4.3 Hubungan Nilai Suhu Permukaan dengan Parameter-Parameter lainnya
4.3.3 Hubungan antara Suhu Permukaan, Altitude, dan Penutupan lahan
Hasil analisis pada subbab sebelumnya menunjukkan nilai suhu permukaan sangat bervariasi dari setiap penutupan lahan (Tabel 12, 13, 14, dan Tabel 15). Nilai keragaman suhu permukaan yang besar mengindikasikan bahwa suhu permukaan tidak hanya dipengaruhi oleh salah satu faktor yaitu penutupan lahan saja melainkan faktor-faktor lainnya juga saling mempengaruhinya. Dua faktor yang didapatkan, lalu dihubungkan kedalam suatu matriks untuk melihat seberapa besar pengaruh dua variabel tersebut tehadap perubahan nilai suhu permukaan. Pengambilan nilai rataaan suhu permukaan dilakukan pada setiap rataan ketinggian 300 mdpl. Gambar 26 dan 27 menunjukkan nilai rataan suhu permukaan per-300 m pada setiap jenis lahan. Penentuan hubungan yaitu menggunakan dua algoritma Vidal dan Coll untuk sebagai contoh.
Seperti penjelasan subbab sebelumnya, kemiringan sudut matahari yang besar pada bulan Juli dan Juni menyebabkan pemanasan terhadap penutupan lahan kurang begitu efektif sehingga nilai SPL sangat dipengaruhi dari nilai ketinggiannya dari suatu permukaan. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasinya yang besar yang menunjukkan bahwa ada keeratan antara nilai SPL dengan ketinggian pada bulan Juli. Lalu kemiringan sudut matahari yang kecil pada bulan September dan Oktober menyebabkan pemanasan terhadap penutupan lahan sangat efektif sehingga nilai SPL sangat dipengaruhi jenis permukaan lahannya. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien determinasinya yang sangat kecil yang menunjukkan bahwa tidak adanya keeratan antara nilai SPL dengan ketinggian sehingga ada suatu faktor yang menyebabkan nilai SPL tersebut menjadi beragam.
Selain itu, hasil grafik menunjukkan bahwa nilai perubahan suhu permukaan yang sangat ekstrim terlihat pada lahan terbuka dan lahan terbangun (Gambar 26 dan Gambar 27). Koefisien determinasi yang dihasilkan begitu rendah, hal ini disebabkan oleh kapasitas jenis permukaan lahan yang rendah sehingga ketika radiasi yang datang diserap oleh permukaan (proses konduktivitas panas), permukaan tersebut merespon cepat pemanasan sehingga permukaan mudah menjadi panas dan ketika radiasi yang datang intensitasnya rendah,
permukaan tersebut merespon cepat pendinginan sehingga permukaan mudah menjadi lebih dingin.
Selanjutnya pada badan air, nilai koefisien determinasi yang rendah disebabkan karena pengaruh dari kondisi geografis dan permukaan disekitarnya yang menyebabkan nilai suhu permukaannya menjadi beragam. Ketika kondisi geografis disekitar badan air adalah lahan terbuka atau lahan terbangun, maka nilai suhu permukaan badan air tersebut akan lebih besar dibandingkan badan air pada kondisi lahan disekitarnya adalah hutan. Hal ini disebabkan oleh aktivitas manusia dalam mengelola air, misalnya pembuangan sampah pada hulu sungai dan objek wisata disekitar badan air tersebut dapat menaikkan nilai suhu permukaan. Selain itu juga, keterbatasan sensor dengan resolusi hanya 1x1 km sehingga ketika di overlay/digabungkan dengan penutupan lahan, jenis lahan pada piksel merupakan jenis lahan yang paling dominan (Gambar 25) akibat dari adanya
composite nilai. Sebagai contoh, nilai suhu permukaan pada ketinggian yang sama tempat yang berbeda, satu piksel yang terdiri dari 50% badan air, 45% lahan terbangun, 5% hutan bisa menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan satu piksel yang terdiri dari 85% badan air, 10% lahan terbangun, 5% hutan walaupun lahan yang mendominasi satu piksel tersebut adalah badan air.
Gambar 25 Nilai suhu permukaan dari tiga piksel badan air pada penutupan lahan di sekitar badan air yang berbeda-beda.
