• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan

Dalam dokumen Jurnal HAM, Pemenuhan Hak ODMK (2009) (Halaman 58-157)

Namun demikian, harus dipahami bahwa gangguan kejiwaan memiliki berbagai tingkatan. Secara garis besar gangguan mental bisa dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu non-psikotis dan psikotis. Untuk jenis non-psikotis terdiri dari gangguan cemas, gangguan somatoform, depresi, gangguan kepribadian, dan lain-lain. Sedang gangguan psikotis meliputi skizofrenia (ada 5 tipe), gangguan afektif berat dengan gejala psikotis (meliputi bipolar manik dan depresi berat),

skizoafektif,­ psikosis­ polimorik­ akut,­ gangguan­ waham­ menetap,­

psikosis non-organik lainnya, dan gangguan psikotis organik.

Pada ODMK ringan hampir semua kegiatan kemasyarakatan mam-pu dilaksanakan dengan baik dan mereka sama seperti orang-orang lain. Kelompok ini memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan war-ga newar-gara pada umumnya. ODMK yang telah menjalani pengobatan optimal atau gejala-gejalan gangguan jiwa tidak muncul lagi dapat digolongkan dalam kelompok masyarakat pada umumnya. ODMK yang lebih berat dan mendapatkan pengobatan optimal akan memi-liki kemampuan yang lebih sedikit (terbatas) dibandingkan dengan

orang normal, tetapi mereka masih tetap warga negara Indonesia dan seharusnya mendapatkan perlindungan negara. Mereka masih bisa menjalankan fungsi sosialnya dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu dan bekerja di bidang pekerjaan tertentu. Bagi ODMK, meski telah mendapatkan pengobatan optimal, tetap tidak mampu menjalankan fungsi-fungsi sosial kemasyarakatan atau menjalankan kehidupannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam hal ini, negara harus bertanggung jawab melindungi mereka. Kenyataannya, sampai saat ini perhatian pemerintah terhadap dua kelompok tersebut masih sangat kurang.

Di Indonesia, sejak tahun 1970-an telah dibentuk Direktorat Kesehatan Jiwa di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan yang mengelola 33 rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia. Kebanyakan rumah sakit jiwa hanya ada di ibu kota provinsi atau di sebuah kota di setiap provinsi. Sementara masih ada beberapa provinsi yang tak memiliki satu pun rumah sakit jiwa. Situasi ini menyulitkan ODMK yang membutuhkan penanganan dunia medis, mengingat pelayanan kesehatan jiwa tak bisa diakses pada tingkat layanan semacam puskesmas. Di lapangan sering kali dijumpai realitas bahwa ODMK lebih banyak ditangani Dinas Sosial ketimbang Dinas Kesehatan. Hal ini seharusnya tak boleh terjadi dan idealnya justru penanganan ODMK seharusnya melibatkan upaya sinergi berbagai departemen pemerintah. Jaminan hak pasien juga tercantum di sejumlah pasal dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992.

Namun dalam kenyataan, pelayanan terhadap orang dengan masalah kesehatan jiwa masih jauh dari harapan. Dari total orang dengan gangguan jiwa yang terlaporkan, hanya sejumlah kecil yang mendapatkan pelayanan kesehatan jiwa. Jenis pelayanan kesehatan jiwa ini meliputi rawat jalan dan inap di rumah sakit dan puskesmas, serta layanan rehabilitasi di panti dan unit layanan psikososial lainnya.

Kendala dalam pelayanan medis di rumah sakit dan puskesmas, antara lain sebagian besar pelayanan diberikan oleh dokter umum dan hanya sebagian kecil yang ditangani oleh dokter spesialis kesehatan jiwa. Lebih jauh, kompetensi para dokter umum dalam menangani orang dengan gangguan jiwa dirasakan masih terbatas. Hal ini dikarenakan

kurangnya sarana pelatihan dalam meningkatkan kemampuan para dokter umum. Sementara itu kendala dalam layanan non-medis (psikologis, sosial, dan spiritual), antara lain tidak tersebarnya tenaga non-medis secara merata.

Kendala lain adalah keterbatasan tersedianya obat-obatan bagi pasien dengan gangguan jiwa. Apabila obat tersebut tersedia, harganya belum terjangkau oleh sebagian masyarakat. Karena pada umumnya orang dengan gangguan jiwa memerlukan pengobatan dalam waktu yang lama, maka faktor biaya pengobatan merupakan salah satu penyebab terputusnya proses pengobatan.

