• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DAN TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KOTA PALEMBANG MUIS FAJAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DAN TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI) KOTA PALEMBANG MUIS FAJAR"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI)

KOTA PALEMBANG

MUIS FAJAR

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

PENGEMBANGAN RUANG TERBUKA HIJAU

BERDASARKAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DAN

TEMPERATURE HUMIDITY INDEX (THI)

KOTA PALEMBANG

MUIS FAJAR

E34062536

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(3)

Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) Kota Palembang. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

Kota Palembang merupakan ibu kota Provinsi Sumatera Selatan yang mengalami peningkatan jumlah penduduk serta pembangunan di segala bidang. Hal tersebut mengakibatkan bertambahnya luas area terbangun di Kota Palembang dan mengurangi luas Ruang Terbuka Hijau (RTH). Penurunan luasan RTH mengakibatkan berubahnya iklim mikro Kota Palembang, berupa peningkatan suhu udara dan penurunan kelembaban, sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengidentifikasi distribusi spasial suhu permukaan di beberapa tipe penutupan lahan, Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dan kaitannya terhadap ruang terbuka hijau, (2) Pemetaan Temperature Humidity Index (THI) atau indeks kenyamanan di wilayah Kota Palembang dan (3) Pengembangan RTH berdasarkan distribusi suhu permukaan, kelembaban udara, THI, dan tata kota.

Penelitian dilakukan di Kota Palembang. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa Landsat 7 ETM (Path 124 Row 062) tanggal 10 Mei 2001 dan 23 Agustus 2010 serta peta batas administratif Kota Palembang. Pengolahan data citra Landsat 7 ETM dengan menggunakan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan software ArcGIS 9.3 dan ERDAS Imagine 9.1, yang meliputi layer stack, koreksi geometrik, pemotongan citra, klasifikasi citra, dan uji akurasi. Pendugaan suhu permukaan dilakukan dengan menggunakan band 6. Selanjutnya hasil estimasi suhu tersebut digunakan untuk menduga kelembaban udara dan indeks kenyamanan (THI) di Kota Palembang. Selain itu, penentuan tutupan lahan vegetasi juga dilakukan dengan menggunakan NDVI. Nilai NDVI digunakan untuk mengetahui hubungan antara suhu permukaan dan tutupan lahan. Suhu permukaan Kota Palembang berkisar antara 27°C sampai 39°C. Suhu permukaan pada RTH berkisar antara 28°C sampai 32°C, sedangkan suhu permukaan pada area terbangun lebih dari 33°C. Terjadi peningkatan suhu permukaan dari tahun 2001 sampai tahun 2010. Perubahan tersebut berhubungan dengan penurunan luasan RTH. RTH dapat diduga dengan nilai NDVI. Nilai NDVI > 0 merupakan vegetasi dan semakin mendekati 1, maka tajuk vegetasi semakin rapat. Suhu permukaan memiliki hubungan yang berkebalikan dengan NDVI. Semakin besar nilai NDVI maka semakin rendah suhu permukaan dan sebaliknya. Kota Palembang hampir seluruhnya tergolong kedalam kelas tidak nyaman pada tahun 2001 dan 2010, karena berada pada selang nilai THI lebih dari 26.

Pengembangan RTH di Kota Palembang terbagi kedalam tiga unit kegiatan, yaitu, permukiman, daerah pinggiran kota dan daerah pusat kota. Pengembangan RTH di tingkat pemukiman dilakukan dengan penghijauan pekarangan, suhu permukaannya berkisar antara 30°C sampai 34°C, kelembaban udara 60% sampai 70% dan THI rata-rata berkisar 27 sampai 28. Pada daerah pinggir kota, suhu permukaannya antara 29°C sampai 34°C, kelembaban udara 60% sampai 80% dan THI rata–rata berkisar 26 sampai 27, dapat dikembangkan RTH berupa taman kota dan hutan kota. Pada daerah pusat kota suhu permukaannya lebih dari 33°C, kelembaban udara 40% sampai 60% dan THI rata– rata berkisar lebih dari 31, dapat dikembangkan RTH berupa roof garden dan jalur hijau. Kata kunci : RTH, Suhu Permukaan, Kelembaban Udara, THI, NDVI

(4)

SUMMARY

MUIS FAJAR. E34062536. Developing The Green Space Based On The Surface Temperature Distribution and Temperature Humidity Index of Palembang City. Under Supervision on LILIK BUDI PASETYO and SITI BADRIYAH RUSHAYATI

Palembang is the provincial capital of South Sumatra. The Municipality are experiencing increase of population and fast development in many sectors. This resulted in the increase of build up areas and reduce green open space (green space). The condition lead to micro-climate changes, such as increasing air temperature and decreasing humidity that worsen the comfort ability of living . The study aims to: (1) identify the spatial distribution of surface temperature in some types of land cover, NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) and its relation to the green open spaces, (2) Mapping of Temperature Humidity Index (THI) or comfort index in the region of Palembang and (3) Development of green space based on the distribution of surface temperature, air humidity, THI, and urban planning.

The study was conducted in the city of Palembang. Materials used in this research are a Landsat 7 ETM (Path 124 Row 062) dated May 10, 2001 and August 23, 2010 and the administrative boundary map of Palembang. Processing of Landsat 7 ETM image data using a set of computers equipped with software ArcGIS 9.3 and Erdas Imagine 9.1, which includes the layer stack, geometric correction, cropping the image, image classification, and test accuracy. Estimation of surface temperature was conducted by using band 6. Furthermore, estimation results are used to estimate temperature and air humidity comfort index (THI) in the city of Palembang. In addition, the determination of vegetation land cover was also done using NDVI. NDVI values were used to determine the relationship between surface temperature and land cover.

