• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal HAM, Pemenuhan Hak ODMK (2009)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jurnal HAM, Pemenuhan Hak ODMK (2009)"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Jl. Latuharhary No.4B, Menteng, Jakarta Pusat

(2)

J

URNAL HA

M

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Diterbitkan oleh:

(3)

J

URNAL HA

M

KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Kutipan Pasal 72, Ayat 1 dan 2, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Penanggungjawab : Yosep Adi Prasetyo Pimpinan Redaksi : Rusman Widodo

Dewan Redaksi : Kurniasari Novita Dewi, Yuli Asmini, Hari Reswanto, Ignas Triyono

Distribusi : Banu Abdillah

Administrasi : Ratnawati Tobing, Eri Rieika, Idin Korino, Fauzan Desain Cover & Tata Letak : Agus Solikin & Galih Ananda

Editor Bahasa : Andy Panca

Foto Cover : diadaptasi dari www.newsucanuse.org g/images/bigstockphoto Percetakan : MCU

Penerbit : Komnas HAM

Alamat Redaksi

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jalan Latuharhary No. 4B Menteng, Jakarta Pusat 10310 Telepon (021) 392 5230, Faksimili (021) 391 2026 Email: info@komnasham.go.id

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan ISBN: 978-979-26-1438-1

Jurnal HAM Komnas HAM

Mewujudkan Pemenuhan HAM ODMK

Jakarta: Jurnal HAM Komnas HAM, 2009, xvi + 142 Hal; 160 mm x 240 mm

(4)

Kata Pengantar

Yosep Adi Prasetyo ...

Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Rusman Widodo ...

Kesehatan Jiwa dalam Perspektif Global

Hervita Diatri ...

ODMK dan Pemenuhan HAM

Yosep Adi Prasetyo ...

Masalah Bioetika dan HAM pada Layanan Kesehatan Jiwa

Irmansyah ...

Instrumen Internasional Terkait Hak Asasi Orang dengan Masalah Kejiwaan

Albert Maramis ...

Sejarah Perlindungan ODMK (Orang dengan Masalah Kejiwaan) dalam Hukum Indonesia

Pandu Setiawan ...

Pembangunan Sistem Kesehatan Jiwa di Indonesia

Eka Viora ...

Menembus Kabut Kehidupan

Lili Suwardi ...

Tinjauan Buku ‘Kekuasaan di Tengah Kegilaan’

LR. Baskoro ...

Biodata para Penulis ...

vii

1

15

31

51

67

81

93

113

127

(5)
(6)

Bagan 1. Instrumen HAM Internasional...

Bagan 2. Instrumen HAM Nasional...

Bagan 3. Alur hukum HAM ...

Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem)...

Bagan 5. Ragam kekerasan yang dialami ODMK...

Bagan 6. Hubungan antara Dampak Ekonomi-Kemiskinan...

Gambar Perpaduan Optimal PelayananKesehatan Jiwa...

Gambar Blog Skizofrenia...

36

36

37

40

41

43

103

(7)
(8)

S

eberapa sering kita menyaksikan orang telantar berkeliaran di tengah jalan? Kita sering menjumpai mereka di berbagai kota. Tapi, banyak di antara kita lupa bahwa mereka adalah manusia. Namun, ada juga warga kota yang menganggap mereka adalah bagian dari ikon kota. Umumnya rambut mereka panjang dan gimbal karena tak pernah dicuci. Pakaian yang dikenakan lusuh, bahkan banyak di antara mereka yang nyaris telanjang bulat. Di antara mereka banyak yang mengais-ngais sampah mencari sisa makanan. Mereka tak punya pekerjaan dan rumah. Mereka tinggal di sembarang tempat. Tata-pan wajah mereka umumnya kosong dan tak mempedulikan situasi sekitar.

Siapa mereka? Mereka adalah sebagian dari orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) yang memang berkeliaran di jalanan. Mereka adalah orang yang dibuang oleh keluarganya. Mereka adalah orang yang bukan tak mungkin akan menjadi pengelana seumur hidupnya. Sebagian dari mereka hidup dalam pasungan dengan kondisi mengenaskan. Sebagian lagi jadi penghuni berbagai panti sosial. Sebagian lagi lebih beruntung, mereka dirawat di rumah sakit jiwa. Namun, tak banyak orang yang sebenarnya tahu bahwa di antara mereka ada yang hidup “normal” di tengah masyarakat.

(9)

Memang, ODMK di Indonesia belum dimasukkan dalam kelompok sasaran yang perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia. Padahal, sebetulnya kelompok ini bila dilihat lebih lanjut bisa dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups) sebagaimana kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja migran. Di Indonesia, sebagaimana juga terjadi di berbagai negara lain, ODMK sering kali mengalami diskriminasi oleh keluarga, masyarakat sekeliling, media maupun negara. Model diskriminasi yang dialami oleh ODMK adalah secara berlapis-lapis.

Gangguan jiwa menimbulkan disfungsi dan penderitaan bagi diri ODMK dan orang lain. Hal itu tentu saja berkaitan dengan kata produktivitas. Berbagai data menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa memengaruhi tingkat produktivitas individu secara umum, bahkan menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan memengaruhi indeks pembangunan manusia (human developmental index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia.

Beban terkait gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu, melainkan juga sistem lain (keluarga dan masyarakat). Sebagai contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak paripurna akan berdampak pada meningkatnya risiko tindakan kekerasan yang sering kali tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap sebagai berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak kekerasan terhadap diri sendiri yang salah satunya berupa tindakan bunuh diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu sisi semakin meningkatkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang “tidak mampu”.

(10)

Semua kondisi ini merujuk pada masalah pengangguran, kemiskinan, gelandangan, dan berbagai macam perlakuan salah dan tindak kekerasan. Beban yang diterima oleh keluarga tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami penderita, baik secara ekonomi, sosial, maupun psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena ketidaktahuan keluarga untuk berperan untuk membantu, termasuk ketidakmampuan untuk mengakses layanan kesehatan jiwa yang lebih disebabkan karena ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat masyarakat.

Di masa lalu, di masa Orde Baru, beberapa kerusuhan yang terjadi pada menjelang berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto “konon” dipicu oleh orang-orang yang dituduh sebagai ODMK. Antara lain kerusuhan Pekalongan pada 1996, kerusuhan Makassar pada 1996, serta pembunuhan dukun santet dan sejumlah “orang gila” di Banyuwangi dan sejumlah kota di Jawa Timur pada 1996-1977. Namun, dari semua kerusuhan itu tak ada satu pun yang diusut secara tuntas, terutama apa yang menjadi faktor pemicu dan siapa yang bertanggung jawab atas berbagai kerusuhan itu.

Komnas HAM melihat masalah penanganan ODMK berkaitan erat dengan hak asasi manusia (HAM). Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sedangkan HAM sepenuhnya merupakan kewajiban negara (state obligation), mulai dari kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), kewajiban untuk melindungi (obligation to protect), hingga kewajiban untuk memenuhi (obligation to fullil).

(11)

Pada edisi jurnal ini, Rusman Widodo mengangkat masalah pelanggaran HAM terhadap kelompok ODMK. Ia mengangkat fakta-fakta sesuai laporan yang pernah masuk ke Komnas HAM tentang operasi ketertiban umum yang dilakukan sejumlah pemda. Pada operasi ini para ODMK ditangkapi dengan paksa lantas dinaikkan ke mobil dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti sosial sudah penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain. Namun, ternyata nasib ODMK di panti sosial tidak lebih baik dari ODMK di jalanan. Banyak di antara mereka yang meninggal dunia akibat kekurangan gizi, diare, dan anemia berat.

Hervita Diatri melakukan tinjauan tentang kesehatan jiwa dari perspektif global. Pada saat ini ada banyak faktor psikososial yang terjadi saat ini di masyarakat dan berpotensi besar untuk terjadinya masalah kesehatan jiwa. Namun, perhatian terhadap aspek kesehatan jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi akibat kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah kesehatan jiwa. Hal yang penting bagi Indonasia saat ini mengingat, terkait banyaknya kejadian bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan dan isu psikososial lainnya yang terjadi. Situasi ini memiliki potensi masalah kesehatan jiwa yang cukup tinggi di masyarakat.

(12)

menutup kemungkinan telah terjadinya pelanggaran etik dan HAM terhadap penderita gangguan jiwa. Hal ini lebih disebabkan para ODMK dan keluarga tidak pernah mengetahui detail pelanggaran etik dan HAM. Mereka juga tak menyadari tentang hak asasi mereka serta karena takut akan mencemarkan nama baik penderita dan atau keluarga.

Albert Maramis dalam tulisannya lebih banyak menguraikan sejumlah instrumen HAM yang berkaitan dengan ODMK. Peran instrumen internasional HAM diperlukan dalam mendukung perlindungan HAM orang dengan masalah kejiwaan karena kelompok ini termasuk yang paling rentan. Mereka sering dihadapkan pada keadaan yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk mempertahankan hak-hak mereka sehingga dengan mudah mengalami eksploitasi, penghinaan, dan pelanggaran hak-hak dasar mereka.

