• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendugaan Nilai Suhu Permukaan Berdasarkan Data Terra-MODIS L1B dan SRTM 90m

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pendugaan Nilai Suhu Permukaan Berdasarkan Data Terra-MODIS L1B dan SRTM 90m"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS

PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN

DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m

(Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat)

FAUZAN NURRACHMAN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Nilai Suhu

Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m adalah benar karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

(3)

ABSTRAK

FAUZAN NURRACHMAN. Pendugaan Nilai Suhu Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat). Dibimbing oleh : IDUNG RISDIYANTO.

Suhu Permukaan Lahan (SPL) merupakan salah satu indikator terbaik dari keseimbangan energi di permukaan bumi dan merupakan parameter kunci dalam proses fisika permukaan lahan yang mampu mengkombinasikan interaksi antara fluks energi gelombang panjang di permukaan dan di atmosfer. Beberapa metode untuk penentuan nilai SPL dengan data penginderaan jauh telah banyak dikembangkan salah satunya adalah menggunakan satelit Terra-MODIS. MODIS mempunyai misi untuk memantau fenomena di permukaan dan atmosfer agar pengguna dapat mengetahui informasi perubahan yang terjadi secara near-realtime. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan metode dan algoritma menggunakan data penginderaan jauh satelit Terra-MODIS untuk pendugaan dan pemetaan SPL serta mengetahui hubungan suhu permukaan yang diturunkan dari data satelit Terra-MODIS dengan topografi permukaan dan penutupan lahan. Penentuan SPL dilakukan dengan menggunakan algoritma split window yaitu dengan memasukkan faktor-faktor utama seperti emisivitas dan suhu kecerahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata SPL tertinggi yaitu pada algoritma Vidal. Pada hubungan SPL dengan ketinggian didapat rata-rata R2 terbesar yaitu pada bulan Juni/Juli sedangkan yang terendah yaitu pada bulan September/Oktober. Selanjutnya, pada hubungan dengan penutupan lahan didapat nilai rata-rata SPL tertinggi yaitu pada lahan terbuka dan lahan terbangun sedangkan nilai rata-rata SPL terendah yaitu pada lahan hutan. Sudut zenith matahari sangat mempengaruhi ketelitian sensor terhadap penentuan nilai SPL.

(4)

ABSTRACT

FAUZAN NURRACHMAN. Estimation of Surface Temperature value based on MODIS L1B and SRTM 90 m (Case Study : Banten, DKI Jakarta, and Jawa Barat Province). Supervised by : IDUNG RISDIYANTO.

Land Surface Temperature (LST) is one of the best indicators of the energy balance at the earth's surface and a key parameter in the physics of land surface processes that combine the interaction between long wave energy flux at the surface and in the atmosphere. Several methods for determining the value of LST with remote sensing data have been widely developed one of which is the use of Terra-MODIS satellite. MODIS has a mission to monitor the phenomenon on the surface and the atmosphere so that users can find information changes that occur in near-realtime. The purpose of this study is develop methods and algorithms using satellite remote sensing Terra-MODIS data for prediction and mapping LST and determine the relationship of surface temperature derived from Terra-MODIS satellite data with surface topography and land cover. LST determination was done by using the split window algorithm by including the main factors such as emissivity and brightness temperature. The results showed that average of the highest LST that the Vidal algorithm. The relationship between LST and altitude be obtained average of the highest R2 is in June/July whereas the lowest is in September/October. Further, the relationship between LST and land cover be obtained average of the highest LST value is on open land and built land whereas average of the lowest value is forest land. Solar zenith angle is greatly affect sensor accuracy to determination LST value.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

(6)

PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN

DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m

(Studi Kasus: Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat)

FAUZAN NURRACHMAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Skripsi : Pendugaan Nilai Suhu Permukaan Berdasarkan Data

Terra-MODIS L1B dan SRTM 90m

Nama

: Fauzan Nurrachman

NRP

: G24080033

Menyetujui,

Pembimbing

Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc

NIP. 19730823 199802 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen

Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur kepada Allah SWT penulis ucapkan atas segala rahmat, hidayah, dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul : Pendugaan Nilai Suhu Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat). Karya ilmiah ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama kegiatan penulisan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Heri Darman, Ibunda Erlinda Mansur serta adik tercinta Farid Lindarman atas segala bentuk dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis. 2. Bapak Idung Risdiyanto,S.Si, M.Sc selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan

waktu, ilmu, bimbingan, arahan, saran dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Bapak Dr.Sobri Effendi, M.Sc dan Bapak Sonny Setiawan, S.Si, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan ilmu, saran, perhatian dan dukungan.

4. Ibu Dr.Ir.Rini Hidayati, MS selaku ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi atas waktu, bimbingan, arahan dan nasehat dalam menyelesaikan perkuliahan dan karya ilmiah ini.

5. Bapak Prof.Dr.Ir.Ahmad Bey selaku ketua bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer yang telah memberikan ilmu, saran, dan dukungan.

6. Segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi yang memberikan bimbingan, arahan, serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

7. Astri Wiliastri yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, saran dan perhatian selama perkuliahan di IPB.

8. Sahabat-Sahabat Kontrakan dan Wisma 82 (Rifki, Indra, Andre, Johannes, Harryade, Habibie, Edo, Eko, Iqbal, Sofian, Ido) beserta teman-teman lainnya (Mamad, Mundi, Agus, Arya) atas bantuan, dukungan, dan semangat pada penulis.

9. Pak Yanto, Andi, Gilang, Yunus, Taufik, Ferdy, Iput, Faiz, Dodi, Sintong, Dewa atas bantuan, kritik, saran bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

10.Sahabat-Sahabat HATORI (Taufik, Pungki, Okta, Iput, Om, Hafidz, Pandu) dan teman-teman lainnya (Asep, Yuda, Firman) yang telah memberikan dukungan pada penulis. 11.Ernawati Apriani, Dicky Sucipto, Bambang Triatmojo, dan Aulia Maharani, atas

kerjasama dan pendalaman ilmu bagi penulis selama menjadi asisten Meteorologi Satelit. 12.Sahabat-Sahabat GFM 45 (Asep, Fida, Emod, Geno, Okta, Yuda, Fella ,Dewi, Farah,

Hanifah, Mirna, Fitra, Akfia, Ketty, Mela, Maria, Ruri, Dila pera, Fitri, Tiska, Putri, Nia, Dora, Nadita, Widya, Citra, Fatcha, Ria, Aila, Usel, Nisa, Ratdil, Diyah, Adit, Adi, Sarah, Yoga, Ian atas semua bantuan, kebersamaan, dukungan selama perkuliahan baik suka maupun duka, kritik dan saran yang telah diberikan.

13.Teman-Teman BEM FMIPA Kabinet Totalitas Kebangkitan, HIMAGRETO, dan seluruh Mahasiswa GFM tingkat atas, adik-adik GFM tingkat bawah dan semua teman-teman yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per-satu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin

Bogor, Mei 2013

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22Agustus 1990 di Kota Bogor Provinsi Jawa Barat dari pasangan Heri Darman dan Erlinda Mansur. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Kebon Pedes I Bogor pada tahun 1996-2002, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 8 Bogor pada tahun 2002-2005 dan pendidikan menegah atas di SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2005-2008. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) untuk program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

II TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1 Gelombang Elektromagnetik ... 2

2.2 Hukum-Hukum Radiasi ... 2

2.3 Karakteristik Satelit (Terra-MODIS) ... 3

2.4 Efek Bowtie ... 3

2.5 Suhu Permukaan ... 4

2.6 Albedo ... 4

2.7 Teknik Split Window ... 5

2.8 Jenis-Jenis Algoritma Split Window ... 5

2.9 DEM-SRTM ... 5

III METODOLOGI ... 6

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 6

3.2 Alat dan Bahan ... 6

3.3 Metode Penelitian ... 6

3.3.1 Pemrosesan Awal Data Citra Satelit ... 6

3.3.1.1 Koreksi Bowtie ... 6

3.3.1.2 Koreksi Geometrik dan Penentuan GCP (Ground Check Point) ... 6

3.3.1.3 Penentuan Nilai RMSE... 7

3.3.1.4 Penentuan Nilai Koefisien Korelasi ... 7

3.3.1.5 Pemotongan Wilayah Kajian ... 7

3.3.2 Ekstraksi Nilai Parameter-Parameter Suhu Permukaan ... 7

3.3.2.1 Konversi Nilai SI (Scaled Integer) ke Nilai Spektral Radiance ... 7

3.3.2.2 Konversi Nilai Spectral Radiance menjadi Brightness Temperature... 8

3.3.2.3 Konversi Nilai Suhu Kecerahan menjadi Nilai Suhu Permukaan ... 8

3.3.3 Penentuan Albedo ... 9

3.3.4 Pemisahan Penutupan Awan ( Cloud Masking) ... 9

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 10

4.1 Kondisi Geografis Wilayah ... 10

4.2 Pemrosesan Awal Citra Satelit ... 10

4.2.1 Koreksi Bowtie ... 10

4.2.2 Koreksi Geometrik ... 11

4.2 Pemisahan Awan dan Ekstrasi Nilai Parameter Suhu pada Citra MODIS ... 12

4.2.1 Suhu Kecerahan (Brightness Temperature ) ... 12

4.2.2 Pemisahan Penutupan Awan (Cloud Masking) ... 13

4.2.3 Suhu Permukaan Lahan (Land Surface Temperature) ... 14

4.3 Hubungan Nilai Suhu Permukaan dengan Parameter-Parameter lainnya ... 14

4.3.1 Hubungan Suhu Permukaan dengan Nilai Ketinggian ... 14

4.3.2 Hubungan Suhu Permukaan dengan Penutupan Lahan ... 22

4.3.3 Hubungan antara Suhu Permukaan, Altitude, dan Penutupan lahan ... 27

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Nilai albedo pada berbagai jenis permukaan ... 5