Palembang surface temperature ranges from 27 ° C to 39 ° C. Surface temperature on the green space ranges from 28 ° C to 32 ° C, while the surface temperature in the build up area more than 33 ° C. There was an increase in surface temperature from 2001 until 2010. The changes were associated with reduction of green space area. RTH can be predicted with NDVI values. NDVI values greater than 0 and less than 1 was vegetation. Surface temperature has the opposite relationship with NDVI. The greater surface temperature the lower the NDVI value and vice versa. Palembang City was entirely classified into uncomfortable class in 2001 and 2010, since the city located on THI values over 26.

Development of green space in the city of Palembang was divided into three type of activities, namely, at housing areas, suburbs and downtown areas. Development of green space at settlements in the form of green yard, and its surface temperature ranges from 30 ° C-34 ° C, humidity 60% -70% and average THI ranged 27-28. In the suburbs, can be developed green space in the form of city parks and urban forest, the surface temperature of 29 ° C-34 ° C, humidity 60% -80%, and THI averaging around 26-27. In the downtown area can be developed in the form of roof garden green space and green be, the surface temperature above 33 ° C, humidity 40% -60% and the average ranged THI> 31,

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Indeks (THI) Kota Palembang adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2010

Muis Fajar NRP E34062536

(6)

Judul Skripsi : Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) Kota Palembang

Nama : Muis Fajar

NIM : E34062536

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si. NIP : 19620316 198803 1 002 NIP : 196507042 000031 004

Mengetahui,

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Ketua

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP : 19580915 198403 1 003

(7)

Penulis dilahirkan di Kota Dumai, Riau pada tanggal 28 Desember 1988 sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Ayah penulis bernama Suharto Tamba dan ibu bernama Rusmah Hasibuan.

Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar di SD 2 YKPP Dumai hingga tahun 1997 dan menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Dharma Patra 1 Pangkalan Berandan pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Katolik Santa Louisa Cepu sampai tahun 2002 dan menyelesaikannya di SLTP Dharma Patra Pangkalan Berandan pada tahun 2003. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Babalan sampai tahun 2006, selanjutnya pada tahun yang sama penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun kedua di IPB penulis diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selain kegiatan akademis, penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota HIMAKOVA (Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata) dan anggota Kelompok FOKA (Fotografi Konservasi). Pada Tahun 2008 penulis menjadi finalis PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) dalam bidang karya ilmiah konservasi.

Selama pendidikan penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang dan Kamojang, Jawa Barat; Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat serta Praktek Kerja Lapang (PKLP) di Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kota Palembang” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si.

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah swt atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) Kota Palembang”. Penulis menyadari bahwa karya ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Ayahanda Suharto Tamba dan Ibunda tersayang Rusmah Hasibuan, Haris , Ronal, Barkah yang telah memberikan inspirasi, dorongan moral, material, rasa kasih sayang serta do’anya kepada penulis.

2. Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., selaku dosen pembimbing pertama atas arahan, nasehat dan bimbingannya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si., selaku dosen pembimbing kedua atas ketersediaannya memberi bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

4. Ir. Kasno, M.Sc., Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc., Ir. Muhdin, M.Sc.F.Trop., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini. 5. Pemerintah Daerah Kota Palembang, Badan Perencaan dan Pemeliharaan Daerah

(Bappeda) Kota Palembang, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Palembang, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun II Kenten Palembang. 6. Ferra Azis (the special one), Septa Febrina Heksaputri, Pande Made Wisnu

Temaja, Arga Pandi Wijaya, Amrizal Yusri, Mbak Nina, Ebay, Nano, Amri, Gamma, Age, Jatil, Haray, Yunus, Bayu, Ayam, dan semua teman-teman di Lab. Analisis Spasial Lingkungan atas bantuan, semangat dan dukungannya.

7. Teman-teman Kosan RI 45 (Jati, Yosep, Bang Deni, Rifki, Pak Bob, Umi, Abah) atas semua motivasi dan kebersamaan yang telah dilalui.

8. Cendrawasih 43 KSHE Fakultas Kehutanan IPB.

9. Semua pihak yang telah banyak membantu penelitian ini.

Bogor, Januari 2011 Penulis

(9)

Puji syukur ke hadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) Kota Palembang” dengan sebaik-baiknya. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan kelulusan program mayor minor Strata Satu di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2010. Jumlah penduduk yang terus bertambah mengakibatkan terjadinya peningkatan area terbangun di Kota Palembang. Peningkatan tersebut mengakibatkan penurunan luasan tutupan lahan lain yang berupa ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau yang terus menurun luasannya memberikan dampak terhadap iklim mikro yang ada di Kota Palembang, seperti peningkatan suhu udara, penurunan kelembaban udara dan merubah kondisi kota menjadi tidak nyaman. Oleh sebab, itu perlu adanya penelitian mengenai tingkat kenyamanan dan pengembangan ruang terbuka hijau di Kota Palembang untuk menjaga kondisi iklim mikro.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

1.3 Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Suhu Udara Perkotaan ... 3