Sejarah perlindungan ODMK ditulis Pandu Setiawan secara menarik. Dalam catatan sejarah, ternyata kolonial Belanda telah meletakkan dasar-dasar hukum bagi penanganan ODMK di Hindia Belanda. Pada 30 Desember 1865 dikeluarkan Koninlijk Besluit

(13)

di masyarakat. Pengobatan yang optimal, kepatuhan dan kontinuitas berobat, intervensi psikososial, serta rehabilitasi berbasis masyarakat merupakan faktor sangat berpengaruh untuk menstabilkan gejala, meningkatkan kualitas hidup, dan kemandirian ODMK untuk berfungsi kembali secara sosial di masyarakat. Namun demikian, sistem pelayanan kesehatan jiwa yang tersedia di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pelayanan kesehatan jiwa di institusi rumah sakit jiwa. Kondisi ini menyebabkan rumah sakit jiwa (RSJ) di Indonesia bukan lagi berfungsi sebagai pelayanan tersier atau pusat rujukan, tapi malah berfungsi sebagai puskesmas “besar” karena semua penderita gangguan jiwa yang sebetulnya bisa dilayani di puskesmas dan RSU kabupaten/kota tetap ditangani di RSJ.

Eka Viora melihat perlunya ada komitmen kuat untuk mereformasi pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia. Hal ini membutuhkan keterlibatan intens dari para perencana, manajer, dan klinikus untuk mewujudkannya. Ada banyak pengalaman negara-negara yang berhasil melakukan reformasi pelayanan kesehatan jiwa dengan melakukan de-institusionalisasi. Perlunya Indonesia mengembangkan sebuah pelayanan kesehatan jiwa yang terintegrasi dari tatanan rumah sakit sampai ke komunitas adalah untuk menjamin kesinambungan pelayanan.

(14)

sebuah organisasi konsumen dan keluarga orang dengan masalah kejiwaan.

Pada bagian penutup, LR Baskoro membuat telaah buku Michel Foucault yang legendaris. Buku berjudul Madness and Civilization ini merupakan sebuah buku yang melihat kekuasaan di tengah kegilaan. Buku ini memotret peradaban Eropa pada Abad Pertengahan, Abad XV, hingga Abad XVIII, sebagai masa yang murung, yang kemudian memengaruhi semua hasil budi dan daya manusia Eropa, baik seni, politik, kesusasteraan, dan seterusnya.

Madness and Civilization ditulis Foucault saat ia menjadi dosen di Swedia pada 1961. Foucault sendiri pernah berurusan dengan masalah kejiwaan. Ia pernah depresi hingga harus melakukan konsultasi rutin dengan psikiater--agaknya menjadi penyebab kenapa Foucaut demikian tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan kejiwaan. Madness and Civilization, seperti bukunya yang lain, memang menunjukkan

­kekuatan--dalam­kerumitan­pikiran­Foucalt--ilsuf­terkemuka­Prancis­

ini mengenai pemahamannya atas sejarah.

Selamat membaca!

(15)
(16)

Kejiwaan (ODMK) & Pelanggaran

Hak Asasi Manusia

(17)
(18)

Pendahuluan

Sehat, menurut World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia, adalah suatu keadaan yang sempurna,

baik­isik,­mental­maupun­sosial,­tidak­hanya­bebas­dari­penyakit­atau­

kelemahan. Pengertian tersebut mengandung 3 karakteristik, yaitu 1)

Mereleksikan­perhatian­pada­individu­sebagai­manusia,­2)­Memandang­

sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal, dan 3) Sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif. Intinya sehat, menurut standar WHO, adalah suatu kondisi sejahtera jasmani-rohani serta sosial dan ekonomi.

Pasal 1 UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Kesehatan mental (jiwa) diambil dari konsep mental hygiene, kata mental berasal dari bahasa Yunani yang berarti kejiwaan. Kata mental memiliki persamaan makna dengan kata psyhe yang berasal dari bahasa Latin yang berarti psikis atau jiwa. Jadi, dapat diambil kesimpulan bahwa mental hygiene berarti mental yang sehat atau kesehatan mental. Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari keluhan dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun psikosis (penyesuaian diri terhadap lingkungan sosial).

Mental yang sehat tidak akan mudah terganggu oleh stressor

(19)

sendiri dan lingkungannya. Menurut WHO Expert Committee on Mental Health, ada delapan ciri-ciri mental yang sehat, yaitu:

1. Mampu menyesuaikan diri terhadap kenyataan secara konstruktif, meskipun kenyataan itu buruk dan pahit.

2. Mampu memperoleh kepuasan dari upaya dan perjuangan hidupnya.

3. Merasa lebih puas memberi daripada menerima. 4. Relatif bebas dari ketegangan dan kecemasan (stres).

5. Mampu berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan.

6. Mampu menerima kekecewaan untuk dipakai sebagai pelajaran. 7. Mampu mengarahkan rasa permusuhan menuju penyelesaian

yang kreatif dan konstruktif.

8. Memiliki daya kasih sayang yang besar.

Gangguan mental (jiwa) dapat dikatakan sebagai perilaku abnormal atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku di masyarakat, baik yang berupa pikiran, perasaan maupun tindakan. Stres, depresi, dan alkoholik tergolong sebagai gangguan mental karena adanya penyimpangan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa gangguan mental memiliki titik kunci, yaitu menurunnya fungsi mental dan berpengaruhnya pada ketidakwajaran dalam berperilaku.

Seseorang yang gagal dalam beradaptasi secara positif dengan lingkungannya dikatakan mengalami gangguan mental. Proses adaptif ini berbeda dengan penyesuaian sosial, karena adaptif lebih aktif dan didasarkan atas kemampuan pribadi, sekaligus melihat konteks sosialnya. Atas dasar pengertian ini tentu tidak mudah untuk mengukur ada tidaknya gangguan mental pada seseorang, karena selain harus mengetahui potensi individunya, juga harus melihat konteks sosialnya.

(20)

orang, tanpa mengenal umur, ras, agama, maupun status ekonomi.

ODMK atau orang dengan masalah kejiwaaan adalah orang yang mengalami gangguan mental (jiwa). Istilah ODMK dipakai untuk menggantikan sebutan orang gila yang sering dipakai masyarakat awam ketika menyebut orang yang mengalami gangguan mental (jiwa). Pemakaian istilah orang gila dianggap memberikan stigma negatif, diskriminatif, dan tidak sesuai dengan nilai-nilai hak asasi manusia.

Setiap tahun jumlah ODMK terus bertambah di seluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) pada 2001 menyebutkan jumlah ODMK di dunia mencapai sekitar 450 juta orang. Di Indonesia, berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional, seperti gangguan kecemasan dan depresi, sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa. Artinya, dengan jumlah populasi orang dewasa di Indonesia lebih kurang 150 juta, maka terdapat sekitar 17,4 juta penduduk dewasa menjadi ODMK.

Menurut data Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa Universitas Indonesia, pada 2007 terdapat 12 persen----sekitar 24 juta dari total penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 200 juta----dari total penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa berat, sedang, dan ringan. Sedangkan menurut Profesor Dadang Hawari, jumlah ODMK di Indonesia mencapai sekitar 50 juta orang.

Pertambahan jumlah ODMK dipicu banyak faktor, seperti stres, kecewa, kena PHK, tidak memiliki pekerjaan, korban kekerasan, dan trauma bencana alam. Jumlah yang sangat besar itu berpengaruh

signiikan­ terhadap­ perekonomian­ dunia.­ Sebab,­ produktivitas­ kerja­

orang yang menjadi ODMK akan menurun. Selain berpengaruh secara ekonomi, ODMK juga memengaruhi tata kehidupan sosial politik dan budaya.

Meskipun­ keberadaan­ ODMK­ berpengaruh­ signiikan­ terhadap­

(21)

Pelanggaran HAM terhadap ODMK

Di mana pun ODMK memijakkan kakinya, dia selalu mendapat stigma negatif. Para ODMK yang menjadi gelandangan di jalan--karena keluarganya tidak mampu mengurusnya--hampir selalu menjadi bahan ejekan, cemoohan, dicaci maki, bahkan dalam beberapa kasus diludahi, dilempari batu, dan disuruh pergi. Beberapa ODMK perempuan yang berparas lumayan cantik sering menjadi objek pemerkosaan. Biasanya ODMK perempuan ini disuruh mandi dulu, lalu diberi pakaian yang rapi, diberi makan, setelah itu ramai para preman jalanan memerkosanya. Pemerkosaan dilakukan berulang kali sehingga ODMK perempuan tersebut hamil. Setelah melahirkan, anaknya diambil oleh yayasan-yayasan sosial.