Tabel 2 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (20 Juli 2002) ... 11

Tabel 3 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (15 Oktober 2002) ... 11

Tabel 4 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (12 Juni 2003) ... 11

Tabel 5 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (23 September 2003) ... 11

Tabel 6 Hasil nilai RMS (20 Juli 2002) ... 11

Tabel 7 Hasil nilai RMS (15 Oktober 2002) ... 11

Tabel 8 Hasil nilai RMS (12 Juni 2003) ... 12

Tabel 9 Hasil nilai RMS (23 September 2003) ... 12

Tabel 10 Nilai rata–rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2002) ... 14

Tabel 11 Nilai rata–rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2003) ... 14

Tabel 12 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (20 Juli 2002) ... 23

Tabel 13 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (15 Oktober 2002) ... 24

Tabel 14 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (12 Juni 2003) ... 25

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Bagian-bagian dari spektrum gelombang elektromagnetik ... 2

Gambar 2 Intensitas emisi benda hitam pada berbagai suhu ... 2

Gambar 3 Morfologi efek Bowtie... 4

Gambar 4 Diagram Alir Penelitian ... 9

Gambar 5 Citra sebelum dan sesudah pengkoreksian Bowtie efek ... 10

Gambar 6 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (20 Juli 2002) ... 12

Gambar 7 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (15 Oktober 2002) ... 12

Gambar 8 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (12 Juni 2003) ... 12

Gambar 9 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (23 September 2003) ... 12

Gambar 10 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3 setelah dilakukan pemisahan awan (20 Juli 2002) ... 13

Gambar 11 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3 setelah dilakukan pemisahan awan (23 September 2003) ... 13

Gambar 12 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (20 Juli 2002) ... 15

Gambar 13 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (15 Oktober 2002) ... 16

Gambar 14 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (12 Juni 2003) ... 17

Gambar 15 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian(23 September 2003) ... 18

Gambar 16 Peta garis transek wilayah kajian (20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, dan 23 September 2003) ... 19

Gambar 17 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (20 Juli 2002) ... 20

Gambar 18 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (15 Oktober 2002) ... 20

Gambar 19 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (12 Juni 2003) ... 21

Gambar 20 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (23 September 2003) ... 21

Gambar 21 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (20 Juli 2002) ... 23

Gambar 22 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (15 Oktober 2002) ... 24

Gambar 23 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (12 Juni 2003) ... 25

Gambar 24 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa algoritma (23 September 2003) ... 26

Gambar 25 Nilai suhu permukaan dari tiga piksel badan air pada penutupan lahan disekitar badan air yang berbeda-beda. ... 27

Gambar 26 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Vidal) di berbagai ketinggian dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, 23 September 2003 ... 28

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Spesifikasi kanal pada MODIS ... 32

Lampiran 2 Gambar dari data Terra-MODIS L1B (R, G, B, Kanal 1, 4, dan 3) pada 20 Juli 2002 (10:05 AM), 15 Oktober 2002 (10:10 AM), 12 Juni 2003 (10:10 AM), dan 23 September 2003 (10:15 AM) ... 33

Lampiran 3 Spesifikasi data Terra-MODIS L1B ... 33

Lampiran 4 Nilai Emisivitas MODIS pada berbagai jenis penutupan lahan ... 34

Lampiran 5 Spesifikasi dari satelit Terra/Aqua ... 34

Lampiran 6 Konversi Persamaan Planck menjadi nilai Suhu Kecerahan (Brightness Temperature) ... 35

Lampiran 7 Rata-rata nilai parameter solar spectral irradiance Terra/Aqua MODIS L1B ... 36

Lampiran 8 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (20 Juli 2002) ... 37

Lampiran 9 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (15 Oktober 2002) ... 37

Lampiran 10Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (12 Juni 2003) ... 37

Lampiran 11 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada koordinat peta vektornya (23 September 2003) ... 37

Lampiran 12 Peta Nilai Suhu Permukaan (Becker and Li 1990) ... 38

Lampiran 13 Peta Nilai Suhu Permukaan (Coll 1997) ... 39

Lampiran 14 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price 1984) ... 40

Lampiran 15 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price modifikasi Sobrino 1994) ... 41

Lampiran 16 Peta Nilai Suhu Permukaan (Sobrino 1993) ... 42

Lampiran 17 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri 1992) ... 43

Lampiran 18 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri modifikasi Sobrino) ... 44

Lampiran 19 Peta Nilai Suhu Permukaan (Vidal 1991) ... 45

(14)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suhu Permukaan Lahan (SPL) merupakan salah satu indikator terbaik dari keseimbangan energi di permukaan bumi dan merupakan parameter kunci dalam proses fisika permukaan lahan yang mampu mengkombinasikan interaksi antara fluks energi gelombang panjang di permukaan dan di atmosfer (Wan 2006). Pada suatu lahan terbuka, suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu permukaan lahan atau dikenal dengan istilah Land Surface Temperature

(LST). Pada vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air dapat didefinisikan sebagai suhu dari permukaan badan air.

Pada saat ini, perolehan data suhu dapat dilakukan dengan menggunakan alat termometer. Termometer yang terpasang di permukaan tanah dapat digunakan untuk menghitung nilai suhu permukaan tanah dan termometer yang terpasang di sangkar cuaca dapat digunakan untuk mendapatkan nilai suhu udara. Namun data suhu yang didapat melalui pengukuran pada umumnya masih bersifat lokal. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data suhu yang bersifat lebih regional diperlukan data suhu yang dikumpulkan dari beberapa stasiun (Prasasti 2004).

Beberapa metode untuk penentuan nilai suhu permukaan secara spasial dan regional telah banyak dikembangkan salah satunya menggunakan data penginderaan jauh. Penelitian Risdiyanto (2001) menggunakan data NOAA-AVHRR telah menjelaskan bahwa citra satelit dapat digunakan untuk memprediksi nilai suhu permukaan dan faktor-faktor meteorologi lainnya. Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Besarnya nilai suhu permukaan dapat dipengaruhi oleh panjang gelombang. Panjang gelombang yang paling sensitif terhadap suhu permukaan adalah inframerah termal. Kanal termal dari suatu satelit dapat berfungsi mencari nilai suhu kecerahan (Brightness Temperature) dari emisi yang dihasilkan oleh suatu objek. Nilai suhu kecerahan yang telah didapat, dapat dilakukan pengkoreksian dengan faktor emisivitas masing–masing jenis penutupan lahan untuk mendapatkan nilai suhu permukaan lahan.

Pada penelitian ini akan digunakan satelit pengamatan lingkungan yaitu Terra dengan sensornya yaitu Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS). Satelit ini mempunyai misi untuk memantau fenomena yang terjadi di permukaan bumi dan atmosfer dengan kemampuan liputan kawasan yang besar yaitu sebesar 2330 km dan resolusi spektral yang tinggi yaitu jumlah saluran sebanyak 36 kanal. Selain itu, satelit ini mempunyai resolusi temporal yang juga tinggi, kurang lebih sama dengan NOAA– AVHRR yaitu 1–2 harian sehingga pengguna dapat mengetahui informasi perubahan yang terjadi secara near-realtime seperti pemantauan curah hujan, kehijauan tumbuhan, kebakaran hutan, kekeringan lahan sawah, dan perubahan penggunaan lahan.

