• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimasi Evapotranspirasi Spasial Menggunakan Suhu Permukaan Darat (LST) Dari Data MODIS Terra/Aqua Dan Pengaruhnya Terhadap Kekeringan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimasi Evapotranspirasi Spasial Menggunakan Suhu Permukaan Darat (LST) Dari Data MODIS Terra/Aqua Dan Pengaruhnya Terhadap Kekeringan"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU

PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN

WAHYU ARIYADI

(2)

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU

PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN

PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN

WAHYU ARIYADI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

Pada

Program Studi Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

(3)

RINGKASAN

WAHYU ARIYADI. Estimasi Evapotranspirasi Spasial Menggunakan Suhu Permukaan Darat (LST) Dari Data MODIS Terra/Aqua Dan Pengaruhnya Terhadap Kekeringan. Dibimbing oleh Yon Sugiarto, S. Si., M. Sc. IT.

Evapotranspirasi merupakan informasi penting dalam perkembangan bidang pertanian di Indonesia. Keterbatasan jumlah stasiun cuaca yang melakukan pengukuran mengenai evaporasi dan evapotranspirasi di Indonesia, merupakan salah satu penyebab kurang meratanya penelitian mengenai evapotranspirasi di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengestimasi evapotranspirasi dari nilai suhu permukaan darat (LST), dan menganalisis adanya hubungan antara evapotanspirasi dengan kekeringan. Penggunaan metode penginderaan jauh dalam penelitian ini dilakukan untuk mengatasi keterbatasan data dari stasiun cuaca.

Hasil yang diperoleh dari pendugaan evapotranspirasi menggunakan data Citra MODIS Terra/Aqua di Bogor nilainya berkisar antara 11.4 – 14.5 mm/8 hari, Indramayu berkisar 10.7 – 12.6 mm/8 hari, Malang berkisar antara 10.6 – 14.2 mm/8 hari dan Surabaya berkisar antara 11.3 – 12.2 mm/8 hari. Sedangkan nilai evapotranspirasi dari pengukuran lapang di Bogor berada pada kisaran 23.7 – 33.2 mm/8 hari, Indramayu berada di kisaran 22.8 – 32.4 mm/8 hari, Malang berada pada kisaran 21.5 – 31.4 mm/ 8 hari dan Surabaya berada pada kisaran 21.4 – 32.9 mm/8 hari.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa evapotranspirasi bukan merupakan satu – satunya unsur meteorologi yang mempengaruhi terjadinya kekeringan. Dan tinggi rendahnya evapotranspirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti topografi, keadaan atmosfer/cuaca (CH, kelembaban, suhu, angin, dll). Nilai keeratan antara LST dengan ETp lebih tinggi dibandingkan nilai keeratan antara NDVI dengan ETp. Dalam hal ini proses evapotranspirasi merupakan salah satu faktor tak langsung pada suatu kejadian kekeringan.

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

1. PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 1

Hasil yang diharapkan ... 1

2. TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh dan Karakteristik Satelit MODIS TERRA / AQUA ... 1

Suhu Permukaan ... 2

NDVI ... 2

Evapotranspirasi ... 2

Kekeringan ... 4

Hubungan antara Evapotranspirasi (ETp) dengan Suhu Permukaan (Ts) ... 4

3. METODOLOGI Waktu dam Tempat Penelitian ... 5

Alat dan Bahan ... 5

Metode Penelitian ... 5

Pengolahan Awal Data Satelit ... 5

Pengolahan Lanjutan Data Satelit ... 5

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Korelasi antara Suhu Permukaan Darat (LST) dengan ETp Lapang ... 7

Korelasi antara NDVI dengan ETp Lapang ... 9

Korelasi antara ETp Lapang dengan ETp dari Citra MODIS ... 10

Analisis Hubungan Evapotranspirasi dengan Kekeringan ... 11

5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 11

Saran ... 12

DAFTAR PUSTAKA ... 12

LAMPIRAN ... 13

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Karakteristik dan kegunaan umum kanal – kanal satelit MODIS ... 3

Tabel 2. Koefisien untuk Algorithma LST satelit MODIS ... 6

Tabel 3. Regresi LST MODIS dengan ETp Lapang. ... 8

Tabel 4. Regresi NDVI dengan ETp lapang ... 9

Tabel 5. Regresi ETp lapang dengan ETp MODIS ... 10

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air ... 2

Gambar 2. Diagram alir penelitian ... 7

Gambar 3. Sebaran LST di P. Jawa dan Bali ... 7

Gambar 4. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Bogor. ... 7

Gambar 5. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Indramayu ... 8

(5)

Gambar 9. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Indramayu... 9

Gambar 10. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Malang ... 9

Gambar 11. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Surabaya ... 9

Gambar 12. Hubungan nilai ETp lapang dengan ETp MODIS Bogor ... 10

Gambar 13. Hubungan nilai ETp lapang dengan ETp MODIS Indramayu ... 10

Gambar 14. Hubungan nilai ETp lapang dengan ETp MODIS Malang ... 10

Gambar 15. Hubungan nilai ETp lapang dengan ETp MODIS Surabaya ... 10

Gambar 16. Bencana kekeringan tahun2004 ... 11

Gambar 17. ETp bulanan di tiga daerah yang mengalami kekeringan tahun 2004 ... 11

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Peta sebaran ETp wilayah Bogor bulan Juni 2004 ... 14

Lampiran 2. Peta sebaran ETp wilayah Bogor bulan Juli 2004 ... 14

Lampiran 3. Peta sebaran ETp wilayah Bogor bulan Agustus 2004 ... 15

Lampiran 4. Peta sebaran ETp wilayah Indramayu bulan Juni 2004 ... 15

Lampiran 5. Peta sebaran ETp wilayah Indramayu bulan Juli 2004... 16

Lampiran 6. Peta sebaran ETp wilayah Indramayu bulan Agustus 2004 ... 16

Lampiran 7. Peta sebaran ETp wilayah Malang bulan Juni 2004 ... 17

Lampiran 8. Peta sebaran ETp wilayah Malang bulan Juli 2004 ... 17

Lampiran 9. Peta sebaran ETp wilayah Malang bulan Agustus 2004 ... 18

Lampiran 10. Peta sebaran ETp wilayah Surabaya bulan Juni 2004 ... 18

Lampiran 11. Peta sebaran ETp wilayah Surabaya bulan Juli 2004 ... 19

Lampiran 12. Peta sebaran ETp wilayah Surabaya bulan Agustus 2004... 19

Lampiran 13. Peta sebaran ETp P. Jawa dan Bali bulan Juni 2004 ... 20

Lampiran 14. Peta sebaran ETp P. Jawa dan Bali bulan Juli 2004 ... 21

Lampiran 15. Peta sebaran ETp P. Jawa dan Bali bulan Agustus 2004 ... 22

Lampiran 16. Sebaran ETp 8 harian wilayah Bogor (Juni – Agustus) 2004 ... 23

Lampiran 17. Sebaran ETp 8 harian wilayah Indramayu (Juni – Agustus) 2004 ... 24

Lampiran 18. Sebaran ETp 8 harian wilayah Malang (Juni – Agustus) 2004 ... 25

Lampiran 19. Sebaran ETp 8 harian wilayah Surabaya (Juni – Agustus) 2004 ... 26

Lampiran 20. Nilai ETp dari Citra MODIS dengan ETp Lapang ... 27

Lampiran 21. Hubungan LST dengan ETp Lapang ... 28

Lampiran 22. Hubungan NDVI dengan LST ... 29

Lampiran 23. Hubungan NDVI dengan ETp Lapang ... 30

Lampiran 24. Analisis sidik ragam antara LST Vs ETp Lapang Bogor ... 31

Lampiran 25. Analisis sidik ragam antara LST Vs ETp Lapang Indramayu ... 32

Lampiran 26. Analisis sidik ragam antara LST Vs ETp Lapang Malang ... 33

Lampiran 27. Analisis sidik ragam antara LST Vs ETp Lapang Surabaya ... 34

Lampiran 28. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan ETp Lapang Bogor ... 35

Lampiran 29. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan ETp Lapang Indramayu ... 36

Lampiran 30. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan ETp Lapang Malang ... 37

Lampiran 31. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan ETp Lapang Surabaya ... 38

Lampiran 32. Analisis sidik ragam ETp MODIS dengan ETp Lpg Bogor ... 39

Lampiran 33. Analisis sidik ragam ETp MODIS dengan ETp Lpg Indramayu ... 40

Lampiran 34. Analisis sidik ragam ETp MODIS dengan ETp Lpg Malang ... 41

Lampiran 35. Analisis sidik ragam ETp MODIS dengan ETp Lpg Surabaya ... 42

(6)

Judul :

Estimasi

Evapotranspirasi Spasial Menggunakan Suhu Permukaan

Darat (LST) Dari Data MODIS Terra/Aqua Dan Pengaruhnya

Terhadap Kekeringan.

Nama :

Wahyu

Ariyadi

NRP :

G

24102043

Menyetujui

Pembimbing 1

Yon Sugiarto, S. Si., M. Sc. IT.