2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah... 4

2.3 Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Peningkatan Suhu Udara... 4

2.3.1 Perubahan penggunaan lahan ... 5

2.3.2 Peranan hutan kota terhadap penurunan suhu udara pada iklim mikro ... 6

2.4 Iklim ... 7

2.4.1 Suhu udara ... 7

2.4.2 Kelembaban udara ... 7

2.4.3 THI (Temperature Humidity Index) ... 8

2.5 Pendugaan Suhu dengan Citra Satelit Landsat ... 9

2.6 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) ... 12

III. METODOLOGI ... 13

3.1 Waktu dan Tempat ... 13

3.2 Alat dan Bahan ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 14

IV. KONDISI UMUM ... 19

4.1 Kondisi Fisik ... 19

4.1.1 Letak dan luas ... 19

(11)

4.1.3 Geologi dan tanah ... 19

4.1.4 Iklim... 20

4.1.5 RTH Palembang ... 20

4.2 Kependudukan ... 21

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22

5.1 Penutupan Lahan Kota Palembang ... 22

5.1.1 Penutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 dan 2010... 28

5.1.2 Perubahan penutupan lahan Kota Palembang ... 38

5.2 Distribusi Suhu Permukaan ... 45

5.2.1 Distribusi suhu permukaan Kota Palembang tahun 2001 dan 2010 ... 45

5.2.2 Hubungan suhu permukaan dengan tutupan lahan ... 49

5.2.3 Perubahan luasan distribusi suhu permukaan Kota Palembang ... 51

5.2.3 Distribusi suhu permukaan per wilayah kecamatan Kota Palembang ... 54

5.3 Hubungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan Suhu Permukaan…... 60

5.4 Distribusi Kelembaban Udara ... 64

5.4.1 Distribusi kelembaban udara Kota Palembang ... 64

5.4.2 Hubungan kelembaban udara dengan tutupan lahan ... 68

5.4.3 Perubahan luasan distribusi kelembaban udara Kota Palembang ... 70

5.4.4 Distribusi kelembaban udara per wilayah kecamatan Kota Palembang ... 71

5.5 Distribusi THI (Temperature Humidity Index) Kota Palembang ... 75

5.6 Ruang Terbuka Hijau ... 81

5.6.1 Ruang terbuka hijau di Kota Palembang ... 81

5.6.2 Hubungan suhu udara dengan ruang terbuka hijau, area terbangun dan lahan terbuka ... 83

5.6.3 Ruang terbuka hijau per wilayah kecamatan ... 85

5.6.4 Bentuk perkembangan Kota Palembang periode 2001-2010 ... 92

5.6.5 Pendekatan penentuan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Palembang ... 93

(12)

vi

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

6.1 Kesimpulan ... 101

6.2 Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(13)

No. Halaman

1. Proporsi RTH Kota Palembang dari zaman kolonial hingga tahun 2007 ... 20

2. Luasan RTH Kota Palembang tahun 2009 ... 20

3. Jumlah penduduk Kota Palembang tahun 2003-2007 ... 21

4. Luas penutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 ... 28

5. Luas penutupan lahan Kota Palembang tahun 2010 ... 33

6. Perubahan penutupan lahan Kota Palembang tahun 2001-2010 ... 38

7. Luasan konversi penutupan lahan menjadi area terbangun Kota Palembang periode 2001-2010 ... 42

8. Luasan suhu permukaan Kota Palembang periode 2001-2010 ... 45

9. Hasil regresi NDVI dan suhu permukaan... 60

10. Luasan kelembaban udara Kota Palembang periode 2001-2010 ... 66

11. Hasil regeresi suhu udara dan kelembaban udara ... 65

12. Luasan THI Kota Palembang periode 2001-2010 ... 75

13. Perubahan luasan ruang terbuka hijau Kota Palembang tahun 2001-2010 ... 81

14. Rata-rata suhu udara pada penutupan lahan di Kota Palembang ... 84

15. Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Palembang ... 86

16. Distribusi, suhu, THI dan kelembaban rata-rata serta perubahan luas ruang terbuka hijau per wilayah kecamatan Kota Palembang periode 2001-2010 ... 88 17. Rekomendasi pengembangan RTH Kota Palembang per wilayah kecamatan . 98

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Peta administrasi Kota Palembang ... 13

2. Area terbangun (pemukiman) di pinggir sungai Musi ... 24

3. Rawa yang ada dipinggir jalan Kecamatan Gandus ... 24

4. Semak di Kecamatan Alang Alang Lebar ... 25

5. Lahan kosong di Kecamatan Ilir Barat 1 ... 25

6. Sawah di Kecamatan Kertapati ... 26

7. Sungai Musi dan Jembatan Ampera ... 26

8. Tegakan sejenis pinus di TWA Punti Kayu ... 27

9. Taman Kota Kambang Iwak ... 27

10. Peta tutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 ... 32

11. Peta tutupan lahan Kota Palembang tahun 2010 ... 37

12. Diagram penurunan jumlah vegetasi rapat di Kota Palembang tahun 2001-2010 ... 39

13. Diagram peningkatan jumlah vegetasi jarang di Kota Palembang tahun 2001-2010 ... 40

14. Diagram peningkatan jumlah rawa di Kota Palembang tahun 2001-2010 ... 41

15. Peta tutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 dan 2010 ... 44

16. Peta distribusi suhu udara di Kota Palembang tahun 2001 ... 47

17. Peta distribusi suhu udara di Kota Palembang tahun 2010 ... 48

18. Diagram hubungan antara tutupan lahan tahun 2001 dengan kelas suhu tahun 2001 ... 49

19. Diagram hubungan antara tutupan lahan tahun 2001 dengan kelas suhu tahun 2010 ... 50

20. Perubahan luasan suhu udara Kota Palembang tahun 2001-2010 ... 52

21. Peta distribusi suhu permukaan Kota Palembang tahun 2001-2010... 53

22. Diagram korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Palembang 2001 . 60 23. Diagram korelasi NDVI dengan suhu permukaan Kota Palembang 2010 . 61 24. Peta sebaran nilai NDVI Kota Palembang tahun 2001 ... 62