MODIS merupakan penyedia data untuk proses–proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan, dan lautan. Pengembangan aplikasi dari data MODIS ini cukup banyak hingga saat ini khususnya di LAPAN Deputi bidang Penginderaan Jauh dan bidang sains, pengkajian dan informasi kerdirgantaraan telah memanfaatkan satelit lingkungan ini untuk pemantauan harian dalam rangka mendukung kegiatan mitigasi bencana.

Fokus pada penelitian ini tidak hanya menghitung dan menduga kisaran nilai suhu permukaan, tetapi juga akan dilakukan analisa lebih lanjut untuk melihat hubungan nilai suhu permukaan terhadap faktor–faktor lain yang mempengaruhi nilai suhu permukaan tersebut seperti pengaruh topografi (ketinggian tempat), perubahan penutupan lahan dan posisi sudut zenith

matahari. Hasil analisa penelitian ini dapat digunakan untuk analisa perubahan suhu permukaan di Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat di berbagai bidang penelitian.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengembangkan metode dan algoritma

menggunakan data penginderaan jauh satelit Terra-MODIS untuk pendugaan dan pemetaan suhu permukaan lahan (Land Surface Temperature - LST) 2. Mengetahui hubungan suhu permukaan

(15)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gelombang Elektromagnetik

Sifat radiasi elektromagnetik dapat diuraikan dengan menggunakan teori gelombang maupun menggunakan teori partikel. Hukum Planck memberikan dasar mengenai sifat dualisme energi radiasi yaitu sebagai kuanta dan gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik merupakan gelombang atau partikel yang dapat merambat tanpa melalui adanya medium. Gelombang elektromagnetik terdiri dari beberapa spektrum mulai dari gelombang pendek sampai gelombang panjang (Gambar 1). Spektrum-spektrum tersebut yaitu sinar kosmis, sinar Gamma, sinar X, sinar ultraviolet, sinar tampak, sinar inframerah, gelombang mikro, dan gelombang radio.

Gambar 1 Bagian-bagian dari spektrum gelombang elektromagnetik (http://www.lib.utexas.edu/chem/in fo/spectrum.html)

2.2 Hukum-Hukum Radiasi

Semua benda di permukaan bumi merupakan sumber radiasi walaupun besar dan komposisi spektralnya berbeda dengan radiasi matahari. Oleh karena itu, semua benda diatas suhu nol derajat kelvin dapat memancarkan radiasi elektromagnetik secara terus menerus. Besarnya energi radiasi yang dikeluarkan oleh suatu objek di permukaan bumi merupakan fungsi suhu permukaan objek tersebut, seperti

yang ditunjukkan oleh hukum Stefan Boltzman yaitu :

Rl out = eσ T4

Keterangan :

Rl out : Fluks Total (W m-2)

e : Emisivitas permukaan

σ : Tetapan Stefan Boltzman (5.56697 x 10-8 W m-2 K-4)

T : Suhu absolut objek (K)

Benda hitam sempurna (blackbody) mempunyai nilai emisivitas sebesar satu, artinya benda akan menyerap energi yang diterimanya dari segala sudut penerimaan dan akan memancarkannya kembali senilai yang diserap ke segala arah dengan seluruh panjang gelombang yang ada. Fakta di alam, hampir semua benda tidak memiliki sifat seperti benda hitam sempurna, yang ada hanya mendekati sifat tersebut. Oleh karena itu, setiap energi yang dipancarkan suatu objek di permukaan bumi tidak tergantung pada suhu absolutnya, tetapi tergantung pada daya pancarnya sehingga jumlah energi yang dipancarkan merupakan fungsi suhu dan akan meningkat dengan adanya peningkatan suhu. Hal ini menyebabkan jumlah energi yang dipancarkan suatu objek bervariasi dengan suhunya dan didasarkan pada panjang gelombangnya.

Gambar 2 Intensitas emisi benda hitam pada berbagai suhu (Salby 1996)

(16)

dengan suhunya. Hubungan antara pancaran maksimum objek, panjang gelombang, dan suhu dinyatakan dengan hukum pergeseran Wien dengan persamaan :

�maks = 2897 / Ts

Berdasarkan persamaan di atas, dengan suhu mutlak matahari 6000 K maka akan didapatkan nilai panjang gelombang maksimum radiasi matahari yang mampu memberikan pancaran puncak maksimum terjadi pada panjang gelombang 0.55 m yang merupakan nilai tengah panjang gelombang cahaya tampak sedangkan untuk permukaan bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang λ.7 m. Oleh karena itu, penginderaan jauh termal banyak dilakukan pada kisaran panjang gelombang antara 8 m sampai 14 m.

2.3 Karakteristik Satelit (Terra-MODIS)

Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) merupakan sebuah instrumen/sensor yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua yang merupakan satelit pengamat lingkungan. Terra mengorbit bumi dari utara ke selatan dan melintasi equator di pagi dan malam hari sedangkan Aqua melintasi equator dari selatan ke utara dan melintasi equator di siang dan malam hari. MODIS Terra dan Aqua meliput seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari, menggunakan 36 kanal spektral.

Satelit Terra merupakan sebuah misi internasional yang diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan membawa lima instrumen yang dapat mengobservasi atmosfer, laut, darat, salju, es, dan kesetimbangan energi. Instrumen-instrumen tersebut berasal dari Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada. Semua instrumen ini dijalankan secara bersama dan mampu memberikan gambaran unik bagaimana sistem bumi bekerja dan berubah (MCST 2003). Observasi Terra mengungkap dampak manusia terhadap planet dan memberikan data penting mengenai bencana alam seperti kebakaran dan aktivitas vulkanik.

Instrumen-instrument yang terpasang yaitu : Earth's Radiant Energy System

(CERES) (USA), Multi-angle Imaging Spectroradiometer (MISR) (USA), Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) (USA), Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer

(ASTER) (JAPAN), Measurements of

Pollution in the Troposphere (MOPITT) (KANADA).

MODIS merupakan sebuah instrumen penyedia data untuk proses–proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan, dan lautan. Pengembangan aplikasi dari data MODIS ini cukup banyak hingga saat ini khususnya di LAPAN Deputi bidang Penginderaan Jauh dan bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kerdirgantaraan telah memanfaatkan satelit lingkungan ini untuk pemantauan fenomena yang terjadi di permukaan bumi dan atmosfer secara harian dalam rangka mendukung kegiatan mitigasi bencana.

Data MODIS menghasilkan resolusi radiometrik 16-bit per piksel ini menghasilkan citra digital dalam beberapa kanal : biru (band

3), merah (band 1), hijau (band 4), near-infrared (band 2, 5, dan 16-19), SWIR (band

6&7), visible (band 8-15), MWIR (band 20-26), dan TIR (band 27-36). Sementara hasil citra terdiri dari 36 kanal/band yang memiliki resolusi spasial beragam mulai dari antara 250 m hingga 1000 m : band 1-2 (250 m), band 1-7 (500 m), dan band 1-36 (1000 m).

Data yang dihasilkan sensor MODIS terdiri dari beberapa format level data, yaitu: 1. Format data level 1, merupakan data

mentah ditambah dengan informasi tentang kalibrasi sensor dan geolokasi. Format data level 1 terdiri dari:

Level 1a, mengandung informasi lebih yang dibutuhkan pada set data. Digunakan sebagai input untuk geolocation,

calibration, dan processing.

Level 1b, data yang telah mempunyai terapannya yang merupakan hasil dari aplikasi sensor kalibrasi level 1a.

2. Format data level 2, dihasilkan dari proses penggabungan data level 1a dan 1b. Data level 2 menerapkan nilai geofisik pada tiap piksel yang berasal dari perhitungan raw radiance level 1a dengan menerapkan kalibrasi sensor, koreksi atmosfer, dan algoritma bio-optik. Pada umumnya level 2 ini adalah suatu bentuk produk.

3. Format data level 3, merupakan data level 2 yang dikumpulkan dalam periode 1 hari, 8 hari, 1 bulan, dan 1 tahun

(http://modis.gsfc.nasa.gov/).

2.4 Efek Bowtie

Pada data mentah citra MODIS L1B terdapat kerusakan citra berupa efek duplikasi data akibat peningkatan Instantaneous Field of View (IFOV) yang semula berukuran 1x1 km pada titik nadir menjadi 2x5 km pada sudut

(17)

dikenal dengan efek Bowtie. Efek Bowtie ini terjadi akibat pengaruh kelengkungan bumi, dikarenakan satelit Terra merupakan satelit

Low Earth Orbit (LEO) dan MODIS merupakan sensor resolusi rendah dengan lebar cakupan (Swath) yang besar sehingga ukuran piksel yang direkam diatas sudut 15o dari titik nadir/pusat akan mulai mengalami perbesaran. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kerusakan pada data seluruh data pada citra asli akan ditransformasikan secara matematik ke citra akhir atau resampling. Dalam hal ini akan dibentuk piksel baru sebagai perbaikan pada piksel lama yang mengalami kerusakan yaitu dengan "metode tetangga terdekat" (nearest neighbour). Teknik ini dilakukan dengan cara mengalihkan titik keabuan piksel yang telah terkoreksi dengan harga keabuan piksel tetangganya pada citra semula (Diana 2010).