Para ODMK di jalanan ini hidup dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Mereka mengais makanan sisa, berebut dengan kucing atau anjing. Tidur di mana pun dia inginkan. Bahkan, ada ODMK yang tergilas kereta api karena tertidur di rel kereta api. Soal pakaian mereka tak peduli lagi, banyak ODMK di jalanan yang bertelanjang bulat.

Sesekali bila pemerintah daerah menggelar operasi ketertiban umum, maka para ODMK ditangkapi dengan paksa, dinaikkan ke mobil, dan ditampung di panti-panti sosial. Bila panti sosial sudah penuh sesak, maka para ODMK ini dibuang ke daerah lain. Tak aneh bila antar-kabupaten kadang bersitegang karena tidak mau daerahnya menjadi tempat penampungan atau tempat pembuangan ODMK dari daerah lain.

(22)

Selain kurangnya gizi ODMK di penampungan karena makanannya yang tidak memenuhi syarat gizi, juga karena banyak di antara ODMK yang enggan makan. Terkadang ODMK yang menolak makan dipukuli sehingga mereka menjadi tambah sakit. Jatah makan ODMK di panti sosial adalah Rp 15 ribu untuk 3 kali makan. Dana yang disediakan itu hanya untuk 200 ODMK. Tapi, kenyataannya jumlah ODMK di panti jumlah bisa mencapai 433 orang.

Diare menerpa ODMK karena kesehatan lingkungan panti sosial yang tidak terjaga dengan baik. Kapasitas ruangan yang overload

membuat ruangan yang ditempati ODMK berjubel, jorok, dan kumuh. Dalam ruangan dengan ukuran 8 x 11 meter persegi bisa berisi 20 orang. Contohnya Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 2, Jalan Bina Marga, Cipayung, Jakarta Timur, ini yang mampu menampung 230 orang. Namun kenyataannya, ODMK yang ditampung sudah men-capai 433 orang.

ODMK yang sakit di panti sosial----misalnya diare----biasanya dirujuk ke rumah sakit (RS) rujukan. Tapi celakanya, RS rujukan sering overload

kapasitasnya. Jika pihak RS menyatakan tidak mampu menampung, maka pihak panti sosial hanya bisa pasrah sambil menunggu antrean ruang kosong. Akhirnya ODMK yang sakit dapat meninggal karena kehabisan cairan.

Nasib ODMK di rumah sakit jiwa (RSJ) konon lebih beruntung. Benarkah? Ternyata tidak juga. Kondisi RSJ di Indonesia masih serba terbatas, mirip dengan panti-panti penampungan: ruangan terbatas, makanan kurang bergizi, suasana mirip penjara, dan jumlah ODMK melebihi kapasitas.

Di Indonesia saat ini jumlah RSJ hanya ada 34 buah. Pada 2010 menjadi tinggal 32 buah. Dan RSJ itu tidak tersebar merata di seluruh provinsi di Indonesia. Artinya, ada beberapa provinsi yang tidak memiliki RSJ.

(23)

RSJ di Jakarta tidak diambil keluarganya. Akibatnya, kapasitas rumah sakit menjadi tidak mencukupi. Apalagi, dari tahun ke tahun jumlah ODMK terus bertambah. Perbandingan (rasio) penderita gangguan jiwa di Indonesia adalah 18,5 orang dari setiap 1.000 orang Indonesia mengalami gangguan jiwa. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari rasio menurut Survei Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO) yang menunjukkan bahwa satu (1) dari setiap 1.000 penduduk dunia mengalami gangguan jiwa.

Para ODMK di RSJ yang tidak dijemput keluarganya, maka bisa tinggal seumur hidup di RSJ. Bahkan, ada ODMK yang kemudian bekerja di RSJ ketika sudah sembuh karena tidak tahu harus ke mana dan bekerja apa. Banyak dari ODMK yang tidak berani pulang ke rumah karena di rumah sering tidak mendapat perlakuan yang manusiawi. Mereka memilih tetap di RSJ walaupun kondisinya serba terbatas.

Lantas bagaimana nasib ODMK yang tinggal bersama keluarganya? Di Indonesia setidaknya ada 4 tipe keluarga dalam menghadapi ODMK. Pertama adalah keluarga kaya dan peduli pada ODMK. Kedua adalah keluarga kaya, tapi tidak peduli pada ODMK. Ketiga adalah keluarga miskin dan peduli pada ODMK. Keempat, keluarga miskin dan tidak peduli pada ODMK.

Beruntunglah ODMK yang memiliki keluarga yang kaya dan peduli pada nasibnya. Biasanya keluarga seperti ini akan terus berjuang mencari obat untuk kesembuhan anggota keluarganya yang menjadi ODMK. Mereka akan menempuh segala cara untuk mencari pengobatan, baik alternatif, mistis, herbal, maupun ilmiah. Mereka tidak malu dan tidak merasa ODMK sebagai aib. Mereka percaya ODMK bisa diobati, dan mereka sangat percaya dukungan keluarga menjadi sarana utama untuk menunjang kesembuhan ODMK. Tapi, keluarga yang seperti itu sangat sedikit jumlahnya.

(24)

semua pihak, maka bila ada anggota keluarganya yang menjadi ODMK, keluarga di Indonesia memilih untuk memasungnya, terutama bila tidak mampu membawanya ke RSJ atau tidak mampu membiayai pengobatannya.

Pasung terjadi hampir di seluruh pelosok Tanah Air. Di Jombang, Jawa Timur, ada cerita memiriskan yang dialami Luluk Komariyah. Perempuan berusia 33 tahun ini tinggal di Dusun Kucung, Desa Banyuarang, Kecamatan Ngoro, Jombang, Jawa Timur. Luluk dipasung oleh ayahnya, Imam Mansyur atau Surdi, sejak usia 18 tahun gara-gara mengalami gangguan jiwa. Alasan pemasungan adalah untuk memudahkan mengontrol dan menjaga hal terburuk apabila Luluk tiba-tiba mengamuk. Selama dipasung Luluk mengalami tindakan pemerkosaan. Tercatat Luluk pernah melahirkan hingga empat kali. Belum diketahui lelaki yang menghamili Luluk. Anak-anak Luluk diasuh oleh orang lain.

Berkat dorongan dari media massa dan Woman Crisis Centre Jombang, Pemerintah Kabupateng Jombang bersedia turun tangan. Luluk akhirnya dirawat di Rumah Sakit Syaiful Anwar, Malang.

Setelah­menjalani­perawatan­intensif,­kondisi­isik­dan­psikologi­Luluk­

membaik. Kini Luluk dirawat di Rumah Sakit Jiwa Lawang.

Kisah pasung lainnya berasal dari Aceh. Cut Manyak, 56 tahun, warga Rhing Krueng, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, memasung suaminya, Mahmud, 68 tahun, hampir 30 tahun lamanya. Mahmud dipasung di sebilah kayu besar. Di kayu itu terdapat dua lubang untuk memasung kedua kaki suaminya. Pemasungan itu dilakukan karena Mahmud mengalami gangguan jiwa yang muncul secara tiba-tiba. Menurut Cut Manyak, tindakannya bertujuan untuk mencegah agar suaminya tidak diganggu atau dipukul orang lain. Kondisi seperti yang dialami Mahmud juga dialami ratusan warga Aceh lainnya. Di Aceh ada sekitar 200 penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh keluarganya.

(25)

dalam kondisi bugil di tempat yang berbeda. Asmadi dipasung di kebun milik warga yang terletak di samping rumahnya, sedangkan Ahmad dipasung tepat di depan rumah.

Asmadi dipasung dengan rantai yang dipaku ke dalam tanah, sedangkan Ahmad hanya dirantai di samping amben atau kasur kayu. Ayah kedua pemuda tersebut, Yahya, mengatakan, Asmadi, anak pertamanya, sudah dipasung selama tiga tahun.

Di Nusa Tenggara Barat (NTB), Mahyidin dipasung keluarganya selama satu setengah tahun. Kakinya dijepit bongkahan balok kayu. Tangannya kadang juga dirantai. Pemuda berusia 21 tahun warga Desa Jago, Kecamatan Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), itu dipasung karena mengalami gangguan jiwa setelah pulang kerja dari Malaysia.

Mahyidin hanyalah satu dari puluhan eks tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mengalami gangguan jiwa setelah pulang dari Malaysia. Banyak TKI yang mengalami gangguan jiwa karena mereka mengalami tekanan di semua tahap pengiriman TKI, mulai rekrutmen, penampungan, pemberangkatan, penempatan, pemulangan, hingga pasca-pemulangan. Pemerintah tidak memberikan dukungan fasilitas yang memadai terhadap para TKI. Padahal, mereka adalah penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas.

