• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III HOMOSEKSUAL

D. Homoseks dalam Tinjauan Hukum Islam

Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.22 Umat Islam meyakini bahwa Allah swt adalah pembuat hukum (Al-Musyarri’). Pandangan ini secara otomatis menerangkan bahwa menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah mutlak menjadi hak prerogatif Allah swt. Bahkan, larangan homoseksual sangat jelas ketentuannya baik dalam al-Quran maupun hadis. Seperti dalam surah An-Nahl/16 ayat 116: ☺ ⌧ ⌧ Artinya:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung. (QS. Al-Nahl/16: 116)

Dengan demikian, siapa pun orangnya yang mengaku Islam ia berhak tunduk kepada hukum Islam tentang haramnya hubungan seksual sesama jenis.

Homoseksual dalam Islam biasa disebut dengan liwath23. Hukuman liwath

(homoseksual) berbeda dengan hukuman zina. Karena, memang zina berbeda dengan liwath. Fakta (tentang) liwath berbeda dengan fakta zina. Di antara keduanya berbeda. Liwath tidak termasuk jenis dari perzinaan, sehingga dapat dikatakan bahwa liwath masuk kedalam keumuman dalil-dalil syara' yang menyebut tentang perzinaan. Zina

22

“Prof UIN Jakarta, Halalkan Homoseksual”, di akses pada 18 mei 2009, dari

www.forum.dudug.net/index.php

23

Liwath adalah menggauli pria dari anusnya atau dengan istilah lain : sodomi. dalam Islam perbuatan terssebut hukumnya haram dan terlaknat.

kedalam farji berbeda dengan masuknya kelamin ke dubur. Jadi, liwath berbeda dengan zina.24

Dalam al-Quran ada banyak ayat yang dengan jelas bahwa Allah swt. melarang dan mengharamkan perbuatan dan perilaku homoseks dengan bentuk dan kondisi apapun. Adapun ayat-ayat yang menyebutkan keharaman homoseks di antaranya:

1. Surat al-Araf ayat 80-81 yang berbunyi:

☺ Artinya:

Dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu[551], yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" (QS. AL-A’raf/7: 80)

Artinya:

Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. Al-A’raf/7: 81)

2. Surah an-Naml ayat 55 yang berbunyi:

Artinya:

"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu),

24

63

bukan (mendatangi) wanita? sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)".

3. Surah al-Ankabut ayat 29 yang berbunyi:

⌧ ☺

⌧ ⌧

Artinya:

Apakah Sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Datangkanlah kepada Kami azab Allah, jika kamu Termasuk orang-orang yang benar".

4. Surat As-Syu’ara ayat 165-166 yang bunyinya:

☺ ⌧

Artinya:

Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia. Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas".

5. Surat Hud ayat 79-82 yang berbunyi:

⌧ ⌧

Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa Kami tidak mempunyai keinginan[731] terhadap puteri-puterimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya Kami kehendaki." Luth berkata: "Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan)." Para utusan (malaikat) berkata: "Hai Luth, Sesungguhnya Kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu Pergilah dengan membawa keluarga dan Pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya Dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; Bukankah subuh itu sudah dekat?". Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,

Ketentuan larangan melakukan homoseksual dan lesbian (Liwath), dalam Hukum Pidana Islam di atur dalam hadis nabi Rasullulah. Rasulullah saw menyebutkan :

“Bunuhlah kedua pelakunya.”

Hukum syara' dalam hukuman liwath adalah bunuh, baik muhshan maupun ghairu muhshan. Setiap orang yang terbukti telah melakukan liwath, keduanya dibunuh sebagai had baginya. Dalilnya adalah Sunnah dan Ijma' sahabat. Dari Sunnah, disebutkan bahwa 'ikrimah dari Ibnu Abbas ra berkata, Rasulullah saw. Bersabda :

ﻲ أ وﺮ ﻋ ﻋ ﺪ ﺰ ﺰ ا ﺪ ﻋ ﺎ ﺛ ﻲ ﻔ ا ﻲ ﻋ ﺪ ﷲا ﺪ ﻋ ﺎ ﺛﺪ

ﺳ و ﻋ ﷲا ﻰ ﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎ لﺎ سﺎ ﻋ ا ﻋ ﺔ ﺮﻜﻋ ﻋ وﺮ ﻋ