Gambar 3 Morfologi efek Bowtie

(http://eoweb.dlr.de:8080/short_g uide/D-MODIS.html)

Gambar 3 menunjukkan bahwa data yang dipengaruhi oleh efek Bowtie menempati sebagian samping dari gambar. Oleh karena itu, efek Bowtie harus dihapus sebelum aplikasi data MODIS dikeluarkan. Scan

pertama dan ketiga diwakili oleh kisi yang cerah sedangkan scan kedua diwakili oleh kisi yang hitam (Wen 2008).

2.5 Suhu Permukaan

Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu rata–rata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan tipe permukaan yang berbeda–beda. Pada suatu lahan terbuka, suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu permukaan lahan /daratan atau dikenal dengan land surface temperature (LST). Pada vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi

tumbuhan, dan pada tubuh air dapat didefinisikan sebagai suhu dari permukaan badan air. Suhu permukaan benda tergantung dari sifat fisik permukaan objek, diantaranya yaitu emisivitas, kapasitas panas jenis, dan konduktivitas termal. Jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang tinggi, sedangkan konduktivitas termalnya rendah maka suhu permukaan objek tersebut akan menurun, contohnya pada permukaan berupa perairan. Selanjutnya, jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah sedangkan konduktivitas termalnya tinggi maka suhu permukaan objek tersebut akan meningkat, contohnya pada permukaan berupa daratan (Sutanto 1994).

Suhu permukaan merupakan fungsi dari Suhu Kecerahan/Brightness Temperature (Tb) yang didapat dari penurunan persamaan Planck. Suhu permukaan dapat diidentifikasi dengan mengetahui nilai emisivitas dari berbagai penggunaan lahan atau memakai asumsi emisivitas sama dengan satu yang sifat tersebut hanya dimiliki oleh benda hitam. Benda hitam adalah objek yang menyerap seluruh radiasi elektromagnetik. Dalam teori fisika klasik, objek tersebut juga memancarkan energi yang diserapnya. Oleh karena itu, energi suatu benda hitam dapat diukur.

Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai suhu permukaan rata-rata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam satuan piksel dengan berbagai tipe permukaan.

2.6 Albedo

Albedo berasal dari bahasa Latin yaitu

albus yang berarti putih. Albedo merupakan perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang datang dan yang dipantulkan dari semua spektrum panjang gelombang. Persamaan albedo dapat ditulis sebagai berikut :

=

��

��

Keterangan : α : Albedo

Rs out : Radiasi gelombang pendek yang dipantulkan

Rs in : Radiasi gelombang pendek yang datang

(18)

0-1. Apabila suatu objek mempunyai nilai albedo = 0 maka objek tersebut mengabsorbsi seluruh radiasi gelombang pendek yang datang dan albedo = 1 maka objek tersebut memantulkan seluruh radiasi gelombang pendek yang datang. Tidak ada satu pun benda di alam semesta yang memiliki albedo bernilai 0 atau 1, yang ada hanya mendekati 0 dan 1. Semakin mendekati nilai nol maka kenampakan suatu objek semakin gelap dan semakin mendekati nilai satu maka kenampakan suatu objek semakin cerah.

Tabel 1 Nilai albedo pada berbagai jenis permukaan

Albedo Jenis Permukaan

0.05 – 0.19 0.05 – 0.15 0.05 – 0.15

Perairan dalam Jalan Aspal Hutan 0.06 – 0.08

0.09 0.12 0.15

Tanah abu-abu lembab Bangunan

Tanaman Padi Pemukiman rata-rata 0.16 – 0.18

0.18 0.19

Tanah terang kering Tanaman Jagung Tanaman Kentang 0.2 – 0.4 Awan Cirrus (Ci) 0.4 – 0.5 Awan Stratus (St) 0.7 – 0.95 Awan Tebal Sumber : Stull (2000)

2.7 Teknik Split Window

Sekitar 80% dari energi termal sensor mampu diterima oleh sensor di wilayah panjang gelombang 10.5–12.5 m yang diemisikan oleh permukaan tanah atau perairan dan membuat variabel suhu permukaan mudah untuk diekstrak dari sinyal radiansi inframerah termal. Penelitian lebih lanjut telah dilakukan melalui pengembangan algoritma untuk memperkirakan suhu permukaan lahan dari suhu kecerahan saluran 4 dan 5 (AVHRR) dan emisivitas permukaan untuk mengoreksi efek atmosfer di permukaan laut dan permukaan tanah/lahan (Price 1984; Becker dan li 1990). Pendekatan ini sering disebut dengan Teknik Split Window atau Split Window Technique (SWT). Pada sensor MODIS teknik ini dilakukan pada saluran 31 dan 32. Telah dicatat bahwa antara saluran 4 dan 5 dari AVHRR maupun saluran 31 dan 32 dari MODIS memiliki keidentikkan dari setiap masing-masing saluran dikarenakan nilai panjang gelombang yang ditangkap adalah hampir sama yaitu panjang gelombang inframerah termal. Namun antara kanal dari masing-masing sensor mempunyai perbedaan utama dalam penyerapan uap air. Saluran

5(AVHRR) dan saluran 31(MODIS) lebih sensitif terhadap uap air di atmosfer daripada saluran 4(AVHRR) dan saluran 32(MODIS), sehingga selisih perbedaan antara suhu kecerahan saluran 4(AVHRR)/31(MODIS) dan saluran 5(AVHRR)/32(MODIS) lebih besar untuk kondisi atmosfer lembab daripada kondisi kering.

Split window telah digunakan selama beberapa periode dalam penentuan suhu permukaan lahan/perairan dengan hasil yang sangat memuaskan. Banyak penulis mengembangkan skema baru untuk mengambil suhu permukaan yang dihubungkan dalam suatu model/algoritma. Model tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor :

1. Tergantung pada data empiris wilayah 2. Tergantung pada emisivitas

3. Tergantung pada konten uap air

4. Tergantung pada sudut pandang matahari 5. Tergantung pada kombinasi dari

metode-metode di atas

2.8 Jenis-Jenis Algoritma Split Window

Banyak sekali jenis algoritma split window yang telah digunakan dalam beberapa periode waktu untuk mendapatkan nilai suhu permukaan lahan (SPL). Perbedaan utama dari beberapa contoh algoritma split window

seperti (Price, Becker & Li, Sobrino, Vidal Ulivieri, Prata & Plat) ini yang sering dilupakan adalah bahwa semuanya berasal dari sensor AVHRR yang berbeda. Algoritma Price (1984) digunakan dari data NOAA-7 AVHRR, algoritma Becker_li (1990) digunakan dari data NOAA-9 AVHRR, dan algoritma Sobrino (1993) digunakan dari data NOAA-11 AVHRR. Walaupun berbeda sensor, nilai panjang gelombangnya masih dalam batasan panjang gelombang inframerah termal sehingga penggunaan algoritma ini bisa diterapkan di salah satu sensor lainnya yaitu MODIS. Koreksi pada contoh algoritma diatas disesuaikan dengan jenis masing-masing emisivitas dan koreksi faktor–faktor yang dibutuhkan lainnya.

2.9 DEM-SRTM

(19)

III METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Februari tahun 2012-2013, dengan wilayah kajian berada pada wilayah Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Pengolahan data dilakukan di laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak pengolah citra (image processing) seperti HDF view 2.8, ENVI 4.5,

dan Er.Mapper 7.1, perangkat pengolah sistem informasi geografis seperti ArcGis 10.0 (Lisensi IPB No. EFL588104064) dengan ekstensi Hawths analysis tools dan perangkat pengolah lainnya seperti Microsoft Office, Notepad ++, Stellarium 0.10.2. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini berupa: 1. Data citra satelit Terra-MODIS level 1B

yang mencakup wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta pada tanggal 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2002, dan 23 September 2003. Citra yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sedikit penutupan awan. Kanal yang digunakan yaitu kanal 1, 4, dan 3 sebagai kanal reflektan dan kanal 31, 32 sebagai kanal emissive. Resolusi yang dipakai 1x1 km untuk setiap masing-masing kanal. Data tersebut dapat diperoleh dari alamat :

(http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/se arch.html).