Bila TKI mengalami masalah di luar negeri, pemerintah tidak menyediakan tenaga konseling kejiwaan. Bahkan, ketika TKI diburu seperti anjing oleh aparat Pemerintah Malaysia atau negara lain di mana dia berada, pemerintah malah tutup mata. TKI dibiarkan mengurus nasibnya sendiri: yang kuat akan tetap hidup, yang tidak kuat akan mati atau mengalami gangguan jiwa. TKI yang menderita gangguan jiwa ini, antara lain, dapat ditemui di daerah Nunukan. Mereka dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan. Mereka adalah mantan TKI yang bekerja di Malaysia. Di beberapa daerah transit lainnya juga sering ditemui TKI yang mengalami gangguan jiwa.

Selain TKI yang menjadi ODMK, di penjara juga banyak narapidana yang mengalami gangguan jiwa. Kondisi penjara di Indonesia yang

(26)

bergizi, dan aparat yang kurang bersahabat menyebabkan banyak narapidana menjadi stres. Celakanya ketika stres, pihak pengelola penjara tidak menyediakan tenaga konseling kejiwaan (psikiater). Malahan, narapidana yang stres sering mendapat perlakuan yang tidak manusiawi, seperti dipukuli, dicaci maki, dan diisolasi.

ODMK sepertinya tak mendapat tempat yang layak untuk mempertahankan hak-haknya sebagai manusia dan untuk memulihkan dirinya. Hampir di semua lingkungan dia mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.

Hak-hak ODMK di bidang sipil politik (sipol) dan ekonomi sosial budaya (ekosob) tak lagi diabaikan oleh negara. Di bidang politik, pada Pemilu 2009 hak pilih ODMK tidak diakomodasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia. KPU tidak menyediakan tempat pemungutan suara (TPS) di RSJ. Jangankan RSJ, di rumah sakit umum (RSU) saja KPU tidak menyediakan TPS.

KPU menganggap ODMK tidak memiliki hak pilih karena Pasal 14 (a) UU Pemilu menyatakan bahwa syarat untuk menjadi pemilih harus nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya. Pasal ini seharusnya tidak diterapkan secara otomatis terhadap semua ODMK. Karena, menurut catatan klinik-klinik perawatan, lebih dari 80 persen ODMK mengerti dan mampu membedakan mana perilaku sosial yang baik dan mana yang buruk. Tentunya, mereka tidak akan mengalami kesulitan kalau sekadar mencontreng tanda gambar pada pemilu.

Di bidang kesehatan, ODMK sering tidak mendapat layanan jika berobat menggunakan kartu asuransi keluarga miskin (gakin). Mereka juga tidak dilayani di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) terdekat. Padahal, puskesmas adalah ujung tombak layanan kesehatan yang sangat diandalkan masyarakat. Hanya ada beberapa puskesmas yang menyediakan layanan khusus ODMK. Yang jelas, layanan kesehatan untuk ODMK dari segi availability (ketersediaan), accessibility (adanya akses), acceptability (dapat diterima menurut etika dan kebudayaan), dan quality (kualitas) masih sangat memprihatinkan.

(27)

untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka dianggap tidak cakap bekerja dan berbahaya bagi orang lain. Di bidang yang lain, ODMK atau mantan ODMK masih terus mendapatkan perlakuan yang diskriminatif.

Penutup

Nasib ODMK yang terpinggirkan dan memprihatinkan akan terus terjadi bila tidak ada upaya-upaya konkret untuk menghapus stigma dan diskriminasi terhadap mereka. Penghapusan stigma dan diskriminasi merupakan langkah awal untuk mengeliminasi segala bentuk pelanggaran HAM terhadap ODMK.

Upaya eliminasi pelanggaran HAM terhadap ODMK dapat dilakukan melalui berbagai upaya. Pertama, adalah upaya pencegahan. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan kampanye dan penyuluhan kepada masyarakat tentang ODMK. Persepsi publik yang selama ini keliru terhadap ODMK perlu diluruskan. Masyarakat harus diedukasi secara aktif untuk lebih peduli kepada ODMK. Program penyuluhan ini harus terus berkelanjutan, terarah, dan terpadu.

Kedua, upaya pengobatan. Untuk mengobati ODMK, negara wajib menyediakan layanan kesehatan sesuai dengan standar WHO. Penyediaan layanan tersebut dapat dilakukan secara bertahap, terarah, dan terpadu. Negara harus memperbaiki sarana dan prasarana kesehatan untuk ODMK yang saat ini sudah ada. Negara juga harus menyediakan anggaran yang memadai, memperbanyak tenaga medis dan memperbaiki kualitasnya, serta menyediakan obat-obatan yang memadai. Dan yang tak kalah penting, negara harus segera menyediakan layanan kesehatan untuk ODMK di puskesmas. Puskesmas memiliki peran vital karena jumlahnya lebih dari 8.000 di seluruh Indonesia dan mudah dijangkau masyarakat.

(28)

Selain tiga upaya di atas, negara sebagai pemangku kewajiban untuk pemenuhan HAM ODMK juga harus segera membenahi sektor kebijakan yang menyangkut ODMK. Kebijakan-kebijakan terkait ODMK perlu dibenahi, ditata ulang, dan diselaraskan dengan semangat penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM ODMK.

Kepustakaan

1. Hasyim dkk, M. Fuad.,Agama dan Kesehatan Mental, http://yodisetyawan.wordpress.com/2008/05/19/agama-dan-kesehatan-mental/.

2. Irmansyah, ahli kesehatan jiwa di Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”Biarkan Penderita Gangguan Jiwa Ikut Pemilu”. Kompas.

3. http://www.tugaskuliah.info/2009/10/bahan-kuliah-konsep-sehat-sakit-menurut.html. 4. http://www.forumbebas.com/thread-55139.html.

5. “Perawatan Orang Gila di Panti Tak Manusiawi, Tak Mau Makan, Kurang Gizi, Dipukuli, Tewas”, http://www.metrobalikpapan. co.id/index.php?mib=berita.detail&id=15609.

6. “Panti Laras Krisis Obat dan Kekurangan Obat Sakit Gila”, http://www.hupelita.com/baca.php?id=71367.

7. Nograhany Widhi K. “50% Orang Gila Terlantar di RSJ”, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/10/ tgl/08/time/143537/idnews/839391/idkanal/10.

8. Melly Febrida.“Overload-nya Panti Rehabilitasi Pasien Gangguan Jiwa”, http://www.detiknews.com/read/2007/10/02/181121/8 36992/10/overload-nya-panti-rehabilitasi-pasien-gangguan-jiwa.

9. “Nasib Jadi TKI di Malaysia, Mereka Teraniaya hingga Gila”, http://www.gatra.com/2002-06-10/artikel.php?id=18148. 10. “Orang Gila Berkeliaran”, http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/46507.

11. “Jumlah Orang Gila Menggila”, http://hariansib.com/?p=45980.

12. “Sakit Jiwa (1) Pasung di Kampung Stres”, http://www.vhrmedia.com/Pasung-di-Kampung-Stres-kisah1784.html. 13. Kunjungan Staf RSJ & Mahasiswa Norwegia, “Pasung, Antara Cinta dan Pelanggaran HAM”, http://serambinews.com/news/

view/16207/pasung-antara-cinta-dan-pelanggaran-ham.

14. “Orang Tua Pasung Kakak Beradik Tiga Tahun di Depok”, http://cilacap-online.com/berita-nasional/198-orangtua-pasung-ka kak-beradik-tiga-tahun-di-depok.pdf.

15. Wikipedia bahasa Indonesia, “Penyakit mental”, http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_jiwa. 16. “Sakit Jiwa = Aib?”, http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=1045.

(29)
(30)

dalam Perspektif Global

Meskipun banyak faktor psikososial yang terjadi saat ini pada masyarakat dan berpotensi besar menyebabkan masalah kesehatan jiwa, namun perhatian terhadap aspek kesehatan jiwa hingga saat ini masih minimal. Hal ini salah satunya terjadi akibat kurangnya informasi dan pemahaman tentang masalah kesehatan jiwa. Akibatnya manajemen yang komprehensif, melibatkan banyak sektor, dan mampu melindungi hak asasi orang dengan gangguan jiwa menjadi sulit untuk diciptakan. Hal tersebut berujung pada tidak tertatalaksananya masalah kesehatan jiwa dengan baik dan membawa dampak negatif bagi individu, keluarga, masyarakat, maupun negara.

Tulisan ini dibuat dengan cara mengelaborasikan beberapa sumber pustaka, baik lokal maupun internasional, untuk membandingkan kondisi yang ada di Indonesia dengan kondisi yang ada secara global. Beberapa data penelitian digabungkan dengan pendapat kualitatif dari beberapa ahli di bidang kesehatan jiwa juga disajikan.