(15)

26. Diagram suhu dan kelembaban udara tahun 2001 dan 2010 ... 65

27. Peta sebaran kelembaban udara Kota Palembang tahun 2001 ... 66

28. Peta sebaran kelembaban udara Kota Palembang tahun 2010 ... 67

29. Diagram hubungan kelembaban udara 2001 dengan tutupan lahan 2001.. 68

30. Diagram hubungan kelembaban udara 2010 dengan tutupan lahan 2010.. 69

31. Diagram perubahan kelembaban udara periode tahun 2001-2010... 70

32. Perubahan THI Kota Palembang periode 2001-2010 ... 76

33. Peta sebaran nilai THI Kota Palembang tahun 2001 ... 77

34. Peta sebaran nilai THI Kota Palembang tahun 2010 ... 78

35. Peta sebaran tingkat kenyamanan Kota Palembang tahun 2001 ... 79

36. Peta sebaran tingkat kenyamanan Kota Palembang tahun 2010 ... 80

37. Diagram perubahan luasan RTH periode 2001-2010 ... 82

38. Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Palembang 2001 ... 90

39. Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Palembang 2010 ... 91

40. Skema pertumbuhan fiisik Kota Palembang ... 93

41. Contoh ilustrasi jalur hijau di Kota Palembang ... 96

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Tutupan lahan Kota Palembang per wilayah kecamatan. ... 108

2. Konversi tutupan lahan periode 2001-2010. ... 112

3. Luas distribusi suhu permukaan tahun 2001 terhadap tutupan lahan tahun 2001. ... 113

4. Luas distribusi suhu permukaan tahun 2010 terhadap tutupan lahan tahun 2010. ... 114

5. Luas distribusi suhu permukaan per wilayah kecamatan ... 115

6. Luas distrbusi kelembaban per wilayah kecamatan ... 123

7. Luas distribusi THI per wilayah kecamatan ... 127

8. Profil horizontal tegakan jarang Kota Palembang ... 135

9. Profil vertikal tegakan jarang Kota Palembang. ... 135

10. Profil horizontal tegakan rapat Kota Palembang. ... 136

(17)

1.1 Latar Belakang

Jumlah penduduk di Kota Palembang terus meningkat setiap tahun. Jumlah penduduk pada tahun 2008 sebanyak 1.417.047 jiwa dan laju pertumbuhan penduduk rata-rata 2% per tahun (BPS 2009). Hal tersebut secara tidak langsung mengakibatkan pemerintah daerah setempat membuka lahan baru untuk dijadikan area terbangun seperti pemukiman, kawasan industri, sentra perdagangan, dan sarana transportasi. Peningkatan luas area terbangun tersebut mengakibatkan penurunan luas Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Dampak dari penurunan RTH tersebut salah satunya adalah perubahan iklim mikro yang ada di Kota Palembang. Perubahan iklim mikro yang terjadi antara lain, peningkatan suhu udara, penurunan kelembaban, dan perubahan kondisi kota menjadi tidak nyaman. Parameter tingkat kenyamanan suatu wilayah di dasarkan pada nilai Indeks Kenyamanan (Temperature Humidity Index).

Salah satu cara untuk menjaga iklim mikro dan kenyamanan suatu kota, perlu adanya pengembangan RTH yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan kota. Menurut undang–undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas kota untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk membantu pemerintah daerah adalah dengan mengembangkan Ruang Terbuka Hijau berdasarkan distribusi suhu udara, kelembaban, dan kenyamanannya. Hal ini dapat dilakukan dengan pemantauan dari data citra satelit.

1.2 Tujuan

1. Mengidentifikasi distribusi spasial suhu permukaan di beberapa tipe penutupan lahan, NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan kaitannya terhadap Ruang Terbuka Hijau.

2. Pemetaan THI (Temperature Humidity Index)/indeks kenyamanan di wilayah Kota Palembang.

3. Pengembangan RTH berdasarkan distribusi suhu permukaan, kelembaban, THI, dan tata kota.

(18)

2

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi dan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan serta kebijakan-kebijakan pemerintah untuk pengembangan wilayah perkotaan khususnya daerah Kota Palembang.

