200 koloni, maka

jumlah koloni yang didapat = 8 x 200 (1600), dikalikan dengan faktor

pengenceran dan hasilnya dinyatakan sebagai jumlah bakteri perkiraan per

milliliter atau gram lebih besar dari jumlah yang didapat (lebih besar dari

1600 x faktor pengenceran).

g. Jika tidak ada koloni yang tumbuh dalam cawan petri, dinyatakan jumlah

bakteri perkiraan lebih kecil dari satu dikalikan dengan faktor pengenceran

yang terendah (< 10)

h. Menghitung koloni perambat (Speader)

Ada 3 macam perambatan pada koloni, yaitu :

(1) Merupakan rantai yang tidak terpisah-pisah

(2) Perambatan yang terjadi diantara dasar cawan petri dan pembenihan

(3) Perambatan yang terjadi pada pinggir atau permukaan pembenihan

Kalau terjadi hanya 1 (satu) perambatan (seperti rantai) maka koloni

dianggap 1 (satu). Tetapi bila 1 atau lebih rantai terbentuk dan yang berasal

dari sumber yang berpisah-pisah, maka tiap sumber dihitung sebagai 1 (satu)

(49)

Bila (2) dan (3) terjadi maka sebaiknya pemeriksaan diulangi karena

koloni dalam keadaan semacam ini agak sukar dihitung.

i. Cara menghitung dan membulatkan angka

Dalam melaporkan jumlah koloni atau jumlah koloni perkiraan

hanya 2 angka penting yang digunakan, yaitu angka yang pertama dan

kedua (dimulai dari kiri), sedangkan angka yang ketiga diganti dengan 0

apabila kurang dari 5 dan apabila 5 atau lebih dijadikan 1 yang

ditambahkan pada angka yang kedua.

Contoh : 523.000 dilaporkan sebagai 520.000 (5,2 x 105)

83.600 dilaporkan sebagai 84.000 (8,4 x 104)

(SNI,1992).

2. Uji AKK

Cawan petri yang dipilih untuk perhitungan adalah cawan petri dari

pengenceran yang menunjukkan jumlah koloni antara 10 - 150. Jumlah koloni

dari kedua cawan dihitung lalu dikalikan dengan faktor pengencerannya. Bila

pada cawan petri dari dua tingkat pengenceran yang berurutan menunjukkan

jumlah antara 10 - 150, maka dihitung jumlah koloni dan dikalikan faktor

pengenceran, kemudian diambil angka rata-rata. Hasil dinyatakan sebagai

(50)

Untuk beberapa kemungkinan lain yang berbeda dari pernyataan di atas,

maka diikuti petunjuk sebagai berikut :

a. Bila hanya salah satu di antara kedua cawan petri dari pengenceran yang

sama menunjukkan jumlah antara 10 - 150 koloni, dihitung jumlah koloni

dari kedua cawan dan dikalikan dengan faktor pengenceran.

b. Bila pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi didapat jumlah koloni

lebih besar dari dua kali jumlah koloni pada pengenceran di bawahnya,

maka dipilih tingkat pengenceran terendah (Misal: pada pengenceran 10-2

diperoleh 60 koloni dan pada pengenveran 10-3 diperoleh 30 koloni, maka

dipilih jumlah koloni pada pengenceran 10-2 yaitu 60 koloni).

Bila pada pengenceran yang lebih tinggi didapat jumlah koloni kurang dari

dua kali jumlah koloni penegnceran dibawahnya, maka diambil angka

rata-rata dari jumlah koloni dari kedua pengenceran tersebut. Hasil

dinyatakan sebagai angka kapang dan khamir dalam tiap gram sampel

(Misal pada pengenceran 10-2 diperoleh 6 koloni dan pengenceran 10-3

diperoleh 10 koloni, maka angka kapang/khamir adalah:

6 + 10

2 × 10

3 = 8 × 103

c. Bila dari seluruh cawan petri tidak ada satupun yang menunjukkan jumlah

antara 10 - 150 koloni, maka dicatat angka sebenarnya dari tingkat

pengenceran terendah dan dihitung sebagai angka kapang dan khamir

(51)

d. Bila tidak ada pertumbuhan pada semua cawan dan bukan disebabkan

karena faktor inhibitor, maka angka kapang dan khamir dilaporkan sebagai

kurang dari satu dikalikan faktor pengenceran terendah (< 1 x faktor

pengenceran terendah) (Anonim, 2006).