Data-data tersebut diharapkan akan mampu memberikan gambaran tentang besarnya masalah kesehatan jiwa, termasuk dampak yang diakibatkan. Tulisan ini juga akan memberikan pemahaman mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa beserta klasiikasinya. Kesemuanya ditujukan untuk semakin meningkatkan pemahaman dan kesadaran bahwa masalah kesehatan jiwa tidak bisa dipisahkan dari masalah kesehatan, dan merupakan masalah kompleks yang membutuhkan kerja sama setiap unit dalam struktur masyarakat dan berbagai sektor terkait.

(31)
(32)

No Health without Mental Health1

K

enyataan bahwa tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa sesuai dengan slogan di atas memang nyata menjadi sebuah kebutuhan bagi semua orang. Slogan lain seperti Men Sana in Corpore Sano, ”di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat”, menunjukkan bahwa masalah kesehatan tidak dapat dipisahkan dari kesehatan jiwa.

Kesehatan merupakan kebutuhan hidup setiap manusia. Karena, kesehatan memungkinkan seseorang untuk dapat hidup produktif.

­Deinisi­kesehatan­yang­dianut­sampai­sekarang­pada­dasarnya­mengacu­

pada preambule dari WHO Constitution 1948 yang menyebutkan bahwa: Health is a state of complete physical, mental, and social wellbeing,

not­merely­the­absence­of­diseases­or­inirmity.­The­enjoyment­of­the­

highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being without distinction of race, religion, political belief, economic or social condition.

Berdasarkan­deinisi­di­atas,­jelaslah­bahwa­kebutuhan­akan­“sehat”­ yang­ dimaksud­ tidak­ hanya­ meliputi­ kesehatan­ isik,­ melainkan­

juga kesehatan mental/jiwa dan sosial dengan porsi yang seimbang, memandang manusia secara utuh.2

(33)

baik­secara­isik,­mental,­spritual­maupun­sosial,­yang­memungkinkan­

setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Jadi, sebenarnya tersirat di sini bahwa kesehatan jiwa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan (bagian integral) dan unsur utama dalam menunjang terwujudnya kualitas hidup yang utuh. Sejahtera sebenarnya tidak dapat diukur semata-mata hanya secara sosial mau-pun ekonomis.1,3

Memperhatikan secara khusus kondisi di Indonesia yang masih terus berlangsung hingga saat ini terkait banyaknya kejadian bencana, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan isu psikososial lainnya, masyarakat memiliki potensi masalah kesehatan jiwa yang cukup tinggi. Potensi tersebut tidak secara eksklusif berdampak bagi sekelompok orang, namun seluruh masyarakat Indonesia, terutama kelompok masyarakat yang rentan, seperti anak, perempuan, usia lanjut, para pengungsi, dan kelompok minoritas lainnya. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 20074 di 33 provinsi dan 440 kabupaten/

kota menunjukkan bahwa gangguan mental emosional (depresi dan anxietas) dialami oleh sekitar 11,6% populasi usia di atas 15 tahun (24.708.000 orang). Sedangkan sekitar 1.065.000 orang (0,48% populasi) mengalami gangguan jiwa berat (psikosis).

Meskipun data menunjukkan angka kebutuhan yang cukup besar dan mendesak, ironisnya masalah kesehatan jiwa masih dipandang sebelah mata dan termarginalkan dalam rencana pembangunan kesehatan manusia Indonesia. Banyak faktor yang berpengaruh untuk terciptanya kondisi ini. Salah satunya adalah kurangnya pengertian dan informasi mengenai apa itu kesehatan jiwa dan gangguan jiwa, faktor potensial yang menjadi latar belakang timbulnya masalah kesehatan jiwa, dampak yang akan ditimbulkan pada kehidupan individu tersebut, serta bagaimana seharusnya masalah kesehatan jiwa dapat dikelola. Tulisan ini akan membahas keseluruhan aspek informasi yang diperlukan tersebut.

Apa Itu Kesehatan Jiwa

Berbicara tentang kesehatan jiwa artinya bukan sekadar terbebas dari gangguan jiwa, namun merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh

(34)

sehat dan bahagia, serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya, dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Jadi, kesehatan jiwa meliputi:

a. Bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya. Perasaan nyaman terhadap diri sendiri dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk: • menghadapi berbagai perasaan, seperti rasa marah, takut,

cemas, cinta, iri, rasa bersalah, dan rasa senang, • mengatasi kekecewaan dalam kehidupan, • mempunyai harga diri yang wajar,

• menilai dirinya secara nyata, tidak merendahkan, dan tidak pula berlebihan, dan

• merasa puas dengan kehidupan sehari-hari.

b. Bagaimana perasaan seseorang terhadap orang lain. Perasaan nyaman terhadap orang lain dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk:

• mencintai dan menerima cinta dari orang lain, • mempunyai hubungan pribadi yang tetap, • mempercayai orang lain,

• menghargai pendapat orang lain yang berbeda, • menjadi bagian dari kelompok, serta

• tidak memperdaya orang lain dan tidak membiarkan dirinya diperdaya oleh orang lain.

c. Bagaimana cara seseorang mengatasi stres yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Aspek tersebut membahas kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam hal:

• menetapkan tujuan hidup yang nyata untuk dirinya, • mengambil keputusan,

• menerima tanggung jawab, • merancang masa depan,

• menerima ide dan pengalaman baru, dan • merasa puas dengan pekerjaannya.

Kapan Seseorang Disebut Memiliki Gangguan Jiwa

(35)

(33,3%) di antaranya menderita gangguan depresi, 90 juta gangguan penggunaan zat dan alkohol, 38 juta epilepsi, 25 juta skizofrenia, serta hampir 1 juta melakukan bunuh diri setiap tahun.5

Data besaran masalah kesehatan jiwa yang lain menunjuk-kan bahwa 25% dari seluruh penduduk dunia pernah mengalami sedikitnya satu kali gangguan jiwa dan perilaku pada suatu masa dalam hidupnya. Gangguan jiwa adalah suatu kondisi klinis dalam pikiran, perilaku, dan suasana perasaan yang menimbulkan penderi-taan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan fungsi psikososial (pendidikan, pergaulan, pekerjaan, dan pemanfaatan waktu senggang).1,6,7 Gangguan jiwa yang sering ditemui di

masyara-kat, di antaranya:8

a. Gangguan Jiwa Psikotik

Gangguan psikotik merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya hendaya (ketidakmampuan) berat dalam menilai kenyataan/ realitas atau dalam membedakan antara fantasi dan realitas. Gejala-gejala yang muncul, di antaranya adalah waham, halusinasi, hendaya berat dalam perawatan diri, dalam fungsi sosial (misalnya menarik diri dari pergaulan sosial), serta dalam pekerjaan sehari-hari/yang biasa dilakukan.

b. Gangguan Jiwa Non-psikotik

Kelompok gangguan jiwa ini menunjukkan suatu kondisi gangguan jiwa tanpa hendaya dalam menilai kenyataan/realitas atau dalam membedakan antara fantasi dan realitas. Gangguan yang sangat beragam dan sering dijumpai ini, antara lain:

- Gangguan Depresi

(36)

- Anxietas/Kecemasan

Adalah gangguan jiwa yang ditandai adanya kecemasan yang berlebihan dan muncul dalam berbagai gejala, antara lain pikiran yang terus berulang tanpa bisa dikendalikan (obsesif), tindakan berulang yang tidak bisa dikendalikan untuk menjalankan pikiran obsesif (kompulsif), rasa takut yang berlebihan terhadap suatu

obyek­atau­suatu­hal­(fobia),­maupun­gejala-gejala­ penyakit­isik­

yang tidak dapat diterangkan (hipokondriasis dan somatisasi).

- Kelompok gangguan jiwa lain yang juga perlu mendapat perhatian terkait dengan masalah dan disabilitas yang ditimbulkannya adalah:

1. Gangguan mental organik. Ini meliputi berbagai gangguan jiwa yang disebabkan oleh adanya penyakit, serta cedera atau rudapak-sa otak yang berakibat disfungsi otak.

2. Penyalahgunaan zat psikoaktif. Penggunaan zat psikoaktif yang menyebabkan terjadinya ketergantungan dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pekerjaan dan pergaulan sosial. Prevalensi gangguan penggunaan zat psikoaktif sangat bervariasi menurut zat yang digunakan di berbagai tempat dan berbagai kelompok dalam populasi. Di samping penggunaan rokok, penyalahgunaan alkohol umumnya banyak dijumpai. Perkiraan prevalensi global untuk penggunaan zat adalah 2,8% pada laki-laki dan 0,5% pada perempuan, dengan variasi yang sangat luas.

3. Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa. Ini mencakup berbagai keadaan dan pola perilaku yang cenderung menetap dan merupakan ekspresi dari gaya hidup yang khas dari individu serta cara berhubungan dengan diri sendiri dan orang lain. Termasuk di dalamnya berbagai macam gangguan kepribadian (gangguan kepribadian ambang, antisosial, paranoid, dan lain-lain); gangguan kebiasaan dan impuls (judi patologis, bakar patologis, curi patologis, dan lain-lain); gangguan identitas jenis kelamin, gangguan preferensi

seksual­(pedoilia,­sadomasokisme,­dan­lain-lain);­serta­gangguan­

psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi seksual.