2. Data DEM–SRTM yang telah dikonversi resolusinya menjadi 1x1 km. Data tersebut dapat diperoleh dari alamat : ( http://www.cgiar.csi.org/data/srtm-90m-digital-elevation-database-v4-1). 3. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) tema 1

: penutupan lahan tahun 2002 (BPDAS). 4. Peta Administrasi wilayah Provinsi Jawa

Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada penelitian ini disajikan dalam diagram alir (Gambar 4).

3.3.1 Pemrosesan Awal Data Citra Satelit

Georeferensi MODIS merupakan suatu langkah awal dalam pemrosesan data citra satelit. Langkah ini digunakan untuk mendapatkan informasi-informasi yang

diinginkan dari suatu data citra sebelum dilakukan analisis spasial dan atributnya, seperti penentuan sistem proyeksi yang akan digunakan, pemilihan datum, penentuan

Ground Control Point (GCP) yang digunakan sebagai acuan dalam proses georeferensi, dan pengkoreksian citra. Beberapa tahapan yang akan dilakukan yaitu :

3.3.1.1 Koreksi Bowtie

Pada data mentah citra MODIS level 1B terdapat kerusakan citra berupa efek duplikasi data akibat peningkatan

Instantaneous Field of View (IFOV) yang semula berukuran 1x1 km pada titik nadir

menjadi 2x5 km pada sudut scan maksimum yaitu 55o. Fenomena ini dikenal dengan

Bowtie effect yang terjadi akibat pengaruh kelengkungan bumi yang mengakibatkan ukuran piksel yang direkam diatas sudut 15o mengalami perbesaran. Sebelum citra diproses lebih lanjut, diperlukan suatu pengkoreksian untuk menghilangkan efek tersebut. Pengkoreksian ini menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 pada semua kanal yang digunakan.

3.3.1.2 Koreksi Geometrik dan Penentuan GCP (Ground Check Point)

Pada data pemanfaatan penginderaan jauh, pengaruh rotasi bumi, arah gerakan satelit, dan kelengkungan permukaan bumi mengakibatkan posisi geografis hasil scanning

pada citra tidak sesuai dengan koordinat geometri pada peta. Oleh karena itu, informasi posisi koordinat citra satelit harus diperbaiki antara lain dengan menggunakan acuan koordinat peta dasar atau peta topografi. Proses ini dikenal dengan istilah koreksi geometrik. Tujuan koreksi ini adalah untuk mereferensikan citra sehingga mempunyai koordinat geografi dan mengkoreksi /mencocokan secara geometri dengan citra yang menjadi dasar koreksi.

Pada pengkoresian ini dilakukan dengan memberikan 11 titik ikat atau 11

Ground Check Point (GCP) pada citra dan peta dasar menggunakan metode image to map. Jumlah titik yang dicatat koordinatnya dianjurkan menyebar terutama pada daerah yang bertopografi berbukit sampai bergunung. Koreksi geometrik ini dilakukan menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5 dengan penggunaan sistem proyeksi UTM dengan unit meter dan datum WGS-84.

(20)

kesalahan tersebut masih dapat diterima sepanjang masih memenuhi kaidah-kaidah kartografi. Menurut Purwadhi (2001) batas toleransi untuk nilai kesalahan adalah RMS ≤ 1 piksel, sehingga apabila nilai RMS > 1 piksel maka harus dilakukan perhitungan ulang.

3.3.1.3 Penentuan Nilai RMSE

Root Mean Square Error (RMSE) merupakan besarnya simpangan dari nilai data dugaan/koreksi dengan nilai data aslinya. Dalam penelitian ini, penentuan RMSE ini dilakukan untuk melihat besarnya simpangan nilai reflektan/nilai radiansi, ketika citra sebelum dikoreksi dan citra sesudah dikoreksi (citra terkoreksi). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

RMSE∶ 1

n (Xi−Yi)

2 n

n =1

Keterangan :

Xi = Nilai reflektan/nilai radiansi kanal

ke-i citra sebelum dikoreksi

Yi = Nilai reflektan/nilai radiansi kanal

ke-i citra terkoreksi n = Jumlah piksel

3.3.1.4 Penentuan Nilai Koefisien Korelasi

Koefisien korelasi menggambarkan ketepatan dan hubungan linear antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas atau antara sesama peubah bebas. Dalam penelitian ini, penentuan koefisien korelasi ini bertujuan untuk melihat seberapa besar ketepatan hubungan nilai reflektan/nilai radiansi ketika citra sebelum dikoreksi dan citra sesudah dikoreksi (citra terkoreksi). Selain itu juga, penentuan koefisien korelasi digunakan untuk melihat seberapa besar ketepatan hubungan antara parameter-parameter fisis lainnya seperti nilai suhu permukaan dengan nilai ketinggian/altitude. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

r = Xi− X . ( Yi−Y )

Xi− X 2. ( Yi− Y)2

Keterangan :

r = Nilai koefisien korelasi

Xi = Nilai reflektan/radiansi kanal ke-i

citra sebelum dikoreksi dan nilai ketinggian/altitude

Yi = Nilai reflektan/radiansi kanal ke-i citra terkoreksi dan nilai suhu permukaan

X = Rata–rata nilai reflektan/radiansi kanal ke-i citra sebelum dikoreksi dan nilai Ketinggian/altitude

Y = Rata–rata nilai reflektan/radiansi kanal ke-i citra terkoreksi dan nilai suhu permukaan

3.3.1.5 Pemotongan Wilayah Kajian

Data citra satelit Terra-MODIS yang telah terkoreksi kemudian dipotong dengan data vektor wilayah Provinsi Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta menggunakan perangkat lunak pengolah citra.

3.3.2 Ekstraksi Nilai Parameter-Parameter Suhu Permukaan

Citra MODIS L1B yang telah dipotong/cropping kemudian dilakukan ekstraksi nilai untuk menghasilkan beberapa indikator variabel yang dibutuhkan dalam menjadi nilai suhu permukaan. Beberapa tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

3.3.2.1 Konversi Nilai SI (Scaled Integer) ke Nilai Spektral Radiance

Pada produk data MODIS L1B, masing–masing nilai � atau Radiansi (energi radiasi yang diterima permukaan bumi per satuan luas) pada piksel diekspresikan pada format 32–bit floating point. Penulisan dalam format floating point ke file produk L1B akan membuat ukuran file menjadi besar. Sebagai gantinya, MCST menulis produk level 1B ke dalam format 16-bit scaled integer untuk merepresentasikan dari kalibrasi sinyal yang diukur oleh sensor MODIS. Nilai radiansi tersebut dapat dihitung dari dua istilah yaitu

radiance scale dan radiance offset yang tertulis pada attribute emissive band di

Scientific Data Sets (SDS). Format 16–bit Scaled Integer sering disebut juga dengan istilah Skala bilangan bulat (SI) yang merupakan suatu nilai yang berkisar antara 0– 32767 dimana nilai � min dikonversi ke skala 0 dan nilai � max dikonversi ke skala 32767. Nilai yang lebih rendah dari 0 dan lebih besar dari 32767 mengindikasikan nilai piksel yang hilang (null value) (MCST 2009). Nilai radiansi dapat dihitung dari nilai SI yang diperoleh. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

L

λi

= R scale (SI

R offset

)

Keterangan :

L

λi = Nilai radiansi kanal ke-i (W m-2 m-1
(21)

R scale = Nilai radiance scale pada kanal ke-i (W m-2 m-1 sr-1)

R offset = Nilai radiance offset pada kanal ke-i (Dke-imenske-ionless)

SI = Nilai konversi radiansi pada kanal ke-i dalam skala bilangan bulat (Dimensionless)

Penentuan atribut nilai radiance scale dan radiance offset dapat dilihat pada

Scientific Data Sets (SDS) MODIS. Selain itu, penentuan atribut tersebut dapat juga menggunakan persamaan sebagai berikut:

Radiance scales

=

(L max – L min )

32767

Radiance_offsets

=

(32767 Lλmin )

(Lλmax − Lλmin )

3.3.2.2 Konversi Nilai Spectral Radiance menjadi Brightness Temperature

Nilai brightness temperature (suhu kecerahan) dapat dihitung dari konversi nilai

spectral radiance dengan menerapkan hukum Planck dari radiasi benda hitam (Janssen 2001). Benda hitam merupakan benda yang mampu menyerap seluruh energi dan mampu mengemisikan kembali semuannya. Hukum Planck dapat digunakan untuk menghitung intensitas radiasi yang dipancarkan oleh suatu objek permukaan. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

T

b

=

h c

k

λ

(ln

2 hc2λ−5

Lλ

+ 1)

Jika C1 = 2 hc2dan C2= h c

k

maka persamaan tersebut menjadi :

T

b

=

C

2

λ

(ln

C1λ−5

Lλ

+ 1)

Keterangan :