Prevalensi gangguan jiwa lebih tinggi pada kelompok keluarga berpendidikan rendah, keluarga bermasalah, dan keluarga yang

­tinggal­ di­ daerah­ konlik.­ Umumnya­ mereka­ termasuk­ golongan­

ekonomi rendah yang akan menambah kesulitan dalam pembiayaan kesehatan.

Dalam upaya pelayanan terhadap orang dengan gangguan jiwa, hak dan martabatnya senantiasa harus diperhatikan. Meskipun mereka kompeten (gangguan jiwa ringan atau yang telah diobati), namun sering kali keluarga atau petugas kesehatan menganggap mereka inkompeten dan memperlakukan mereka secara paternalistik, seperti memaksa berobat atau memaksa minum obat.

Berkait dengan proses pengobatan pada masalah kesehatan jiwa, ada anggapan keliru (stigma) di masyarakat, antara lain bahwa gangguan jiwa tidak bisa disembuhkan, merupakan penyakit keturunan dan kutukan. Selain itu, ada anggapan keliru tentang rumah sakit jiwa dan tenaga kesehatan jiwa yang menghambat keinginan keluarga dan individu untuk mencari pengobatan masalah kesehatan jiwa.

Ada anggapan keliru di masyarakat bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit keturunan, tidak tersembuhkan, dan kutukan. Hal ini akan menyebabkan keluarga sulit menerima kenyataan apabila salah satu anggota keluarga mengalami ganguan jiwa. Situasi ini juga bisa menimbulkan aib dalam keluarga dan dianggap merusak martabat atau kehormatan keluarga dan keturunan selanjutnya. Untuk itu, keluarga berusaha menyembunyikan anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa dengan cara memasung dan mengisolasinya dari masyarakat. Sebagian keluarga tetap mengupayakan pengobatan, namun dilakukan secara diam-diam.

Individu dengan gangguan jiwa juga sering ditemukan di tempat-tempat umum dan dianggap sebagai orang-orang yang mengganggu ketertiban umum dan keindahan kota.6 Oleh karena itu, mereka sering ditangkap oleh petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP) dan dimasukkan ke panti sosial. Kenyataannya, keadaan panti sosial di Indonesia tidak dilengkapi dengan sarana pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. Dengan demikian penempatan orang dengan gangguan jiwa di instalasi ini bukanlah merupakan solusi yang baik. Pada mereka yang diketahui keluarganya, petugas mengupayakan untuk mengembalikan orang dengan gangguan jiwa. Namun, kerap kali terjadi penolakan dari pihak keluarga dengan berbagai alasan.

Tantangan lain yang dihadapi oleh keluarga individu dengan gangguan jiwa datang dari komunitasnya. Hal ini terutama terjadi jika orang dengan gangguan jiwa tersebut menunjukkan gejala gangguan jiwa berat sehingga mengganggu ketenteraman masyarakat. Sering kali keluarga tidak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan tidak mampu membawanya ke layanan kesehatan yang tersedia. Akibatnya, masyarakatlah yang mengatasi masalah orang dengan gangguan jiwa, antara lain dengan memasung, mengikat, dan mengasingkannya dari lingkungan.

Di dalam masyarakat pelayanan pengobatan terhadap orang dengan gangguan jiwa amat bervariasi, mulai dari pengobatan konvensional (kedokteran dan psikologi) sampai kepada berbagai bentuk pengobatan alternatif. Beberapa bentuk pengobatan alternatif dapat melanggar hak-hak asasi orang dengan gangguan jiwa, seperti mengikat, merendam dalam air, atau “diasapi” di atas bara api, di mana proses pengobatan selalu tanpa persetujuan yang bersangkutan.

6 Tak dipahaminya masalah gangguan kejiwaan yang memiliki dimensi potensi pelanggaran HAM tampak jelas dari isi Perda DKI No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Dalam Pasal 41 perda ini, dinyatakan bahwa “setiap orang yang mengidap penyakit yang meresahkan masyarakat tidak diperkenankan berada di jalan, jalur hijau, taman, dan tempat-tem-pat umum lainnya” dan dalam penjelasannya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang yang mengidap penyakit yang meresahkan contohnya adalah “orang gila”. Hasil kajian Komnas HAM pada awal 2008 merekomendasikan agar Departemen Dalam Negeri membatalkan perda yang muatannya banyak bertentangan dengan prinsip HAM ini.

