• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selama Masa Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 menyebabkan masyarakat di seluruh dunia dihimbau untuk melakukan physical distancing dan tetap berada di rumah dan tidak berpergian apabila tidak diperlukan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan mampu menekan laju penyebaran virus. Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan himbauan untuk melakukan work from home kepada masyarakat dan melakukan

26

lock down. Adanya himbauan work from home ini kemudian mengakibatkan beberapa kantor, instansi, sekolah, perguruan tinggi hingga akses jalanan di tutup. Salah satu yang terkena dampak dari sistem ini adalah mahasiswa. Sebagian besar perguruan tinggi menerapkan work from home bagi stafnya dan melakukan pembelajaran secara online bagi mahasiswanya. Tidak hanya belajar-mengajar, diskusi bahkan ujian pun juga dilakukan secara online. Hal ini tentu sedikit meresahkan mahasiswa, salah satunya adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi.

Selama proses pengerjaan skripsi, seringkali mahasiswa tingkat akhir menemukan berbagai kesulitan seperti adanya kesulitan dalam penentuan judul, alat ukur, sampel atau responden skripsi, kesulitan dalam menemukan referensi, hingga adanya hubungan yang kurang baik bersama pembimbing. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat membuat mahasiswa tingkat akhir mengembangkan perasaan-perasaan negatif sepeti ketegangan, kekhawatiran, stres, frustasi, rendah diri, bahkan kehilangan motivasi yang kemudian membuat mahasiswa tersebut menunda ataupun sama sekali tidak melanjutkan skripsinya (Roellyana & Listiyandini, 2016). Kemudian, dengan adanya pandemi COVID-19 yang mengharuskan mahasiswa tingkat akhir mengerjakan skripsinya secara online tanpa bisa berdiskusi secara langsung bersama dosen, serta adanya keterbatasan referensi dan pelaksanaan penelitian karena tidak diperbolehkan untuk keluar rumah, makin menyulitkan mahasiswa dalam menyelesaikan skripsinya. Banyaknya kesulitan serta tekanan dan hambatan yang dialami oleh mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsinya tersebut dapat memunculkan depresi pada mereka. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Lubis (2009), yang menyebutkan bahwa adanya stres yang berulang dan tidak kunjung selesai dapat memunculkan depresi pada seseorang. Hal ini juga dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Krisdianto & Mulyanti (2016), yang menunjukkan bahwa sebanyak 45,7% dari subjeknya mengalami depresi ringan dan 13,0% mengalami depresi sedang. Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh Usha & Solomon (2017), sebanyak 23,3% subjek mengalami depresi ringan, 23,3% mengalami depresi sedan, 13,3% mengalami depresi berat dan 11,7% mengalami depresi sangat berat.

Berdasarkan kondisi tersebut, dibutuhkan suatu keterampilan pada mahasiswa tingkat akhir sebagai upaya agar dirinya tidak mengalami depresi saat mengerjakan skripsinya terutama selama masa pandemi COVID-19 ini. Depresi sendiri berdasarkan Lovibond dan Lovibond (1995), memiliki aspek diantaranya dysphoria, hopelessness, devaluation of life, self-deprecation, lack of interest/involvement, anhedonia dan inertia. Adanya tingkat religiusitas yang baik dapat membantu menurunkan tingkat depresi pada seseorang. Saifudin dan Ersanda (2017), menyebutkan bahwa pada dasarnya, depresi memiliki beberapa penatalaksaan diantaranya adalah terapi dengan obat-obatan, terapi psikofarma dan terapi keagamaan. Satrianegara (2014), juga menambahkan bahwa religiusitas dapat meningkatkan taraf hidup dan kesehatan. Salah satu bentuk religiusitas yang dapat membantu adalah sabar. Kesabaran sendiri dalam Islam merupakan salah satu anjuran dari Allah SWT yang dapat membantu seseorang menghadapi permasalahan dalam hidup (Indria et al., 2019). Adapun aspek-aspek dalam kesabaran menurut Al-Jauziyah (2006), adalah menahan diri untuk tidak

tergesa-28

gesa dalam melakukan sesuatu, tidak berkeluh kesah, menahan diri untuk tidak melemparkan hal-hal yang tidak disukai kepada orang lain, menahan diri dari dorongan nafsu kemarahan, dan menjaga diri dari berbagai kelebihan yang ada di dunia.