Lλ = Spektral radiance (Wm-2 m-1 sr-1) Tb = Suhu kecerahan (K)

h = Konstanta Planck (6.62076 x 10-34 J s) c = Kecepatan cahaya (2.9979 x108 m s-1) k = Konstanta Boltzmann

(1.386058 x 10-23 J K-1) C1 = Konstanta radiasi pertama

(1,191044 x 108 Wm-2 sr-1( m-1)-4) C2 = Konstanta radiasi kedua

(1,4387 x 104 mK)

λ = Nilai tengah panjang gelombang kanal 31 (10,78-11,28 m) dan kanal 32 (11,77-12,27 m)

3.3.2.3 Konversi Nilai Suhu Kecerahan menjadi Nilai Suhu Permukaan

Estimasi nilai suhu permukaan dari citra MODIS dapat diduga dari nilai suhu kecerahannya. Persamaan yang digunakan merupakan persamaan algoritma split window

dengan memasukkan faktor-faktor utama seperti emisivitas dan suhu kecerahan. Persamaan-persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Price (1984)

Ts = [[Tb31+ 3.33 (Tb31–Tb32)]

5.5–

ε

31

4.5

] +

[

0.75

Tb

32

ε31

ε32

]]

Becker and Li (1990)

Ts = [1.274 + [Tb31+ Tb32

2 ] (1 + 0.15616

ε

1bl –

0.482

ε

2bl) +

Tb31+ Tb32

2 (6.26 + 3.98

ε

1bl

– 38.33

ε

2bl )] ]

Vidal (1991)

Ts = Tb31 + [2.78 (Tb31–Tb32)] [50

ε

1bl] – [300

ε

3v]

Ulivieri (1992)

Ts = Tb31 + [1.8 (Tb31–Tb32)] + [48 (1 –ε)] – [75 ∆ε]

Sobrino (1993)

Ts = Tb31 + [1.06 (Tb31–Tb32)] + [0.46 [(Tb31–Tb32)]] + [53 (1 –

ε

3l)] – [53(

ε

3l–

ε

32)]

Price modifikasi Sobrino (1994)

Ts = [[Tb31+ 2.79 (Tb31–Tb32)]

7.6 –

ε

31

6.6

] +

[

0.26

Tb

32

ε31

ε32

] Ulivieri modifikasi Sobrino (1994)

Ts = Tb31 + [2.76 (Tb31–Tb32)] + [38.6 (1 – ε)] – [96 ∆ε]

Coll (1997)

Ts = Tb31 + [2.13 (Tb31–Tb32)] + 0.18 + [50

(1 –

ε

3l)] – [200 ∆ε]

dengan

∆ε = (ε31− ε32) ε = (ε31+ε32)/2

ε1bl = (1− ε)/ε ε2bl = (∆ε/ (ε)2

ε3v = ∆ε/ (ε)

Keterangan:

Ts = Suhu Permukaan (K)

Tbi = Suhu Kecerahan kanal ke-i (K)

(22)

3.3.3 Penentuan Albedo

Penentuan albedo dapat dilakukan menggunakan perhitungan dari USGS (2003) kanal 1, 4, dan 3. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

α= Lλ π D

2

E0Sunλicosθs

Keterangan:

D = Jarak astronomi bumi-matahari pada tanggal tertentu (SA) (Stellarium 0.10.2)

�0Suni = Rata-rata nilai solar spectral

irradiance pada kanal ke-i (W m-2 m-1

) (Lampiran 7)

L = Nilai Spectral radiance (Wm-2 sr-1 m-1

)

θs = Sudut zenith matahari (Degree)

3.3.4 Pemisahan Penutupan Awan ( Cloud Masking)

Pemisahan penutupan awan dapat dilakukan menggunakan pendekatan albedo awan pada kanal 1, 4, dan 3 melalui nilai radiansinya atau menggunakan pendekatan nilai reflektan pada kanal 3 MODIS. Jika nilai rata-rata albedo kanal 1, 4, dan 3 atau nilai reflektan dari kanal 3 lebih besar dari 0.2 maka dapat dikatakan nilai tersebut sebagai awan (Xiao 2004).

(23)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Geografis Wilayah

Secara geografis wilayah Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat terletak pada 5.79–7.82 0LS dan 105.10–108.76 0BT. Ketinggian wilayah berdasarkan data DEM-SRTM berkisar dari -3 sampai 2830 mdpl. Berdasarkan data BPS tahun 2002 menunjukan bahwa Provinsi Banten mempunyai 4 kabupaten dan 4 kota, Provinsi DKI Jakarta mempunyai 6 kota, dan Provinsi Jawa Barat mempunyai 17 kabupaten dan 9 kota.

4.2 Pemrosesan Awal Citra Satelit 4.2.1 Koreksi Bowtie

Koreksi Bowtie merupakan tahap awal pengolahan data sebelum dilakukan analisis citra lebih lanjut. Pada hasil koreksi Bowtie, didapatkan nilai reflektan dan nilai radiansi dari citra yang belum dikoreksi dengan yang sudah dikoreksi mengalami perubahan. Perubahan ini dapat dilihat melalui simpangan yang dihasilkan melalui besarnya nilai Root Mean Square Error (RMSE) dan koefisien korelasi (r). RMSE mengindikasikan besarnya simpangan dari citra sebelum terkoreksi dan citra setelah terkoreksi sedangkan koefisien korelasi menggambarkan ketepatan atau keeratan hubungan linear antara citra sebelum terkoreksi dan citra setelah terkoreksi.

Nilai RMSE yang didapatkan dari koreksi Bowtie pada semua tanggal dan kanal

menunjukkan nilai yang relatif kecil (Tabel 2, 3, 4, dan 5). Pada tanggal 20 juli 2002, perubahan nilai tersebut menginterpretasikan bahwa terjadi perubahan nilai reflektan pada kanal 1, 4, dan 3 dengan rata-rata sebesar 0.0267, 0.0242, dan 0.0253. Selanjutnya pada kanal 31 dan 32, perubahan nilai tersebut menginterpretasikan bahwa terjadi perubahan nilai radiansi pada kanal 31 dan 32 dengan rata-rata sebesar 0.1000 dan 0.0766 Wm-2 m-1 sr-1. Nilai RMSE yang relatif kecil pada semua kanal menunjukkan bahwa kesalahan atau

error yang dihasilkan pada tahap pengkoreksian adalah kecil. Penyebab utama nilai RMSE yang kecil adalah wilayah kajian yang berada pada sudut scan kurang dari 150 sehingga pengaruh efek Bowtie tidak terlihat jelas.

Selain itu, nilai koefisien korelasi yang didapatkan dari koreksi Bowtie pada semua tanggal dan kanal adalah cukup besar, hal ini mengindikasikan bahwa keeratan data antara sebelum dan sesudah pengkoreksian adalah besar. Keeratan disini mengindikasikan nilai perubahan sebelum pengkoreksian dan sesudah pengkoreksian tidak jauh berbeda.

Semakin kecil nilai Root Mean Square Error (RMSE) dan semakin besar nilai koefisien korelasi (r) dengan hubungan yang positif maka citra terkoreksi yang dihasilkan adalah sangat baik karena nilai hasil koreksi menunjukkan perubahan yang tidak terlalu jauh atau menyimpang dari nilai aslinya.

(24)

Tabel 2 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (20 Juli 2002)

Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32

RMSE 0.0267 0.0242 0.0253 0.1000 0.0766

Koefisien Korelasi 0.9639 0.9709 0.9658 0.9781 0.9960

Tabel 3 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (15 Oktober 2002)

Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32

RMSE 0.0287 0.0237 0.0259 0.1686 0.1345

Koefisien Korelasi 0.8371 0.9036 0.8513 0.9419 0.9908

Tabel 4 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (12 Juni 2003)

Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32

RMSE 0.0167 0.0142 0.0154 0.0865 0.0691

Koefisien Korelasi 0.8567 0.9489 0.8988 0.9693 0.9962

Tabel 5 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (23 September 2003)

Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32

RMSE 0.0392 0.0351 0.0370 0.1747 0.1424

Koefisien Korelasi 0.8233 0.8635 0.8335 0.9629 0.9895

4.2.2 Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik merupakan tahap kedua pengolahan data sebelum didapatkan citra terkoreksi. Pada hasil koreksi geometrik didapatkan perubahan koordinat piksel baru dari koordinatnya semula, dikarenakan posisi koordinat baru disesuaikan dengan citra dasar atau peta dasar sebagai acuan. Perubahan koordinat ini dapat dilihat melalui simpangan yang dihasilkan melalui besarnya nilai (RMS).