Selain melanggar hak-hak asasi, metode pengobatan alternatif juga dapat membahayakan kesehatan, bahkan menyebabkan kematian. Namun, dalam praktiknya berbagai bentuk penyimpangan terjadi dalam berbagai bentuk, baik pembiaran terhadap pelanggaran hak-hak warga negara maupun tidak.

Mencegah Pelanggaran HAM terhadap ODMK

Apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah pelanggaran hak asasi ODMK? Ada beberapa hal, antara lain pemberlakuan asas non-diskriminasi dan persamaan di depan hukum. Asas non-non-diskriminasi dan persamaan di depan hukum: dilarang untuk mengeleminasi atau menyingkirkan orang atau kelompok ODMK dari lingkungan mereka, pekerjaan, pendidikan, imigrasi, perjalanan internasional, perumahan, dan keamanan sosial (social security).

Dalam hak atas kesehatan, kaum ODMK juga harus diperlakukan sama, yaitu mendapatkan layanan kesehatan, mulai dari upaya pencegahan hingga pengobatan, terutama untuk kelompok masyarakat berstatus sosial bawah. Selain itu, harus ada jaminan terhadap hak atas kebebasan pribadi yang menghargai pilihan dan juga menjaga kerahasiaan mengenai kesehatan pribadi.

Selain itu, pemerintah harus mewujudkan hak atas pendidikan dan informasi, yaitu jaminan atas persamaan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, dan informasi mengenai penanggulangan ODMK dan pengobatan gangguan kejiwaan. Kaum ODMK tak boleh dimarginalkan sebagaimana juga kelompok minoritas.

Pemerintah juga harus memberikan jaminan hak ODMK untuk terbebas dari perbuatan di luar kemanusiaan, penyiksaan, dan hukuman kejam lainnya.7 Pemerintah harus mencegah terjadin-ya penyiksaan terhadap ODMK di kalangan masterjadin-yarakat, misal-nya praktik pemasungan atau pemenjaraan atau pengucilan di

7 Pelaku kekerasan terhadap ODMK dalam hal ini bisa dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok non-state actors

yang terdiri dari keluarga, orang lain di rumah, tetangga, teman, perawat rumah sakit, mantri, hingga dokter; dan kelompok

state actors yang terdiri dari polisi, satpol PP, petugas sosial (PNS), petugas lembaga pemasyarakatan, dan pejabat negara yang kerap membuat kebijakan yang keliru.

tempat-tempat yang kondisinya sangat buruk. Pemerintah harus memberlakukan larangan untuk memasukkan kelompok ODMK ke dalam tempat-tempat khusus dengan maksud untuk melecehkannya.

Pada dasarnya kaum ODMK juga memiliki kemerdekaan dan keamanan sebagai pribadi. Negara harus menjamin agar orang atau kaum ODMK tak dilecehkan atau diserang secara semena-mena, ditangkap, diasingkan, atau dimasukkan ke karantina. Negara, dalam hal ini pemerintah, juga harus memenuhi hak untuk berpartisipasi dalam politik dan kehidupan budaya, baik memberikan jaminan kepada pada individu dan atau kelompok ODMK untuk berpartisipasi, terlibat langsung maupun mengevaluasi berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah.

Pemerintah juga harus menjamin hak ODMK untuk bisa menikah dan membentuk keluarga. Pemerintah juga harus memberlakukan

larangan untuk pemaksaan tes pra-pernikahan, serta memastikan bahwa tak ada hambatan bagi kelompok ini untuk menikah.