"

ﻮ مﻮ ﻋ ﻮ ﺪﺟو

لﻮ ﻔ او ﻋﺎﻔ ا اﻮ ﺎ ط

"

25 Artinya:

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang kalian dapati sedangkan melakukan perbuatannya kaum (Nabi) Luth, maka bunuhlah keduanya.” (HR. Abu Daud)

25

Sulaiman ibn Asy’ab Abu Daud, Sunan Abu Daud, tahqiq Muhammad Muhyiuddin Abdul Hamid, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz II, h. 564, hadits nomor 4462.

65

Oleh karena itu, homoseks merupakan suatu dosa besar dalam Islam dan merupakan perbuatan yang sangat ditakutkan oleh Nabi. Nabi s.a.w. telah bersabda:

ﺪ اﻮ ا ﺪ ﻋ ﺳﺎﻘ ا ﻋ مﺎ ه ﺎ ﺛﺪ نوﺮه ﺪ ﺰ ﺎ ﺛﺪ ﺪ أ ﺎ ﺛﺪ

ﷲا ﻰ ﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎ لﻮﻘ اﺮ ﺎﺟ ﺳ أ ﻘﻋ ﺪ ﷲا ﺪ ﻋ ﻋ ﻲﻜ ا

فﻮﺧأ نإ ﺳو ﻋ

طﻮ مﻮ ﻋ ﻲ أ ﻰ ﻋ فﺎﺧأ ﺎ

26 Artinya:

Dari Ahmad bin Mani’ dari Yazid ibn Harun dari Hamam dari Qasim ibn Abdul Wahid al-Maki, dari Abdullah ibn Muhammad ibn Aqil bahwa ia mendengar Jabir berkara, Rasulullah telah bersabda: Bahwa sesuatu yang paling aku takutkan dari segala apa yang aku takuti terhadap umatku adalah perbuatan kaum Luth. (HR. Al-Turmidzi)

Dalam hal pembuktian liwath sendiri berbeda dengan pembuktian zina. Tidak dibenarkan menyamakan liwath dengan zina. Liwath terbukti dengan adanya pengakuan, kesaksian dua orang saksi, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, sebagaimana bayyinah (pembuktian) pencurian, serta pembuktian pada kes hudud yang lain. Had liwath dapat dijatuhkan dengan syarat, pelaku liwath baik pelaku maupun yang dikumpulinya itu baligh, berakal, karena inisiatif sendiri, da terbukti telah melakukan liwath dengan bukti syar'i, yaitu (dengan) kesaksian dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Seandainya pelaku liwath adalah anak kecil, orang gila, atau dipaksa dengan paksaan yang sangat, maka dia tidak dijatuhi had liwath.

Pembuktian hadd liwath hanya melalui dua cara : (1) pengakuan pelaku, dan (2) adanya dua saksi yang adil. Pelakunya dikenakan hukuman mati, bisa dengan hukuman gantung, rajam, dibakar, dijatuhkan dari tempat yang tinggi, dan sebagainya. Hukuman dan siksaan bagi pelaku Liwath sendiri berbeda-beda, diantaranya Dinukil oleh Ibnul Qayyim bahwa para sahabat rasulullah bersepakat agar pelaku gay dibunuh, tidak ada dua

26

Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, (Beirut: Dar al-Turats al-Arabi, tth), juz IV, h. 58, hadits nomor 1457.