(19)

2.1 Suhu Udara Perkotaan

Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme penduduk. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi suhu di permukaan bumi, antara lain :

1. Jumlah radiasi yang diterima per tahun, per hari, dan per musim. 2. Pengaruh daratan atau lautan

3. Pengaruh ketinggian tempat (makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut maka suhu akan semakin rendah)

4. Pengaruh angin secara tidak langsung, misalnya angin yang membawa panas dari sumbernya secara horizontal.

5. Pengaruh panas laten, yaitu panas yang disimpan dalam atmosfer.

6. Penutup tanah yaitu tanah yang ditutup vegetasi yang mempunyai temperatur yang lebih rendah daripada tanah tanpa vegetasi

7. Tipe tanah, tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi

8. Pengaruh sudut sinar matahari. Sinar yang tegak lurus akan membuat suhu lebih panas daripada yang datangnya miring.

Perubahan terhadap keseimbangan pemanasan merupakan pengaruh meteorologi utama yang ditimbulkan oleh aktivitas perkotaan. Perubahan dapat terjadi karena perubahan karakteristik pemanasan pada permukaan dan perubahan penyinaran matahari (Soedomo 2001).

Banyaknya dinding bangunan tegak lurus di daerah perkotaan akan mengubah keseimbangan pemanasan pada siang hari, gelombang sinar matahari yang ada akan mengalami pemantulan berulang kali oleh permukaan tanah dan dinding-dinding tinggi, hingga gelombang sinar yang dapat terlepas langsung ke atmosfer sangat sedikit. Pada malam hari, pelepasan panas yang tertahan pada siang hari akan meningkatkan temperatur minimum. Hal ini berlangsung selama musim panas atau di perkotaan daerah tropis (Soedomo 2001).

Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 3°K dibandingkan dengan pinggir kota. Peningkatan suhu udara terjadi karena adanya perbedaan

(20)

4

dalam pemakaian energi, penyerapan dan pertukaran panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan (Landsberg 1981 dalam Wardhana 2003).

Akumulasi panas di daerah perkotaan pada siang hari akan mengakibatkan perbedaan keseimbangan radiatif yang berbeda dengan daerah pedesaan pada malam hari. Daerah pedesaan yang ada di sekitar perkotaan menyimpan panas lebih sedikit pada siang hari dibandingkan dengan daerah perkotaan. Perbedaan tersebut mengakibatkan terjadinya suatu gumpalan panas di daerah perkotaan yang isotermalnya biasanya terletak di daerah pusat kota (Soedomo 2001).

2.2 Rencana Tata Ruang Wilayah

Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang menghasilkan rencana tata ruang (Bappeda 2009).

Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang (Bappeda 2009). Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWKN) adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara (UU No. 26 tahun 2007 dan PP No. 26 tahun 2008). Menurut Tarigan (2005), perencanaan wilayah adalah penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah tersebut. Berdasarkan Jayadinata (1999), perencanaan wilayah meliputi: wilayah kota besar, wilayah pedesaan, tutupan lahan, pemusatan penduduk dan sebagainya.

2.3 Hubungan Ruang Terbuka Hijau dengan Peningkatan Suhu Udara

Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 29 ayat 2 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung.

(21)

Manfaat yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) sesuai dengan kondisi wilayah studi merupakan ruang yang tidak terbangun, dengan perbandingan unsur tanaman yang lebih luas dan memiliki fungsi utamanya, yaitu untuk perlindungan kawasan sekitarnya. Manfaat lain RTH adalah akan memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam (Zulkarnain 2006).

2.3.1 Perubahan penggunaan lahan

Pengunaan lahan diartikan sebagai bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materi maupun spiritual (Soedomo 2001). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan dalam penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan serta pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di atas lahan tersebut seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang, dan sebagainya (Soedomo 2001). Perubahan penggunaan lahan dapat mengacu pada dua hal yang berbeda, yaitu penggunaan lahan sebelumnya atau rencana tata ruang yang ada (Bappeda 2009).

Berdasarkan Undang-Undang serta data RTRW 2004-2014 bahwa ruang terbuka hijau yang ada di Kota Palembang hanya berjumlah di atas 30% dari luas Kota Palembang (Bappeda 2009). Kawasan RTH di Palembang banyak dialihfungsikan menjadi kawasan komersial oleh para pemilik modal besar. Contohnya, ruang terbuka hijau yang ada dikawasan Rajawali (kawasan sungai Bayas dan sungai Bendung) misalnya dengan luas 16,72 Ha kini telah beralih fungsi menjadi lahan bisnis dan milik pribadi dengan dibangunnya puluhan ruko, supermarket serta lahan parkir kendaraan berat oleh sebuah perusahaan besar. Hal serupa juga terjadi di kawasan Taman Kota Kambang Iwak yang mempunyai luas sekitar 20 Ha, saat ini telah berubah menjadi kawasan bisnis dengan dibangunnya toko dan kafe-kafe di tempat tersebut, serta Ruang Terbuka Hijau dengan luas 21 Ha yang ada disimpang Patal telah beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan sehingga

(22)

6

alih fungsi lahan yang terjadi telah menyebabkan kawasan ini masuk dalam kawasan rawan banjir dan meningkatnya suhu udara di kota Palembang (Jatmiko 2009).

2.3.2 Peranan hutan kota terhadap penurunan suhu udara pada iklim mikro Pepohonan dan vegetasi lainnya dapat memperbaiki suhu kota melalui evapotranspirasi. Tanaman yang tinggi memiliki laju evapotranspirasi yang lebih besar daripada tanaman yang rendah (Irwan 2005). Hutan kota dapat digunakan sebagai pencegah berkurangnya kelembaban udara. Hutan kota juga dapat menurunkan suhu di sekitarnya sebesar 3,46% di siang hari pada permulaan musim hujan. Hutan kota juga menaikkan kelembaban sebesar 0,81% di siang hari pada permulaan musim hujan (Irwan 2005).