ODMK D AN PEMENUHAN HA M Vol. 5 • Tahun 2009 PENGHORMATAN (tidak ada gangguan dalam

pelaksanaan hak)

PERLINDUNGAN (mencegah pelanggaran

oleh pihak ke tiga)

PEMENUHAN (penyediaan sumber-daya dan hasil-hasil kebijakan)

Hak-hak sipil dan politik

Pemerintah berkewajiban membuat UU untuk melindungi dan menjamin hak ODMK, meratiikasi kovenan internasional, melakukan harmonisasi hukum (UU, PP, Keppres, Permen, Perpres hingga Perda) agar ti-dak terjadi penggunaan hukum untuk penyiksaan, pembunuhan tanpa pengadilan, penghilangan paksa, penahanan sewenang-wenang, pengadilan yang tidak adil, pengabaian dan intimidasi pada saat pemilihan umum, pencabutan hak pilih dan berperan serta dalam kehidupan politik, dll

Pemerintah harus mengupayakan tindakan untuk mencegah pelaku non-negara melakukan pelanggaran seperti penyiksaan, kekerasan dan intimidasi kepada kelompok ODMK

Pemerintah harus melakukan investasi, mengalokasikan anggaran, membangun tempat dan fasilitas kehatan, memberikan subsidi dalam bidang kehakiman, penjara, kepolisian, tenaga medis di bidang kedokteran jiwa, serta alokasi sumberdaya dan anggaran pendidikan buat petugas agar memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami permasalahan ODMK

Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya

Pemerintah berkewajiban membuat UU dan peraturan hukum yang melindungi ODMK dari tindakan diskriminasi dan memastikan agar hak atas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan terpenuhi, serta ada alokasi sumberdaya untuk

Pemerintah harus melakukan tindakan untuk mencegah pelaku non-negara berperilaku diskriminatif kepada kelompok ODMK hingga membatasi akses dalam bidang kesehatan, pendidikan serta bidang kesejahteraan lainnya

Pemerintah harus melakukan

pemenuhan secara progresif; investasi di bidang kesehatan, pendidikan dan bidang kesejahteraan lainnya serta alokasi sumberdaya untuk kemampuan masyarakat dalam memahami dan menerima kelompok ODMK, membuka

pada Layanan Kesehatan Jiwa

Tulisan ini memberikan uraian tentang permasalahan bioetika dan hak asasi pada layanan kesehatan jiwa. Bioetika adalah hal yang mencakup berbagai disiplin untuk memberi pedoman dalam menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan dalam bidang biologi dan ilmu kedokteran. Sedangkan etika kedokteran sendiri adalah bagian dari bioetika. Sesuai dengan prinsip etika, tujuan bioetika dalam layanan kesehatan adalah memaksimalkan manfaat medis dan meminimalkan risiko klinis dari penyakit.

Bioetika dan HAM dalam layanan kesehatan adalah pembicaraan mengenai isu yang sama. Bioetika adalah pedoman moral dari profesi kesehatan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien, sekaligus menjamin penghormatan pada martabat manusia serta melindungi HAM dan kebebasan-kebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional kesehatan juga akan melanggar atau mengabaikan HAM penderita. Tulisan ini menekankan perlunya mewajibkan rumah sakit membentuk dewan pengawas dengan salah satu anggotanya adalah pasien atau perwakilan ODMK untuk mencegah terjadinya pelanggaran etik dan HAM terhadap ODMK.

Pendahuluan

E

tika­yang­juga­dikenal­sebagai­“ilsafat­moral”­adalah­cabang­dari­ ilmu­ ilsafat­ yang­ mencari­ jawaban­ atas­ pertanyaan­

mengenai moral; konsep tentang baik dan buruk, benar dan salah, keadilan, dan sebagainya1. Salah satu cabang etika adalah “etika normatif” yang membahas hal-hal praktis dalam menjalankan prinsip-prinsip moral untuk selalu menjalankan hal-hal yang ideal, atau dikenal sebagai kode etik profesi tertentu. Dalam profesi yang berhubungan dengan kehidupan, termasuk profesi kesehatan, dikenal istilah bioetika yang dapat diartikan sebagai pedoman moral dalam bertindak melayani kehidupan (manusia). Bioetika mencakup berbagai disiplin untuk memberi pedoman dalam menjawab berbagai masalah yang ditimbulkan dalam bidang biologi dan ilmu kedokteran. Sedangkan etika kedokteran sendiri adalah bagian dari bioetika. Sesuai dengan prinsip etika, tujuan bioetika dalam layanan kesehatan adalah untuk memaksimalkan manfaat medis dan meminimalkan risiko klinis dari penyakit2.

Hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia3. HAM harus dihormati dan dilindungi dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk saat individu mengalami gangguan jiwa dan sebagai konsumen (pasien) dalam sistem layanan kesehatan jiwa. Pembicaraan bioetika dan HAM dalam layanan kesehatan adalah pembicaraan

mengenai isu yang sama. Bioetika adalah pedoman moral dari profesi kesehatan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien, sekaligus menjamin hormat pada martabat manusia serta melindungi HAM dan kebebasan-kebebasan dari pasien. Pelanggaran etika oleh profesional kesehatan juga akan melanggar atau mengabaikan HAM penderita.

Komitmen pemerintah Indonesia untuk menjalankan bioetika dan HAM cukup tinggi. Ini dapat dilihat dari berbagai perundangan yang diterbitkan maupun lembaga-lembaga negara yang didirikan. Dalam hal bioetika tiap profesi yang berhubungan dengan layanan kesehatan telah memiliki etika profesi masing-masing, seperti etika kedoktean, etika psikologi, dan etika perawat. Di samping itu, pemerintah pada tahun 2004 juga telah membentuk Komisi Bioetika Nasional (KBN) yang bertugas untuk: 1) memajukan telaah prinsip-prinsip bioetika, 2) memberi pertimbangan pada pemerintah mengenai aspek bioetika dalam penelitian, pengembangan, serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan 3) menyebarluaskan pemahaman tentang bioetik4. Khusus untuk profesi kedokteran, sesuai amanat UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran telah dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedok-teran Indonesia (MKDKI). Salah satu tugas KKI adalah melakukan pembinaan terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi. Sementara MKDKI adalah badan otonom dari KKI yang secara khusus bertugas menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin kedokteran, yaitu pelang-garan terhadap aturan-aturan atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan, termasuk pelanggaran terhadap etika kedokteran atau bioetika5. Juga dalam organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia terdapat Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia yang khusus melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etika anggotanya.

Dalam bidang HAM, Indonesia juga telah memiliki berbagai perangkat perundangan, seperti UUD 45 yang memuat 37 pasal tentang HAM sehingga merupakan salah satu UUD yang paling lengkap memuat HAM. Selain itu, Indonesia memiliki UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 11 dan 12 Tahun 2005 yang merupakan

­ratiikasi­ dari­ konvenan­ internasional­ serta­ berbagai­ perundangan­

(Komnas HAM, 1999), lembaga pengadilan HAM, dan kementrian HAM. Berbagai peraturan dan perundangan yang ada seharusnya sudah sangat mencukupi untuk menjalankan layanan yang sesuai etika dan sekaligus memberikan perlindungan terhadap HAM penderita. Namun sayang, berbagai pelanggaran HAM terhadap penderita dalam kehidupan masyarakat maupun dalam layanan kesehatan tetap terjadi mesti kita telah memiliki berbagai perundangan yang lengkap6.

Orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) harusnya diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat sesuai dengan hak yang dimilikinya sebagai manusia. Namun, dalam dalam kehidupan bermasyarakat banyak dari mereka yang mengalami berbagai diskriminasi, isolasi sosial, pelayanan yang tidak manusiawi, dan bahkan perlakuan yang merendahkan martabat. Seperti pemasungan, pengisolasian dari kehidupan sosial, penolakan dari tempat kerja dan sekolah, pemukulan dan berbagai tindak kekerasan lain, serta bulying dan bentuk penghinaan yang lain.

Nasib kurang baik dari penderita gangguan jiwa bukan hanya dialami dalam kehidupan di tengah masyarakat, namun juga terjadi dalam layanan kesehatan jiwa tempat di mana penderita gangguan jiwa seharusnya mendapatkan perlindungan dan pertolongan. Tulisan ini akan menyampaikan berbagai dugaan bentuk pelanggaran bioetika dan HAM, khususnya dalam sistem layanan kesehatan, penyebab terjadinya, serta berbagai usulan upaya memperbaikinya.