Menurut keterangan dari hadits di atas – yang diriwayatkan oleh al-Turmidzi – para Ulama berbeda pendapat tentang hukuman orang yang melakukan liwath. Menurut Malik, Syafii, Ahmad, Ishaq, dan sebagian ahli fikih tabiin, seperti Hasan al-Bashri, Ibrahim al-Nakhai, Atha’ bin Abi Robah, dan sebagainya, menyebutkan bahwa hukuman bagi orang yang melakukan homoseksual adalah dirajam, baik orang yang telah menikah (muhshan) atau belum (ghair muhshan). Sementara kelompok lain menyebutkan bahwa hukum bagi orang yang melakukan homoseksual adalah hadd seperti pada perbuatan zina, yaitu pendapat dari Imam al-Tsauri dan Ahli Kufah.28

Kesimpulannya adalah ada yang berpendapat dibakar dengan api, ada yang berpendapat dirajam dengan bebatuan, ada yang berpendapat dilemparkan dari tempat yang sangat tinggi, lalu dilempari dengan bebatuan, ada yang berpendapat dipenggal lehernya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, dan ada juga yang berpendapat ditimpakan (diruntuhkan) tembok kepadanya. Adapun Al-allamah Asy-Syaukani menguatkan pendapat agar pelaku liwath dibunuh dan beliau melemahkan pendapat-pendapat selain itu. Sesungguhnya mereka menyebutkan masing-masing cara pembunuhan bagi pelaku gay karena Allah Subhaanahu wa ta'ala telah mengazab kaum Luth dengan semua itu.29

27

Lihat lebih lanjut, Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Syiria, Damaskus: Dar al-Fikr, tth), juz VII, h. 335.

28

al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, juz IV, h. 58.

29

67

Artinya:

Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi. yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu Tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.

Yang dimaksud dengan kata (bertubi-tubi) ialah saling mengikuti, yang satu dengan yang lain saling mengikuti bagaikan hujan. Hukuman ini sesuai dengan perbuatan dosa yang keji dan buruk, silahkan pelaku gay memilih dari hukuman yang bernacam-macam tersebut sekehendaknya. Kemudian setelah kematiannya, ia tidak tahu apa yang akan Allah SWT perbuat terhadapnya.”30

30

A. Pemeriksaan Perkara Oleh Majelis Hakim

Sebagaimana dalam bab sebelumnya, telah disebutkan bahwa alasan Penggugat mengajukan gugatan adalah karena Suami meninggalkan rumah tanpa memberikan nafkah lahir dan bathin dan Suami hidup serumah dengan pasangan sejenis (Homoseksual).

Dengan alasan-alasan di atas Penggugat memohon kepada Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan penggugat;

b. Mengijinkan penggugat untuk berperkara secara Cuma-cuma; c. Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;

d. Menyatakan talak satu bain sughro tergugat (Andy Tarmadi bin Maryana); e. Membebankan biaya perkara ini kepada Negara.

f. Atau apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya. 1 Pada surat putusan Majelis Hakim telah memikirkan adanya, bahwa Penggugat selalu hadir dalam persidangan yang telah ditentukan, pemeriksaan tetap dilanjutkan dengan pihak Tergugat yang tidak pernah hadir dan tidak mewakilkan pada orang lain, sedangkan jurusita telah memanggil pihak Tergugat dengan resmi

1

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur, putusan No. 1532/Pdt.G/2008/PA.JT

68

dan patut. Upaya majelis Hakim tidak berhasil dengan upaya perdamaian dan menasehati pihak penggugat.2

Penggugat meminta kepada majelis Hakim untuk mengabulkan putusnya perkawinan karena sering terjadinya perselisihan dan pertengkaran di antara kedua belah pihak tersebut serta memperkuat dalilnya berperkara cuma-cuma, dan Penggugat mempunyai alat bukti:

1. Fotocopy Kutipan Akta Nikah Nomor 72/48/V/1990 tanggal 14/05/1990 yang tercatat di KUA Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur (bukti P-1);

2. Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Kelurahan Cipinang Besar Utara Nomor 678/1.755.02/08 tanggal 17 Oktober 2008 (bukti P-2).