Hutan kota dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak terlalu panas, sebagai akibat banyaknya jalan aspal, gedung bertingkat, jembatan layang, papan reklame, menara, antena pemancar radio, televisi dan lain-lain, sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi balik (reradiasi) dari bumi (Grey 1978).

Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman dari pada daerah tidak ditumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi dan luasan dari hutan kota di Bogor yang dibandingkan dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal, diperoleh hasil bahwa:

1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5°C-31,0°C dengan kelembaban 66%-92%.

2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7°C-33,1°C dengan kelembaban 62%-78%. 3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3°C-32,1°C dengan kelembaban

62%-78%.

Menurut Suryadi (2005), luasan hutan kota di Kota Palembang sebesar 368,19 Ha pada tahun 2005 atau sekitar 0,92% dari luas Kota Palembang, padahal seharusnya luasan hutan kota yang sesuai adalah 2.489,39 Ha dengan tingkat emisi CO2 sebesar 186.703,95 kg CO2/jam, sedangkan pada tahun 2010 diprediksi

(23)

emisi dari CO2 sebesar 211.704,71 kg CO2/jam dengan luasan hutan kota yang sesuai seharusnya sebesar 2.822,73 Ha.

2.4 Iklim

2.4.1 Suhu udara

Menurut Santosa (1986) suhu udara akan berfluktuasi dengan nyata selama setiap periode 24 jam. Fluktuasi suhu udara berkaitan erat dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Serapan energi radiasi matahari ini akan menyebabkan suhu udara meningkat. Suhu udara harian maksimum tercapai beberapa saat setelah intensitas cahaya maksimum tecapai.

Suhu maksimum adalah suhu tertinggi suatu tanaman dapat tumbuh, sedangkan suhu minimum adalah suhu terendah tanaman dapat hidup. Suhu optimum adalah suhu terbaik yang dibutuhkan tanaman agar proses pertumbuhannya dapat berjalan lancar (Kartasapoetra 2008).

Menurut Murtie (2006) suhu di Talangbetutu salah satu daerah yang ada di Kota Palembang meningkat pada bulan Juni hingga September, dan suhu tertinggi terjadi pada bulan Agustus yang nilainya hampir mencapai 28°C. Suhu minimum terjadi pada bulan Januari yang bernilai 26,3°C. Pola ini sesuai dengan pola curah hujan pada bulan Agustus memiliki tingkat curah hujan yang rendah, sedangkan pada bulan Januari memiliki tingkat curah hujan yang tinggi.

2.4.2 Kelembaban udara

Menurut Santosa (1986), kelembaban relatif adalah jumlah aktual uap air di udara relatif terhadap jumlah uap air pada waktu udara dalam keadaan jenuh pada suhu yang sama dinyatakan dalam persen. Pengukuran salah satunya dapat dilakukan dengan termometer bola kering dan bola basah. Sedangkan menurut Kartasapoetra (2008) kelembaban adalah banyaknya kadar uap air yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah, seperti:

1. Kelembaban mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satu satuan udara yang dinyatakan dalam gram/m3

2. Kelembaban spesifik, merupakan perbandingan massa uap air di udara dengan satuan massa udara yang dinyatakan dalam gram/kilogram

(24)

8

3. Kelembaban relatif, merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu, yang dinyatakan dalam %. Angka kelembaban relatif dari 0-100%, dimana 0% artinya udara kering, sedangkan 100% artinya udara jenuh dengan uap air di mana akan terjadi titik-titik air.

Keadaan kelembaban di atas permukaan bumi berbeda-beda. Pada umumnya, kelembaban yang tertinggi ada di khatulistiwa sedangkan yang terendah pada lintang 40o. Daerah rendah ini disebut horse latitude, curah hujannya kecil (Soedomo 2001).

Kelembaban udara yang lebih tinggi pada udara dekat permukaan pada siang hari disebabkan karena penambahan uap air hasil evapotranspirasi dari permukaan. Proses ini berlangsung karena permukaan tanah menyerap radiasi selama siang hari tersebut. Pada malam hari akan berlangsung proses kondensasi atau pengembunan yang memanfaatkan uap air yang berasal dari udara. Oleh karena itu kandungan uap air di udara dekat permukaan tersebut akan berkurang (Soedomo 2001).

Kelembaban tertinggi di Kota Palembang ada pada bulan Agustus dengan nilai 79,8%. Antara kelembaban dan curah hujan memiliki pola yang sama, yaitu pada tingkat kelembaban yang tinggi akan diiringi juga dengan tingkat curah hujan yang tinggi pula (BPS 2009).

2.4.3 THI (Temperature Humidity Index)

Beberapa ahli telah berusaha untuk menyatakan pengaruh parameter-parameter iklim terhadap kenyamanan manusia dengan bantuan persamaan yang mengandung dua atau lebih parameter iklim. Menurut Niewolt (1975), kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan yang dapat dinyatakan secara kuantitatif melalui hubungan kelembaban udara dan suhu udara yang disebut Temperature Humidity Index (THI). Selain itu, hasil penelitian Niewolt (1975) menyatakan bahwa THI di Indonesia antara 20-26. Hasil penelitian lain yang telah dilakukan Mulyana et al. (2003), menyatakan bahwa indeks kenyamanan dalam kondisi nyaman berada pada kisaran THI 20-26.

(25)

2.5 Pendugaan Suhu dengan Citra Satelit Landsat

Prinsip dasar penginderaan jauh yaitu menangkap energi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan maupun dipantulkan oleh suatu permukaan yang dipilah-pilah dalam sensor panjang gelombang. Suhu permukaan diperoleh atau dhitung dari energi yang dipancarkan oleh suatu permukaan. Sensor yang digunakan untuk mendeteksi pada satelit adalah Thermal Infrared (Lillesand 1997).

Penginderaan jauh thermal menjelaskan secara ringkas kemungkinan untuk memperoleh, menggambarkan dan menginterpretasikan keadaan panas dipermukaan bumi. Pendefenisian energi thermal lebih sering mengacu kepada energi yang dipancarkan dari permukaan bumi. Berdasarkan sumber energi radiasi dari matahari, panjang gelombang dipancarkan dari energi matahari lebih pendek daripada gelombang panjang dari permukaan bumi (Lillesand 1997).

Menurut Lillesand (1997) semua benda di alam yang mempunyai suhu mutlak di atas 0oC atau setara dengan 273oK akan mempunyai radiasi termal. Sebagai dasar dari pernyataan tersebut dicirikan oleh :

1. Suatu benda akan mengabsorbsi seluruh energi yang diterima dari segala sudut penerimaan.

2. Suatu benda akan mengemisikan semua energinya ke segala arah dengan seluruh kisaran panjang gelombang yang ada/terbatas.

Fakta di alam, hampir semua benda tidak mempunyai kesempurnaan sifat seperti yang digambarkan oleh benda hitam sempurna tersebut (Risdiyanto 2003). Sebuah teori tentang benda hitam dinyatakan oleh Wilhelm Wien (1928) yang menjelaskan hubungan antara pancaran maksimum, panjang gelombang dan suhu permukaan objek. Teori ini dikenal dengan hukum pergeseran Wien yang dirumuskan sebagai :

Keterangan:

λmaks = Panjang gelombang pada pancaran maksimum (µm)

Ts = Suhu permukaan objek (K)

Berdasarkan persamaan di atas, dengan menganggap bahwa nilai suhu mutlak permukaan matahari adalah 5780 K, maka didapatkan nilai panjang

(26)

10

gelombang maksimum radiasi matahari yang mampu memberikan pancaran puncak maksimum terjadi pada panjang gelombang 0,5 µm yang dapat disebutkan sebagai nilai tengah dari spektral radiasi tampak.

Dengan fakta ini, maka radiasi matahari akan memberikan energi maksimumnya pada kisaran spektral tampak (0,3-0,7 µm). Sedangkan untuk permukaan bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K memberikan nilai pancaran puncak maksimum pada panjang gelombang 9,7 µm yang merupakan kisaran radiasi infrared. Itulah sebabnya, maka penginderaan jauh thermal banyak dilakukan pada daerah spektrum antara 8-14 µm (Lillesand 1997).

Pada saat estimasi suhu permukaan dari citra thermal, rona yang lebih gelap pada citra mewakili suhu tampak yang lebih dingin dan rona yang lebih cerah mewakili citra yang lebih panas. Pengukuran sensor thermal atas suhu dapat dilakukan pada ketinggian sebesar 300 m. Kondisi cuaca mempengaruhi thermal atmosferik. Kabut dan awan tidak dapat ditembus oleh radiasi thermal walaupun hari cerah, aerosol dapat menyebabkan perubahan yang besar pada sinyal yang diindera. Abu, partikel arang, asap dan titik air dapat mengubah pengukuran thermal. Unsur pembentukan atmosferik bervariasi menurut situs, ketinggian, waktu dan kondisi cuaca setempat (Sutanto 1989).

Menurut Effendy (2007), pengurangan atau penambahan RTH menyebabkan peningkatan atau penurunan suhu udara dengan besaran berbeda dengan setiap pengurangan 50% RTH menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 0,4°C hingga 1,8oC sedangan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0,2°C hingga 0,5oC. Hal ini membuktikan arti pentingnya mempertahankan RTH.

Pengukuran suhu biasanya meliputi penempatan instrumen pengukur yang bersentuhan dengan atau terbenamkan dalam badan yang diukur suhunya (suhu kinetik). Suhu kinetik merupakan ungkapan “internal” terjemahan tenaga rata-rata molekul yang menyusun tubuh. Disamping ungkapan internal, objek memancarkan tenaga sebagai fungsi suhunya. Tenaga yang dipancarkan merupakan ungkapan “eksternal” keadaan tenaga objek yang dapat diindera dari jarak jauh dan digunakan untuk menentukan suhu pancaran (radiant temperature) objek (Lillesand 1997).

(27)

Beberapa penelitian yang sudah dilakukan terkait dengan thermal memiliki hasil yang cukup nyata. Berdasarkan hasil penelitian Wardhana (2003) yang telah melakukan pengukuran suhu udara berdasarkan estimasi dari band 7 yang dikorelasikan dengan data suhu stasiun klimatologi, menghasilkan model regresi umum untuk kasus Kota Bogor tahun 2001 adalah y = 0,045x + 24,964 dengan y adalah suhu permukaan dan x adalah nilai digital number dari data band 7. Diperoleh kelas suhu di tahun 2001 yang tertinggi adalah kelas penutupan lahan industri dan pemukiman yaitu 27°C-29°C.