(37)

ditandai oleh keterlambatan perkembangan fungsi akibat dari gangguan pada proses perkembangan biologis (susunan saraf). Gangguan ini berlangsung terus-menerus serta sering mengalami kekambuhan, walau akan berkurang dengan bertambahnya usia anak. Di negara kaya dijumpai 3% populasi mempunyai IQ kurang dari 70%, sementara hanya 4 per 1.000 mempunyai IQ kurang dari 50% (tergolong dalam retardasi mental sedang dan berat). Data lain menunjukkan tingginya insiden retardasi berat di negara miskin.

Keterangan di atas secara jelas menggambarkan bahwa masalah kesehatan jiwa sangat bervariasi dan menuntut perhatian yang tidak sedikit. Perhatian terutama ditujukan untuk mencegah masalah tersebut terjadi atau mengatasi sebab dari masalah.

Bagaimana Gangguan Jiwa Bisa Terjadi

Penelitian dan pembahasan mengenai sebab timbulnya atau meningkatnya problem kesehatan jiwa di masyarakat menjadi pembicaraan dan perdebatan, mulai dari masyarakat umum hingga tingkat ilmiah. Konsep bio-psiko-sosial memandang manusia dan permasalahannya dengan sangat kompleks.8

Faktor biologis saat ini menjadi fokus perhatian para peneliti dengan semakin berkembangnya kemampuan untuk mendeteksi hingga tingkat sel. Penelitian genetik menunjukkan bahwa pada beberapa kasus angguan jiwa, seperti skizofrenia dan gangguan afektif bipolar, faktor genetik berperan sebagai faktor predisposisi penting untuk merencanakan aspek preventif. Penelitian lain menunjukkan secara jelas perubahan keseimbangan berbagai macam zat kimia otak sebagai dasar terjadi gangguan jiwa. Hal ini berdampak secara positif pada semakin berkembangnya berbagai jenis terapi psikofarmaka yang tersedia.

(38)

Hubungan lain aspek biologis dan gangguan jiwa tergambar pula secara kompleks pada kasus komorbiditas antara gangguan jiwa dengan

penyakit­ isik.­ Depresi­ dan­ anxietas­ merupakan­ komorbiditas­ yang­

sering dijumpai pada penyakit tidak menular, seperti pada penyakit jantung koroner, infark miokard, dan diabetes tipe II. Tahun 2003, WHO

melaporkan­ prevalensi­ depresi­ pada­ berbagai­ penyakit­ isik,­ antara­

lain tuberkulosis (46%), HIV/AIDS (44%), kanker (33%), stroke (31%), epilepsi ( 30%), hipertensi (29%), DM (27%), miokard infark (22%), dan 10% depresi dijumpai pada populasi umum. Penyakit menular seperti HIV/AIDS merupakan faktor risiko depresi dan gangguan kognitif. Depresi juga dikaitkan dengan kepatuhan berobat terhadap anti retro viral. Kesehatan reproduksi (ibu dan anak) dijumpai hubungan antara gangguan jiwa dan gangguan ginekologik. Depresi ibu dihubungkan

dengan­perkembangan­isik­dan­psikologik­bayi­yang­buruk.­

Globalisasi memungkinkan luasnya jaringan dan mudahnya akses, termasuk terhadap penyalahgunaan zat. Masalah kesehatan jiwa yang diakibatkannya tidak hanya berhubungan dengan dampak penggunaan langsung (akibat intoksikasi, putus zat), namun juga efek jangkapanjang, seperti sindrom amotivasional pada penyalahgunaan ganja dan gejala paranoid akibat penyalahgunaan amfetamin jenis stimulan.

Faktor psikologis yang berhubungan dengan pola asuh, pembentukan citra diri, interaksi individu, dan pola pemecahan masalah memengaruhi kerentanan seseorang terhadap masalah kesehatan jiwa. Sebagai contoh, urbanisasi yang menuntut kompetisi dalam segala hal berdampak pada terabaikannya mutu interaksi dan curah ekspresi di dalam keluarga. Pola asuh yang tidak konsisten, atau pola interaksi dengan kekerasan, memengaruhi mekanisme pemecahan masalah dan koping terhadap stresor.

Problem kemiskinan, kondisi sosial ekonomi yang cenderung tidak

stabil,­ pengangguran,­ konlik,­ bencana,­ stigma,­ diskriminasi,­ serta­

(39)

perhatian adalah ketika informasi tersebut sulit untuk disaring, baik dari jenis tayangan maupun pengguna layanannya. Sebagai contoh, paparan terhadap tindak kekerasan, berbagai peristiwa bunuh diri,

maupun­seksualitas­dan­pornograi­bila­dikonsumsi­oleh­anak­maupun­

remaja secara bebas, berpotensi terjadinya masalah, seperti bunuh diri pada anak, tawuran atau perilaku seksual bebas.

Kemiskinan,­gangguan­isik,­dan­gangguan­jiwa­dapat­digambar -kan sebagai sebuah lingkaran yang tidak dapat dipisah-kan satu sama lain. Beberapa gangguan jiwa yang dikaitkan dengan kemiskinan adalah bunuh diri, gangguan mental emosional (depresi dan anxietas), gangguan penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif (1,5%) masalah perkembangan anak dan remaja, serta gangguan stres pasca-trauma akibat tindak kekerasan dan trauma psikososial lain (penggusuran dan kriminalitas).

Dampak yang Ditimbulkan oleh Gangguan Jiwa

Sesuai­dengan­deinisinya,­gangguan­jiwa­menimbulkan­disfungsi­

dan hendaya (penderitaan) bagi diri dan orang lain. Hal itu tentu saja berkaitan dengan kata produktivitas. Berbicara tentang kesehatan dan produktivitas, beberapa data menunjukkan bahwa masalah ke-sehatan jiwa memengaruhi tingkat produktivitas individu secara umum, bahkan menimbulkan kecacatan. Hal tersebut tentu saja akan memengaruhi indeks pembangunan manusia (human developmental index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia.

Sekretariat Negara menyebutkan bahwa Indeks Daya Saing Indonesia tahun 2007 berada di peringkat ke-5 dan Indeks Pembangunan Manusia berada di peringkat ke-6 dari 10 negara ASEAN.9Data lain dari Global

Competitive Rate (GCR) yang dihitung dan dianalisis oleh World Economic Forum bekerja sama dengan berbagai organisasi lokal di masing-masing negara, melaksanakan survei selama 2 tahun pada 134 negara di dunia menampilkan performa Indonesia di tahun 2008-2009 ada pada peringkat ke-55, turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.j Kondisi

(40)

Sebuah penelitian tingkat dunia yang menghitung adjusted life years (DALYs)10 menunjukkan bahwa gangguan jiwa

adalah kelompok penyakit tertinggi yang mengakibatkan beban. Data DALYs dari World Health Report tahun 2002 menunjukkan bahwa gangguan neuropsikiatri menimbulkan beban besar dibandingkan

­penyakit­ akibat­ trauma­ isik­ (injuries) dan HIV/AIDS. Data lain, DALYs dari Australial menunjukkan bahwa di antara kelompok

penyakit tidak menular gangguan neuropsikiatri (khususnya depresi, penyalahgunaan zat psikoaktif, dan skizofrenia) menimbulkan beban yang lebih tinggi dibandingkan kelompok penyakit pembuluh darah dan kanker. Selanjutnya dari data DALYs Australia tersebut menunjukkan bahwa pada kelompok usia produktif (15-34 tahun), gangguan jiwa seperti anxietas dan depresi menjadi gangguan tertinggi yang menghasilkan peningkatan beban.4

Beban terkait gangguan jiwa tidak hanya berdampak pada individu, melainkan juga sistem lain (keluarga dan masyarakat). Sebagai contoh kasus tata laksana gangguan jiwa yang tidak paripurna akan berdampak pada meningkatnya risiko tindakan kekerasan yang sering kali tidak disadari sepenuhnya oleh penderita, namun dicap berbahaya bagi masyarakat. Bentuk lain adalah tindak kekerasan terhadap diri sendiri, yang salah satunya berupa tindakan bunuh diri yang cukup sering terjadi akhir-akhir ini. Kondisi ini di satu sisi semakin meningkatkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa, semakin menempatkan mereka sebagai orang “tidak mampu”.