NIP. 132 215 103

Mengetahui

Dekan

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

(7)
(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 1 Juli 1984, dari Ayah dan Ibu yang bernama R. Waseso dan Edi Budayanti. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis lulus dari SMUN 99 Cibubur – Jakarta Timur pada tahun 2002, pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi negeri, dan diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Program Studi Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan hasil penelitian (Skripsi) yang berjudul “Estimasi Evapotranspirasi Spasial Menggunakan Suhu Permukaan Darat (LST) Dari Data MODIS Terra/Aqua Dan Pengaruhnya Terhadap Kekeringan” dapat segera diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat kelulusan di program studi Geofisika dan Meteorologi

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada Allah Yang Maha Esa dan kepada Ayah, Ibu serta adikku yang tiada hentinya memberikan dorongan semangat dan motivasi serta yang selalu mendoakan keberhasilan penulis.

Yon Sugiarto S.Si., M.Sc IT, yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penelitian ini, dosen penguji serta sebagai guru yang membimbing mahasiswanya dengan penuh kesabaran.

Teman-teman angkatan 39, Lina, Ana, Basyar, Eko, Zainul, Deni, Samba, Sapta, Ridwan, Anton, Aprian, La Ode, Mian, Joko, Rudi, Hesti, Nana, Vivi, Lupi, Gian, Linda, Sasat, Dwi, Dwinita, Ani, Yohana, Ipit, Misna, Nida, Fio, Kiki, dan An-an beserta putri kecilnya.

Segenap civitas GEOMET FMIPA, Pa Toro, Bu Indah, Aa’ Aziz, Pa Jun, Pa Pono, Mba Wanti, Mba Icha, Pa Kaerun, Pa Udin, serta seluruh staf dosen dan pengajar atas bimbingan dan kuliahnya selama ini.

Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua kebaikan dan dukungan yang telah diberikan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Juli 2007

(10)

1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena di atmosfer yang dapat dirasakan akibat adanya perubahan tutupan awan. Dikarenakan adanya fenomena itu, maka suhu permukaan dapat dijadikan suatu indikator untuk mengukur tingginya evapotranspirasi di wilayah tertentu.

Pendugaan suhu permukaan dapat menggunakan teknologi penginderaan jauh (penginderaan jauh), karena metode ini memiliki kemampuan deteksi yang tak terbatas ruang dan waktu. Untuk memperoleh nilai pendugaan evapotranspirasi yang baik pemanfaatan penginderaan jauh juga diintegrasikan dengan pendekatan termodinamika serta data curah hujan yang terdapat di beberapa stasiun cuaca yang mewakili daerah tersebut.

Di dalam penelitian ini suhu permukaan dapat diperoleh dari citra satelit MODIS Terra / Aqua. Satelit ini digunakan karena memiliki 36 kanal dengan berbagai fungsi yang menjadi ciri khasnya, dan satelit ini juga memiliki jangkauan yang berbeda – beda, yaitu 250m, 500m, dan 1km. Citra satelit MODIS Terra / Aqua yang digunakan untuk menduga suhu permukaan beresolusi 1km x 1km.

Penelitian untuk mengukur nilai evaporasi / evapotranspirasi di Indonesia belum dilakukan secara meluas dan seragam, serta masih tetap dikembangkan. Dikatakan bahwa pengukuran masih terbatas dilakukan di pulau Jawa, sedang diluar Jawa dengan areal 93% dari Indonesia, belum merata diukur dan hanya dilakukan pendugaan (Nasir, 1976 dalam Napitupulu, 1984).

Di Indonesia hanya terdapat beberapa stasiun cuaca yang melakukan pengukuran evaporasi dan evapotranspirasi. Karena adanya keterbatasan jumlah stasiun – stasiun cuaca yang melakukan pengukuran mengenai evaporasi dan evapotranspirasi di Indonesia, maka diharapkan dengan metode penginderaan jauh ini dapat dilakukan pendugaan evaporasi dan evapotranspirasi yang merupakan informasi penting dalam perkembangan bidang pertanian di Indonesia.

merupakan salah satu unsur dalam kesetimbangan energi dan air. Evapotranspirasi merupakan unsur penting dalam keseimbangan air dan energi. Karena nilai evapotranspirasi bervariasi menurut ruang dan waktu, maka pemahaman mengenai distribusi merupakan faktor kunci dalam keberhasilan mengoptimalkan model keseimbangan air dan pengaturan air irigasi pertanian (Yang, 1994 dalam Khomarudin, 2003).

Penelitian ini akan menduga nilai evapotransiprasi dari nilai suhu permukaan darat (LST) citra Modis Terra / Aqua, dan untuk mempelajari adanya pengaruh evaporasi / evapotranspirasi terhadap kekeringan di Pulau Jawa tahun 2004. Dari hasil penelitian ini diharapkan metode penginderaan jauh dapat dijadikan salah satu referensi untuk mengatasi keterbatasan dari stasiun – stasiun cuaca dalam melakukan pengukuran serta pendugaan evaporasi dan evapotranspirasi di Indonesia.

1. 2 Tujuan

1. Estimasi evapotranspirasi (ETp) spasial dengan suhu permukaan darat (LST) dari data MODIS Terra/Aqua. 2. Menganalisis hubungan antara

evapotranspirasi dengan kekeringan.

1. 3 Hasil yang diharapkan

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk menduga nilai evapotranspirasi (ETp) yang dihitung dengan input berupa nilai LST dan NDVI menggunakan metode penginderaan jauh. Serta mempelajari hubungan antara evapotranspirasi dengan kekeringan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi dalam pendugaan nilai evapotranspirasi di berbagai wilayah di Indonesia dengan menggunakan metode penginderaan jauh.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Penginderaan Jauh dan Karakteristik

Satelit MODIS TERRA / AQUA

(11)

interaksi gelombang elektromagnetik dengan permukaan bumi.

Energi elektromagnetik yang mengenai suatu objek, akan mengalami tiga bentuk energi. Interaksi ke-3 jenis energi ini dapat ditulis dengan :

( )

λ

ER

( )

λ

EA

( )

λ

ET

( )

λ

EI

=

+

+

...(1)

Keterangan :

EI (λ) = Energi EM yang diterima ER (λ) = Energi EM yang direfleksikan EA (λ) = Energi EM yang absorbsi ET (λ) = Energi EM yang ditransmisikan

Gambar 1. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air (Lillesand and Kiefer, 1993)

Modis adalah salah satu instrumen utama yang dibawa Earth Observing System

(EOS) Terra Satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA).

Satelit Terra diluncurkan pada Desember 1999 dan telah disempurnakan dengan satelit Aqua pada tahun 2002. MODIS mengorbit bumi secara polar pada ketinggian 705 km. lebar cakupan yang pada permukaan bumi setiap putarannya 2330 km. pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 kanal (36 interval panjang gelombang), mulai dari 0.405 µm – 14.385 µm (1 µm = 1/1,000,000 meter). Untuk mengetahui karakteristik kanal – kanal satelit MODIS dapat dilihat pada Tabel 1.

2. 2 Suhu Permukaan

Suhu permukaan didefinisikan sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek. Suhu permukaan suatu objek tidak sama tergantung pada sifat fisik permukaan objek. Sifat fisik objek tersebut adalah emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Jika suatu objek memiliki

menurun, contohnya pada permukaan tubuh air. Sedangkan jika suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis yang rendah dan konduktivitas thermalnya tinggi maka suhu permukaan akan meningkat, contohnya pada permukaan darat (Sutanto, 1994).

Selanjutnya oleh Stefan-Boltzmann hubungan radiasi dengan suhu permukaan dinyatakan dalam rumus :

4

s

F

=

ε σ

T

...(2) Keterangan :

F : Limpahan radiasi (MJ / m2 / hari)

ε : Emisivitas permukaan (ε =1, pada benda hitam)

σ : Tetapan Stefan-Boltzmann (5.67*10-8 W/m2/K4)

Ts : Suhu permukaan (K)

2. 3 NDVI

NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) atau indeks vegetasi adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai 1. nilai ini menggambarkan bahwa semakin tinggi nilainya maka kondisi tanaman tampak subur dan rapat, sebaliknya jika nilainya semakin rendah maka kondisi tanaman kurang subur atau terjadi pembukaan lahan hutan maupun persawahan. NDVI merupakan indeks yang dibuat dengan berbagai asumsi dan tengantung pada ekstrasi nilai digital kanal dari citra satelit. Banyak faktor yang menyebabkan korelasi yang lemah antara NDVI dan vegetasi, seperti sudut radiasi surya, sudut pemantauan satelit, faktor-faktor atmosfer seperti debu (aerosol) dan uap air maupun faktor vegetasi itu sendiri seperti struktur kanopi (Asner, 2000).

2. 4 Evapotranspirasi

Evaporasi adalah suatu jumlah maksimum dari air yang berhasil diubah ke dalam fase uap air, berlangsung pada suatu permukaan rata, datar dan basah yang dapat dicapai secara bebas oleh seluruh faktor – faktor iklim (Robertson, 1955).

(12)

tanaman dengan proses fisiologi yang disebut transpirasi. Di alam proses evaporasi dan transpirasi terjadi bersama – sama

sehingga menimbulkan istilah yang disebut evapotranspirasi.