Prinsip-Prinsip Bioetika

Sumber dari etika adalah kaidah dasar moral (moral principles

atau ethical guidelines) yang dikatakan sebagai acuan tertinggi dari moralitas manusia atau acuan generalisasi etik yang menun-tun suatu tindakan kemanusiaan7. Kesadaran akan perlunya pedo-man etik dalam layanan kesehatan muncul dari banyaknya laporan kasus penyalahgunaan (abuses) terhadap subjek dalam penelitian klinis oleh para peneliti, termasuk institusi penelitian pada era 1970-an. Kongres Amerika kemudian membentuk Komisi Nasional untuk menyelidiki etika penelitian yang terjadi serta menginstrusikan untuk mengembangkan prinsip etika dasar untuk dijadikan pedoman dalam

melakukan penelitian yang mengenakan subjek manusia. Komisi ini (selanjutnya disebut the National Commision for the protection of Human Subject) mengembangkan prinsip etika dasar yang dimaksud yang diberlakukan terhadap berbagai penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek, yaitu respect for person, bertujuan untuk me-lindungi hak otonomi tiap individu dan memperlakukan tiap individu dengan penuh rasa hormat. Prinsip ini menjadi pedoman dalam pem-buatan informed consent; beneicence, bertujuan untuk memaksimal-kan manfaat penelitian dan meminimalmemaksimal-kan risiko; serta justice, bertu-juan untuk memastikan perlakuan yang adil dan tidak mengekploitasi subjek penelitian serta sebagai pedoman dalam seleksi subjek pene-litian. Dokumen ini, selanjutnya dikenal sebagai the Belmont report, berpengaruh penting dalam perkembangan prinsip-prinsip bioetika dan menjadi versi awal dalam perkembangan prinsip dasar atau kai-dah dasar moral dari bioetik.

Karya lain yang penting dalam perkembangan bioetik ditulis oleh Childress & Beauchamp dalam bukunya The Principles of Biomedical Ethics (1994). Keduanya menuliskan secara sistematik 4 kaidah dasar moral (KDM) utama yang hingga kini merupakan rujukan utama dalam bioetika. Keempat KDM yang dapat dijadikan pegangan pembenaran moral dari dokter atau tenaga kesehatan yang bergerak dalam bidang biomedik ini adalah beneicience, non-maleicience, justice, dan autonomy8. Keempat kaidah ini juga menjadi roh utama dalam dokumen internasional lain yang penting, yaitu Universal Declaration on Bioethics and Human Rights yang telah diterima secara aklamasi dalam sidang umum UNESCO, Oktober 2005. Deklarasi UNESCO ini adalah instrumen yang tidak mengikat, namun dalam perjalannya nanti akan menjadi awal dari perumusan dan penerapan konvensi dan hukum domestik yang mengikat9. Prinsip-prinsip yang disepakati dalam deklarasi ini nantinya juga akan menjadi fokus pengembangan pendidikan dalam arti luas, khususnya sumber penyusunan silabus dalam hal etika keilmuan, etika penelitian, dan bioetika9.

Kaidah Dasar Moral Beneficience (Tindakan Berbuat Baik)

Berbagai kaidah yang mengharuskan kita untuk mencegah kerugian (harms), memaksimalkan keuntungan serta mempertimbangan

keseimbangan antara risiko dan keuntungan atas satu tindakan. Beberapa kaidah umum yang termasuk di sini adalah melindungi dan mempertahankan hak yang lain, mencegah teradi kerugian pada yang lain, serta menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain. Dalam layanan kesehatan kaidah ini menjadi dasar dalam tindakan yang mengutamakan kepentingan pasien dan atau keluarga, serta tidak mengutamakan kepentingan dokter/rumah sakit. Termasuk usaha-usaha untuk memaksimalkan akibat baik dari satu tindakan sehingga jauh lebih banyak dari kerugian atau akibat buruk dari layanan.

Kaidah Dasar Moral Nonmaleficence (Tidak Merugikan)

Kaidah ini mengharuskan perlakuan atau tindakan yang tidak melukai atau merugikan individu. Dalam layanan kesehatan ini berarti tidak berbuat jahat atau menimbulkan penderitaan pada pasien, termasuk upaya untuk meminimalisasi akibat buruk. Misalnya menghentikan pengobatan yang sia-sia atau yang menimbulkan nyeri atau ketidaknyamanan lainnya.

Dalam tindakan yang dilakukan, dokter wajib menggunakan kaidah ini saat pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting dengan keyakinan dokter dapat mencegah

Dalam dokumen Jurnal HAM, Pemenuhan Hak ODMK (2009) (Halaman 58-157)

Dokumen terkait