Root Mean Square (RMS) merupakan parameter statistik yang fungsinya sama dengan RMSE yaitu melihat simpangan yang terjadi ketika citra sebelum dikoreksi geometrik dan setelah dikoreksi geometrik. Perbedaannya adalah pada karakteristik penggunaannya. Pada proses koreksi Bowtie, pengkoreksian hanya menyebabkan perubahan ukuran piksel dan nilai spektral radiansi/nilai reflektan yang ada di citra, sedangkan koreksi geometrik menyebabkan perubahan posisi piksel dari posisinya semula. Ketika nilai RMS = 1 menunjukkan bahwa terjadi pergeseran piksel utama sebesar 1 piksel dari posisi semula.

Dari hasil pengkoreksian citra tanggal 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, dan 23 September 2003 menunjukan nilai rata-rata RMS yang sangat kecil dari setiap titik GCP (Tabel 6, 7, 8, dan 9). Sebagai contoh pada titik GCP nomor 1 (20 Juli 2002), nilai RMS yang dihasilkan yaitu sebesar 0.06. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap piksel dititik atau sekitar titik GCP dari citra yang telah dikoreksi hanya mengalami perubahan

sekitar 0.06 piksel dari posisi semula. Perubahan koordinat/posisi piksel tersebut tidak terlalu besar dari posisi awal sehingga dapat dikatakan bahwa hasil pengkoreksian ini adalah baik karena memiliki nilai error yang sangat kecil yaitu ≤ 1 piksel (Purwadhi 2001).

Tabel 6 Hasil nilai RMS (20 Juli 2002)

No Cell X Cell Y Easting Southing RMS 1 680.98 977.08 105.45 E 6.83 S 0.06 2 943.4 1075.5 107.88 E 7.74 S 0.08 3 1013.57 939.57 108.53 E 6.49 S 0.01 4 757.46 879.37 106.16 E 5.93 S 0.06 5 748.78 1036.3 106.41 E 7.38 S 0.12 6 851.69 877.83 107.03 E 5.92 S 0.10 7 880.95 949.58 107.30 E 6.58 S 0.10 8 712.55 943.56 105.74 E 6.52 S 0.10 9 939.59 907.59 107.85 E 6.19 S 0.09 10 856.71 1044.3 107.07 E 7.45 S 0.02 11 884.45 963.1 107.33 E 6.70 S 0.05

Tabel 7 Hasil nilai RMS (15 Oktober 2002) No Cell X Cell Y Easting Southing RMS

(25)

Tabel 8 Hasil nilai RMS (12 Juni 2003) No Cell X Cell Y Easting Southing RMS

1 851.56 864.32 105.21 E 6.75 S 0.10 2 941.64 771.02 106.04 E 5.89 S 0.03 3 901.30 837.57 105.67 E 6.50 S 0.04 4 952.89 775.96 106.15 E 5.93 S 0.01 5 980.36 932.50 106.41 E 7.38 S 0.03 6 1044.65 784.15 107.00 E 6.01 S 0.07 7 1096.76 949.37 107.48 E 7.54 S 0.01 8 1133.76 803.25 107.82 E 6.19 S 0.03 9 1082.50 840.67 107.35 E 6.53 S 0.05 10 1206.55 974.86 108.50 E 7.77 S 0.03 11 1173.96 808.38 108.19 E 6.23 S 0.09

Tabel 9 Hasil nilai RMS (23 September 2003) No Cell X Cell Y Easting Southing RMS

1 1052.45 974.42 106.15 E 5.94 S 0.02 2 973.50 1073.49 105.42 E 6.85 S 0.05 3 999.65 1033.62 105.66 E 6.48 S 0.02 4 1080.33 1129.68 106.40 E 7.37 S 0.02 5 1094.63 983.67 106.53 E 6.02 S 0.03 6 1025.29 1072.54 105.89 E 6.84 S 0.06 7 1182.73 1038.64 107.35 E 6.53 S 0.02 8 1325.61 1167.30 108.67 E 7.72 S 0.02 9 1177.38 1060.65 107.30 E 6.73 S 0.05 10 1164.48 1140.52 107.18 E 7.47 S 0.04 11 1184.74 981.53 107.37 E 6.00 S 0.04

4.2 Pemisahan Awan dan Ekstrasi Nilai Parameter Suhu pada Citra MODIS 4.2.1 Suhu Kecerahan (Brightness

Temperature )

Nilai suhu kecerahan bergantung dari nilai spektral radiansi yang diterima permukaan persatuan luas persatuan waktu pada kisaran panjang gelombang tertentu. Pada citra MODIS, nilai suhu kecerahan dapat diekstrasi dari kanal 31 dan kanal 32 yang merupakan kanal emisi termal. Kanal 31 dapat merekam nilai radiasi gelombang dengan kisaran panjang gelombang 10.78-11.28 m, sedangkan kanal 32 dapat merekam nilai radiasi gelombang dengan kisaran panjang gelombang 11.77-12.27 m.

Gambar 6 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (20 Juli 2002)

Gambar 7 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (15 Oktober 2002)

Gambar 8 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (12 Juni 2003)

Gambar 9 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (23 September 2003)

(26)

menginterpretasikan bahwa 98% atau 96% keragaman dari nilai suhu kecerahan kanal 31 dapat diterangkan oleh keragaman dari nilai suhu kecerahan kanal 32. Nilai koefisien determinasi (R2) yang tinggi pada grafik akan menyebabkan koefisien korelasi (r) yang dihasilkan juga tinggi sehingga kedua kanal tersebut mempunyai hubungan yang berkorelasi positif atau mempunyai keidentikkan. Akibat korelasi positif dari kedua nilai suhu kecerahan, maka nilai suhu kecerahan dapat dihubungkan dengan menggunakan suatu algoritma dari simulasi untuk mendapatkan nilai suhu permukaan. Semakin besar nilai koefisien determinasi (R2) maka dapat dikatakan hasil model adalah baik.

4.2.2 Pemisahan Penutupan Awan (Cloud Masking)

Energi radiasi matahari yang datang ke permukaan bumi, sebagian ada yang diserap oleh permukaan dan ada juga yang dilepaskan oleh permukaan dalam bentuk emisi termal. Nilai emisi yang dilepas oleh permukaan yang tertutup oleh awan bukanlah nilai emisi

sebenarnya yang dilepaskan oleh permukaan daratan, tetapi nilai tersebut merupakan nilai emisi yang dihasilkan oleh permukaan awan. Pemisahan awan menggunakan emisi dari permukaan bumi, sangat sulit untuk membedakan karakteristik awan dan daratan. Oleh karena itu, pemisahan penutupan awan yang baik dapat dilakukan melalui pendekatan nilai albedo atau nilai reflektannya menggunakan kanal reflektan 1, 4, dan 3.

Gambar 10 dan Gambar 11 menunjukkan perbandingan citra true colour

kanal 1, 4, dan 3 dengan nilai rata-rata albedo dari permukaan awan pada tanggal 20 Juli 2002 dan 23 September 2003 sebagai contoh, dimana nilai piksel yang berwarna kisaran merah hingga kuning menginterpretasikan nilai kisaran albedo permukaan awan terendah hingga tertinggi. Persamaan USGS dan Xiaming Xiao untuk menghitung albedo dan pemisahan awan mampu membuktikan bahwa pemisahan awan melalui pendekatan albedo dapat dilakukan dalam penginderaan jauh dengan menggunakan sensor MODIS kanal reflektan 1, 4, dan 3.

Gambar 10 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3 setelah dilakukan pemisahan awan (20 Juli 2002)

(27)

4.2.3 Suhu Permukaan Lahan (Land Surface Temperature)

Suhu permukaan sangat mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara. Energi tersebut menjadi sumber pembangkit gradien suhu, gradien kecepatan, dan gradien konsentrasi. Gradien tersebut merupakan penggerak pada proses pemindahan massa, bahang, dan momentum. Nilai suhu permukaan lahan sangat dipengaruhi berbagai faktor–faktor yang mempengaruhinya seperti emisivitas, kapasitas panas jenis, dan konduktivitas termal pada lahan tersebut.

Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan nilai rata-rata suhu permukaan dari seluruh wilayah kajian. Nilai rata-rata suhu permukaan tertinggi berada pada algoritma Vidal yaitu sebesar 310C (20 Juli 2002), 37 0C (15 Oktober 2002), 32.4 0C (12 Juni 2003), 36.2 0C (23 September 2003) sedangkan nilai rata-rata suhu permukaan rata-rata terendah berada pada algoritma Ulivieri sebesar 27.9 0C (20 Juli 2002), 33.7 0C (15 Oktober 2002), 30.2 0C (12 Juni 2003), 33.9 0C (23 September 2003).