3. Keterangan 2 (dua) orang saksi, di antaranya: a. Bambang Riyanto bin Sudarsono, bersumpah

Bahwa hubungan saksi dengan Penggugat adalah sebagai tetangga Penggugat dan kenal dengan Tergugat sebagai suami Penggugat. Dan saksi membenarkan Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang menikah pada tahun 1990 dan sudah dikaruniai 3 orang anak. Saksi juga mengetahui bahwa Penggugat dan Tergugat sudah tidak serumah lagi sejak 4 tahun lalu sampai sekarang, dikarenakan seringnya berselisih paham/cekcok yang disebabkan Tergugat adalah seorang homoseksual. Dan sejak 4 tahun itu pula Tergugat sudah tidak pernah lagi menemui Penggugat dan anak-anaknya dan tidak

2

memberikan nafkah lahir maupun bathin. Saksi telah pernah menasehati Penggugat dan Tergugat agar dapat rukun kembali, namun tidak berhasil. b. Kastinah binti Sodikin bersumpah

Bahwa hubungan saksi dengan Penggugat adalah sebagai tetangga Penggugat, dan kenal dengan tergugat sebagai suami Penggugat. Dan membenarkan Penggugat dan Tergugat adalah suami-isteri dan sudah dikaruniai 3 orang anak. Saksi mengetahui bahwa Penggugat dan Tergugat sudah tidak tinggal serumah lagi karena antara Penggugat dan Tergugat sering ribut mulut, masalahnya tentang hubungan penyimpangan sex (homo) yang dilakukan oleh Tergugat. Dan saksi sudah pernah pula menasehati Penggugat dan Tergugat tetapi tidak berhasil. 3

B. Pertimbangan Hakim dalam Perkara Homoseks sebagai Alasan Perceraian Dalam putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama Jakarta Timur, Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Dalam hal ini istri sebagai pihak yang merasa dirugikan akibat suami yang Homoseksual. Adapun pertimbangan Hakim dalam mengabulkan gugatan Penggugat untuk bercerai kepada suaminya karena penggugat tetap pada pendiriannya untuk bercerai.

Selain Homoseksual, terdapat pula alasan lain yang menyebabkan istri ingin bercerai, salah satunya yaitu Tergugat tidak memberikan nafkah lahir

3

70

maupun bathin dan terdapat pula masalah KDRT. Hal ini sangat berakibat buruk bagi penggugat karena tidak adanya tanggung jawab suami terhadap keluarga, yang mana suami tidak bisa membimbing keluarga menuju keluarga sakinah. Hal ini juga tidak sesuai dengan tujuan Perkawinan yang tercantum dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu:

Perkawinan adalah ikatan lahir maupun batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan memebentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4

Demikian pula pada pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”5

Adapun pertimbangan lainnya adalah:

1. Sebelum mempertimbangkan pokok perkaranya terlebih dahulu Pengadilan Agama juga mempertimbangkan hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat, yang mana penggugat telah mengajukan bukti surat guna terpenuhinya syarat formil dan materil pembuktian dengan surat sesuai pasal 165 HIR jo pasal 1 huruf f angka (2) PP No. 24 Tahun 2000 sehingga bukti surat tersebut dapat diterima sebagai alat bukti di persidangan.

2. Dalil gugatan Penggugat dapat dibuktikan dengan adanya kesaksian dari dua orang saksi yang menyatakan jawaban yang sama mengenai dalil gugatan

4

Lihat Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

5

penggugat. Hal ini dianggap oleh Majelis Hakim bahwa penggugat dapat membuktikan dalil gugatan yang beralasan dan tidak melawan hukum. Dengan demikian Majelis Hakim menilai gugatan penggugat telah memenuhi ketentuan yang dimaksud pasal 19 huruf (f) dan huruf (b) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf f dan b KHI, tentang alasan bercerai. Oleh karenanya gugatan cerai patut dikabulkan.

3. Bahwa karena fakta tentang perselisihan pertengkaran dan adanya saling tidak memperdulikan serta kelainan seksual (homoseks) yang diderita oleh tergugat yang berakibat pada tidak terpenuhinya hubungan suami istri sebagaimana yang di akui oleh tergugat.

4. Oleh karena tergugat selaku suami tidak mampu melakukan hubungan suami istri dikarenakan suami homoseksual. Maka istri berhak memutuskan perkawinannya.

5. Bahwa tergugat tidak membantah dan mengakui kebenaran dalil-dalil gugatan yang diajukan oleh penggugat.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur mengabulkan gugatan penggugat dengan menjatuhkan talak terhadap tergugat. Sudah jelas bahwa pihak penggugat tetap pada pendiriannya, yaitu bercerai dengan tergugat.