3. Uji identifikasi S.aureus

Jika pada media terdapat pertumbuhan koloni menunjukkan hasil

yang sesuai dengan interpretasi pada tabel I, maka dapat dinyatakan S.aureus

(52)

35 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penentuan dan Pengambilan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah jamu cekok yang

diproduksi oleh penjual jamu racik “X” di Yogyakarta. Jamu racik “X” dipilih

karena jamu ini merupakan salah satu jenis jamu yang banyak diminati oleh

masyarakat kota Yogyakarta maupun luar Yogyakarta. Jamu cekok biasanya

digunakan untuk meningkatkan nafsu makan pada anak-anak. Berdasarkan hasil

observasi yang telah dilakukan, jamu cekok diolah sehari sebelum jamu

dijajakan. Proses pembuatannya menggunakan peralatan yang sederhana dan

dibersihkan dengan membilas menggunakan air. Bahan dasar jamu yang telah

diolah disimpan dalam wadah besar tanpa ditutup dan dalam rentang waktu

penjualan tidak dilakukan pemanasan berulang sehingga berpotensi

menyebabkan kontaminasi mikroba.

Sampel jamu diambil sebanyak tiga kali dalam selang waktu satu minggu

dengan tujuan untuk mengetahui keseragaman sediaan jamu cekok yang diuji.

Pengambilan sampel dilakukan secara aseptis yaitu dengan memasukkan sampel

ke dalam botol steril dan disimpan dalam cool box. Sampel jamu yang diambil

dimasukkan ke dalam botol kaca steril dan berwarna gelap agar terhindar dari

sinar matahari yang dapat merusak sampel. Selama dalam perjalanan menuju

laboratorium, sampel dibawa dan disimpan dalam box yang berisi es batu (cool

(53)

kontaminasi dari lingkungan selama perjalanan dari tempat penjual jamu racik X

menuju tempat penelitian (laboratorium kesehatan Yogyakarta) dan untuk

memperlambat pertumbuhan mikroba.

Gambar 1. Sampel jamu cekok dalam wadah botol steril

B. Homogenisasi dan Pengenceran Sampel

Homogenisasi sampel merupakan tahap awal penyiapan sampel yang

dilakukan sebelum dilakukan pengujian selanjutnya, yaitu uji ALT, AKK, dan

identifikasi S.aureus. Homogenisasi dilakukan untuk memperoleh distribusi yang

seragam di dalam sampel yang akan ditetapkan.

Proses homogenisasi dilakukan secara aseptis dekat dengan nyala api

bunsen, dengan mengencerkan 25 ml sampel menggunakan 225 ml larutan

pengencer dan dihomogenkan dengan stomacher sehingga diperoleh suspensi

dengan pengenceran 10-1.Kemudian dari pengenceran tersebut diambil 1 ml dan

(54)

pengenceran 10-2 sampai pengenceran 10-5. Pengenceran suspensi sampel

dilakukan untuk mendapatkan koloni yang terpisah dan jumlah koloni yang

sekurang-kurangnya dalam satu cawan memenuhi range yang telah ditetapkan

sehingga mempermudah perhitungan koloni. Jika tidak dilakukan pengenceran,

maka koloni yang tumbuh akan sangat pekat sehingga akan mempersulit proses

perhitungan jumlah koloni. Hal ini disebabkan karena jumlah mikrobia yang

terdapat dalam sampel tersebut tidak diketahui sebelumnya.

Larutan pengencer yang digunakan adalah Peptone Dilution Fluids

(PDF), yang juga berperan sebagai sumber nutrisi untuk pertumbuhan mikrobia

karena banyak mengandung pepton. Pepton merupakan salah satu sumber

nitrogen yang dapat digunakan oleh mikrobia untuk dapat hidup dan tumbuh

dalam media yang sesuai (Bridson, 2006).

C. Uji Angka Lempeng Total (ALT)

Uji ALT merupakan salah satu parameter mikrobiologis yang dilakukan

untuk menentukan jumlah cemaran mikroba, khususnya bakteri yang terdapat

dalam sediaan jamu cekok. Prinsip pengujian ALT yaitu pertumbuhan bakteri

mesofilik setelah sampel diinokulasi dan diinkubasi dalam media pembenihan

yang sesuai pada suhu 350C selama 24 - 48 jam (SNI, 1992). Suhu inkubasi 350C

digunakan untuk menghambat pertumbuhan fungi, karena suhu optimum

pertumbuhan fungi berkisar pada suhu 25 - 300C, sedangkan suhu optimum

pertumbuhan bakteri mesofilik adalah 25 - 450C sehingga bakteri dapat tumbuh

(55)

dihitung dengan cara viable count, dimana diasumsikan bahwa setiap sel

mikrobia yang hidup akan tumbuh membentuk satu koloni setelah diinkubasikan

dalam media pembiakan pada kondisi yang sesuai (Hadioetomo, 1995).

Dalam uji ALT, setiap sampel dibuat seri pengencer 10-1 sampai 10-5 dan

masing-masing pengenceran dibuat duplo dengan tujuan untuk meningkatan

akurasi perhitungan. Setelah semua sampel diencerkan, maka sampel ditanam

dalam media Plate Count Agar (PCA) yang mengandung sumber nutrisi untuk

pertumbuhan bakteri. Teknik penanaman menggunakan metode taburan (pour

plate), dimana media PCA dituangkan ke dalam cawan petri yang berisi 1 ml

sampel, kemudian didinginkan hingga padat dan diinkubasi dengan posisi

terbalik agar uap air yang terkondensasi pada tutup cawan tidak menetes ke

media sehingga tidak mengganggu perhitungan koloni. Metode pour plate

digunakan karena tidak diketahui sifat akan kebutuhan oksigen dari bakteri yang

terdapat dalam sampel jamu cekok, sehingga bakteri yang bersifat aerob dan

anaerob dapat tumbuh dengan baik pada media dan jumlah koloni yang dihitung

merupakan jumlah keseluruhan sel yang hidup.

Setiap proses pengerjaan dalam penelitian dilakukan secara aseptis yaitu

dekat dengan nyala lampu spiritus (jarak 20 cm dari nyala lampu spiritus) dan di

dalam Microbiological Safety Cabinet (MSC). Proses pengerjaan secara aseptis

dilakukan untuk menghindari adanya kontaminasi baik pada alat maupun bahan

digunakan yang dapat mempengaruhi nilai ALT yang dihasilkan. Untuk

mengetahui bahwa bakteri yang tumbuh pada media biakan merupakan bakteri

(56)

media dan kontrol pelarut. Kontrol media hanya berisi PCA, yang dimaksukan

untuk memastikan bahwa media yang digunakan tidak terkontaminasi sehingga

bakteri yang tumbuh bukan berasal dari media yang digunakan. Kontrol pelarut

dibuat dengan menambahkan media PCA dan pelarut tanpa penambahan sampel.

Pembuatan kontrol pelarut dimaksudkan untuk memastikan bahwa bakteri yang

tumbuh bukan berasal dari larutan pengencer yang digunakan.

Gambar 2. Kontrol media (A) dan kontrol pelarut (B)

Pada gambar 2, tidak tampak adanya pertumbuhan koloni bakteri pada

media setelah diinkubasi pada suhu 35 0C selama 24-48 jam. Hasil pengujian

menunjukkan bahwa media maupun pelarut yang digunakan tidak mengandung

bakteri dan koloni yang tumbuh pada media biakan benar-benar bakteri yang

berasal dari sampel jamu cekok tersebut.

Koloni yang tumbuh pada media setelah diinkubasi pada suhu 35 ± 10C

selama 24 - 48 jam, dihitung menggunakan cara yang ditetapkan dalam Standar

(57)

sebagai jumlah koloni per mL sampel. Pada pengujian ALT, dipilih cawan petri

yang menunjukkan pertumbuhan koloni berada dalam rentang 25 - 250 koloni.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 661/MENKES /SK /VI I/1994,

nilai ALT pada cairan obat dalam tidak boleh lebih dari 104 koloni/ml sehingga

ALT harus ditekan sekecil mungkin.

Gambar 3. Hasil pengujian ALT setelah inkubasi 48 jam

Keterangan gambar :

A : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-1 B : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-2 C : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-3 D : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-4 E : pertumbuhan koloni pada seri pengenceran 10-5

B

A

B

E D

(58)

Pada gambar 3, tampak adanya pertumbuhan koloni bakteri berwarna

putih pada media dengan seri pengenceran 10-1 - 10-5. Koloni yang tumbuh

dihitung dan dinyatakan hasilnya sebagai jumlah koloni per mL. Seri pengenceran

yang digunakan untuk menghitung jumlah koloni tergantung pada kepekatan

suspense dari masing-masing sampel. Pada setiap sampel dengan seri pengeceran

10-1 - 10-3 memiliki jumlah koloni yang sangat banyak dan pekat sehingga sulit

untuk dihitung dan tidak digunakan untuk menghitung jumlah koloni.

Tabel II. Angka Lempeng Total pada Jamu Cekok yang diproduksi

oleh penjual jamu Racik “X” di Yogyakarta

(59)

Berdasarkan tabel II (tabel lengkap pada lampiran 2), terlihat bahwa pada

setiap sampel dengan pengenceran 10-1 sampai pengenceran 10-3 dan 10-4 untuk

sampel 2, memiliki jumlah koloni yang sangat banyak dan sulit untuk dihitung

sehingga jumlah koloni dinyatakan tak terhingga (∞). Pada sampel 1 dan 3, cawan

petri yang digunakan untuk perhitungan jumlah koloni adalah pengenceran 10-4

dan 10-5 karena pada pengenceran tersebut memiliki jumlah koloni yang berada

dalam rentang 25 – 250 koloni, sedangkan pada sampel 2, hanya pengenceran 10-5

yang memiliki jumlah koloni dalam rentang 25 – 250 koloni, sehingga dapat

digunakan untuk perhitungan ALT.