(41)

Beban yang diterima oleh keluarga tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami penderita, baik secara ekonomi, sosial maupun psikologis. Hal ini terasa lebih besar karena ketidaktahuan keluarga untuk berperan membantu, termasuk ketidakmampuan untuk mengakses layanan kesehatan jiwa yang lebih disebabkan karena ketidaksediaan sarana tersebut di tingkat masyarakat. Kondisi terakhir diperjelas dengan data penelitian yang melibatkan 15 kasus pasung di Kabupaten Samosir. Data tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 70% penderita yang dipasung pernah menjalani perawatan di sarana kesehatan jiwa, namun tidak dapat dilanjutkan karena masalah ekonomi dan besarnya upaya untuk bisa menjangkau layanan kesehatan tersebut.13

Perlakuan salah hingga pemasungan sering kali dipicu oleh semua beban ini. Dharmono, dkk (2006)14 dalam survei yang

dilakukan terhadap penderita skizofrenia yang dirawat di empat tempat perawatan khusus di Jakarta dan Bogor melaporkan bahwa 61,7% penderita mengalami berbagai perilaku tidak menyenangkan,

seperti­ kekerasan­ isik,­ kekerasan­ emosional,­ kekerasan­ seksual,­

kekerasan ekonomi, penelantaran, dan berbagai campuran tindak kekerasan di atas. Tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh berbagai pihak, terutama oleh keluarga (50,6%), selebihnya oleh tetangga, perawat RS, teman, orang lain, polisi, petugas sosial, dan dokter RS.

Penelitian mengenai pasung di Kabupaten Samosir dan Nanggroe Aceh Darussalam juga menunjukkan bahwa penyebab terjadinya pemasungan oleh keluarga lebih banyak terkait dengan tindakan penyelamatan dan perlindungan.15,16 Tindak penyelamatan yang

dimaksud, baik bagi anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa maupun masyarakat.

(42)

diperlukan untuk menurunkan dampak tersebut yang akan berujung pada peningkatan kualitas hidup penderita, keluarga, dan masyarakat.

Tantangan dan Solusi

Masalah kesehatan jiwa sangatlah kompleks. Artinya, tidak hanya berdampak bagi individu, juga bagi keluarga dan masyarakat, bahkan hingga tingkat tatanan negara. Masalah kesehatan jiwa bukan hanya masalah sektor kesehatan, namun juga menyangkut sektor kesehatan. Sayangnya perhatian terhadap masalah kesehatan jiwa sangatlah minim. Kesehatan jiwa masih belum menjadi prioritas, seolah kesehatan jiwa bukan menjadi bagian dari kesehatan, meskipun data-data telah menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa mengakibatkan beban terbesar di antara semua penyakit.

Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah kurangnya informasi dan pemahaman banyak pihak tentang kesehatan jiwa, mulai dari tingkat individu di tatanan masyarakat hingga para pengambil kebijakan. Terfokusnya masalah kesehatan jiwa hanya pada gangguan jiwa berat dan fasilitas layanan kesehatan jiwa besar (rumah sakit jiwa) menjadi sebab kurangnya kesempatan untuk pengembangan lebih lanjut dan luputnya perhatian terhadap berbagai bentuk gangguan jiwa lain yang terbukti menyebabkan disabilitas bermakna. Stigma dan diskriminasi yang ada di masyarakat yang sering menempatkan penderita pada posisi ”tidak layak” karena dianggap tidak mampu, pada kenyataannya lebih banyak dipicu oleh masalah kurangnya pemahaman bahwa orang dengan gangguan jiwa mampu untuk pulih dan berfungsi baik di masyarakat. Stigma ini pulalah yang mengakibatkan seseorang merasa sulit untuk meminta pertolongan ketika menyadari kondisi yang berbeda dan mengganggu dalam dirinya.

(43)

primer. Ini akibat sangat terpusatnya pembangunan sistem kesehatan jiwa di rumah sakit besar yang tidak mudah dijangkau oleh masyarakat

karena­masalah­geograis­dan­ekonomi.­Kurangnya­pengetahuan­dan­

kepedulian para tenaga kesehatan juga mengakibatkan masalah dalam kemampuan deteksi dan manajemen. Manajemen yang kurang baik mengakibatkan individu tidak dapat berfungsi dengan baik, dan pada ujungnya tidak akan pernah mengubah pandangan masyarakat tentang masalah kesehatan jiwa.

(44)

Kepustakaan

1 Lancet Series Global Mental Health, 2007.

2 Kelompok Kerja Advokasi Kesehatan Jiwa, Pusat Kajian Bencana dan Tindak Kekerasan Departemen Psikiatri FKUI/RSCM, “Draf Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa”, Jakarta, September 2005.

3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

4 Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Tahun 2007.Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Tahun 2007.

5 Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat,Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat,

Buku Pedoman Kesehatan Jiwa (Pegangan bagi Kader Kesehatan), Jakarta, 2003.

6 World Health Organization Regional Oice for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through Legislation, New Delhi, October 2001.

7 WHO-Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Layanan Medik, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (saduran dari ICD-X), Jakarta, 1993.

8 Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan, “Draf Kebijakan di Bidang Kesehatan Jiwa Tahun 2009-2014”. 9 Soekartawi. Mendesak, Kebijakan Revitalisasi Pendidikan untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa. Sekretariat Negara Republik

Indonesia. 2007. Diunduh dari: http://www.setneg.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=521 pada tanggal 9 November 2009.

10 Porter ME, Schwab K., The Global Competitiveness Report 2008-2009, World Economic Forum, Geneva, Switzerland, 2008. 11 World Health Organization Regional Oice for South-East Asia, Meeting the Needs of Persons with Mental Disorders Through

Legislation, New Delhi, October 2001.

12 Minas H, “Mental Health System Development: Role of Professional Association”, dipresentasikan dalam Kongres Nasional VI Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Manado, 3 November 2009.

13 Minas H, Diatri H, Pasung: Physical restraint and coninement of the mentally ill in the community. Int J Ment Health Syst 2008, 2:8. 14 Dharmono S dkk (2006), Naskah Akademik Undang-Undang Kesehatan Jiwa, Jakarta, Departemen Psikiatri FKUI/RSCM. 15 Diatri H, Minas H, Pasung: a Consequence of Insuicient Mental Health Services in Indonesia, Presented at the 4th International

Stigma Conference (Stigma and Discrimination: Evidence for Action) in London (Institute of Psychiatry, Kings College London and the World Psychiatric Association Scientiic Section on Stigma and Mental Illness), January 2009.

(45)
(46)

Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Indone-sia sama sekali belum mendapatkan perhatian memadai dari pemerintah Indonesia. Mereka ini sering kali didiskriminasi oleh keluarga, masyarakat sekeliling, media maupun negara. Tak jarang mereka dibuang atau dibiarkan berkeliaran di jalanan, atau dipasung seumur hidup. Sebagian dari mereka dianggap sudah bukan manusia lagi. Sepanjang hidup mereka mengalami stigmatisasi, pelecehan, pembedaan perlakuan (unequal before the law), pengusiran, penyerangan, peren-dahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Pen-anganan ODMK tak ayal merupakan bagian dari kewajiban hak asasi yang harus segera dilakukan oleh negara. Saatnya pemerintah memikirkan hak sipol dan ekosob bagi para ODMK di negeri ini yang jumlahnya disinyalir telah mencapai lebih dari 20 persen jumlah penduduk di negeri ini.

(47)
(48)

A

genda pemajuan dan penegakan HAM sebetulnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998 ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Piagam HAM bagi negeri Indone-sia, melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu belum diubah.

Sejak reformasi berbagai produk hukum dilahirkan memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk

MPR,­DPR,­dan­DPRD,­UU­Otonomi­Daerah,­UU­ratiikasi­Konvensi­

PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, serta UU

­ratiikasi­Konvensi­Anti­Diskriminasi­Rasial.

Pemerintah­ Indonesia­ pada­ 2005­ telah­ meratiikasi­ dua­ kovenan­

(49)

Selain­ amendemen­ UUD’45­ dan­ ratiikasi­ ICCSER,­ beberapa­

undang-undang terkait dengan hak ekosob.1 Hal ini secara tidak

langsung didorong atau dipaksa oleh Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) periode 1998-2003 yang dibuat Presiden Habibie dan RANHAM periode 2004-2009 yang dibuat Presiden Megawati.

Harapan besar akan adanya kemajuan kondisi hak asasi di era reformasi muncul ketika pemerintahan SBY-Kalla menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2006. Dalam RPJMN disebutkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipahami sebatas ketidak-mampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan adanya perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.2

Prinsip dan Parameter HAM

Apa sebenarnya hak asasi manusia (HAM) itu? HAM adalah hak seorang manusia yang sangat asasi dan tidak bisa diintervensi oleh manusia di luar dirinya atau oleh kelompok atau oleh lembaga mana pun untuk meniadakannya. HAM pada hakikatnya telah ada sejak seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya hingga ia lahir, dan sepanjang hidupnya hingga pada suatu saat ia mati.