Dari putusan yang didapat ini, walaupun Majelis Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak namun tidak berhasil, sehingga gugatan penggugat ternyata telah memenuhi ketentuan pasal 19 huruf (f), PP No. 9 Tahun

72

1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, penggugat dapat dikabulkan atas permohonannya untuk menggugat cerai yaitu jatuh Talak Satu Ba’in Sughra yang bersifat alternative dari petitum sebelumnya. Karena belum mempunyai anak, maka hak asuh anak tidak dipermasalahkan antara tergugat dengan penggugat.

C. Homoseksual sebagai salah satu faktor Perceraian Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif

Pada bagian ini penulis akan menganalisis kasus ini menurut perspektif fiqih masalah perceraian akibat suami kelainan seks (homoseks) yang sudah diputus oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur, kasus ini diperiksa oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur yang mengambil sumber Hukum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, PP Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan serta KHI (Kompilasi Hukum Islam). Ketiga Perundang-undangan ini yang dipakai Pengadilan Agama diseluruh Indonesia.

Dari kasus perceraian yang telah dikemukakan di atas, posita yang akan penulis cermati adalah tentang ketidakmampuan suami dalam memberikan nafkah batin terhadap istri yang disebabkan suami mempunyai kelainan sex (homoseks). Yang mana sama-sama diketahui bahwa hidup dalam berumah tangga tidak hanya cukup dengan nafkah lahir saja, melainkan juga nafkah batin yang sangat berpengaruh terhadap keharmonisan keluarga.

Menurut Wahbah Zuhaily, sebagaimana dikutip oleh Satria Effendi, secara umum terdapat kelemahan atau cacat yang dimiliki oleh suami isteri, yaitu:

a. kelemahan atau cacat yang menjadi penghalang hubungan suami isteri (sekusual), misalnya bagi laki-laki zakarnya terpotong atau impoten. Sementara wanita kemaluannya tersumbat (al-ratqu) atau tersumbat tulang (al-qarnu).

b. Kelemahan atau cacat yang tidak menjadi penghambat hubungan seksual, namun dalam bentuk penyakit berbahaya yang membuat lawan jenis tidak sabar hidup bersamanya kecuali sanggup menanggung resiko, misalnya gila, atau berbagai penyakit yang menular.6

Menurut Satria Effendi, sebab-sebab tersebut juga memberikan suatu hak bagi salah satu pihak untuk menuntut cerai. Bagi suami tentunya dengan talak (cerai talak dalam konteks Indonesia), dan bagi isteri dapat memilih khulu’ (atau cerai gugat dalam konteks hukum Indonesia) sebagai jalan tempuh penyelesaian hubungan pernikahan.

Dari putusan yang penulis dapatkan perceraian yang disebabkan suami homoseksual dapat dijadikan alasan perceraian, seperti yang telah penulis paparkan dalam bab sebelumnya tentang permasalahan homoseksual, jika dilihat dari perspektif fiqih, para ulama fikih membolehkan homoseksual dapat menjadi alasan terjadinya perceraian. Karena seluruh umat Islam sepakat bahwa

6

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Prenada Media, 2005), cet. II, h. 129.

74

homoseksual termasuk dosa besar. Bahkan homoseks jauh lebih menjijikan dan hina dari perzinahan. Oleh karena itu Allah memusnahkan kaum nabi Luth dengan cara yang sangat mengerikan. Allah SWT berfirman:

Artinya:

Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia. Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas". (QS. Al-Syu’ara’/26: 165-166)

Dalam al-Quran pada surat Ash-Shaffat ayat 134-135 terdapat kisah yang menyebutkan di mana Allah swt. membiarkan istri nabi Luth yang seorang lesbian ditimpakan adzab bersama kaum Luth yang mendurhakai Allah lainnya. Surat ash-Shaffat ayat 134-135 menyebutkan:

Artinya:

“Ingatlah diketika Kami melepaskan Luth dan keluarganya semua dari adzab yang menimpa kaumnya. Melainkan seorang wanita yang tua (isterinya), tinggal bersama-sama orang yang ditimpakan siksa.”