Gambar 26 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Vidal) di berbagai ketinggian dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, 23 September 2003
Gambar 27 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Coll) di berbagai ketinggian dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, 23 September 2003
V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Nilai suhu permukaan lahan (SPL) dimungkinkan untuk dikembangkan menggunakan data penginderaan jauh satelit Terra-MODIS dengan menggunakan beberapa algoritma. Berdasarkan algoritma, nilai suhu permukaan lahan rata-rata tertinggi yaitu pada algoritma Vidal sedangkan nilai suhu permukaan lahan rata-rata terendah yaitu pada algoritma Ulivieri. Secara spasial, nilai suhu permukaan tertinggi berada pada Provinsi Jakarta yang disebabkan oleh ketinggiannya yang sangat rendah dan jenis penutupan lahannya yaitu lahan terbuka/terbangun.
Suhu permukaan memiliki hubungan dengan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti ketinggian dan penutupan lahan. Pada hubungannya dengan ketinggian, nilai suhu permukaan lahan dari satelit Terra-MODIS akan menurun secara linear ketika bertambahnya suatu ketinggian. Pada hubungan dengan penutupan lahan nilai suhu permukaan rata-rata tertinggi yaitu pada lahan terbuka sedangkan nilai suhu permukaan rata-rata terendah yaitu pada lahan hutan. Selain itu, sudut zenith matahari sangat mempengaruhi ketelitian sensor terhadap nilai suhu permukaan lahan pada wilayah yang dikaji. Pada bulan Juli dimana sudut kemiringan matahari besar sensor lebih sensitif terhadap perubahan ketinggian sedangkan bulan September dimana sudut matahari kecil sensor lebih sensitif terhadap perubahan penutupan lahan.
5.2 Saran
Penelitian ini masih merupakan tahap pengkajian potensi pemanfaatan data Terra- MODIS untuk ekstraksi data suhu permukaan berdasarkan 8 algoritma, sehingga masih perlu evaluasi dan validasi terhadap hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut.
Perubahan LST tak hanya dipengaruhi oleh dua faktor itu saja, masih banyak faktor– faktor lain yang mempengaruhi seperti analisis bayangan awan dalam pemisahan awan dan faktor water vapour transmittance
(pengaruh uap air) sehingga perlu dianalisis untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Becker F and Li Z L. 1990. Towards a local split window method over land surface. Int J Remote Sens. 3 : 369- 393.
Coll C, Caselles V. 1997. A split-window algorithm for land surface temperature from advanced very high resolution radiometer data. Validation and algorithm comparison. J Geophys Res.102: 16697-16713.
Czajkowski K P, Goward S N, Mulhern T, Goetz S J, Walz A, Shirey D, Stadler S, Prince S D, Dubayah R O, Kerr Y H, Lagouarde J P. 2000. Thermal Remote Sensing in Land Surface Processes. Quattrochi D A, Luvall J C, editor. Florida(US): CRC Pr. [DLR] Deutsches Zentrum fur Lutf und
Raumfahrt, (DFD) Deutsches Fernerkundungs Datenzentrum.
Short guide Moderate resolution imaging spectometer. [internet]. [diunduh 2013 Jun 27]. Tersedia pada:http://eoweb.dlr.de:8080/short_ guide/D-MODIS.html.
Gomez-Landessaa E, Rango A. Bleiweiss M. 2004. An algorithm to address the MODIS bowtie effect. Canadian J of Remote Sens. 30(4) : 644-650 Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor
(ID) : Pustaka Jaya
Janssen L L F, Huumerman G C. 2001. Priciples of Remote Sensing (2nd ed). Enscheda : ITC Pr.
Khomarudin MR, Risdiyanto I. 2002.
Penentuan Evapotranspirasi Regional dengan Landsat TM dan NOAA-AVHRR. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Liang S. 2001. Quantitative Remote Sensing
of Land Surface. Kong J A, editor.New Jersey(CA) : Wiley Pr. Maharani L P, Khomarudin M R, Santoso I.
2005. Identifikasi Neraca Energi untuk Deskripsi Potensi Kekeringan dengan Data Landsat TM (Studi Kasus Kota Semarang dan Sekitarnya. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ; 2005 Sept 14-15 ; Surabaya. Surabaya (ID) : Kampus Institut Teknologi Sepuluh November.