Tabel 1. Karakteristik dan kegunaan umum kanal – kanal satelit MODIS

Kanal Reflektan (nm) Emisivitas (µm) Kegunaan

1 620 - 670 - Transformasi absolut penutupan lahan, vegetasi, klorofil vegetasi 2 841 - 846 - Jumlah awan, transformasi penutupan lahan

3 459 - 479 - Perbedaan tanah/vegetasi 4 545 - 565 - Vegetasi hijau

5 1230 - 1250 - Perbedaan kanopi/daun 6 1628 - 1652 - Perbedaan awan/salju 7 2105 - 2155 - Sifat awan, sifat permukaan

8 405 - 420 - Klorofil

9 438 - 448 - Klorofil

10 483 - 493 - Klorofil

11 526 - 536 - Klorofil

12 546 - 556 - Sedimen

13h 662 - 672 - Atmosfer, sedimen 13l 662 - 672 - Atmosfer, sedimen 14h 673 - 683 - Sebaran klorofil

14l 673 - 683 - Sebaran klorofil 15 743 - 753 - Sifat aerosol

16 862 - 877 - Sifat aerosol, sifat atmosfer 17 890 - 920 - Sifat atmosfer, sifat awan 18 931 - 941 - Sifat atmosfer, sifat awan 19 915 - 965 - Sifat atmosfer, sifat awan 20 - 3.660 - 3.840 Suhu permukaan awan

21 - 3.929 - 3.989 Kebakaran hutan dan gunung berapi 22 - 3.929 - 3.989 Suhu awan, suhu permukaan 23 - 4.020 - 4.080 Suhu awan, suhu permukaan 24 - 4.433 - 4.498 Fraksi awan, suhu troposfer 25 - 4.482 - 4.549 Fraksi awan, suhu troposfer

26 1.360 - 1.390 - Fraksi awan (Cirrus tipis), suhu troposfer 27 - 6.535 - 6.895 Kelembaban troposfer bagian tengah 28 - 7.175 - 7.475 Kelembaban troposfer bagian atas 29 - 8.400 - 8.700 Suhu permukaan

30 - 9.580 - 9.880 Ozon

31 - 10.780 - 11.280 Suhu awan, kebakaran hutan dan gunung berapi, suhu permukaan 32 - 11.770 - 12.270 Tinggi awan, kebakaran hutan dan gunung berapi, suhu permukaan 33 - 13.185 - 13.785 Fraksi awan, tinggi awan

34 - 13.485 - 13.785 Fraksi awan, tinggi awan 35 - 13.785 - 14.085 Fraksi awan, tinggi awan 36 - 14.085 - 14.385 Fraksi awan, tinggi awan (Sumber : http:// LPDAAC.usgs.gov/modis/table2.asp)

Laju evapotranspirasi suatu area ditentukan oleh dua kendali utama yaitu ketersediaan kelengasan pada permukaan dan kemampuan atmosfer untuk

(13)

terukur dengan lysimeter (ETo) adalah ETp

≈ ETo.

Evapotranspirasi dipengaruhi oleh faktor – faktor cuaca, jenis dan tingkat pertumbuhan vegetasi, serta kelengasan dan sifat fisik tanah. Faktor – faktor cuaca yang menentukan ETp adalah radiasi matahari, suhu dan kelembaban udara dan angin, yang secara umum berkorelasi positif dengan ETp, kecuali kelembaban udara (Ward, 1975). Menurut De Vries dan Van Duin (1953) (dalam Ward, 1975), kecepatan angin dikatakan sebagai faktor sekunder untuk menentukan ETp.

Jackson (1977) mengemukakan bahwa evaporasi dipengaruhi oleh faktor meteorologi, termasuk didalamnya radiasi surya, suhu permukaan, evaporasi, selisih tekanan uap, kecepatan angin dan turbulensi udara. Radiasi surya merupakan sumber energi utama.

Sedangkan Nieuwolt (1977) (dalam Sarvina, 2005) menyatakan bahwa evapotranspirasi dikendalikan oleh tiga kondisi, yaitu kapasitas udara untuk menampung lebih banyak uap air, jumlah energi yang tersedia dan digunakan dalam proses evaporasi dan transpirasi sebagai bahan laten, dan derajat turbulensi atmosfer bagian bawah yang dibutuhkan untuk memindahkan lapisan udara yang telah jenuh dengan uap air dekat permukaan dan menggantinya dengan udara yang belum jenuh.

Data evapotranspirasi di lapang pada stasiun klimatologi tidak semuanya tersedia. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perhitungan evapotranspirasi dilakukan menggunakan persamaan empirik dari peneliti berdasarkan penelitian di lapang yang sudah divalidasi dan dapat digunakan untuk perhitungan evapotranspirasi. Nilai evapotranspirasi diduga dari unsur – unsur iklim. Beberapa contoh model evapotranspirasi yang telah dikembangkan adalah persamaan Thornhtwaite (1984) hanya menggunakan suhu udara, persamaan Blaney Criddle (1950) menggunakan input suhu rata – rata dan kecepatan angin bulanan, persamaan Penman (1948) menggunakan input suhu udara, radiasi surya, kecepatan angin dan kelembaban udara (Usman, 1996).

2. 5 Kekeringan

merupakan peristiwa meteorologi dan lingkungan yang ditunjukkan oleh ketiadaan hujan dalam periode waktu yang cukup lama, yang menyebabkan penurunan kelembaban tanah dan merusak tanaman. Periode waktu itu sendiri bergantung pada jenis tanaman, daya pegang air dan kondisi atmosfer yang mempengaruhi laju evaporasi dan transpirasi (Kramer, 1980 dalam Turyanti, 1995). Menurut Ventskevich (1961) (dalam Turyanti, 1995) yang menyatakan bahwa keadaan tersebut diikuti oleh suhu udara tinggi, kelembaban udara rendah dan kurangnya pasokkan air untuk kebutuhan tanaman.

2. 6 Hubungan antara Evapotranspirasi (ETp) dengan Suhu Permukaan (Ts)

Suhu merupakan salah satu parameter fisika lingkungan yang dipastikan akan mengalami perubahan sebagai akibat terjadinya perubahan iklim karena kenaikan konsentrasi gas-gas rumah kaca. Suhu udara dan suhu permukaan yang berevaporasi mempunyai pengaruh nyata pada evapotranspirasi. Secara umum semakin tinggi suhu, seperti suhu udara maupun suhu permukaan, laju penguapan akan semakin besar. Karena besarnya ketergantungan evaporasi potensial terhadap suhu, karena suhu merupakan pengintegrasi beberapa variable lingkungan, suhu digunakan sebagai masukan utama sejumlah model untuk pendugaan evapotranspirasi.

Suhu mempengaruhi evapotranspirasi melalui empat cara

(14)

bahang yang dipindahkan, karena itu semakin panas udara semakin besar gradient

suhu dan semakin tinggi laju penguapan. Di sisi lain, bila permukaan evaporasi yang lebih panas, akan lebih sedikit bahang terasa (sensible) yang diekstrak dari udara dan penguapan akan menurun. 3) Pengaruh lainnya suhu udara terhadap penguapan muncul dari kenyataan bahwa akan dibutuhkan lebih sedikit energi untuk menguapkan air yang lebih hangat. Jadi untuk masukan energi yang sama akan lebih banyak uap air yang dapat diuapkan pada air yang lebih hangat. 4) Suhu juga dapat mempengaruhi penguapan melalui pengaruhnya pada celah (lubang) stomata daun.

Berkaitan dengan pengaruh suhu pada evapotranspirasi, Monteith dan Unsworth (dalam Usman, 1996) menerangkan bahwa penguapan akan meningkat atau menurun dengan suhu tergantung pada nilai awalnya, apakah lebih besar atau lebih kecil dari radiasi bersih, yaitu pada apakah permukaan lebih panas atau lebih dingin dari udara.

3. METODOLOGI 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Lab Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, pada bulan Mei 2006 sampai Januari 2007.

3. 2 Bahan dan Alat

Daerah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah Pulau Jawa. Dan alat yang digunakan pada penelitian ini ialah sebagai berikut :

• Citra MODIS Terra / Aqua Pulau Jawa hari ke 153 - 249 (2004). (sumber : LAPAN, NASA)

• Data pengukuran NDVI Pulau Jawa hari ke 153 – 249 (2004).

(sumber : LAPAN, NASA)

• Data luas kekeringan daerah Bogor, Indramayu dan Malang tahun 2001 – 2004.

(sumber : DepTan)

• Data curah hujan dan suhu bulanan dari 4 stasiun meteorologi di Pulau Jawa tahun 2004 (Baranangsiang – Bogor, Indramayu – Indramayu, Pujon – Malang, dan Perak 1 –

• Hardware : PC (personal computer) dan Printer

• Software : ER Mapper, ArcView 3.3, Corel Draw 12 dan MS. Office.

3. 3 Metode Penelitian

3. 3. 1 Pengolahan Awal Data Satelit Untuk menduga kisaran suhu permukaan menggunakan data citra satelit dengan teknologi penginderaan jauh meliputi langkah–langkah sebagai berikut :

Ë Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik merupakan tahapan pengolahan awal. Koreksi geometrik bertujuan untuk memperbaiki kerusakan atau pergeseran posisi piksel dan perbedaan ukuran piksel pada citra, karena ketidaksesuaian posisi lintang dan bujur yang sebenarnya.

Setelah citra terkoreksi maka dapat dilakukan croping (pemotongan) pada daerah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini menggunakan citra yang komposit atau bebas dari awan agar didapat nilai suhu permukaan yang baik.

Ë Kalibrasi Radiometrik

Kalibrasi ini dilakukan untuk mengubah nilai digital (digital number) piksel menjadi albedo. Dalam penelitian ini tidak dilakukan kalibrasi radiometrik karena citra MODIS yang digunakan sudah terkoreksi secara radiometrik.

3. 3. 2 Pengolahan Lanjutan Data Satelit

• Ekstraksi Suhu Permukaan

Menghitung suhu permukaan hanya dilakukan pada piksel yang bebas awan. Selanjutnya, perhitungan suhu permukaan pada piksel-piksel yang bebas awan. Dapat menggunakan algorithma sebagai berikut :

(

) (

)

(

+

)( ) (

ε

+

+

)

Δ

ε

+

+

+

+

=

W

a

a

W

a

a

T

T

a

T

T

a

a

T

T

lst 7 6 5 4 2 32 31 3 32 31 2 1 31 1

1

....(3)

(sumber : Sobrino dan El Kharraz, 2003)

Keterangan :

ai = koefisien untuk LST MODIS (Tabel 2)

W = total uap air di atmosfer

(

ε

31

ε

32

)

2

,

ε

ε

31

ε

32

ε

=

+

Δ

=

(15)

Tabel 2. Koefisien untuk Algorithma LST satelit MODIS

Algorithma TLST1

a1 1.02

a2 1.79

a3 1.2

a4 34.83

a5 -0.68

a6 -73.27

a7 -5.19

(Sumber : Sobrino dan El Kharraz, 2003)

Nilai suhu permukaan diambil menggunakan metode pengambilan regiondi sekitar lokasi stasiun pada citra MODIS. Hal ini dilakukan agar dapat memperoleh nilai suhu permukaan dan NDVI disekitar lokasi stasiun, agar nilainya memiliki faktor kesalahan yang kecil.

• Menduga Evapotranspirasi

Untuk menduga nilai ETp menggunakan teknologi penginderaan jauh terdapat beberapa metode perhitungan evapotranspirasi potensial yang di klasifikasikan dalam 5 kelas yaitu, metode radiasi, metode evaporasi, metode suhu udara, dan kombinasi (Khomarudin 2003).

Terdapat dua model yang biasa digunakan untuk menduga evapotranspirasi, yaitu model Thornthwaite dan model Haergreaves. Kedua model ini dapat di gunakan dengan menggunakan dua variabel iklim, suhu dan radiasi.

Perbandingan evapotranspirasi dari model Haergreaves dan Thronthwaite yang ditunjukkan oleh Narongrit dan Yasuoka pada tahun 2003, menjelaskan bahwa kedua model dapat dimanfaatkan pada musim hujan hingga awal musim panas.

Dalam Narongrit dan Yasuoka tahun 2003 diperoleh hasil analisis regresi yang dapat digunakan untuk menduga ET, hasil regresinya dapat ditulis seperti berikut :

RS RS

RS

LST

NDVI

ET

=

0

.

303

+

0

.

037

+

0

.

501

...(4) Model ini memiliki nilai nilai keakuratan mendekati 1 (R2 = 0.8569).

Model regresi ini digunakan Narongrit dan Yasuoka untuk menduga evapotransporasi pada sebuah lahan pertanian di negara Thailand.

Di dalam penelitian ini juga dilakukan perbandingkan antara data evapotranspirasi potensial (ETp) yang didapat menggunakan penginderaan jauh dengan data perhitungan evapotranspirasi potensial (ETp) yang dihitung dengan metode Panci kelas A (Kp = 0.75).

Untuk metode Panci kelas A, pendugaan nilai evapotranspirasi potensial (ETp) digunakan persamaan sebagai berikut:

Eo

Kp

ETp

=

...(5)

Keterangan :

ETp = Evapotranspirasi Kp = Koef. Panci (0.75) Eo = Evaporasi

Nilai evaporasi dibangkitkan menggunakan software Climatic Generator

2.0 dengan input berupa data rata – rata curah hujan bulanan tahun 2004.

• Hubungan Kekeringan dengan Evapotranspirasi

Evapotranspirasi sangat dipengaruhi oleh suhu permukaan darat

(LST), jadi meningkatnya suhu yang disebabkan oleh pemanasan global dapat mempengaruhi nilai ET (Narongrit dan Yasuoka 2003).

Fitter dan Hay (1991) (dalam Turyanti, 1995) menyatakan bahwa laju pertumbuhan sel tanaman dan effisiensinya akan maksimum jika turgor maksimum.

Tekanan turgor itu sendiri ditentukan oleh masuknya air kedalam sel tanaman. Masuknya air kedalam sel tanaman melalui perakaran ditentukan oleh laju evapotranspirasi. Sehingga pada musim kemarau tumbuhan layu karena laju evapotranspirasi potensial meningkat sedangkan ketersediaan air menurun.

(16)

Gambar 2. Diagram alir penelitian 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Korelasi antara Suhu Permukaan Darat (LST) dengan ETp Lapang

Pengukuran suhu permukaan untuk menduga evapotranspirasi potensial di Pulau Jawa dilakukan pada siang hari, menggunakan Citra dari satelit MODIS Terra / Aqua.

Untuk memperoleh nilai evapotranspirasi digunakan persamaan yang dikembangkan Narongrit dan Yasuoka dan telah digunakan untuk menduga nilai evapotranspirasi di negara Thailand.

Untuk menduga evapotranspirasi menggunakan persamaan (13), dengan input suhu permukaan (LST) dan sebaran NDVI dari pengolahan Citra MODIS Terra / Aqua, sebaran NDVI dengan LST dapat dilihat pada Gambar 3.

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa kisaran suhu permukaan di daerah Pulau Jawa bagian utara terlihat lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan bagian selatan. Dan sebagian besar wilayah timur Pulau Jawa memiliki kisaran suhu permukaan yang tinggi. Secara fisis hal ini disebabkan karena di bagian utara Pulau Jawa, memiliki dataran yang lebih rendah daripada daerah selatan Jawa. Dan suhu permukaan Pulau Jawa dan Bali yang terukur berada pada kisaran 280 K hingga 314 K, atau sekitar 7°C hingga 41°C.

Berikut ini adalah hasil korelasi antara suhu permukaan dari Citra MODIS Terra / Aqua dengan nilai evapotranspirasi potensial (ETp) dibeberapa daerah di Pulau Jawa.

LST Vs ETp Lapang Bogor

y = 0.7031x + 6.9006 R2 = 0.5851

0 5 10 15 20 25 30 35

0 5 10 15 20 25 30 35 40

LST

ET

p

Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 2004 Terkoreksi Radiometrik Data CH LST ETp Koreksi Geometrik ETp Lapang

Hubungan ETp dengan Kekeringan NDVI

Regeresi LST MODIS Vs ETp lapang Regresi ETp Vs ETp

Lapang

Eo Bogor & Indramayu

Malang *) & Surabaya *)

(17)

Nilai kisaran LST dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 4 secara berturut – turut ialah 23.7° – 35.1° C dan 23.7 – 33.2 mm/8hari. Gambar 4 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1° C maka akan menyebabkan meningkatnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.7 mm/8 hari.

LST VS ETp Lapang Indramayu

y = 0.9534x + 0.2771 R2 = 0.6516

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 5 10 15 20 25 30 35

LST

ET

p

Gambar 5. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Indramayu.

Nilai kisaran LST dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 5 secara berturut – turut ialah 24.7° – 31.8° C dan 22.8 – 32.4 mm/8hari. Gambar 5 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1° C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 4.7 mm/8 hari.

LST Vs ETp Lapang Malang

y = 0.4677x + 14.003 R2 = 0.665

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 5 10 15 20 25 30 35

LST

ET

p

Gambar 6. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Malang.

Nilai kisaran LST dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut – turut ialah 19.4° – 33.0° C dan 21.5 – 31.4 mm/8hari. Gambar 6 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1° C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 1.6 mm/8 hari.

LST Vs ETp Lapang Surabaya

y = 1.802x - 25.87 R2 = 0.6211

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 5 10 15 20 25 30 35

LST

ET

p

Gambar 7. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Surabaya.

Nilai kisaran LST dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 7 secara berturut – turut ialah 27.2° – 31.6° C dan 21.4 – 32.9 mm/8hari. Gambar 7 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1° C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 6.1 mm / 8 hari. Tabel 3. Regresi LST MODIS dengan ETp Lapang

Daerah Regresi R2

Bogor

y = 0.7031x + 6.9006

0.585 1 Indramay

u

y = 0.9534x + 0.2771

0.651 6

Malang

y = 0.4677x + 14.003

0.665 0

Surabaya Y = 1.802x - 25.87

0.621 1

Dari Gambar 4, 5, 6 dan 7 dapat dikatakan bahwa korelasi antara suhu permukaan dari citra MODIS dengan evapotranspirasi potensial hasil pengukuran membentuk sebuah hubungan linier. Pada Tabel 3, korelasi antara nilai LST dan evapotranspirasi potensial (ETp) lapang menghasilkan nilai keeratan (R2) yang cukup tinggi, yaitu berada pada kisaran 55% – 67%. Nilai R2 yang tertinggi ditunjukkan di Malang, sedangkan yang terendah di Bogor.

(18)

air antara daratan dan lautan yang terjadi bersama – sama dengan angin darat dan angin laut mempengaruhi proses evapotranspirasi. Menurut Turner et al. (1985), menyatakan bahwa defisit tekanan uap air merupakan tenaga pendorong (driving force) untuk proses evapotranspirasi.

4. 2 Korelasi antara NDVI dengan ETp Lapang

Untuk menduga nilai evapotranspirasi menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Narongrit dan Yasuoka pada empat daerah yang berbeda, membutuhkan input berupa nilai NDVI.

Berikut ini adalah hubungan yang diperoleh antara NDVI dengan evapotranspirasi dari data lapang di beberapa daerah.

NDVI Vs ETp Lapang Bogor

y = 8.3609x + 25.531 R2 = 0.0255

0 5 10 15 20 25 30 35

0 0.2 0.4 0.6 0.8

NDVI

ET

p

Gambar 8. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Bogor.

Nilai kisaran NDVI dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut – turut ialah 0.4 – 0.6 dan 23.7 – 33.2 mm/8hari. Gambar 8 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.5 mm/8 hari. Di Bogor diperoleh bentuk linier yang berbeda dengan ketiga wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan Bogor memiliki topografi yang berbeda dengan ketiga daerah lain.

NDVI Vs ETp Lapang Indramayu

y = -3.0524x + 27.402 R2 = 0.0056

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 0.1 0.2 0.3 0.4

NDVI

ET

p

Gambar 9. Hubungan nilai NDVI MODIS

Nilai kisaran NDVI dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 9 secara berturut – turut ialah 0.1 – 0.3 dan 22.8 – 32.4 mm/8hari. Gambar 9 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 1.05 mm/8 hari.

NDVI Vs ETp Lapang Malang

y = -3.8593x + 28.026 R2 = 0.0249

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

NDVI

ET

p

Gambar 10. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Malang.

Nilai kisaran NDVI dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 11 secara berturut – turut ialah 0.5 – 0.8 dan 21.5 – 31.4 mm/8hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.4 mm/8 hari.

NDVI Vs ETp Lapang Surabaya

y = -33.82x + 31.988 R2 = 0.298

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

NDVI

ET

p

Gambar 11. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Surabaya.

Nilai kisaran NDVI dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 11 secara berturut – turut ialah 0.1 – 0.2 dan 22.8 – 32.4 mm/8hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.8 mm/8 hari.

Tabel 4. Regresi NDVI dengan ETp lapang

Daerah Regresi R2

(19)

u 27.402 6

Malang

y = -3.8593x + 28.026

0.024 9

Surabaya

y = -33.82x + 31.988

0.298 0

Dari hubungan antara NDVI dengan nilai evapotranspirasi hasil pengukuran di tiap stasiun diperoleh nilai keakuratan yang sangat rendah. Pada Tabel 4, nilai keeratan yang rendah dari hubungan antara NDVI dan evapotranspirasi dikarenakan ETp tidak hanya dipengaruhi oleh NDVI saja, tetapi perlu adanya faktor lainnya yaitu keadaan atmosfer. Karena tinggi rendahya ETp sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca.

4. 3 Korelasi antara ETp Lapang dengan ETp dari Citra MODIS

Hasil yang diperoleh dari korelasi antara nilai evapotranspirasi potensial (ETp) dari Citra MODIS Terra / Aqua dengan nilai evapotranspirasi potensial (ETp) melalui metode ETp lapang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Regresi ETp lapang dengan ETp MODIS

Daerah Regresi R2

Bogor

y = 2.4691x - 4.7279

0.638 3 Indramay

u

y = 3.0756x - 8.6337

0.599 8

Malang

y = 1.5708x + 6.1535

0.620 7

Surabaya

y = 9.5811x - 84.915

0.639 8

Tabel 5 menunjukkan korelasi nilai ETp dari Citra Satelit MODIS Terra / Aqua dengan nilai ETp lapang. Untuk wilayah Bogor ialah 0.6383, wilayah Indramayu 0.5998, Malang 0.6207, dan Surabaya adalah 0.6398.

ETp MOD Vs ETp Lapang Bogor

y = 2.4691x - 4.7279 R2 = 0.6383 5 10 15 20 25 30 35

Gambar 12. Hubungan nilai ETp lapang vs ETp MODIS Bogor.

Nilai kisaran ETp MODIS dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 12 secara berturut – turut ialah 11.4 – 14.5 mm/8hari dan 23.7 – 33.2 mm/8hari. Gambar 12 juga menjelaskan bahwa ETp MODIS meningkat sebesar 1 mm/8hari maka akan nilai evapotranspirasi potensial di lapang meningkat sebesar 2.1 mm/8 hari.

ETp MOD VS ETp Lapang Indramayu

y = 3.0756x - 8.6337 R2 = 0.5998 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

ETp M OD

Gambar 13. Hubungan nilai ETp lapang dengan ETp MODIS Indramayu.

Nilai kisaran ETp MODIS dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut – turut ialah 10.7 – 12.6 mm/8hari dan 22.8 – 32.4 mm/8hari. Gambar 13 juga menjelaskan bahwa apabila ETp MODIS meningkat sebesar 1 mm/8hari maka akan menyebabkan naiknya ETp yang terukur di lapang sebesar 2.1 mm/8 hari.

ETp MOD Vs ETp Lapang Malang

y = 1.5708x + 6.1535 R2 = 0.6207 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

ETp M OD

Gambar 14. Hubungan nilai ETp lapang vs ETp MODIS Malang.

(20)

ETp MOD Vs ETp Lapang Surabaya

y = 9.5811x - 84.915 R2 = 0.6398

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

ETp M OD

Gambar 15. Hubungan nilai ETp lapang vs ETp MODIS Surabaya.

Nilai kisaran ETp MODIS dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 15 secara berturut – turut ialah 11.3 – 12.2 mm/8hari dan 21.4 – 32.9 mm/8hari. Gambar 15 juga menjelaskan bahwa apabila ETp yang terukur dengan MODIS meningkat 1 mm/8hari maka akan nilai evapotranspirasi potensial yang terukur di lapang meningkat sebesar 9.6 mm/8 hari.

Dari korelasi yang dihasilkan antara ETp MODIS dengan ETp lapang, di empat daerah dengan ketinggian berbeda. Diperoleh empat nilai keeratan (R2) yang cukup tinggi (55 % < R2 < 65 %). Hal ini menunjukkan adanya kedekatan antara nilai ETp MODIS dengan nilai ETp dari hasil perhitungan lapang.

Dengan nilai keeratan yang berada pada kisaran 55 % – 65 %, maka persamaan yang dikembangkan oleh Narongrit dan Yasuoka dapat digunakan untuk menduga evapotranspirasi di wilayah Indonesia. Tetapi agar hasil pendugaan evapotrnaspirasi lebih optimal maka perlu memodifikasi persamaan tersebut.

4. 4 Analisis Hubungan Evapotranspirasi dengan Kekeringan

Data luas kekeringan ketiga daerah ini didasarkan oleh adanya lahan pertanian di daerah tersebut. Surabaya tidak termasuk dikarenakan karena didaerah tersebut tidak terdapat lahan pertanian.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa intensitas curah hujan lebih banyak terjadi di Bogor, pada bulan Juli sebesar 181.5 mm/bln. Sedangkan curah hujan yang terjadi di dua kota lainnya jauh lebih rendah dari Bogor. Terdapatnya perbedaan intensitas terjadinya curah hujan ini dapat dikatakan bahwa kapasitas air tanah di Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas air tanah di daerah Indramayu dan Malang.

Pada bulan Agustus, di daerah Indaramayu terjadi bencana kekeringan terluas dibanding Bogor dan Malang. Bencana kekeringan yang terjadi mencapai 846 Ha, Bogor seluas 13 Ha dan Malang seluas 5 Ha. Lalu hasil pendugaan evapotranspirasi baik melalui penginderaan jauh dan metode panci kelas A, menunjukkan bahwa evapotranspirasi potensial paling besar terjadi di Bogor pada bulan Agustus sebesar 71.7 mm/bln dan 155.5 mm/bln.

Dengan hasil yang diperoleh pada Tabel 6, maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara evapotranspirasi potensial dengan pengaruh terjadinya kekeringan memiliki keeratan yang rendah. Sehingga untuk menduga terjadinya kekeringan di suatu tidak dapat diduga hanya dengan mengukur tingginya evapotranpirasi potensial, tetapi diperlukan faktor – faktor lainnya, seperti sistem irigasi, jenis tanaman, jenis tanah, kapasitas air tanah, suhu, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk daerah Indramayu yang terkena bencana kekeringan paling luas, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Seperti rendahnya curah hujan, suhu yang tinggi, dan adanya pengaruh dari sistem irigasi. Karena kurangnya keterangan mengenai sistem irigasi di Inderamayu maka dalam penelitian ini tidak membahas sistem irigasi secara mendalam. Dari Tabel 6 dapat dikatakan bahwa pengaruh terjadinya kekeringan dengan evapotranspirasi potensial tidak berkaitan secara langsung. Tabel 6. Data CH, ETp MODIS, ETp lapang dan Luas kekeringan.

Tahun Daerah Bulan CH ETp MOD ETp Lapang L. Kekeringan

(mm/bln) (mm/bln) (mm/bln) (Ha)

2004

Bogor

Juni 83 56.9 119.1 0

Juli 181.5 51.9 109.6 0

Agustus 55.9 71.7 155.5 13

Indramayu

Juni 93 47.5 111.7 0

(21)

Juli 4 48.0 94.7 0

(22)

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa evapotranspirasi dapat diduga menggunakan metode penginderaan jauh, dengan menggunakan input berupa suhu permukaan dan NDVI yang diperoleh dari citra satelit MODIS Terra / Aqua. Nilai keeratan yang diperoleh dalam penelitian ini cukup tinggi, yaitu berkisar antara 55 % – 65 %. Hal ini dikarenakan metode pendugaan evapotranspirasi hanya mempergunakan fungsi suhu permukaan dan NDVI, sehingga nilai keakuratan untuk menduga evapotranspirasi (ETp) di tiap daerah kurang maksimal.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi akan semakin tinggi kearah timur. Hal ini sesuai dengan hasil pernyataan Suharsono (1989). bahwa evaporasi pada musim kemarau (juni - Agustus) semakin ke timur maka nilai evaporasi tahunannya semakin bertambah besar. Ini dikarenakan wilayah timur memiliki curah hujan yang rendah, sehingga radiasi surya yang besar digunakan untuk memanaskan permukaan dan udara.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa evapotranspirasi bukan merupakan satu – satunya unsur meteorologi yang mempengaruhi terjadinya kekeringan. Sehingga korelasi antara evapotranspirasi potensial dengan pengaruh terjadinya kekeringan memiliki keeratan yang rendah. Dalam hal ini proses evapotranspirasi potensial lebih dipengaruhi oleh keadaan atmosfer, dan merupakan salah satu faktor tidak langsung pada suatu kejadian kekeringan.

Secara keseluruhan dari penelitian ini, metode pendugaan evapotranspirasi (ETp) dengan konsep penginderaan jauh dapat dijadikan salah satu referensi dalam menduga nilai ETp.

5. 2 Saran

Untuk menduga nilai Evapotranspirasi menggunakan metode penginderan jauh perlu menambah jumlah data pengukuran lapang sebagai referensi, dan menggunakan persamaan regresi yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan keadaan iklim serta topografi di wilayah

DAFTAR PUSTAKA

Asner, G.P. 2000. Ecosystems and The Carbon Cycle. Terrestrial Carbon Cycle Models : Principles and Approaches.

Campbell, G. S., 1977 An Introduction to Ennvironmental Biophysics. New York. 159p.

Handoko. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.

Khomarudin, M.R. 2003. Estimasi Evapotranspirasi dengan Pendekatan Penginderaan Jauh.

Program Studi Agroklimatologi. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Khomarudin, M.R. 2005. Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh. Sekolah Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Lillesand, T.M. dan Kiefer, R.W. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Terjemahan, cetakan kedua). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Monteith, J. L., 1973. Principles of Environmental Physics. New York. American Elsevier.

Napitupulu, B. 1984. Telaah Pengukuran dan Pendugaan Evapotranspirasi Potensial (EP) di Ciledug – Jakarta. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor. Narongrit, C., and Yasuoka, Y. 2003. The

Use of Terra-MODIS Data for Estimating Evapotranspiration and Its Change Caused By Global Warming. Environmental Informatics Archives, Vol 1(2003),

505 – 511. ISEIS.

(23)

Lecture Notes International Workshop On Application Of Satelite Penginderaan jauh For Identifying And Forecasting Potential Fishing Zones In Developing Countries, Hyderabad. India, 7-11 December 1993. Robertson, G.W., 1955. The Standardization

of Measurement of Evaporation as Climatic Factor. World Meteorological Organization. Technical Notes No. 11. Geneva.

Sobrino, J. A. El Kharraz, and Li, Z-L. 2003. Surface temperature and water vapour retrieval from MODIS data. Intl. J. Remote Sensing. 24 (24). 5161 – 5182. Suharsono, H. 1989. Evaporasi dan Neraca

Air di Pulau Jawa. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tasumi, 2002. Evapotranspiration Estimation From Satellite Imagery. Department of Agricuture Engineering. University of Idaho. USA.

Turner, N. C., Schulze, E. D., and Gollan, T. 1985. The Responses of Stomata and Leaf Gas Exchange to Vapour Pressure Deficits and Soil Water Content. I. Spesies Comparisons at High Soil Water Contents. Oecologia, 63 : 338-342.

Turyanti, A. 1995. Sebaran Indeks Kekeringan Wilayah Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.

Usman. 1996. Analisis Kepekaan Beberapa

Metode Pendugaan Evapotranspirasi Potensial terhadap

Perubahan Iklim. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

Ward, R. C. 1975. Principles of Hydrology. McGraw – Hill. Co. Ltd. London. Warlina, L. 1984. Distribusi

Evapotranspirasi Potensial Wilayah Pulau Jawa. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB. Bogor.

(24)

Lampiran 1. Peta sebaran ETp wilayah Bogor bulan Juni 2004

(25)

Lampiran 3. Peta sebaran ETp wilayah Bogor bulan Agustus 2004

(26)

Lampiran 5. Peta sebaran ETp wilayah Indramayu bulan Juli 2004

(27)

Lampiran 7. Peta sebaran ETp wilayah Malang bulan Juni 2004

(28)

Lampiran 9. Peta sebaran ETp wilayah Malang bulan Agustus 2004

(29)

Lampiran 11. Peta sebaran ETp wilayah Surabaya bulan Juli 2004

(30)
(31)
(32)
(33)

ETp Bogor 8 harian ke 153 ETp Bogor 8 harian ke 161 ETp Bogor 8 harian ke 169 ETp Bogor 8 harian ke 177

ETp Bogor 8 harian ke 185 ETp Bogor 8 harian ke 193 ETp Bogor 8 harian ke 201 ETp Bogor 8 harian ke 209

ETp Bogor 8 harian ke 217 ETp Bogor 8 harian ke 225 ETp Bogor 8 harian ke 233 ETp Bogor 8 harian ke 241

(34)

ETp Indramayu 8 harian ke 153 ETp Indramayu 8 harian ke 161 ETp Indramayu 8 harian ke 169 ETp Indramayu 8 harian ke 177

ETp Indramayu 8 harian ke 185 ETp Indramayu 8 harian ke 193 ETp Indramayu 8 harian ke 201 ETp Indramayu 8 harian ke 209

ETp Indramayu 8 harian ke 217 ETp Indramayu 8 harian ke 225 ETp Indramayu 8 harian ke 233 ETp Indramayu 8 harian ke 241

(35)

ETp Malang pada hari ke 153 ETp Malang pada hari ke 161 ETp Malang pada hari ke 169 ETp Malang pada hari ke 177

ETp Malang pada hari ke 185 ETp Malang pada hari ke 193 ETp Malang pada hari ke 201 ETp Malang pada hari ke 209

ETp Malang pada hari ke 217 ETp Malang pada hari ke 225 ETp Malang pada hari ke 233 ETp Malang pada hari ke 241

(36)

ETp Surabaya 8 harian ke 153 ETp Surabaya 8 harian ke 161 ETp Surabaya 8 harian ke 169 ETp Surabaya 8 harian ke 177

ETp Surabaya 8 harian ke 185 ETp Surabaya 8 harian ke 193 ETp Surabaya 8 harian ke 201 ETp Surabaya 8 harian ke 209

ETp Surabaya 8 harian ke 217 ETp Surabaya 8 harian ke 225 ETp Surabaya 8 harian ke 233 ETp Surabaya 8 harian ke 241

(37)

Lampiran 20. Nilai ETp dari Citra MODIS dengan ETp Lapang

Hari

MODIS Terra/Aqua Data Lapang

Bogor Indramayu Malang Surabaya Bogor Indramayu Malang* Surabaya*

LST NDVI ETp LST NDVI ETp LST NDVI ETp LST NDVI ETp Suhu ETp Suhu ETp Suhu ETp Suhu ETp 153 32.5 0.6 14.4 26.8 0.3 11.6 23.2 0.8 12.5 27.5 0.2 11.4 26.8 33.2 26.9 26.2 20.1 26.2 27.4 21.8 161 33.2 0.5 14.2 27.5 0.2 11.4 22.9 0.7 12.0 27.2 0.2 11.3 27.1 30.2 26.2 24.8 20.1 26.6 26.4 21.4 169 33.0 0.5 14.2 28.3 0.3 12.0 25.7 0.8 13.2 28.8 0.2 11.7 26.5 28.8 26.2 28.3 19.7 26.4 27.1 28.7 177 33.2 0.5 14.1 31.8 0.2 12.6 21.5 0.7 11.6 30.7 0.1 11.9 26.7 26.9 26.0 32.4 19.6 25.7 26.7 26.3 185 23.7 0.5 11.4 24.7 0.3 10.9 25.0 0.7 12.6 28.6 0.2 11.7 26.5 23.7 26.6 22.8 19.4 24.9 27.2 26.3 193 29.6 0.4 12.9 28.1 0.2 11.5 19.4 0.7 11.0 29.3 0.1 11.5 26.4 27.4 26.5 27.0 19.7 21.5 27.2 27.2 201 31.7 0.5 13.8 26.8 0.2 11.2 27.7 0.7 13.4 28.5 0.2 11.7 26.4 29.5 26.3 26.4 19.0 25.2 27.8 27.9 209 32.6 0.4 13.8 28.8 0.2 11.8 20.7 0.6 11.0 29.6 0.1 11.6 27.0 29.0 26.2 27.1 19.3 23.0 27.6 26.2 217 33.3 0.5 14.3 27.3 0.2 11.3 27.6 0.6 13.0 29.8 0.1 11.6 26.9 31.5 25.8 28.2 19.5 25.5 27.6 29.8 225 33.8 0.4 14.1 26.6 0.1 10.7 21.6 0.6 11.2 31.6 0.1 12.2 26.4 32.6 26.4 24.9 19.3 24.6 27.5 32.9 233 33.7 0.5 14.4 25.7 0.2 10.8 30.5 0.6 13.9 30.0 0.1 11.7 26.4 29.2 26.2 26.1 19.5 27.1 27.4 29.1 241 35.1 0.4 14.5 30.9 0.2 12.4 20.9 0.5 10.6 30.9 0.1 12.0 27.3 32.6 25.9 27.3 20.0 23.4 27.7 27.6 249 33.4 0.5 14.3 27.7 0.2 11.4 33.0 0.5 14.2 31.1 0.1 12.0 26.8 29.6 25.8 26.3 21.0 31.4 27.3 29.8

Keterangan :

• St. Baranangsiang - Bogor (260 mdpl)

• St. Indramayu - Indramayu (10 mdpl)

• St. Pujon - Malang (1258 mdpl)

• St. Perak 1 - Surabaya (3 mdpl)

• * = Hasil climgen 2.0

• ETp = evapotranspirasi potensial (mm/8hari)

• LST = suhu permukaan darat (°C)

(38)

Lampiran 21. Hubungan LST dengan ETp Lapang

LST Vs ETp Bogor

0 10 20 30 40

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

Hari LS T 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 ET p LST ETp

LST Vs ETp Indramayu

0 10 20 30 40

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

Hari LS T 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 ET p

LST Vs ETp Malang

0 10 20 30 40

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

Hari LS T 0.0 5.0 10.0 15.0 ET p LST ETp

LST Vs ETp Surabaya

24 26 28 30 32

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

(39)

Lampiran 22. Hubungan NDVI dengan LST

NDVI Vs LST Bogor

0 10 20 30 40

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

Hari LS T 0 0.2 0.4 0.6 0.8 ND V LST NDVI

NDVI Vs LST Indramayu

0 10 20 30 40

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

LS T 0 0.1 0.2 0.3 0.4 ND V

NDVI Vs LST Malang

0 10 20 30 40

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

Hari LS T 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 ND V LST NDVI

NDVI Vs LST Surabaya

24 26 28 30 32

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

(40)

Lampiran 23. Hubungan NDVI dengan ETp Lapang

NDVI Vs ETp Bogor

0 0.2 0.4 0.6 0.8

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

Hari ND V 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 ET p NDVI ETp

NDVI Vs ETp Indramayu

0 0.1 0.2 0.3 0.4

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

Hari ND V 9.0 10.0 11.0 12.0 13.0 ET p

NDVI Vs ETp Malang

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

Hari ND V 0.0 5.0 10.0 15.0 ET p NDVI ETp

NDVI Vs ETp Surabaya

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25

153 161 169 177 185 193 201 209 217 225 233 241 249

(41)

Hari St. Baranangsiang - Bogor LST MODIS ETp Lapang

153 32.5 33.2

161 33.2 30.2

169 33.0 28.8

177 33.2 26.9

185 23.7 23.7

193 29.6 27.4

201 31.7 29.5

209 32.6 29.0

217 33.3 31.5

225 33.8 32.6

233 33.7 29.2

241 35.1 32.6

249 33.4 29.6

Ket = LST (°C); ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs LST (X) Bogor

The regression equation is Y = 6.87 + 0.704 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant 6.869 5.776 1.19 0.259 X 0.7042 0.1787 3.94 0.002

S = 1.76872 R-Sq = 58.5% R-Sq(adj) = 54.8%

PRESS = 42.0205 R-Sq(pred) = 49.38%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 48.600 48.600 15.54 0.002 Residual Error 11 34.412 3.128

Total 12 83.012

Lampiran 24. Analisis sidik ragam antara LST dengan ETp Lapang Bogor.

LST Vs ETp Lapang Bogor

y = 0.7031x + 6.9006 R2 = 0.5851

0 5 10 15 20 25 30 35

0 5 10 15 20 25 30 35 40

LST

ET

(42)

Hari St. Indramayu - Indramayu LST MODIS ETp Lapang

153 26.8 26.2

161 27.5 24.8

169 28.3 28.3

177 31.8 32.4

185 24.7 22.8

193 28.1 27.0

201 26.8 26.4

209 28.8 27.1

217 27.3 28.2

225 26.6 24.9

233 25.7 26.1

241 30.9 27.3

249 27.7 26.3

Ket = LST (°C); ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs LST (X) Indramayu

The regression equation is Y = 0.60 + 0.942 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant 0.602 5.763 0.10 0.919 X 0.9418 0.2071 4.55 0.001

S = 1.38515 R-Sq = 65.3% R-Sq(adj) = 62.1%

PRESS = 38.0887 R-Sq(pred) = 37.35%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 39.687 39.687 20.68 0.001 Residual Error 11 21.105 1.919

Total 12 60.792

Lampiran 25. Analisis sidik ragam antara LST dengan ETp Lapang Indramayu.

LST VS ETp Lapang Indramayu

y = 0.9534x + 0.2771 R2 = 0.6516

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 5 10 15 20 25 30 35

LST

ET

(43)

Hari St. Pujon - Malang LST MODIS ETp Lapang

153 23.2 26.2

161 22.9 26.6

169 25.7 26.4

177 21.5 25.7

185 25.0 24.9

193 19.4 21.5

201 27.7 25.2

209 20.7 23.0

217 27.6 25.5

225 21.6 24.6

233 30.5 27.1

241 20.9 23.4

249 33.0 31.4

Ket = LST (°C); ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs LST (X) Malang

The regression equation is Y = 13.9 + 0.471 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant 13.925 2.489 5.60 0.000 X 0.47067 0.09991 4.71 0.001

S = 1.42960 R-Sq = 66.9% R-Sq(adj) = 63.8%

PRESS = 36.4358 R-Sq(pred) = 46.29%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 45.359 45.359 22.19 0.001 Residual Error 11 22.481 2.044

Total 12 67.840

Lampiran 26. Analisis sidik ragam antara LST dengan ETp Lapang Malang.

LST Vs ETp Lapang Malang

y = 0.4677x + 14.003 R2 = 0.665

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 5 10 15 20 25 30 35

LST

ET

(44)

Hari St. Perak 1 – Surabaya LST MODIS ETp Lapang

153 27.5 21.8

161 27.2 21.4

169 28.8 28.7

177 30.7 26.3

185 28.6 26.3

193 29.3 27.2

201 28.5 27.9

209 29.6 26.2

217 29.8 29.8

225 31.6 32.9

233 30.0 29.1

241 30.9 27.6

249 31.1 29.8

Ket = LST (°C); ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs LST (X) Surabaya

The regression equation is Y = - 26.1 + 1.81 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant -26.07 12.59 -2.07 0.063 X 1.8090 0.4262 4.24 0.001

S = 2.01480 R-Sq = 62.1% R-Sq(adj) = 58.6%

PRESS = 64.2571 R-Sq(pred) = 45.45%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 73.136 73.136 18.02 0.001 Residual Error 11 44.654 4.059

Total 12 117.789

Lampiran 27. Analisis sidik ragam antara LST dengan ETp Lapang Surabaya.

LST Vs ETp Lapang Surabaya

y = 1.802x - 25.87 R2 = 0.6211

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 5 10 15 20 25 30 35

LST

ET

(45)

Hari St. Baranangsiang – Bogor

NDVI Etp Lapang

153 0.568 33.2

161 0.498 30.2

169 0.507 28.8

177 0.453 26.9

185 0.461 23.7

193 0.423 27.4

201 0.438 29.5

209 0.421 29.0

217 0.468 31.5

225 0.422 32.6

233 0.460 29.2

241 0.433 32.6

249 0.450 29.6

Ket = ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) versus NDVI (X) Bogor

The regression equation is Y = 22.6 + 15.0 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant 22.637 8.524 2.66 0.022 X 14.98 18.39 0.81 0.433

S = 2.66782 R-Sq = 5.7% R-Sq(adj) = 0.0%

PRESS = 120.588 R-Sq(pred) = 0.00%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 4.722 4.722 0.66 0.433 Residual Error 11 78.290 7.117

Total 12 83.012

Lampiran 28. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan ETp Lapang Bogor. NDVI Vs ETp Lapang Bogor

y = 8.3609x + 25.531 R2 = 0.0255

0 5 10 15 20 25 30 35

0 0.2 0.4 0.6 0.8

NDVI

ET

(46)

Hari St. Indramayu – Indramayu

NDVI Etp Lapang

153 0.316 26.2

161 0.178 24.8

169 0.278 28.3

177 0.210 32.4

185 0.250 22.8

193 0.168 27.0

201 0.233 26.4

209 0.206 27.1

217 0.226 28.2

225 0.118 24.9

233 0.230 26.1

241 0.236 27.3

249 0.245 26.3

Ket = ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs NDVI (X) Indramayu

The regression equation is Y = 25.9 + 3.7 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant 25.932 3.093 8.38 0.000 X 3.69 13.59 0.27 0.791

S = 2.34301 R-Sq = 0.7% R-Sq(adj) = 0.0%

PRESS = 79.2239 R-Sq(pred) = 0.00%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.406 0.406 0.07 0.791 Residual Error 11 60.386 5.490

Total 12 60.792

Lampiran 29. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan ETp Lapang Indramayu. NDVI Vs ETp Lapang Indramayu

y = -3.0524x + 27.402 R2 = 0.0056 0.0

5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 0.1 0.2 0.3 0.4

NDVI

ET

(47)

Hari St. Pujon - Malang NDVI Etp Lapang 153 0.794 26.2

161 0.718 26.6

169 0.765 26.4

177 0.679 25.7

185 0.731 24.9

193 0.686 21.5

201 0.688 25.2

209 0.579 23.0

217 0.637 25.5

225 0.586 24.6

233 0.582 27.1

241 0.486 23.4

249 0.519 31.4

Ket = ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs NDVI (X) Malang

The regression equation is Y = 26.8 - 2.07 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant 26.848 4.972 5.40 0.000 X -2.074 7.576 -0.27 0.789

S = 2.47499 R-Sq = 0.7% R-Sq(adj) = 0.0%

PRESS = 105.849 R-Sq(pred) = 0.00%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 0.459 0.459 0.07 0.789 Residual Error 11 67.381 6.126

Total 12 67.840

Lampiran 30. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan ETp Lapang Malang. NDVI Vs ETp Lapang Malang

y = -3.8593x + 28.026 R2 = 0.0249 0.0

5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 NDVI

ET

(48)

Hari St. Perak 1 - Surabaya NDVI Etp Lapang

153 0.196 21.8

161 0.187 21.4

169 0.182 28.7

177 0.108 26.3

185 0.168 26.3

193 0.116 27.2

201 0.156 27.9

209 0.124 26.2

217 0.146 29.8

225 0.105 32.9

233 0.136 29.1

241 0.118 27.6

249 0.131 29.8

Ket = ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs NDVI (X) Surabaya

The regression equation is Y = 36.1 - 61.1 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant 36.110 3.548 10.18 0.000 X -61.10 24.11 -2.53 0.028

S = 2.60024 R-Sq = 36.9% R-Sq(adj) = 31.1%

PRESS = 113.023 R-Sq(pred) = 4.05%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 43.416 43.416 6.42 0.028 Residual Error 11 74.374 6.761

Total 12 117.789

Lampiran 31. Analisis sidik ragam antara NDVI dengan ETp Lapang Surabaya. NDVI Vs ETp Lapang Surabaya

y = -33.82x + 31.988 R2 = 0.298 0.0

5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 NDVI

ET

(49)

Hari St. Baranangsiang - Bogor ETp MODIS ETp Lapang

153 14.4 33.2

161 14.2 30.2

169 14.2 28.8

177 14.1 26.9

185 11.4 23.7

193 12.9 27.4

201 13.8 29.5

209 13.8 29.0

217 14.3 31.5

225 14.1 32.6

233 14.4 29.2

241 14.5 32.6

249 14.3 29.6

Ket = ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs ETp MODIS (X) Bogor

The regression equation is Y = - 4.20 + 2.43 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant -4.195 7.978 -0.53 0.609 X 2.4320 0.5739 4.24 0.001

S = 1.69318 R-Sq = 62.0% R-Sq(adj) = 58.6%

PRESS = 38.9993 R-Sq(pred) = 53.02%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 51.477 51.477 17.96 0.001 Residual Error 11 31.536 2.867

Total 12 83.012

Lampiran 32. Analisis sidik ragam ETp MODIS dengan ETp Lapang Bogor.

ETp MOD Vs ETp Lapang Bogor

y = 2.4691x - 4.7279 R2 = 0.6383

0 5 10 15 20 25 30 35

(50)

Hari St. Indramayu - Indramayu ETp Etp Lapang

153 11.6 26.2

161 11.4 24.8

169 12.0 28.3

177 12.6 32.4

185 10.9 22.8

193 11.5 27.0

201 11.2 26.4

209 11.8 27.1

217 11.3 28.2

225 10.7 24.9

233 10.8 26.1

241 12.4 27.3

249 11.4 26.3

Ket = ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs ETp MODIS (X) Indramayu

The regression equation is Y = - 7.39 + 2.97 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant -7.387 8.761 -0.84 0.417 X 2.9668 0.7605 3.90 0.002

S = 1.52266 R-Sq = 58.0% R-Sq(adj) = 54.2%

PRESS = 43.6003 R-Sq(pred) = 28.28%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 35.289 35.289 15.22 0.002 Residual Error 11 25.503 2.318

Total 12 60.792

Lampiran 33. Analisis sidik ragam ETp MODIS dengan ETp Lapang Indramayu.

ETp MOD VS ETp Lapang Indramayu

y = 3.0756x - 8.6337 R2 = 0.5998

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

(51)

Hari St. Pujon - Malang ETp MODIS ETp Lapang

153 12.5 26.2

161 12.0 26.6

169 13.2 26.4

177 11.6 25.7

185 12.6 24.9

193 11.0 21.5

201 13.4 25.2

209 11.0 23.0

217 13.0 25.5

225 11.2 24.6

233 13.9 27.1

241 10.6 23.4

249 14.2 31.4

Ket = ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs ETp MODIS (X) Malang

The regression equation is Y = 5.95 + 1.59 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant 5.952 4.580 1.30 0.220 X 1.5863 0.3701 4.29 0.001

S = 1.51976 R-Sq = 62.5% R-Sq(adj) = 59.1%

PRESS = 39.6586 R-Sq(pred) = 41.54%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 42.434 42.434 18.37 0.001 Residual Error 11 25.406 2.310

Total 12 67.840

Lampiran 34. Analisis sidik ragam ETp MODIS dengan ETp Lapang Malang.

ETp MOD Vs ETp Lapang Malang

y = 1.5708x + 6.1535 R2 = 0.6207

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

(52)

Hari St. Perak 1 - Surabaya ETp MODIS ETp Lapang

153 11.4 21.8

161 11.3 21.4

169 11.7 28.7

177 11.9 26.3

185 11.7 26.3

193 11.5 27.2

201 11.7 27.9

209 11.6 26.2

217 11.6 29.8

225 12.2 32.9

233 11.7 29.1

241 12.0 27.6

249 12.0 29.8

Ket = ETp (mm / 8 hari)

Regression Analysis: ETp Lapang (Y) Vs ETp MODIS (X) Surabaya

The regression equation is Y = - 83.2 + 9.43 X

Predictor Coef SE Coef T P Constant -83.20 27.96 -2.98 0.013 X 9.433 2.386 3.95 0.002

S = 2.10329 R-Sq = 58.7% R-Sq(adj) = 54.9%

PRESS = 68.5626 R-Sq(pred) = 41.79%

Analysis of Variance

Source DF SS MS F P Regression 1 69.127 69.127 15.63 0.002 Residual Error 11 48.662 4.424

Total 12 117.789

Lampiran 35. Analisis sidik ragam ETp MODIS dengan ETp Lapang Surabaya.

ETp MOD Vs ETp Lapang Surabaya

y = 9.5811x - 84.915 R2 = 0.6398

0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0

(53)

Lampiran 36. Data luas kekeringan (Ha)

Daera h

Tahu n

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sept Okt Nov Des

T P T P T P T P T P T P T P T P T P T P T P T P

Bog

o

r

2000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2001 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 90 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2002 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 35 0 0 0 0 0 42 9

13

4 0 15

8 0 0 0

2003 0 0 1

8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2650 225

706 3

267

5 0 0 0 0 0 0 0 0

2004 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 13 0 13 0 0 0 0 0 1 1

In

drama

y

u

2000 0 0 0 0 0 0 0 0

217

0 0 1636 0 851 0 838 0 0 0 0 0 0 0

30

0 0

2001 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 300 0 761 0 229 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2002 0 0 0 0 0 0 0 0

164 8 0 1886 0 274 4 1002 4 215 7 544

6 732 0 0 0 0 0 0 0 0

2003 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2727 7 332 4 2138 5 898 2 753 9 238

9 0 0 0 0 0 0 0 0

2004 0 0 0 0 0 0 0 0

181 5

53

2 0 0 10 0 846 0

37 6

13

0 0 0 0 0 0 0

Ma

lang

2000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 4 0 0 0 0 0 0

2001 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2002 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 20 0 1 0 0 0 0 0

2003 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 262 215

42 9

41

2 30 8 0 0 0 0

2004 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 1 0 0 0 0 0 0 0 0

(54)

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU

PERMUKAAN DARAT (LST)

Gambar

Gambar 1. Kurva pantulan spektral vegetasi, tanah dan air (Lillesand and Kiefer, 1993)
Tabel  1. Karakteristik dan kegunaan umum kanal – kanal satelit MODIS
Tabel  2. Koefisien untuk Algorithma LST satelit MODIS
Gambar 2. Diagram alir penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang harapan sikap positif terhadap kedaulatan rakyat dalam sistem pemerintahan Indonesia pada buku teks Pendidikan

Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan (BULTEK- SAP) Nomor 7 Tentang dana bergulir mengungkapkan setidaknya ada 6 permasalahan dalam pengelolaan dana

Dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para informan yang merupakan panitia pelaksana program bedah rumah di Desa Telaga, didukung dengan hasil observasi

Untuk mendapatkan lapisan yang tipis, kondisi dari kedua aliran fase harus diatur yaitu diusahakan membuat aliran yang turbulen, karena pada lapisan film yang tipis akan

Hasil yang didapatkan setelah diimplementasikannya metode SLC dalam pembelajaran adalah literasi sains siswa untuk keseluruhan aspeknya meningkat dengan indeks gain

Diharapkan pada waktu pengamatan dibutuhkan ketelitian yang tinggi dikarenakan hasil perhitungan magnitude mutlak tersebut tergantung pada nilai magnitude semu dan dibutuhkan

Sedangkan secara umum peningkatan kemampuan analisis siswa dalam model pembelajaran kooperatif tipe TTW menggunakan RTE terlihat dari nilai rata-rata gain yang

Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan, maka berikut ini dikemukakan beberapa saran, untuk dapat dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya yang