Dysphoria atau disforia merupakan suatu kondisi dimana seseorang merasa tidak tenang atau tidak puas dengan hidupnya. Seseorang yang mengalami disforia umumnya memiliki banyak pikiran negatif. Salah satu penyebabnya adalah karena banyaknya stresor baik di lingkungan sekitar maupun di lingkungan pekerjaan. Menahan diri untuk tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu dapat membantu menghindari adanya disforia. Menahan diri ini bertujuan agar individu mampu mengontrol dirinya dan memaknai proses yang dilaluinya dalam mencapai sesuatu. Dengan bersikap tenang, individu akan mampu mencapai tujuannya dengan lebih maksimal. Sikap tenang ini berdasarkan Putri & Lukmawati (2016), apabila seseorang dapat mencapai ketenangan qolbu, menurut Q.S. Al-Fajr ayat 27 – 28 yang berisi :

يَا يَيَّتُاَا َّنَّفُس ُ َُّْسطََََََِّّّْ ُ (27) اطْطَُِِّ إَ طى طبِّكَِ ََِْطََُِ َُِْطََّةًَ (28) Artinya: “Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati

yang puas lagi di ridhionya.” Berdasarkan tafsir dari ayat tersebut, telah ditegaskan oleh Allah SWT bahwa apabila seseorang memiliki jiwa yang tenang, maka ia akan mampu mengerjakan apa yang harus dikerjakannya dengan sebaik-baiknya dan memperoleh segala apa yang dijanjikan oleh Allah, termasuk ketenangan dan kepuasan. Putri dan Lukmawati (2016), juga memaparkan bahwa ketenangan ini bisa didapatkan

apabila individu telah mencapai tahap kesabaran yang sempurna dimana ketika seseorang telah mencapai tahapan tersebut, Allah akan menjadikan sifat sabarnya sebagai anugerah dengan memberikan nikmat kebahagiaan, ketenangan serta kelegaan batin.

Kemudian, ketika seseorang mengalami depresi ia akan merasakan hopelessness atau keputusasaan. Perasaan ini seringkali berkontribusi dengan menurunnya mood dan dapat mempengaruhi penilaian individu terhadap dirinya, orang lain, masalah pribadinya bahkan dunia. Perasaan ini dapat diatasi apabila seseorang mampu untuk menahan diri dari dorongan nafsu. Kesabaran dinilai mampu membantu individu untuk mengontrol emosi-emosi negatif yang di rasakannya. Adapun perilaku sabar dapat dilatih dengan menanamkan keyakinan akan adanya balasan bagi orang-orang yang sabar dari Allah SWT (Yusuf & Kahfi, 2018). Dengan menanamkan keyakinan tersebut, seseorang dapat kembali memiliki harapan yaitu dengan berharap kepada Allah SWT. Selain itu, Sukino (2018), juga menjelaskan bahwa kesabaran dapat membantu individu untuk mendapatkan gambaran nyata dari tujuan yang ingin dicapainya sehingga ia mampu menyinergikan antara potensi beserta arah tujuan yang ingin dicapainya. Hal ini guna mendapatkan hasil yang maksimal serta mampu memandang dirinya, orang lain, dunia, bahkan masa depannya dengan lebih positif.

Selanjutnya adalah devaluation of life. Devaluation of life adalah keadaan dimana seseorang cenderung merasa bahwa hidupnya tidak memiliki arti dan tidak berharga. Perasaan seperti ini dapat dihilangkan dengan memiliki sikap menjaga diri dari berbagai kelebihan yang ada di dunia. Kemampuan ini dapat membantu

30

individu dalam mengontrol dirinya agar mampu merasa cukup dengan hal-hal yang dia butuhkan dan tidak terlarut dalam kenikmatan dunia. Adanya perasaan cukup tersebut akan membantu individu dalam merasakan syukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah SWT. Timbulnya perasaan dalam diri seseorang bahwa hidupnya tidak berharga dan tidak memiliki arti bisa jadi disebabkan oleh tingginya hawa nafsu untuk memiliki banyak hal di dunia. Hal ini sejalan dengan Zulhammi (2016), yang dalam penelitiannya menyatakan bahwa hawa nafsu manusia selalu mendorong kearah keburukan karena selalu mengarahkan manusia hanya untuk mencari kenikmatan hidup dan kemegahan dunia dimana kedua hal tersebut dapat mencelakakan seseorang apabila tidak terkendali. Sehingga apabila seseorang dapat sabar menahan nafsunya dan mampu untuk merasa cukup dengan hal-hal yang memang dibutuhkan olehnya, perilaku tersebut dapat membantu menghindari adanya perasaan devaluation of life.

Lack of interest/involvement merupakan berkurangnya ketertarikan atau keterlibatan seseorang dalam berbagai hal. Individu pada umumnya akan merasa bahwa dirinya tidak mampu mendapatkan ketertarikan untuk melakukan apapun. Kemudian, anhedonia. Anhedonia dirasakan oleh individu dalam bentuk hilangnya minat terhadap aktivitas yang dulunya disenangi. Inertia merupakan sebuah tendensi untuk tidak melakukan sesuatu. Individu cenderung melakukan sesuatu yang bersikap pasif ketika dirinya merasa kelelahan atau “worn out” dan kemudian mengisolasikan dirinya serta mengabaikan pekerjaan yang biasanya ia lakukan, yang justru membuat dirinya makin lelah dan kehilangan semangat. Sabar dengan tidak berkeluh kesah bahkan ketika sedang dihadapkan dengan segala macam

situasi termasuk situasi yang dirasa berat, dapat membantu menangani ketiga aspek depresi tersebut. Dengan tidak berkeluh kesah menunjukkan bahwa individu mampu melewati segala permasalahan yang sedang dihadapinya dan tidak menghindar atau mengabaikannya. Hal ini juga sejalan dengan penelitian oleh Yusuf & Kahfi (2018), yang memaparkan bahwa konsep sabar dalam psikologi barat dapat dikaitkan dengan resiliensi. Resiliensi atau ketabahan diartikan sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dan bagaimana dirinya mampu menghadapi kesulitan dan bangkit kembali dari situasi yang sulit. Yusuf & Kahfi (2018), juga memaparkan bahwa orang yang memiliki resiliensi atau ketabahan yang tinggi, maka ia akan mampu kembali ke kondisi dirinya yang normal setelah menghadapi masalah meskipun mungkin merasakan tekanan di awal. Orang dengan ketabahan yang baik akan mampu memutus perasaan tidak sehat dengan cepat sehingga dirinya dapat tumbuh menjadi orang yang lebih kuat. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki kesabaran, maka ia mampu bangkit dari masalah yang dihadapinya dengan lebih baik dan tidak mengembangkan perasaan lack of interest/involvement, anhedonia dan inertia.

Self-deprecation adalah sebuah perilaku dimana seseorang mencerca dirinya dengan cara merendahkan dirinya dihadapan orang lain. Orang yang melakukan self-deprecation ini juga memahami kelemahan dan kekurangannya dan tidak takut untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan tersebut kepada orang lain. Menahan diri untuk tidak melemparkan hal-hal yang tidak disukai kepada orang lain adalah aspek kesabaran yang dapat dilakukan untuk menghindari perilaku self-deprecation. Dengan sabar, seseorang mampu untuk menjaga ucapannya dan

32

menahan dirinya untuk tidak melakukan perilaku tercela atau menghina termasuk menghina dirinya sendiri. Kesabaran juga dapat membantu seseorang untuk mengontrol perilakunya dengan lebih baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Yusuf & Kahfi (2018), yang memaparkan bahwa kesabaran dalam psikologi barat erat kaitannya dengan self-acceptance yaitu sejauh mana seseorang mampu menerima dirinya. Seseorang yang sabar akan mampu menerima dirinya baik kekurangan maupun kelebihannya dan menyadari bahwa semua hal tersebut adalah pemberian dari Allah SWT. Dengan keyakinan tersebut, seseorang yang sabar akan lebih mampu untuk mengontrol diri, lisan, serta perilakunya agar tidak melakukan perilaku tidak terpuji seperti merendahkan diri sendiri dihadapan orang lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesabaran dapat membantu seseorang dalam menghadapi masalah-masalah baik itu masalah secara umum maupun permasalahan-permasalahan psikologis. Dalam hal ini, jika mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi selama pandemi COVID-19 memiliki tingkat kesabaran yang baik, maka dirinya akan mampu menghadapi permasalahan-permasalahan terkait pengerjaan skripsinya dengan lebih baik dan akan mengurangi potensi dirinya mengalami depresi.

Dokumen terkait