Mather P M. 1987. Computer Processing Of Remotely–Sensed Images (3rd ed). Chicester (UK) : Wiley Pr.
[MCST] MODIS Characterization Support Team. 2003. MODIS Level 1B Product User’s Guide. USA : NASA/Goddard Space Flight Center. [internet]. [diunduh 2013 Apr 12]. Tersedia pada :
http://mcst.gsfc.nasa.gov/content/l1b -documents.
[MCST] MODIS Characterization Support Team. 2013. MODIS Calibration Parameter. [internet]. [diunduh 2013 Apr 12]. Tersedia pada: http://mcst.gsfc.nasa.gov/sites/mcst. gsfc/files/file_attachments/MODIS_ Terra_Esun_values.xlsx.
Oguro Y, Ito S, and Tsuchiya K. 2011. Comparisons of Brighness Temperatures of Landsat-7/ETM+ and Terra/MODIS around Hotien Oasis in the Taklimakan Desert.
Applied and Enviromental Soil Science. Article ID 948135
Prasasti I, Sambodo K A, Carolita. 2004.
Pengkajian pemanfaatan data terra- modis untuk ekstraksi data suhu permukaan lahan (SPL) berdasarkan beberapa algoritma. Bandung (ID) : Pusbangja Inderaja LAPAN.
Price J C. 1984. Land Surface Temperature Measurements From the Split Window Channels of the NOAA 7 AVHRR. Journal of Geophysical Researc. 89 (D5) : 7231 - 723. Purwadhi S H. 2001. Interpretasi Citra
Digital. Jakarta (ID): Grasindo. Richards J A. 1986. Remote Sensing Digital
Image Analysis An Introduction. Berlin (DE) : Spinger-Verlag. Risdiyanto I. 2008. Weather Monitoring
Model Based On Satellite Data. J Agromet. 22(1) : 70-87.
Rumondang D. 2011. Penurunan Nilai Albedo dan Suhu Permukaan dari Data Terra MODIS L1B untuk Klasifikasi Awan. [Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Salby M L. 1996. Fundamentals of
Atmospheric Physics. USA : Academic Pr.
Seta G A. 2012. Utilization of Terra/MODIS L1B Data for Analysis of Horizontal Wind Profile in The Troposfer.
[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Sobrino J A, Li Z L, Stall M P, and Becker F. 1993. Impact of the atmospheric transmittance and total water vapour content in the algorithms for estimating sea surface tenperatures. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 31: 946-958.
Sobrino J A, Li Z L, Stall M P, and Becker F.1994. Improvements in the split-
window technique for land surface temperature determination. IEEE Trans Geosci. Remote Sens. 32 : 243-253.
Sobrino J A, El Kharraz, and Li Z L. 2003. Surface temperature and water vapour retrieval from MODIS data.
Int J Remote Sens. 24 :5161– 5182. Stull R B. 1995. Meteorology Today for
Scientist and Engineers : A Technical Companion Book. USA : West Publishing Company Co. Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2.
Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.
Thuillier G, Herse M, Labs D, Foujols T, Peetermans W, Gillotay D, Simon P C, and Mandel H. 1998. The Visible Solar Spectral Irradiance from 350 to 850 nm as measured by the SOLSPEC spectrometer during the ATLAS I mission. J Solar Physics.
177 : 41-61.
Ulivieri C. 1992. A SW algorithm for estimating land surface temperature from satellite.Presented at COSPAR Washington DC USA. Adv Space Res. 14(3) : 59-65.
USGS. 2003. Landsat 7 Science Data Users Handbook. [internet]. Tersedia pada: http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov Vidal A. 1991. Atmospheric and emissivity correction of land surface temperature measured from satellite using ground measurements or satellite data. Int J Remote Sens. 12 : 2449-60.
Walpole R E. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka Utama.
Wan Z. 2008. New refinements and validation of the MODIS land surface temperature/emissivity products. J Remote Sensing of Environment. 112 (1) : 59–74. Wan Z and Dozier J A. 1996. Generalized
Split-Window Algorithm for Retrieving Land Surface Temperature from Space. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 34(4) : 892-905.
Xiao X, Boles S, Frolking S, Li C, Babu J Y, Salas W, Moore B. 2004. Mapping Paddy Rice Agriculture in Southern China Using Multi-Temporal MODIS Image. J Remote Sens of Environtment. 100 : 95–113.