Sedangkan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara tersebut adalah karena rumah tangga penggugat sudah tidak ada keharmonisan, karena pada kasus ini istri bukan saja menuntut nafkah batin tetapi juga sikap suami

yang tempramental terhadap istri (KDRT).

Dalam suatu wawancara Penulis dengan salah seorang hakim yang juga pernah menangani kasus gugatan karena homoseksual, haki tersebut memberikan jawaban, bahwa jika diungkap secara jelas apa yang menjadi faktor penyebab perceraian – yaitu homoseksual – dikhawatirkan putusan tersebut akan memberikan dampak negatif kepada tergugat, seperti tercemarnya nama baik. Maka itu, Majelis Hakim mengambil yang paling baik dan ringan, dengan tetap mengedepankan manfaat daripada mudharat.7

Dengan demikian, dalam memutus perkara gugatan homoseksual, meskipun tidak mengungkap secara jelas fakta dan alasan tergugat untuk bercerai, yaitu homoseksual yang dilakukan oleh suami, tetapi tetap mengabulkan gugatan tersebut.

Jika pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur dalam pengambilan hukum suami yang mengidap kelainan seksual (homoseks), tidak demikian halnya dengan para ulama fikih. Mereka mempunyai pendapat tentang masing-masing dalam masalah ini sebagimana yang ditulis dalam kitab Muqaranah al-Mazdhahib Fi al-Fiqh, yaitu:

1. Hanafiyah dan Imam Malik berpendapat bahwa perceraian suami isteri karena cacat merupakan talak bain. Mereka beralasan bahwa perkawinan yang dilaksanakan mencukupi rukun dan syaratnya, jadi apabila suami

7

Wawancara Penulis dengan Achmad Busyro, salah satu hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur pada tanggal 13 November 2009.

76

ingin kembali kepada isterinya harus melalui akad dan mahar yang baru. Begitu juga jika isteri mengajukan gugatan perceraian kepada hakim di pengadilan, maka menurut Imam Malik dan Imam Hanafi adalah jatuh talak bain, karena tindakan hakim tersebut berdasarkan kehendak suami juga seolah-seolah suami sendiri menjatuhkan talaknya kepada isterinya, jadi walaupun atas inisiatif isteri dapat mengajukan perceraian ke pengadilan tetapi suami yang mengucapkan kalimat talak.

2. Ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali menganggap bahwa perceraian karena cacat dianggap rusak akad nikahnya (fasakh) jadi bukan talak. Di dalam fasakh itu tidaklah berpengaruh apa-apa terhadap bilangan talak yang menjadi hak laki-laki. Artinya kalaupun dia kawin lagi dengan bekas isterinya itu, maka ia tetap mempunyai hak penuh talak tiga. Karena di dalam fasakh itu perkawinan batal sejak adanya akad.

3. Ibnu Qayyim berkata bahwa perceraian disebabkan cacat hukumnya adalah fasakh, hal ini karena cacat tidak seperti memenuhi tujuan perkawinan, yaitu kasih sayang, maka wajib diberikan hak untuk memilih perkawinan. Perkawinan lebih utama daripada jual beli dan syarat-syarat dalam perkawinan lebih patut untuk dipenuhi daripada syarat-syarat dalam jual beli dan kecacatan adalah penipuan yang keji.

4. Ibnu Hazam berpendapat bahwa perkawinan yang disyariatkan adalah bahwa kedua mempelainya tidak cacat tetapi ternyata cacat, apapun cacatnya maka nikahnya batal sejak awalnya bahkan tidak perlu khiyar,

suami tidak berhak memberi nafkah dan tidak ada hak waris.

5. Ibnu Taymiyah berkata: Apabila perempuan itu memfasakh maka tidak boleh mengambil apa-apa dari perbekalan dan jika perempuan lalu memfasakh sebelum bercampur maka gugur maharnya, tetapi tidak memfasakh sesudahnya maka maharnya tidak gugur.8

Bila dianalisis ternyata masalah dalam perkara perceraian suami yang kelainan seks (homoseksual) telah membuat istri menderita karena tidak terpenuhinya nafkah batin, dan Hakim sangat memahami permasalahan ini.

Dokumen terkait