Nilai ALT dari ketiga sampel jamu cekok yang diambil dalam tiga waktu

yang berbeda menunjukkan nilai ALT melebihi standar yang diperbolehkan.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No:661/MENKES/SK/VII/1994,

Angka lempeng total tidak boleh lebih dari 104 (Depkes RI, 1994). Angka

lempeng total yang tinggi pada sampel jamu yang diteliti kemungkinan

disebabkan karena proses pembuatan maupun proses penyimpanan yang kurang

higienis seperti bahan baku jamu cekok berupa rimpang yang tumbuh di dalam

tanah hanya dicuci satu kali menggunakan air dan bagian kulit rimpang tidak

dikupas sehingga ada kemungkinan tercemar bakteri yang hidup di tanah seperti

Escherichia coli, Pseudomonas dan Bacillus species (Reid and Wong, 2005).

Selain itu, peralatan yang digunakan hanya dibilas menggunakan air, racikan jamu

cekok yang disimpan dalam wadah besar terbuka dan peramu atau penjual tidak

mencuci tangan sebelum meramu atau mencekokkan jamu tersebut. Tingginya

(60)

baku atau pengolahan jamu cekok tercemar oleh bakteri yang hidup di air seperti

Escherichia coli, Salmonella, Shigella, Pseudomonas dan Vibrio cholerae

(Cabral, 2010). Proses pengemasan dan transportasi juga dapat mempengaruhi

tingginya nilai ALT jamu cekok seperti saat memasukkan sampel ke dalam botol

steril tidak secara aseptis yaitu dekat dengan lampu bunsen dan sampel jamu

cekok yang tumpah tidak dibersihkan dengan kasa yang diberi alkohol, serta saat

proses transportasi ada cemaran mikroba melalui udara.

D. Uji angka kapang/khamir (AKK)

Uji angka kapang/khamir merupakan salah satu parameter mikrobiologis

yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar jumlah kapang/khamir yang

terdapat dalam sediaan obat tradisional. Jumlah kapang/khamir yang melebihi

batas yang ditetapkan menunjukkan kemunduran mutu obat tradisional dan

dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan Prinsip

pengujian AKK adalah melihat adanya pertumbuhan kapang/khamir pada media

yang sesuai setelah diinkubasi selama 5 hari pada suhu 250C. Kapang/khamir

memiliki struktur yang lebih kompleks dan memerlukan waktu yang relatif lama

untuk membentuk spora (Bryson, 2006).

Untuk mengetahui berapa besar jumlah kapang/khamir yang terdapat

dalam sediaan jamu cekok, maka dapat digunakan metode hitungan cawan petri

yang didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang hidup akan berkembang

menjadi satu koloni. Perhitungan sel-sel hidup dilakukan dengan metode plate

count yaitu menghitung jumlah sel yang mampu membentuk koloni pada media

Gambar

Tabel III. Angka kapang/khamir rata-rata pada jamu cekok yang diproduksi
Tabel I. Hasil identifikasi positif S.aureus menurut Holt, Krieg, Sneath, Staley,
Gambar 1. Sampel jamu cekok  dalam wadah botol steril
Gambar 3. Hasil pengujian ALT setelah inkubasi 48 jam
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cemaran bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang terdapat pada jamu gendong yang dijual oleh beberapa orang

Salah satu parameter standar mutu bahan baku obat tradisional adalah uji Angka Lempeng Total, yang digunakan untuk menetapkan angka bakteri aerob mesofil dalam sediaan jamu

aureus pada kelima sampel pedagang jamu di Pasar Gede Surakarta menunjukkan hasil negatif, yang berarti simplisia jamu kunyit tidak mengandung bakteri S. Hasil

Salah satu parameter standar mutu bahan baku obat tradisional adalah uji Angka Lempeng Total, yang digunakan untuk menetapkan angka bakteri aerob mesofil dalam sediaan jamu

Setelah diinkubasi, pada kontrol positif, sampel 2 (koloni 1 dan 2), dan sampel 3 (koloni 1) menunjukkan hasil positif, ditandai dengan adanya perubahan warna media dari

Keterangan: A : Hasil uji indol sampel I pada media SIM agar B : Hasil uji indol sampel II pada media SIM agar C : Hasil uji indol sampel III pada media SIM agar K+ :

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah jumlah angka lempeng total dan angka kapang khamir yang terdapat pada saus cabai yang dijual di Pasar Bersama Kota Medan

Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya jumlah AKK dan ALT adalah bahan baku yang digunakan oleh penjual jamu gendong di Pasar Tarumanegara kota Magelang adalah berupa