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

­Manusia,­sebagaimana­dicantumkan­dalam­Pasal­1,­HAM­dideinisikan­

sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

1 Antara lain adalah UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. 2 Selain merumuskan RPJMN dan RKP, pemerintahan SBY-Kalla juga menetapkan tiga sasaran pembangunan ekonomi, yaitu

(50)

Hak asasi manusia bersifat universal, pengakuan bahwa untuk semua dan setiap orang melekat harkat dan martabat kemanusiaan yang tidak ditentukan oleh latar belakang ras, warna kulit, agama, seks, keyakinan politik, serta latar belakang sejarah.3 Ini juga berarti

bahwa masyarakat internasional mempunyai tanggung jawab universal untuk bertindak mengoreksi pelanggaran atas hak asasi manusia yang terjadi.

Secara umum perspektif mengenai HAM terdiri dari delapan hal. Pertama, bahwa HAM itu adalah sebuah hal yang berlaku secara universal (universality). Meski ada berbagai nilai moral dan etik yang tersebar di seluruh dunia, namun pada dasarnya HAM tak dapat berubah. Yang kedua, HAM mengutamakan penghormatan kepada martabat manusia (human dignity). Ketiga, HAM mengakui sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) bahwa setiap umat manusia dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya. Semua manusia memiliki posisi yang setara (equity). Keempat, HAM tidak mengenal pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lainnya, kebangsaan, kepemilikan, serta status kelahiran atau lainnya (non-discrimination).

Kelima, HAM yang melekat pada setiap individu itu tak bisa direnggut, dilepaskan, atau dipindahkan (inalienability). Keenam, HAM baik sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, semuanya bersifat menyatu (inherent) dalam harkat dan martabat manusia (indivisibility). Pengabaian pada satu hak akan menyebabkan pengabaian terhadap hak lainnya. Ketujuh, HAM itu saling berkaitan dan bergantung satu sama lain (interrelated and interdependence). Kedelapan, HAM lebih merupakan tanggung jawab negara untuk mewujudkannya. Negara dan dan para pemangku kewajiban lainnya harus bertanggung jawab untuk menaati dan mewujudkan pemenuhan hak asasi.

Dalam pelaksanaan HAM ada berbagai instrumen, baik nasional maupun internasional, yang menjadi acuan utama sebagaimana tergambar dalam Bagan 1 dan Bagan 2.

(51)

DUHAM 1948 Piagam PBB

1945

CERD Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Rasial CAT Konvensi Internasional ttg Menentang Penyiksaan CMW Konvensi Internasional ttg Hak-Hak Pekerja Migran

CEDAW Konvensi Internasional ttg Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan

CRC Konvensi Internasional ttg Hak Anak Instrumen

(52)

Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), maka kita akan menyadari kesalahan ini.

Semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM dalam bentuk, antara lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate).

Hukum HAM

Pemangku HAM Pemangku Kewajiban Individu Negara

To Respect To Protect To Fullil Commision Ommission

Bagan 3. Alur hukum HAM

(53)

Tugas pemerintah untuk memenuhi hak asasi warga negara adalah dengan melakukan investasi dalam bidang kehakiman, penjara, kepolisian, serta menyediakan alokasi sumber daya untuk kemampuan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga harus berinvestasi di bidang kesehatan, pendidikan, dan bidang kesejahteraan lainnya serta alokasi sumber daya untuk kemampuan masyarakat.

Pemerintah harus membangun dan mengembangkan infrastruktur, seperti menambah panjang, lebar, dan kualitas jalanan, serta membangun rumah, sekolah, dan rumah sakit. Selain itu, juga menyediakan tenaga kesehatan, pendidikan, dan aparat hukum. Dalam melaksanakan pembangunan pemerintah harus memasukkan alokasi anggaran bagi peningkatan berbagai fasilitas dan layanan publik dalam APBN/APBD.

Pemerintah juga harus mampu membuat kebijakan migas dan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil yang bisa mencegah kian menganganya jurang kemiskinan. Riset Bank Dunia yang menggunakan standar kemiskinan sebesar Rp 1.800 atau sekitar $AS 2 per hari menemukan angka kemiskinan yang sungguh mencengangkan. Dengan ukuran tersebut, orang miskin di Indonesia kini membengkak mencapai angka 49%. Artinya, ada lebih dari 110 juta orang miskin di Indonesia. Laporan United Nation Development Program (UNDP) 2007 meletakkan Indonesia dalam urutan ke-107 dalam hal capaian Indeks Pembangunan Manusia. Indonesia berada di bawah negara

yang­ baru­ mengakhiri­ konlik,­ seperti­ El­ Salvador­ (103),­ Aljazair­

(104), Vietnam (105), dan wilayah pendudukan Palestina (106). Betapa memalukannya hal ini.

Korupsi atas dana-dana pembangunan fasilitas dan peningkatan pelayanan publik sebetulnya bukan sekadar kejahatan ekonomi, tapi juga memiliki dimensi kejahatan hak asasi manusia. Selain itu, pilihan program pembangunan harusnya lebih berorientasi kepada indikator pemenuhan hak asasi manusia dibanding pilihan renovasi rumah dinas, pembelian mobil dinas atau hal lain yang lebih menjurus kepada peningkatan kesejahteraan individu pejabat.

(54)

pembiaran (by ommission) tak berlanjut. Pemerintah punya pekerjaan untuk mencermati kembali berbagai peraturan daerah (perda) yang kini jumlahnya telah melebihi angka 1.000, baik yang berupa perda otonomi, perda syariah, maupun perda ketertiban yang berpotensi menghambat pelaksanaan UU No. 11/2005 dan UU No. 12/2005. Berbagai macam perda yang tumpang-tindih dan bertabrakan dengan kedua undang-undang tersebut harus segera dicabut karena berpotensi menghambat pelaksanaan hak ekosob dan juga sipol.

Kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan

Kelompok orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Indonesia sama sekali belum dimasukkan dalam kelompok sasaran yang perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah Indonesia. Padahal, sebetulnya kelompok ini--bila dilihat lebih lanjut--bisa dimasukkan dalam jajaran kelompok rentan (vulnerable groups) sebagaimana kelompok perempuan, anak, lanjut usia, dan pekerja migran.

(55)

Sistem Sikap

Perilaku Iangsung:Perilaku sebagai kekerasan isik secara Intimidasi, pemukulan, penyiksaan, pembunuhan

Kekerasan yang terlihat

Kekerasan yang tak terlihat (di bawah perrnukaan)

Sikap sebagai sumber kekerasan:

Kebencian, kecurigaan, prasangka, ketakutan ketakpercayaan, rasialisme, seksisme, intoleransi, nilai-nilai budaya yang sempit

Sistem sebagai model kekerasan yang

melembaga: diskriminasi dalam pendidikan,

pekerjaan, ekonomi, pelayanan umum, penyangkalan hak dan kemerdekaan, segregasi

sosial oleh negara, kebijakan pemukiman, perlindungan politis, dll

Bagan 4. Segitiga Kekerasan SPS (Sikap-Perilaku-Sistem)

Pelaku kekerasan secara garis besar bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu non-aktor negara (non-state actors) dan aktor negara (state actors). Untuk pelaku non-aktor negara, antara lain adalah keluarga atau orang lain di rumah, tetangga, teman, perawat rumah sakit, mantri, dan dokter. Sedangkan untuk pelaku yang merupakan aktor negara adalah polisi, satuan polisi pamong praja (satpol PP), petugas sosial (PNS), petugas lembaga pemasyarakatan, dan pejabat negara.

Bentuk yang dialami mulai dari pelecehan, stigmatisasi, pembedaan perlakuan (unequal before the law), pengusiran, penyerangan, perendahan martabat sebagai manusia, hingga pembunuhan. Lihat Bagan 5 berikut.

Gambar

Gambar piramida pelayanan kesehatan jiwa di atas merupakan

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan sistem informasi menggunakan Data Flow Diagram (DFD) yang digunakan untuk mendesaian sistem informasi musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang)

Berbeda dengan hasil dari Rini Dwi Mulyanti (2010) yang menyatakan bahwa kualitas auditor tidak berpengaruh terhadap ketepatan waktu pada plaporan

(2) model pembelajaran dan perangkat pembelajarannya mempunyai kelayakan yang sangat baik menurut penilaian ahli dan praktis; (3) model pembelajaran IPA IPA SD

hasil penelitian menunjukan kelompok eksperimen yang diberikan video tutorial memperoleh hasil peningkatan dalam kemampuan kognitif di bandingkan kelompok kontrol,

Dari penelitian ini didapatkan delapan 34 isolat cendawan entomopatogen yaitu 16 isolat dari lanskap Hutan Harapan dan 18 Isolat dari Taman Nasional Bukit Duabelas, yang

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang, dengan limpah karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tugas Akhir

Karyawan yang menilai pelatihan kerja kurang baik, menilai sarana dan metode yang digunakan serta intensitas pelatihan kerja yang diberikan perusahaan kepada

Perancangan meja pemesanan dan papan display menu telah dilakukan untuk menjawab kebutuhan restoran cepat saji dalam menjajakan makanan menggunakan kendaraan. Perancangan ini