Tabel 10 Nilai rata–rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2002)

Jenis Algoritma

Rata-rata SP seluruh wilayah kajian (oC) 20-Jul-02 15-Okt-02

Vidal 31.0 37.0

Ulivieri 27.9 33.7

Coll 29.4 35.2

Sobrino 28.8 35.0

Price 30.3 36.4

Becker and Li 29.9 35.9 Ulivieri [Sobrino] 30.0 36.0 Price [Sobrino] 29.0 35.0

Tabel 11 Nilai rata–rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2003)

Jenis Algoritma

Rata-rata SP seluruh wilayah kajian (oC) 12-Jun-03 23-Sep-03

Vidal 32.4 36.2

Ulivieri 30.2 33.9

Coll 31.5 35.1

Sobrino 30.3 34.1

Price 31.1 35.1

Becker and Li 31.5 35.3 Ulivieri [Sobrino] 31.4 35.3 Price [Sobrino] 30.4 34.3

Hasil perhitungan (Tabel 10 dan 11) menunjukkan bahwa algoritma Vidal

menghasilkan nilai suhu permukaan rata-rata yang paling tinggi sedangkan algoritma Ulivieri menghasilkan nilai suhu permukaan rata-rata yang paling rendah untuk wilayah kajian.

4.3 Hubungan Nilai Suhu Permukaan dengan Parameter-Parameter lainnya 4.3.1 Hubungan Suhu Permukaan dengan

Nilai Ketinggian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai dari suhu permukaan pada citra MODIS berbeda secara nyata dengan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhinya (Gambar 12, 13, 14, dan 15). Nilai suhu permukaan pada citra MODIS akan cenderung menurun dengan bertambahnya suatu ketinggian. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi yang dihasilkan bernilai negatif yang menunjukkan bahwa hubungan nilai suhu permukaan dan nilai ketinggian adalah berbanding terbalik (Gambar 12, 13, 14 dan 15). Selain itu, pada satu ketinggian yang sama nilai suhu permukaan yang didapatkan sangat beragam, sehingga koefisien determinasi yang dihasilkan sangat kecil. Nilai koefisien determinasi yang kecil mengindikasikan bahwa bukan hanya faktor ketinggian yang mampu direspon oleh sensor satelit namun masih banyak faktor–faktor lain yang mampu direspon sensor seperti penutupan lahan, sudut

zenith matahari, bayangan awan dan berbagai macam efek atmosferik lainnya.

(28)
(29)
(30)
[image:30.595.99.526.73.698.2]
(31)
[image:31.595.108.529.70.706.2]
(32)

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada bulan Juli dan Juni ketika sudut zenith

matahari besar sensor lebih sensitif terhadap perubahan ketinggian sedangkan bulan September dan Oktober ketika sudut zenith

matahari kecil sensor lebih sensitif terhadap perubahan penutupan lahan. Kemiringan sudut matahari yang besar pada bulan Juli/Juni menyebabkan pemanasan terhadap penutupan lahan kurang begitu efektif dikarenakan nilai suhu permukaan lahan (SPL) tersebut masih dipengaruhi oleh faktor topografi atau ketinggian dari suatu permukaan. Selanjutnya, kemiringan sudut matahari yang kecil pada bulan September dan Oktober menyebabkan pemanasan terhadap penutupan lahan sangat efektif dikarenakan kemampuan menyerap panas (konduktivitas termal) dan penyimpan panas (kapasitas panas) dari tiap jenis lahan/permukaan berbeda-beda sehingga dapat meningkatkan nilai suhu dari suatu permukaan

dan akibatnya nilai keragaman suhu permukaan dari masing-masing lahan akan menjadi lebih besar.

[image:32.595.113.528.332.670.2]

Pembuktian lebih lanjut, pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan dua contoh garis transek pada wilayah kajian (Gambar 16). Penentuan nilai suhu permukaan yaitu menggunakan dua algoritma yaitu Vidal dan Coll untuk sebagai contoh. Pengambilan garis transek ini ditunjukkan untuk membuktikan seberapa besar respon sensor dalam merekam piksel dan melihat hubungan nilai suhu permukaan dengan pengaruh berbagai ketinggian ketika nilai derajat lintang bertambah dalam derajat bujur yang tetap. Garis berwarna kuning menunjukan transek pada bujur 106.60 dan garis berwarna hijau menunjukan transek pada bujur 107.20. Pada Gambar 17, 18, 19, dan 20 dapat dilihat hubungan masing-masing perubahan nilai suhu permukaan pada setiap transek kajian.

(33)
[image:33.595.98.518.86.362.2]

Gambar 17 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (20 Juli 2002)

[image:33.595.109.518.102.635.2]
(34)

Gambar 19 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (12 Juni 2003)

[image:34.595.93.523.82.785.2] [image:34.595.113.518.104.444.2]
(35)

Hasil analisis transek menunjukkan bahwa perubahan nilai suhu permukaan (SP) berbanding terbalik dengan bertambahnya suatu ketinggian. Ketika bertambahnya suatu ketinggian, nilai suhu permukaan akan menurun dan begitu pula sebaliknya. Pola perubahan itu terkadang berbeda dari keadaan sebenarnya seperti terjadi peningkatan SP ketika bertambahnya suatu ketinggian. Hal ini menunjukkan bahwa bukan hanya variabel ketinggian yang mampu direspon sensor namun masih banyak faktor–faktor lain yang mampu direspon oleh sensor dalam menentukan perubahan nilai suhu permukaan. Sebagai contoh, pada transek kuning (Gambar 17, 18, 19 dan 20) dapat dilihat bahwa nilai suhu permukaan pada wilayah ketinggian rendah di bagian utara (Jakarta) nilainya lebih tinggi dibandingkan wilayah ketinggian rendah di bagian selatan (Sukabumi). Hal ini disebabkan, pada wilayah utara merupakan pusat pemukiman dan lahan terbangun. Oleh karena itu, sangat dimungkinkan bahwa penggunaan lahan dapat menentukan perubahan nilai suhu dari suatu permukaan

4.3.2 Hubungan Suhu Permukaan dengan Penutupan Lahan

Seperti yang dijelaskan pada subbab sebelumnya, perubahan nilai suhu permukaan tidak hanya dipengaruhi oleh dari ketinggian dari suatu daerah, terkadang nilainya meningkat dan menurun pada ketinggian yang tetap. Perbedaan ini salah satunya dipengaruhi oleh aktivitas dari penggunaan lahan. Penutupan lahan secara tidak langsung memberikan pengaruh terhadap suhu di dalam dan di sekitar penutupan lahan tersebut (Tabel 12, 13, 14, 15 dan Gambar 21, 22, 23, 24, 25). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai dari suhu permukaan pada berbagai penutupan lahan berbeda secara nyata walaupun perbedaanya tidak besar. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan penutupan lahan secara signifikan merubah nilai-nilai pada setiap komponen nilai suhu permukaan.

Pada tanggal 20 Juli 2002, nilai SPL tertinggi terdapat pada lahan terbuka dan lahan terbangun. Pada lahan terbuka didominasi oleh algoritma Vidal, Ulivieri, Sobrino, Coll, Ulivieri modifikasi Sobrino dengan rataan sebesar 33.3 0C

Gambar

Gambar 2 Intensitas emisi benda hitam pada berbagai suhu (Salby 1996)
Gambar 3   Morfologi efek Bowtie
Gambar 4 Diagram Alir Penelitian
Gambar 5 Citra sebelum dan sesudah pengkoreksian Bowtie efek
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini, Chlorella sp (inaCC M39) dikultur pada media limbah ternak ayam Broiler dengan konsentrasi 20 gram/L.. Limbah yang digunakan merupakan kotoran ayam broiler

Bahkan, Pemprov Papua mengagendakan penyusunan peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang larangan pendirian kelompok radikal dan anti-Pancasila di tanah Papua. Selain itu,

Dari tabel persentase di atas dapat disimpulkan bahwa, kegiatan perbaikan pembelajaran dari prasiklus, Siklus I dan Siklus II, pencapaian ketuntasan belajar mengalami kenaikan

Hasil observasi diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer yang dilakukan oleh rekan guru peneliti dengan mengisi lembar observasi aktivitas

Hasil observasi diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer yang dilakukan oleh rekan guru peneliti dengan mengisi lembar observasi aktivitas anak

Dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para informan yang merupakan panitia pelaksana program bedah rumah di Desa Telaga, didukung dengan hasil observasi

Tanpa mengurangi aspek teknis, tulisan ini menyoroti pengurangan kandungan semen di dalam adukan beton dalam jumlah yang cukup besar sampai mencapai 55 %

Kebijakan pemerintah tentang kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi guru yang implementasinya sedang dalam proses merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas,