RENCANA PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU
BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN
DAN
TEMPERATURE HUMIDITY INDEX
(THI)
DI KABUPATEN BANDUNG
SEPTA FEBRINA HEKSAPUTRI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
DAN
TEMPERATURE HUMIDITY INDEX
(THI)
DI KABUPATEN BANDUNG
SEPTA FEBRINA HEKSAPUTRI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
RINGKASAN
SEPTA FEBRINA HEKSAPUTRI. E34060649. Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan
Temperature Humidity Index (THI) di Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.
Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan ibukota Soreang. Meningkatnya jumlah penduduk di Kabupaten Bandung menyebabkan kebutuhan lahan terbangun semakin meningkat. Kondisi ini mengakibatkan konversi lahan menjadi pemukiman dan fasilitas publik yang lain, sehingga ruang terbuka hijau berkurang. Dampak dari menurunnya luasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah meningkatnya suhu dan menurunnya kelembaban udara pada suatu wilayah. Kondisi lingkungan seperti ini mengakibatkan ketidaknyamanan dan daerah ini perlu diidentifikasi sebagai prioritas pengembangan RTH. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi distribusi spasial suhu permukaan di beberapa tipe penutupan lahan, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan kaitannya terhadap ruang terbuka hijau, (2) Pemetaan Temperature Humidity Index (THI) atau indeks kenyamanan di Kabupaten Bandung dan (3) pengembangan RTH berdasarkan distribusi suhu permukaan dan THI.
Penelitian dilakukan di 13 kecamatan di Kabupaten Bandung. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa Landsat 7 ETM (Path/Row 122/065) tanggal 12 Mei 2001 dan 6 Agustus 2009 serta peta batas administratif Kabupaten Bandung. Pengolahan data citra Landsat 7 ETM dengan menggunakan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ArcGIS 9.3 dan ERDAS Imagine 9.1, yang meliputi layer stack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi citra, dan uji akurasi. Pendugaan suhu permukaan dilakukan dengan menggunakan band 6. Hasil estimasi suhu digunakan untuk menduga kelembaban udara dan indeks kenyamanan (THI) di Kabupaten Bandung. Penentuan tutupan lahan bervegetasi juga dilakukan dengan menggunakan NDVI. Nilai NDVI digunakan untuk mengetahui hubungan antara suhu permukaan dan tutupan lahan.
Suhu permukaan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung berkisar antara <21 °C sampai 27 °C. Suhu permukaan pada RTH berkisar antara <21 °C sampai <23 °C, sedangkan suhu permukaan pada area terbangun 22 °C sampai <23 °C. Terjadi peningkatan suhu permukaan dari tahun 2001 sampai tahun 2009. Perubahan tersebut berhubungan dengan penurunan luasan RTH. RTH dapat diduga dengan nilai NDVI. Nilai NDVI > 0 merupakan vegetasi dan semakin mendekati 1, maka tajuk vegetasi semakin rapat. Semakin besar nilai NDVI maka semakin rendah suhu permukaan dan sebaliknya. Kabupaten Bandung hampir seluruhnya termasuk kedalam kelas nyaman pada tahun 2001 dan 2009, karena memiliki distribusi nilai THI <19 sampai 26. Kecamatan Pangalengan, Dayeuhkolot, dan Margahayu merupakan kecamatan yang menjadi prioritas pengembangan RTH.
Plan Based on Surface Temperature and Temperature Humidity Index Distribution of Bandung Regency. Under Supervision of LILIK BUDI PRASETYO and SITI BADRIYAH RUSHAYATI.
Bandung Regency is situated in West Java province with the capital in Soreang. The district has been experiencing the increase of population that lead to green space conversion for settlement and other public facilities. As a result there has been countinuing decrease of green space. Impact of green space are increase of air temperature and decrease of humidity. These environment conditions resulted in level of living comfort in some areas. Identification of such areas is needed certain as high priority area for green space development . The study aimed at : (1) identify the spatial distribution of surface temperature in some types of land cover, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) and its relation to the green open spaces, (2) mapping of Temperature Humidity Index
(THI) or comfort index in the region of Bandung Regency and (3) Development of green space based on the distribution of surface temperature and THI.
The study was conducted in 13 sub districts in Bandung Regency. Materials used in this research are a Landsat 7 ETM (Path/Row 122/065) dated May 12, 2001 and August 6, 2009 and the administrative boundary map of Bandung Regency. Processing of Landsat 7 ETM image data using a set of computers equipped with software ArcGIS 9.3 and Erdas Imagine 9.1, which includes the layer stack, geometric correction, cropping the image, image classification, and test accuracy. Estimation of surface temperature was conducted by using band 6. Estimation results are used to estimate temperature and air humidity comfort index (THI) in the Bandung Regency. In addition, the determination of vegetation land cover was also done using NDVI. NDVI values were used to determine the relationship between surface temperature and land cover.
Bandung Regency surface temperature ranges from <21 °C to 27 °C. Surface temperature on the green space ranges from <21 °C to <23° C, while the surface temperature in the build-up area 22 °C to <23 °C. There was an increase in surface temperature from 2001 until 2009. The changes were associated with were priority area for development green space.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rencana
Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan
dan Temperature Humidity Indeks (THI) di Kabupaten Bandung adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum
pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, April 2011
Septa Febrina Heksaputri
(THI) di Kabupaten Bandung
Nama : Septa Febrina Heksaputri
NRP : E34060649
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si
NIP. 19620316 198803 1 002 NIP. 196507042 00003 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.
NIP. 19580915 198403 1 003
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7
Februari 1988 sebagai anak keenam dari enam bersaudara
dari pasangan Tatiasnaputra (alm) dan Siti Chodidjah.
Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SDN
Pengadilan 2 Bogor (2000), SLTPN 5 Bogor (2003), dan
SMAN 2 Bogor (2006). Pada tahun 2006 penulis diterima
sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk (USMI). Pada tahun 2007, penulis memilih dan masuk
jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB.
Selama menjadi mahasiswi di IPB, penulis aktif di organisasi
kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata (HIMAKOVA), yaitu sebagai anggota kelompok pemerhati mamalia
(KPM) dan kelompok pemerhati fotografi konservasi (FOKA). Selain itu, penulis
juga aktif dalam kepanitiaan, yakni panitia Open House 2007, panitia GEBYAR
HIMAKOVA tahun 2008 dan panitia Bina Corps Rimbawan (BCR) pada tahun
2009. Penulis pernah melaksanakan praktek dan kegiatan lapang, yaitu Eksplorasi
Fauna, Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA)-HIMAKOVA di Cagar
Alam Gunung Simpang Jawa Barat, Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH)
di Cagar Alam Sancang dan Cagar Alam Kamojang pada tahun 2008, Praktek
Pengelolalan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2009,
serta melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKL-P) di Taman Nasional Meru
Betiri, Jember-Banyuwangi, Jawa Timur pada tahun 2010.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI)
di Kabupaten Bandung” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,
Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah swt atas segala curahan rahmat dan ridhoNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index
(THI) di Kabupaten Bandung”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan kepada :
1. Ayahanda Tatiasnaputra (alm) dan Ibunda Siti Chodidjah tersayang, Abang
Dyat, Ayu Dyta, Ayu Devi, Ayu Deva, Ayu Fanny, A’ Yuyus, Acu Ade serta
keponakanku Cipa dan Ahdan atas segala bantuan doa, materiil, kasih sayang,
dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
2. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., selaku dosen pembimbing pertama
atas arahan, nasehat dan bimbingannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si., selaku dosen pembimbing kedua atas
ketersediaannya memberi bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan skripsi
ini.
4. Ir. Nana Mulyana Arif Jaya, M.Sc., Ir. Jajang Suryana, M.Sc., dan Dr. Ir.
Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop., selaku dosen penguji yang telah
memberikan arahan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu penulis
selama kuliah
6. Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung, Badan Perencaan dan Pemeliharaan
Daerah (Bappeda) Kabupaten Bandung, Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) Kelas I Dramaga, Bogor.
7. Teman-teman Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan : Muis Fajar, Noor
Aenni, Arga Pandiwijaya, Amrizal Yusri, Pande Made Wisnu Temaja,
Febriyanto Kolanus, Nur Izzatil, Harry TA, Amri Muhammad, Gamma NMS,
Ka Ayam, Ka Budi, Ka Nina, Ka Bebi, Ka Muti, Ka Arul, Yasmin, atas
8. Teman-temanku : Reni Lestari, Catur Wulandari, Ari Listyowati, Andina
Nugrahani, Indri Nilasari, Fiona Hanberia, Syafitri Hidayati, Afroh Mansyur,
M. Yunus Ardian Saputra, Des Novar, dan keluarga besar Cendrawasih 43
KSHE atas bantuan dan kebersamaannya.
9. Tris Ramadhan yang selalu memberikan dukungan, motivasi dan semangat
selama ini.
10.Sahabatku : Gita, Dwie, dan Ekta atas semangat dan dukungannya.
11.Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penyelesaian
skripsi ini.
Bogor, April 2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridhoNya karya ilmiah yang berjudul “Rencana Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan
Temperature Humidity Index (THI) di Kabupaten Bandung” ini dapat terselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari pada penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang
membutuhkan.
Bogor, April 2011
ii
3.4 Korelasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu ... 15
3.5 Estimasi Kelembaban Udara Relatif (RH) ... 16
3.6 Penentuan Temperature Humidity Index (THI) ... 16
3.7 Rekomendasi Pengembangan RTH berdasarkan Pengelompokkan Suhu ... 17
4.2 Kondisi Fisik Lingkungan ... 18
4.3 Keadaan Penduduk ... 19
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Bandung ... 20
5.2 Ruang Terbuka Hijau ... 39
5.3 Distribusi Suhu Permukaan ... 42
5.4 Hubungan NDVI dengan Suhu Permukaan ... 57
5.5 Distribusi Kelembaban Udara Kabupaten Bandung ... 61
5.6 Distribusi Temperature Humidity Index (THI) di Kabupaten Bandung ... 70
5.7 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kabupaten Bandung ... 77
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 83
6.2 Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 85
iv
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Luas penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001 ... 25
2. Luas penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2009 ... 30
3. Perubahan luas tutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 ... 34
4. Luas konversi areal terbangun di Kabupaten Bandung periode tahun 2001-2009 ... 35
5. Perubahan luasan ruang terbuka hijau Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 ... 39
6. Alih fungsi ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung ... 40
7. Luasan suhu permukaan di Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 .. 42
8. Rata-rata suhu dominan pada penutupan lahan di lokasi penelitian wilayah Kabupaten Bandung ... 48
9. Hasil regresi NDVI dengan suhu permukaan ... 58
10. Luas kelembaban udara Kabupaten Bandung ... 61
11. Hasil regresi suhu udara dan kelembaban ... 61
12. Luas THI Kabupaten Bandung tahun 2001-2009 ... 71
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Peta lokasi penelitian ... 12
2. Vegetasi rapat berupa hutan di Kecamatan Ciwidey ... 21
3. Vegetasi jarang berupa perkebunan teh di Situ Patenggang ... 22
4. Lahan terbangun di Kopo ... 22
5. Lahan terbuka di Kecamatan Pasirjambu ... 23
6. Sawah di Kecamatan Soreang ... 23
7. Semak belukar di Kecamatan Baleendah ... 24
8. Sungai di Kecamatan Pasirjambu ... 24
9. Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001 ... 29
10. Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2009 ... 33
11. Diagram penurunan vegetasi rapat tahun 2001-2009 ... 36
12. Diagram peningkatan vegetasi jarang tahun 2001-2009 ... 37
13. Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009 ... 38
14. Diagram perubahan RTH Kabupaten Bandung tahun 2001-2009 ... 40
15. Peta sebaran suhu permukaan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001 ... 44
16. Peta sebaran suhu permukaan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2009 ... 45
17. Diagram hubungan antara tutupan lahan 2001 dengan suhu permukaan tahun 2001 ... 46
18. Diagram hubungan antara tutupan lahan 2009 dengan suhu permukaan tahun 2009 ... 47
19. Perubahan luasan suhu permukaan Kabupaten Bandung tahun 2001-2009 ... 49
vi
21. Diagram korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kabupaten Bandung
tahun 2001 dan 2009 ... 58
22. Peta sebaran nilai NDVI pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung
tahun 2001 ... 59
23. Peta sebaran nilai NDVI pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung
tahun 2009 ... 60
24. Diagram suhu dan kelembaban udara tahun 2001 dan 2009 ... 62
25. Peta sebaran kelembaban udara pada lokasi penelitian di Kabupaten
Bandung tahun 2001 ... 63
26. Peta sebaran kelembaban udara pada lokasi penelitian di Kabupaten
Bandung tahun 2009 ... 64
27. Diagram hubungan antara kelembaban udara tahun 2001 dengan
tutupan lahan tahun 2001 ... 65
28. Diagram hubungan antara kelembaban udara tahun 2009 dengan
tutupan lahan tahun 2009 ... 66
29. Diagram perubahan luasan distribusi kelembaban udara di Kabupaten
Bandung tahun 2001-2009 ... 67
30. Diagram perubahan luasan distribusi THI di Kabupaten Bandung ... 72
31. Peta sebaran nilai THI pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung
tahun 2001 ... 73
32. Peta sebaran nilai THI pada lokasi penelitian di Kabupaten
Bandung tahun 2009 ... 74
33. Peta sebaran tingkat kenyamanan pada lokasi penelitian di Kabupaten
Bandung tahun 2001 ... 75
34. Peta sebaran tingkat kenyamanan pada lokasi penelitian di Kabupaten
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Tutupan lahan Kabupaten Bandung per wilayah kecamatan ... 89
2. Konversi tutupan lahan periode tahun 2001-2009 ... 93
3. Luas distribusi suhu permukaan tahun 2001 terhadap tutupan lahan tahun 2001 ... 94
4. Luas distribusi suhu permukaan tahun 2009 terhadap tutupan lahan tahun 2009 ... 95
5. Luas distribusi suhu permukaan per wilayah kecamatan ... 96
6. Luas distribusi kelembaban per wilayah kecamatan ... 103
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang berada di wilayah
Jawa Barat. Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang berada di
wilayah Jawa Barat dengan ibukota Soreang. Kabupaten ini berbatasan dengan
Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang dan Kabupaten Sumedang di utara,
Kabupaten Garut di timur dan selatan, serta Kabupaten Cianjur di barat dan
selatan.
Perluasan wilayah panas (UHI) setiap tahun diperkirakan mencapai 12.606
ha atau sekitar 4,47 %. Hal itu, dipicu oleh pertumbuhan kawasan terbangun yang
mencapai 1.029 ha atau 0,36 %/tahun di kota-kota besar seperti Surabaya,
Semarang, dan Bandung. Tursilowati (2007) mengklasifikasikan dari data satelit
landsat bahwa dengan pasti terjadinya pengurangan kawasan vegetasi atau hutan
di Bandung yang luas lahan hijaunnya berkurang 3.932 ha atau 1,4 %/tahun.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahunnya, maka
kebutuhan akan lahan terbangun pun semakin meningkat. Pada akhir tahun 2008
penduduk Kabupaten Bandung tercatat sebanyak 2.921.696 jiwa dengan rata-rata
laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,03% per tahun (BPS 2009). Kebutuhan
akan lahan terbangun untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia mengakibatkan
konversi tipe penutupan lahan, sehingga ruang terbuka hijau yang terdapat pada
suatu wilayah di Kabupaten Bandung mengalami penurunan. Dampak dari
menurunnya luasan ruang terbuka hijau yaitu meningkatnya suhu udara dan
menurunnya kelembaban pada suatu wilayah.
Menurut Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30
% dari luas wilayah kota. Berkurangnya luasan hutan atau RTH akibat perubahan
penggunaan lahan menjadi permukiman, industri, sarana transportasi akan
mengakibatkan berkurangnya keindahan dan kenyamanan kota, sehingga suhu
kota menjadi naik dan lingkungan menjadi tidak nyaman. Kondisi lingkungan
dilakukannya identifikasi wilayah kecamatan tertentu di Kabupaten Bandung
sebagai prioritas pengembangan RTH.
Ruang Terbuka Hijau (RTH), termasuk jalur hijau, taman kota, dan hutan
kota memegang peran penting dalam pembangunan perkotaan, terutama terkait
dalam merancang masa depan perkotaan. Pengembangan RTH merupakan salah
satu cara yang digunakan dalam rangka menjaga keseimbangan iklim mikro dan
mengatasi menurunnya kualitas lingkungan. Keberadaan RTH ini memberikan
dampak terhadap penurunan suhu udara, peningkatan kelembaban dan suasana
kota menjadi lebih nyaman.
Penggunaan data penginderaan jauh memungkinkan untuk mendapatkan
data spasial yang akurat dan cepat dalam waktu yang relatif singkat. Pemetaan
suhu, kelembaban dan THI dilakukan untuk pengembangan ruang terbuka hijau di
Kabupaten Bandung, sehingga didapatkan data-data dan informasi yang
bermanfaat untuk merumuskan program dan kebijakan lingkungan bagi
pemerintahan daerah dalam suatu kawasan.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengidentifikasi distribusi spasial suhu permukaan pada beberapa tipe
penutupan lahan, NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan kaitannya dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
2. Pemetaan distribusi THI (Temperature Humidity Index) atau indeks kenyamanan di Kabupaten Bandung.
3. Pengembangan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kabupaten
Bandung berdasarkan distribusi suhu permukaan dan THI.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan untuk pengelolaan dan pengaturan tata ruang
Kabupaten Bandung, serta sebagai bahan masukan untuk dasar kebijakan dalam
pengambilan keputusan pemerintah mengenai pembangunan wilayah Kabupaten
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penutupan Lahan
Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap
obyek-obyek tersebut, sedangkan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer
1990). Menurut Burley (1961) dalamLo (1995) menggambarkan penutupan lahan
sebagai konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan.
Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan
jauh.
Perubahan penutupan lahan merupakan suatu keadaan yang karena manusia
mengalami perubahan pada waktu yang berbeda (Lillesand dan Kiefer 1979).
Deteksi perubahan lahan mencakup penggunaan fotografi udara berurutan di
wilayah tertentu dan dari data tersebut penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat
dipetakan dan dibandingkan.
2.1.1 Ruang terbuka hijau
Ruang Terbuka Hijau (RTH) memegang peran penting dalam
pembangunan perkotaan, terutama terkait dengan merancang masa depan
perkotaan. RTH memiliki fungsi beragam, baik dari segi ekologi, ekonomi, dan
sosial, seperti menjaga iklim atau temperatur, wahana rekreasi, dan menghasilkan
tanaman produktif. Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, mengartikan ruang terbuka hijau merupakan area memanjang
atau jalur dan atau mengelompok yang penggunaanya bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh alami ataupun secara sengaja.
Komponen-komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi
penting, vegetasi serta intensitas manajemennya dalam Rencana Umum Tata
1. Taman
Memiliki fungsi utama menghasilkan oksigen, sehingga tanaman yang
dipilih untuk dibudidayakan adalah tanaman yang dapat menghasilkan
oksigen tinggi.
2. Jalur Hijau
Pada jalur ini termasuk pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di
sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir.
3. Kebun dan Pekarangan
Pada kebun dan pekarangan ini hendaknya ditanam dengan jenis tanaman
yang dapat mendukung lingkungan kota yang nyaman.
4. Hutan
5. Tempat-tempat rekreasi
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah
kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi
ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas
wilayah kota. Menurut Simonds (1983) dalam Wijayanti (2003), RTH di
perkotaan memiliki fungsi yaitu: penjaga kualitas lingkungan, penyumbang ruang
bernafas yang segar dan keindahan visual, sebagai paru-paru kota, penyangga
sumber air dalam kota, mencegah erosi dan sarana pendidikan.
Dalam INMENDAGRI No.14 Tahun 1988 adapun manfaat RTH, yaitu:
1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan
penyangga kehidupan.
2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan
kehidupan lingkungan.
3. Sebagai sarana rekreasi.
4. Sebagai pengaman lingkungan perkotaan terhadap berbagai macam
pencemaran.
5. Sebagai sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan.
6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.
7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro.
6
2.1.2 Hutan kota
Menurut Dahlan (2004), hutan kota merupakan suatu lahan yang
bertumbuhan pepohonan di dalam wilayah perkotaan pada tanah negara maupun
tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan
tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan
luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohon-pohonan, serta areal
tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai hutan kota. Fakuara (1987)
dalam Dahlan (1992), mendefinisikan hutan kota adalah tumbuhan atau vegetasi
berkayu di perkotaan yang bermanfaat sebesar-besarnya bagi lingkungan dalam
kegunaan proteksi, estetika, rekreasi, dan kegunaan khusus lainnya. Hutan kota
merupakan bagian dari program RTH, yaitu ruang-ruang dalam kota atau wilayah
yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun memanjang atau jalur dan
dalam penggunaannya bersifat terbuka tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam
Negeri No.14 Tahun 1988).
Hutan kota memiliki peranan, yaitu sebagai identitas kota, pelestarian
plasma nutfah, penahan dan penyaring partikel padat dari udara, penyerap dan
penjerap partikel timbal, penyerap dan penjerap debus semen, peredam
kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, penyerap karbon monoksida,
penyerap karbondioksida dan penghasil oksigen, penahan angin, penyerap dan
penapis bau, mengatasi penggenangan, mengatasi intrusi air laut, produksi
terbatas, ameriolasi iklim, pengelolaan sampah, pelestarian air tanah, penapis
cahaya silau, meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stres,
mengamankan pantai terhadap abrasi, meningkatkan industri pariwisata, sebagai
hobi dan pengisi waktu luang (Dahlan 1992).
2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian,
keselarasan dan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung, dimensi
waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan. Perencanaan
tersebut meliputi aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi
perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah,
tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya.
Menurut PP No. 3 Tahun 2009 tentang Petunjuk Operasional Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten menerangkan bahwa Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten merupakan rencana tata ruang administratif
Kota/Kabupaten yang merupakan penjabaran dari RTRW Propinsi yang meliputi
tujuan pemanfaatan ruang, rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang, rencana
umum tata ruang Kota/Kabupaten dan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah Kota/Kabupaten. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWKN)
adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara (UU No.
26 Tahun 2007 dan PP No. 26 Tahun 2008).
2.3 Suhu dan Kelembaban
Suhu merupakan energi kinetik rata-rata dari gerakan molekul-molekul
(Handoko 1993). Heat island merupakan suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu terbuka di sekitarnya baik di desa
maupun pinggir kota (Adiningsih et al 2001 dalam Wardhana 2003). Pada umumnya suhu udara tertinggi berada di pusat kota akan menurun secara bertahap
ke arah pinggir kota sampai ke desa.
Menurut Lowry dalam Griffith (1976) ; Wardhana (2003), perbedaan suhu udara antara perkotaan dengan pedesaan disebabkan oleh lima sifat fisik
permukaan bumi, yaitu:
1. Bahan Penutup Permukaan
Perkotaan memiliki permukaan yang terdiri dari beton dan semen yang
konduktivitas kalornya sekitar tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan
tanah berpasir yang basah. Hal ini menyebabkan permukaan kota
menerima dan menyimpan energi lebih banyak daripada pedesaan.
2. Bentuk dan Orientasi Permukaan
Bentuk dan orientasi permukaan kota lebih bervariasi dari pada daerah
pinggir kota atau pedesaan, sehingga energi matahari yang datang
dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa kali penyerapan
8
mengubah pola aliran udara yang bertindak sebagai perombak dan
meningkatkan turbulensi.
3. Sumber Kelembaban
Di perkotaan air hujan cenderung menjadi aliran permukaan, akibat
adanya permukaan semen,parit, selokan, dan pipa-pipa saluran drainase.
Di daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah
sehingga cadangan air untuk penguapan dapat menyejukkan udara. Air
menyerap panas lebih banyak sebelum suhu menjadi naik 10C dan
memerlukan waktu yang lama untuk melepaskannya.
4. Sumber Kalor
Bertambahnya sumber kalor akibat dari aktivitas dan panas metabolisme
penduduk diakibatkan oleh kepadatan penduduk kota yang semakin tinggi.
5. Kualitas Udara
Udara di perkotaan mengandung banyak bahan-bahan pencemar yang
berasal dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor sehingga
mengakibatkan kualitas udaranya menjadi lebih buruk bila dibandingkan
kualitas udara di pedesaan. Banyaknya bangunan-bangunan bertingkat dan
tingkat pencemaran yang tinggi di perkotaan dapat menyebabkan timbul
kubah debu (dust home), yaitu selubung polutan yang menyelimuti kota. Hal ini disebabkan pola sirkulasi atmosfir di atas kota yang unik dan
mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu yang tajam antara perkotaan
dengan daerah di sekitanya.
Kelembaban udara mengambarkan kandungan uap air yang berada di
udara (Handoko 1993). Kartasapoetra (2008) menjelaskan bahwa kelembaban
adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Keadaan kelembaban di atas
permukaan bumi berbeda-beda. Kelembaban udara yang lebih tinggi pada udara
dekat permukaan pada siang hari disebabkan karena penambahan uap air hasil
evapotranspirasi dari permukaan. Proses ini berlangsung karena permukaan tanah
menyerap radiasi selama siang hari tersebut. Pada malam hari akan berlangsung
proses kondensasi atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal
dari udara. Oleh karena itu kandungan uap air di udara dekat permukaan tersebut
2.4 Temperature Humidity Index (THI)
Temperature Humidity Index atau dikenal juga dengan indeks kelembaban panas merupakan metode yang digunakan untuk mengkaji tingkat kenyamanan di
suatu daerah. Metode ini menghasilkan suatu indeks untuk menetapkan efek dari
kondisi panas pada kenyamanan manusia yang mengkombinasikan suhu dan
kelembaban (Encyclopedia 2003). Beberapa ahli telah berusaha untuk
menyatakan pengaruh parameter-parameter iklim terhadap kenyamanan manusia
dengan bantuan persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter iklim.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Mulyana, et al (2003), didapatkan bahwa indeks kenyamanan pada suatu kondisi yang nyaman berkisar dengan nilai THI
20-26.
2.5 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
Hung (2000) menjelaskan bahwa nilai NDVI menggambarkan tingkat
kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status
(kesehatan, kerapatan) vegetasi pada suatu wilayah namun tidak berhubungan
langsung dengan ketersediaan air tanah pada wilayah tersebut. Estimasi NDVI
dengan basis data satelit merupakan perhitungan kanal cahaya tampak dan
inframerah dekat. Pigmen pada daun, klorofil, menyerap gelombang cahaya tampak (0,4 μm sampai 0,7 μm), dan struktur sel daun memantulkan gelombang inframerah dekat (0,7 μm sampai 1,1 μm).
2.6 Pendugaan Suhu dengan Citra Satelit Landsat
Lillesand dan Kiefer (1990) menyatakan bahwa pengukuran suhu biasanya
meliputi penempatan instrumen pengukur yang bersentuhan dengan atau
terbenamkan dalam badan yang diukur suhunya (suhu kinetik). Suhu kinetik
merupakan ungkapan “internal” terjemahan tenaga rata-rata molekul yang
menyusun tubuh. Disamping ungkapan internal, objek memancarkan tenaga
10
Kenampakan permukaan bumi memancarkan radiasi terutama pada gelombang
inframerah termal.
Lillesand (1997) mengemukakan bahwa penginderaan jauh thermal
menjelaskan secara ringkas kemungkinan untuk memperoleh, menggambarkan
dan menginterpretasikan keadaan panas dipermukaan bumi. Pendefinisian energi
thermal sering mengacu kepada energi yang dipancarkan dari permukaan bumi. Berdasarkan sumber energi radiasi dari matahari, panjang gelombang dipancarkan
dari energi matahari lebih pendek daripada gelombang panjang dari permukaan
bumi. Lillesand (1997) juga menjelaskan bahwa radiasi matahari memberikan
energi maksimumnya pada kisaran spektral tampak (0,3-0,7 μm). Sedangkan untuk permukaan bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9,7 μm yang merupakan kisaran radiasi infrared. Maka, penginderaan jauh thermal banyak dilakukan pada daerah spektrum antara 8-14 μm.
Setiap pengurangan 50% RTH akan menyebabkan peningkatan suhu udara
sebesar 0,4 °C hingga 1,8 0C sedangan penambahan RTH 50% hanya menurunkan
suhu udara sebesar 0,2 0C hingga 0,5 0C. Hal ini membuktikan arti pentingnya
mempertahankan RTH. Pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan
peningkatan ataupun penurunan suhu udara dengan besaran berbeda dengan akan
mengakibatkan (Effendy 2001).
Berdasarkan penelitian Maulida (2008) mengenai perubahan lahan dan
suhu permukaan di kota Bandung didapatkan sebaran suhu permukaan di kota
Bandung berbentuk mengelompok yaitu di daerah ruralmeliputi selang suhu ≥14 0
C sampai dengan selang <22 0C, daerah sub urban meliputi selang suhu ≥22 0C hingga <25 0C, sedangkan daerah urbanmeliputi selang suhu ≥26 0C hingga ≥31
0
C, berdasarkan korelasi antara NDVI dengan suhu permukaan serta estimasi band
6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 1997, 2002 dan 2006.
Penelitian Waluyo (2009) mengenai distribusi suhu permukaan di kota
Semarang berdasarkan korelasi antara NDVI dengan suhu permukaan serta
estimasi band 6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 2001-2006
mempunyai nilai suhu antara ≥20 0
menggunakan data landsat 1994 dan 2002 didapatkan bahwa di Semarang
terdapat daerah dengan suhu 17 0C-28 0C mengalami penurunan luas, dan daerah
dengan suhu 29 0C-37 0C mengalami penambahan luas, sehingga disimpulkan
Kota Semarang telah terjadi peningkatan suhu udara akibat adanya perubahan
lahan dari lahan bervegetasi menjadi non vegetasi.
Penelitian Wardhana (2003) mengenai pengukuran suhu udara di Kota
Bogor, berdasarkan estimasi dari band 7 yang telah dikorelasikan dengan data
suhu stasiun permukaan menghasilkan model regresi umum untuk kasus kota
Bogor tahun 2001 didapatkan suhu tertinggi adalah kelas penutupan lahan industri
dan pemukiman yaitu 27 0C-29 0C. Sedangkan hasil penelitian Khusaini (2008)
didaptkan bahwa secara umum di Kota Bogor tipe penutupan lahan yang
mengalami perluasan yang paling banyak adalah tipe pemukiman, sejalan dengan
meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa semakin
besar luas pemukiman, maka suhu semakin meningkat.
2.7 Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Suhu Udara
Berdasarkan undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi RTHpada wilayah kota paling sedikit
30% dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau
publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Ruang terbuka
hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam
bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur. dengan
perbandingan unsur tanaman yang lebih luas dan memiliki fungsi utama sebagai
perlindungan kawasan sekitarnya. Zulkarnain (2006) menyatakan bahwa RTH
memiliki manfaat yaitu memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan,
12
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli – November 2010 di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, meliputi 13 kecamatan di wilayah tersebut. Pengolahan
data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Gambar 1 Peta administrasi Kabupaten Bandung.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
yang dilengkapi dengan paket Sistem Informasi Geografis (perangkat keras dan
lunak) dengan softwareErdas Imagine 9.1, ArcGIS 9.3, DNR Garmin 5.4.1, SPSS 15, dan Microsoft Office 2007. Alat yang digunakan di lapangan meliputi Global Positioning System (GPS), kamera digital dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra Landsat ETM
peta administrasi Kabupaten Bandung dan data statistik Kabupaten Bandung yang
diperoleh dari BAPPEDA Kabupaten Bandung, peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
dari Badan Planologi Kehutanan dan Data Klimatologi berupa suhu minimum,
suhu maksimum, suhu rata-rata dan kelembaban relatif rata-rata Kabupaten
Bandung yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) Kelas I Bogor.
3.3 Metode Penelitian
Data citra diproses dan dianalisis agar didapatkan informasi yang
dibutuhkan, sehingga dilakukan tahapan pemrosesan citra landsat, yaitu:
1. Pemulihan citra (Image Restoring)
Terdapat perubahan yang dialami oleh citra pada saat pengambilan citra oleh
satelit, sehingga dilakukan perbaikan radiometrik dan geometrik. Perbaikan
radiometrik bertujuan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang
disebabkan oleh gangguan atmosfer ataupun kesalahan sensor. Perbaikan
geometrik dapat dilakukan dengan mengambil titik-titik ikat di lapangan atau
menggunakan citra yang telah terkoreksi.
2. Penajman citra (Image Enhancment)
Penajaman citra dilakukan agar suau objek pada citra terlihat lebih tajam dan
kontras, sehingga dapat memudahkan interpretasi secara visual.
3. Pemotongan (subset) wilayah kajian
Pemotongan citra dilakukan sesuai dengan lokasi penelitian yang telah
ditentukan berdasarkan pada batas administrasi wilayah Kabupaten Bandung.
Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah yang menjadi objek
penelitian. Citra yang terkoreksi dipotong menggunakan Area of Interest
(AOI). Citra satelit landsat yang digunakan path/row : 122/065 tahun 2001 dan 2009.
4. Survey lapangan
Survey lapangan bertujuan untuk mengetahui kondisi lapangan dan perubahan
penutupan lahan. Pengambilan titik kontrol dilakukan tidak secara
menyeluruh, melainkan hanya beberapa tempat saja yang dianggap dapat
14
survey yang mewakili masing-masing kelas penutupan lahan, diambil titik
koodinatnya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) untuk diverifikasikan dengan data citra.
5. Klasifikasi tutupan lahan
Interpretasi citra Landsat ETM+ dilakukan dengan melihat karakteristik dasar
kenampakan masing-masing penggunaan/penutupan lahan pada citra yang
dibantu dengan unsur-unsur interpretasi (Avery, 1992; Lillesand dan Kiefer,
1997). Klasifikasi citra diperlukan untuk mengetahui sebaran dan luas tipe
penutupan lahan di wilayah studi. Klasifikasi citra yang digunakan
menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) yaitu melalui proses pemilihan kategori informasi atau kelas yang diinginkan, yang
selanjutnya memilih training area yang mewakili tiap kelas atau kategori untuk penentuan posisi contoh di lapangan dengan bantuan citra warna
komposit dan peta penutupan lahan untuk setiap kelas penutupan lahan yang
dibantu dengan data pengecekan lapang.
Tahapan yang dilakukan dalam klasifikasi terbimbing menggunakan
software Erdas Imagine 9.1 antarlain:
a. Pengenalan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan
berpedoman pada titik kontrol yang diambil pada lokasi penelitian
menggunkan GPS.
b. Pemilihan daerah (area of interest) yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan berdasarkan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh
citra.
c. Proses klasifikasi citra yang dilakukan secara otomatis oleh komputer
berdasarkan pola-pola spektral yang telah ditetapkan pada saat proses
pemilihan daerah. Klasifikasi citra pada wilayah penelitian meliputi:
vegetasi rapat, vegetasi jarang, sawah, semak, lahan terbangun, lahan
terbuka, awan dan bayangan awan.
d. Menggabungkan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang
sama (recode).
e. Citra hasil klasifikasi dikoreksi dengan membandingkannya dengan citra
T =
6. Estimasi suhu
Pengestimasian nilai suhu permukaan menggunakan software Erdas Imagine 9.1, kemudian dibangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk mengkonversi nilai – nilai pixel pada landsat 5 TM dan band 6. Hal yang perlu diperhatikan adalah nilai DN (Digital Number) untuk dilakukan konversi menjadi nilai radiasi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi nilai radiasi (USGS 2002).
Radiasi = gain x DN (digital number) + offset
Nilai gain sebesar 0,05518, digital number adalah dengan band 6 dan nilai
offset sebesar 1,2378. Konversi band 6 pada Landsat 5 TM dan 7 ETM kemudan dilakukan untuk mengetahui suhu permukaan (USGS 2002):
3.4 Korelasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu
NDVI merupakan salah satu cara yang efektif dan sederhana untuk
mengidentifikasikan kondisi vegetasi di suatu wilayah, dan metode ini cukup
berguna dan sudah sering digunakan dalam menghitung indeks kanopi tanaman
hijau pada data multispectral penginderaan jauh. Secara defenisi matematis,
dengan menggunakan NDVI, maka suatu wilayah dengan kondisi vegetasi yang
rapat akan memiliki nilai NDVI yang positif. Nilai NDVI perairan bebas akan
cenderung bernilai negatif.
NDVI pada dasarnya adalah menghitung seberapa besar penyerapan
radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Tumbuhan hijau menyerap
radiasi matahari pada bagian photosynthetically active radiation (PAR). Nilai NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal inframerah dekat dan kanal
cahaya tampak (merah). Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai +1, yang artinya
bahwa jika wilayah tersebut semakin hijau rapat suatu vegetasi, maka nilai NDVI
semakin besar. Nilai NDVI semakin kecil jika berada pada suatu wilayah yang
jarang atau tidak ada vegetasi. Persamaan untuk menghitung NDVI adalah NDVI Keterangan : T : Suhu Efektif (K)
16
y = a + bx
= (NIR – VIS)/(NIR+VIS), dengan NIR merupakan Reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared (kanal 2) dan VIS merupakan Reflektansi kanal cahaya tampak/infrared (kanal 2).
Analisis korelasi dan regresi dilakukan untuk memperoleh tingkat
hubungan antara NDVI dengan suhu ditentukan dengan bentuk persamaan yang
akan dicoba adalah regresi linier sederhana antara NDVI sebagai variabel bebas X
dan suhu permukaan sebagai variabel tak bebas y dengan persamaan umum
adalah y = b0 + b1*x. Besarnya nilai b1 yang negatif akan menentukan berapa
besarnya pengurangan nilai x yang dapat meningkatkan nilai y.
3.5 Estimasi Kelembaban Udara Relatif (RH)
Data kelembaban didapatkan dari stasiun BMKG Kelas I Dramaga Bogor
dan pengukuran langsung yang dilakukan Rushayati (2010) pada beberapa tipe
penutupan lahan. Estimasi nilai kelembaban berdasarkan hasil regresi antara suhu
rata-rata dan kelembaban rata-rata di Kabupaten Bandung. Regresi sederhana
yang didapatkan, yaitu :
Berdasarkan rumus regresi sederhana, y merupakan kelembaban variabel
terikat, sedangkan x merupakan variabel bebas. Nilai DN dari suhu permukaan
digunakan sebagai nilai x untuk penentuan wilayah sebaran kelembaban. Hasil
regresi yang didapatkan dimasukkan ke dalam software Erdas Imangine, sehingga
didapatkan peta sebaran kelembaban.
3.6 Penentuan Temperature Humidity Index (THI)
Penentuan indeks kenyamanan atau THI dapat ditentukan dari nilai suhu
udara (0C) dan kelembaban (RH) dengan menggunakan persamaan Nieuwolt,
1975 dalam D. Murdiyarso dan H. Suharsono, 1992, yaitu:
Keterangan : T a : Suhu Udara (
o
3.7Rekomendasi Pengembangan RTH Berdasarkan Pengelompokkan Klasifikasi Suhu
Berdasarkan hasil perhitungan indeks kenyamanan atau THI didapatkan
proposi RTH suatu wilayah. Peta penutupan lahan dan peta administrasi wilayah
di overlay dengan peta sebaran suhu, yang kemudian dikelompokkan berdasarkan kelas suhu dan THI. Dari data tersebut dapat diketahui sebaran suhu pada suatu
daerah, dan dapat diidentifikasi daerah mana saja yang memiliki suhu permukaan
yang tinggi, rendah, ataupun sedang, sehingga dapat direkomendasikan ruang
18
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1Letak Geografis
Kabupaten Bandung merupakan kabupaten yang berada di Provinsi Jawa
Barat, Indonesia. Daerah ini memiliki ibukota yaitu Soreang. Secara geografis
letak Kabupaten Bandung berada pada posisi 107° 22’ –108° 5’ Bujur Timur dan
6° 41’ –7° 19’ Lintang Selatan. Luas Kabupaten Bandung adalah 176.238,67 ha.
Kabupaten Bandung memiliki batas-batas wilayah administrasi sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung dan Kota
Cimahi.
Sebelah Timur : Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut.
Sebelah Selatan : Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur dan di bagian
tengah terletak kota Bandung dan kota Cimahi.
Sebelah Barat : Kabupaten Bandung Barat.
Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 267 desa dan sembilan
kelurahan. Pada akhir tahun 2008 jumlah penduduk Kabupaten Bandung
mencapai 2.921.696 jiwa.
4.2Kondisi Fisik Lingkungan 4.2.1Topografi
Kabupaten Bandung sebagian besar merupakan pegunungan atau daerah
perbukitan dengan ketinggian diatas permukaan laut bervariasi dari 500 – 1.800 m dpl. Kabupaten Bandung terdiri dari wilayah datar/landai, kaki bukit, dan
pegunungan dengan kemiringan lereng beragam antara 0 – 8%, 8% - 15% hingga >45%. Sebagian besar wilayah Bandung adalah pegunungan. Di antara
puncak-puncaknya adalah: Sebelah utara terdapat Gunung Bukittunggul (2.200 m),
Gunung Tangkubanperahu (2.076 m) (Wilayah KBB) di perbatasan dengan
Kabupaten Purwakarta. Di daerah selatan terdapat Gunung Patuha (2.334 m),
Gunung Malabar (2.321 m), serta Gunung Papandayan (2.262 m) dan Gunung
4.2.2Klimatologi
Kabupaten Bandung berada di dataran tinggi atau pegunungan sehingga
menjadikan suhu udara di kabupaten ini menjadi sejuk, yaitu berkisar antara 12 0C – 24 0C. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim muson dengan curah hujan rata-rata antara 1.500 mm sampai dengan 4.000 mm per
tahun. Berdasarkan klasifikasi iklim Koppen, Kabupaten Bandung termasuk pada
tipe iklim tropika basah. Menurut klasifikasi iklim Schmidt and Ferguson,
Kabupaten Bandung termasuk kedalam tipe iklim C. Kabupaten Bandung
memiliki suhu rataan tahunan sebesar 23,4 0C, dengan suhu rataan bulanan
terendah 22,9 0C pada bulan Februari dan tertinggi sebesar 24,4 0C pada bulan
November.
4.2.3 Geologi
Keadaan geologis dan tanah terbentuk pada zaman kwartier dan
mempunyai lapisan tanah alluvial hasil letusan Gunung Tangkuban Perahu. Jenis
material tanah bagian utara berjenis andosol, sedangkan bagian selatan dan timur
terdiri dari sebaran jenis alluvial kelabu dan bahan endapan tanah liat, serat bagian
tengah dan barat berjenis andosol.
4.3 Keadaan Penduduk
Pada akhir tahun 2007, berdasarkan hasil rekapitulasi data jumlah
penduduk Kabupaten Bandung tercatat sebanyak 2.902.129 jiwa. Akhir tahun
2008, jumlah penduduk Kabupaten Bandung menjadi 2.921.696 jiwa dengan laju
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1Penutupan Lahan Kabupaten Bandung
Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap
obyek-obyek tersebut. Pengertian selanjutnya untuk penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu (Lillesand &
Kiefer 1990). Burley (1961) dalam Lo (1995) yang menggambarkan penutupan
lahan sebagai konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan.
Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan
jauh. Secara umum terdapat tiga kelas data yang mencakup dalam penutupan
lahan, yaitu:
1. Struktur fisik yang dibangun oleh manusia.
2. Fenomena biotik vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang.
3. Tipe-tipe pembangunan.
Menurut Lo (1995) satu faktor penting yang menentukan kesuksesan
dalam pemetaan penggunaan dan penutupan lahan, terletak pada pemilihan skema
klasifikasi yang tepat untuk suatu tujuan tertentu. Adapun sistem klasifikasi
penggunaan dan penutupan lahan menurut United State Geological Survey
(USGS) memiliki kriteria sebagai berikut: (1) tingkat ketelitian interpretasi
minimum dengan menggunakan penginderaan jauh tidak kurang dari 85%, (2)
ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama, (3) hasil
yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari penafsir yang satu ke yang lain dan
dari satu saat penginderaan ke saat yang lain, (4) sistem klasifikasi harus dapat
diterapkan untuk daerah yang luas, (5) kategori harus memungkinkan penggunaan
lahan ditafsir dari tipe penutup lahnnya, (6) sistem klasifikasi harus dapat
digunakan dengan data penginderaan jauh yang diperoleh pada waktu yang
berbeda, (7) kategori harus dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci
yang dapat diperoleh dari citra skala besar atau survey lapangan, (8)
pengelompokkan kategori harus dapat dilakukan, (9) harus dapat dimungkinkan
pada masa yang akan datang, dan (10) lahan multiguna harus dapat dikenali bila
mungkin.
Interpretasi dan analisis citra dilakukan menggunakan Landsat 7 ETM
path/row 122/065 pada 12 Mei 2001 dan 6 Agustus 2009 yang disubset dengan wilayah administrasi Kabupaten Bandung, sehingga didapatkan hasil interpetasi
citra landsat wilayah penelitian di Kabupaten Bandung melalui klasifikasi
terbimbing dengan luas total penutupan lahan sebesar 68.064,21 ha, yaitu dengan
klasifikasi penutupan lahan sebagai berikut:
1. Vegetasi rapat
Tipe penutupan lahan untuk vegetasi rapat di lokasi penelitian berupa
hutan alam dan hutan tanaman. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM
tahun 2001 dan 2009, kelas ini berwarna hijau tua/gelap. dan untuk proses
klasifikasinya dicirikan dengan warna hijau tua. Gambar 2 merupakan tipe
penutupan lahan berupa vegetasi rapat di Kecamatan Ciwidey.
Gambar 2 Hutan di Kecamatan Ciwidey.
2. Vegetasi jarang
Tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang pada lokasi peneltian berupa
kebun campur, kebun/perkebunan, taman, dan jalur hijau. Berdasarkan hasil
interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009, kelas ini berwarna hijau
muda. Pengklasifikasian penutupan lahan ini digunakan warna yang sama yaitu
hijau muda. Tipe penutupan vegetasi jarang berupa perkebunan teh di Situ
Patenggang dapat dilihat pada Gambar 3.
22
Gambar 3 Perkebunan teh di Situ Patenggang.
3. Lahan terbangun
Tipe penutupan lahan terbangun ini berupa pasar atau pertokoan, jalan
raya, permukiman, industri dan perkantoran. Pada hasil interpretasi citra landsat 7
ETM tahun 2001 dan 2009, tipe penutupan lahan ini berwarna merah sampai ungu
gelap dan pada proses klasifikasi dicirikan dengan warna merah. Tipe penutupan
lahan berupa lahan terbangun dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Pertokoaan/pasar di Kopo Sayati.
4. Lahan terbuka
Lahan terbuka dalam tipe penutupan lahan ini merupakan areal proyek
pembangunan yang awalnya merupakan areal yang bervegetasi dan berupa lahan
kosong yang tidak bervegetasi yang tidak dimanfaatkan. Gambar 5 merupakan
gambar tipe penutupan lahan berupa lahan terbuka di Kecamatan Pasirjambu.
Pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009, penutupan lahan terbuka ini
berwarna merah muda. Proses klasifikasi lahan terbuka ini dicirikan dengan warna
ungu.
Septa Febrina-Vegetasi jarang di Situ Patenggang
Gambar 5 Lahan terbuka di Kecamatan Pasirjambu.
5. Sawah
Sawah dapat berupa sawah yang beririgasi dan sawah tadah hujan. Tipe
penutupan sawah pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009 untuk wilayah
penelitian di Kabupaten Bandung dicirikan dengan warna biru keunguan,
sedangkan pada proses pengklasifikasiannya diberi warna biru tua. Pada Gambar
6 merupakan tipe penutupan lahan berupa sawah di Kecamatan Soreang.
Gambar 6 Sawah di Kecamatan Soreang.
6. Semak
Tipe penutupan lahan ini berupa semak belukar dan padang rumput. Tipe
penutupan lahan berupa semak di Kecamatan Baleendah dapat dilihat pada
Gambar 7. Pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2009 dicirikan dengan warna
kuning, sedangkan pada pengklasifikasian pun dicirikan dengan warna kuning.
Septa Febrina-Areal terbuka di Kec.Pasirjambu
24
Gambar 7 Semak belukar di Kecamatan Baleendah.
7. Badan air
Badan air pada Kabupaten Bandung berupa sungai dan danau. Sungai
biasanya berbentuk panjang dan berkelok-kelok, sedangkan danau biasanya relatif
besar dan lebih terlihat jelas pada citra. Pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan
2009 dicirikan dengan warna biru tua dan pada proses pengklasifikaannya juga
diberi warna biru tua. Gambar 8 merupakan gambar badan air berupa sungai di
Kecamatan Pasirjambu.
Gambar 8 Sungai di Kecamatan Pasirjambu.
8. Tidak ada data
Tipe tidak ada data ini berupa awan dan bayangan awan. Pada tipe kelas
ini dipengaruhi oleh kondisi cuaca pada saat pengambilan citra. Awan
dipengaruhi oleh iklim lokal, tetapi kondisi tersebut tidak menjadi patokan karena
kawasan di Indonesia memiliki penutupan awan yang cukup tinggi (Nurcahyono
2003). Tipe penampakan bayangan awan terbentuk karena adanya awan (Waluyo
2009). Pada tipe tidak ada data ini juga berupa stripping (bergaris). Hal ini terjadi karena setelah tahun 2003 satelit perekaman citra mengalami kerusakan, sehingga
Septa Febrina-Semak belukar di Kec. Baleendah
citra landsat yang didapatkan pada tahun 2009 mengalami stripping. Hasil dan luasan agar diperoleh nilai yang sama, maka citra landsat tahun 2001 diberi
perlakuan dengan menyamakan data stripping dengan tahun 2009. Luas wilayah tidak ada data ini sebesar 149.339,52 ha. Pada citra landsat 7 ETM tahun 2001
dan 2009, awan, bayangan awan dan stripping berturut-turut berwarna putih, hitam dan hitam. Hasil pengklasifikasiaan untuk kelas tidak ada data dicirikan
dengan warna putih.
5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001 dan 2009
Berdasarkan klasifikasi citra landsat 7 ETM pada tahun 2001, didapatkan
klasifikasi penutupan lahan lokasi penelitian di Kabupaten Bandung dapat dilihat
pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1 Luas penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2001
No Tutupan Lahan Luas
Hektar (ha) Persen (%)
1 Vegetasi rapat 28.245,69 12,99
2 Lahan terbangun 18.183,42 8,36
3 Lahan terbuka 8.219,61 3,78
4 Vegetasi jarang 6.397,83 2,94
5 Sawah 3.494,79 1,61
6 Semak 1.849,41 0,85
7 Badan air 1.673,46 0,77
8 Tidak ada data 149.339,52 68,69
Total 217.403,73 100,00
Analisis hasil uji akurasi yang telah dilakukan untuk citra landsat 7 ETM
dengan tanggal akuisisi 12 Mei 2001, didapatkan nilai akurasi Overall Classification Accuracy sebesar 81,03% dan Overall Kappa Statistics 72,10%.
Badan Survey Seologi Amerika Serikat (USGS) menetapkan tingkat ketelitian
interpretasi minimum tidak kurang dari 85% dan ketelitian untuk beberapa
kategori kurang lebih sama. Hasil uji akurasi kappa yang didapatkan adalah
kurang dari 85%. Hal ini dapat disebabkan karena titik GPS yang diperoleh
kurang banyak dan tidak semua tersebar secara merata pada daerah penelitian,
serta perbedaan waktu antara waktu pengambilan citra dengan pengambilan titik
di lapangan. Hal ini juga berarti bahwa terjadi perubahan penutupan lahan yang
cukup banyak yang terjadi pada kurun waktu tahun 2001 sampai dengan tahun
26
Berdasarkan Tabel 1, tipe penutupan Kabupaten Bandung diklasifikasikan
menjadi delapan tipe penutupan lahan. Tipe penutupan lahan terluas pada lokasi
penelitian di Kabupaten Bandung adalah kelas tidak ada data sebesar 149.339,52
ha atau sebesar 68,69% dari luas wilayah keseluruhan. Hal ini disebabkan karena
adanya awan dan bayangan awan yang menutupi tutupan lahan yang ada
dibawahnya, serta karena citra landsat yang digunakan berbentuk stripping. Vegetasi rapat merupakan tipe penutupan lahan terluas pada lokasi
penelitian di Kabupaten Bandung. Luasan vegetasi rapat pada lokasi penelitian di
Kabupaten Bandung sebesar 28.245,69 ha (12,99%). Tipe penutupan lahan ini
berupa hutan yang masih banyak dan cukup luas, terutama pada pinggiran
Kecamatan Ciwidey, Pasirjambu dan sebelah selatan dan timur Pangalengan.
Kecamatan Pasirjambu memiliki vegetasi rapat yang terluas di lokasi penelitian
yaitu sebesar 118.89,72 ha atau 41,96%. Kecamatan lainnya yang memiliki
vegetasi rapat yang cukup luas adalah Kecamatan Ciwidey dan Pangalengan
berturut-turut adalah 7.416,27 ha atau sebesar 26,17% dan 6.343,56 ha atau
sebesar 22,35%, sedangkan Kecamatan Margahayu tidak memiliki vegetasi rapat
di wilayahnya. Kecamatan lainnya memiliki luas vegetasi rapat kurang dari
sekitar 1 ha sampai dengan kurang dari 1.000 ha per kecamatan.
Lahan terbangun merupakan tipe penutupan lahan yang memiliki luas
wilayah yang luas setelah vegetasi rapat yaitu sebesar 18.183,42 ha atau 8,36%
dari luas lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Tipe penutupan lahan ini
menyebar pada seluruh wilayah lokasi dan menyebar paling banyak di bagian
utara Kabupaten Bandung, karena pada wilayah ini berbatasan langsung dengan
pusat Kota Bandung. Kecamatan Pangalengan merupakan wilayah yang memiliki
lahan terbangun paling luas diantara wilayah lainnya yaitu sebesar 3.452,67 ha
atau sebesar 18,85% dari luasan lahan terbangun di lokasi penelitian Kabupaten
Bandung. Kecamatan lainnya yang memiliki lahan terbangun yang cukup luas
adalah Kecamatan Ciwidey sebesar 2.270,61 ha dengan persentase 12,40% dan
Kecamatan Pasirjambu memiliki lahan terbangun sebesar 1839,15 ha atau
10,04%. Kecamatan lainnya memiliki luas lahan terbangun kurang dari 10%.
Lahan terbuka yang teridentifikasi pada lokasi penelitian di Kabupaten
penutupan lahan ini merupakan lahan kosong yang tidak bervegetasi dan areal
proyek pembangunan. Berdasarkan klasifikasi interpretasi citra, kecamatan yang
memiliki lahan terbuka terluas adalah Kecamatan Ciwidey sebesar 2.253,87 ha
dengan persentase 27,29%. Kecamatan Pangalengan memiliki luas tutupan lahan
berupa lahan terbuka yang cukup luas sebesar 2.055,87 ha atau sebesar 24,90%
dari luas lahan terbuka pada wilayah penelitian di Kabupaten Bandung.
Kecamatan lainnya yang memiliki luas lahan terbuka yang luas yaitu Pasirjambu
yaitu 1.711,89 ha atau sebesar 20,73%, sedangkan untuk kecamatan lainnya
memiliki luas tipe penutupan lahan terbuka kurang dari 1.000 ha/kecamatan.
Tipe penutupan lahan vegetasi jarang memiliki luas 6.397,83 ha atau
sebesar 2,94% dari luas Kabupaten Bandung yang digunakan untuk penelitian.
Vegetasi jarang yang ada pada lokasi penelitian ini berupa kebun campur, kebun,
hutan tanaman, taman, dan jalur hijau. Kecamatan Pangalengan memiliki luas
vegetasi jarang paling luas, yaitu sebesar 1.881,99 ha atau sebesar 29,34% dari
luasan vegetasi jarang yang terdapat pada lokasi penelitian. Kecamatan Ciwidey
dan Pasirjambu juga memiliki luas vegetasi jarang sebesar 1.777,50 ha (27,71%)
dan 1.748,88 ha (27,26%). Sedangkan wilayah kecamatan lainnya memiliki luas
vegetasi jarang sekitar 0,5-500 ha/kecamatan.
Sawah memiliki luas sebesar 3.494,79 ha atau sebesar 1,61% dari luasan
wilayah penelitian. Kecamatan yang memiliki luas sawah paling besar adalah
Kecamatan Bojongsoang sebesar 1.086,66 ha dengan persentase 30,84%,
sedangkan wilayah kecamatan yang memiliki luas sawah paling kecil adalah
Kecamatan Margahayu sebesar 19,26 ha atau 0,55% dari luasan sawah pada
lokasi penelitian di Kabupaten Bandung. Sawah yang terdapat pada lokasi
penelitian di Kabupaten Bandung memiliki luas yang berkisar antara 19 ha sampai
tidak lebih dari 1.100 ha/kecamatan.
Tipe penutupan lahan semak dan rumput memiliki luas 1.849,41 ha atau
sebesar 0,85%. Kecamatan yang memiliki wilayah semak paling besar adalah
Kecamatan Ciwidey sebesar 505,71 ha atau sebesar 27,20% dari total luasan
semak. Kecamatan lainnya yang memiliki luas semak cukup besar adalah
Kecamatan Pasirjambu yaitu sebesar 410,04 ha atau sebesar 22,06% dari luas
28
Soreang, Baleendah dan Cimaung juga memiliki luas wilayah semak yang cukup
besar yaitu lebih dari 100 ha/kecamatan. Kecamatan Pangalengan memiliki luas
semak sebesar 353,88 ha (19,03%). Kecamatan Soreang memiliki luas semak
sebesar 226,35 ha atau sebesar 12,18%. Kecamatan Baleendah dan Cimaung
memiliki wilayah semak berturut-turut yaitu 105,39 ha (5,67%) dan 102,24 ha
(5,50%). Kecamatan lainnya memiliki luas kurang dari 100 ha/kecamatan. Pada
citra landsat 7 ETM, tipe penutupan lahan ini dicirikan dengan warna kuning.
Badan air merupakan kelas klasifikasi yang memiliki luas terkecil diantara
kelas penutupan lahan yang lain yaitu sebesar 1.673,46 ha atau 0,77% dari luas
wilayah penelitian. Berdasarkan klasifikasi interpretasi citra, kecamatan yang
memiliki luas badan air yang paling besar adalah Kecamatan Bojongsoang
sebesar 277,11 ha (16,42%). Kecamatan lainnya yang memiliki badan air yang
cukup luas adalah Kecamatan Pangalengan dan Balendah sebesar 222,48 ha atau
13,18% dan 216 ha atau 12,80% dari luas lokasi penelitian di Kabupaten
Bandung. Kecamatan Banjaran juga memiliki luas wilayah badan air sebesar
181,08 ha atau sebesar 10,73%. Kecamatan lainnya memiliki luas wilayah badan
air sebesar 48-150 ha/kecamatan. Badan air yang teridentifikasi untuk wilayah
penelitian di Kabupaten Bandung ini berupa sungai dan danau. Sungai pada citra
landsat tidak terlalu nampak karena berukuran kecil tetapi menyebar pada wilayah
Gambar 9 Peta tutupan lahan pada lokasi penelitian di Kabupaten Bandung tahun 2001.
30
Berdasarkan klasifikasi citra landsat 7 ETM dengan akuisisi citra tanggal 6
Agustus 2009 wilayah lokasi penelitian di Kabupaten Bandung, didapatkan tipe
penutupan lahan pada Tabel 2 di bawah ini yaitu:
Tabel 2 Luas penutupan lahan Kabupaten bandung tahun 2009
No Tutupan Lahan Luas
Berdasarkan uji akurasi yang dilakukan, citra landsat tahun 2009 memiliki
akurasi Overall Classification Accuracy sebesar 85,34% dan Overall Kappa Statistics sebesar 79,03%. Berdasarkan Tabel 2 didapatkan kelas tidak ada data memiliki luas yang besar yaitu 149.339,61 ha atau 68,69% dari luasan total
wilayah penelitian. Hal ini dikarenakan adanya awan, bayangan awan dan
stripping pada citra.
Lahan terbangun merupakan tutupan lahan terbesar setelah tipe tidak ada
data dengan luas 24.884,82 ha atau sebesar 11,45%. Pada tipe penutupan lahan ini
terjadi peningkatan lahan terbangun pada periode tahun 2001-2009. Berdasarkan
klasifikasi citra landsat tahun 2009, kecamatan yang memiliki luas lahan
terbangun terbesar adalah Kecamatan Pangalengan sebesar 4.919,13 ha atau
20,53% dari luas lahan terbangun yang teridentifikasi pada wilayah ini.
Kecamatan Ciwidey memiliki lahan terbangun yang luas juga yaitu 3.470,85 ha
atau 14,48%. Kecamatan lainnya yang memiliki luas lahan terbangun yang cukup
luas yaitu Kecamatan Soreang, Cimaung, Baleendah, dan Banjaran dengan luas
berturut-turut 2.279,34 ha (9,51%); 2.087,64 ha (8,71%); 2.070,36 ha (8,64%);
dan 2.051,73 ha (8,56%). Kecamatan lainnya memiliki lahan terbangun dengan
luas kurang dari 2.000 ha/kecamatan.
Berdasarkan Tabel 2, tipe penutupan yang cukup luas setelah lahan