Penelitian Okarda (2005) tentang distribusi suhu permukaan di Kabupaten Cianjur berdasarkan estimasi band 7 pada citra landsat 5 TM pada periode tahun 1997 dan 2001. Hasil penelitian diperoleh adalah distribusi suhu permukaan di Kabupaten Cianjur pada tahun 1997 dan 2001 berkisar antara 19°C hingga 30°C.

Penelitian Wahyudi (2006) tentang menduga suhu udara menggunakan citra satelit TERRA/ASTER band 10 sampai band 14 untuk menduga suhu udara dari suhu permukaan digunakan persamaan untuk menduga suhu tanah pada kedalaman tertentu. Hasil dengan menggunakan band 14 nilai rata-rata suhu permukaan terlalu rendah yaitu 24°C.

Penelitian Effendy (2007) tentang pengukuran suhu permukaan di JABOTABEK berdasarkan dugaan suhu udara yang diektrak dari landsat tahun 1991, 1997, dan 2004. Hasil penelitian menunjukkan nilai yang lebih rendah dari data sesungguhnya pada hasil pengukuran di stasiun yang tersebar di JABOTABEK pada waktu yang sama, sehingga mutlak dilakukan kalibrasi agar data hasil ektrak landsat sesuai dengan data observasi. Kalibrasi dilakukan dengan cara analisis regresi antara peubah prediktor suhu dengan hasil ektrak landsat sedangkan peubah respon suhu udara hasil observasi dari 12 stasiun di JABOTABEK.

Penelitian Maulida (2008) tentang suhu permukaan di Kota Bandung berdasarkan korelasi antara NDVI dengan suhu permukaan serta estimasi band 6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 1997, 2002 dan 2006. Sebaran suhu permukaan di Kota Bandung berbentuk mengelompok yaitu di daerah rural meliputi selang suhu ≥14°C sampai dengan selang <22°C, daerah sub urban meliputi selang suhu ≥22°C sampai dengan <25°C, sedangkan daerah urban meliputi selang suhu ≥26°C sampai dengan selang ≥31°C.

(28)

12

Hasil penelitian Khusaini (2008) menyatakan bahwa secara umum di Kota Bogor tipe penutupan lahan yang mengalami perluasan yang paling banyak adalah tipe pemukiman, sejalan dengan meningkatnya penduduk dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa semakin besar luas pemukiman, maka suhu semakin meningkat.

Penelitian Waluyo (2009) tentang distribusi suhu permukaan di Kota Semarang berdasarkan korelasi antara NDVI dengan suhu permukaan serta estimasi band 6 pada citra landsat 7 ETM pada periode tahun 2001-2006 mempunyai nilai suhu antara ≥20,0°C-≥34,0°C. Nilai suhu dengan luasan distribusi terbesar adalah suhu ≥34,0°C yang terdistribusi di seluruh wilayah Kota Semarang.

2.6 NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

NDVI merupakan salah satu parameter awal yang dapat ditentukan dari data satelit. Pigmen pada daun, klorofil, menyerap gelombang cahaya tampak (0,4 µm sampai 0,7 µm). Sementara itu, struktur sel daun memantulkan gelombang inframerah dekat (0,7 µm sampai 1,1 µm). Oleh karena itu, estimasi NDVI berbasis data satelit merupakan perhitungan kanal cahaya tampak dan inframerah dekat. Nilai NDVI menggambarkan tingkat kehijauan biomassa dan merupakan indikator yang baik untuk menentukan status (kesehatan, kerapatan) vegetasi pada suatu wilayah namun tidak berhubungan langsung dengan ketersediaan air tanah di wilayah tersebut (Hung 2000).

(29)

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : 1. Data citra satelit LANDSAT ETM (+) path/row : 124/062, tanggal akuisisi

10 Mei 2001 dan 23 Agustus 2010

2. Data iklim daerah lokasi penelitian (suhu minimum, suhu maksimum, suhu rata-rata dan kelembaban udara relatif rata-rata).

3. Peta spasial administrasi Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan dan peta Rupa Bumi Kota Palembang dengan Skala 1:25.000 yang diperoleh dari Bappeda Kota Palembang dan Badan Planologi Kehutanan.

(30)

14

4. GPS (Global Positioning System) untuk penentuan koordinat di lapangan. 5. Seperangkat komputer untuk keperluan pemrosesan data dengan Software

Erdas Imagine 9.1, ArcGis 9.3, DNR Garmin 5.4.1, SPSS 15, dan Microsoft Office 2007.

6. Termometer untuk mengukur suhu dan termometer Dry/Wet untuk mengukur kelembaban.

3.3 Metode Penelitian

Pemrosesan awal citra satelit dilakukan sebelum melakukan analisis, yaitu untuk mendapatkan informasi yang diinginkan dari suatu data citra. Beberapa tahapan yang dilakukan pada pemrosesan citra satelit yaitu :

1. Pemulihan citra (Image Restoring)

Pada saat pengambilan citra oleh satelit, citra yang diambil akan mengalami perubahan, karena adanya distorsi radiometrik dan geometrik, sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan tersebut. 2. Penajaman citra (Image Enhancment)

Penajaman citra dilakukan agar suatu obyek pada citra akan terlihat lebih tajam atau kontras. Hal ini akan memudahkan interpretasi secara visual untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa teknik yang digunakan adalah penajaman kontras dan pembuatan warna semu (pseudocolour).

3. Pengambilan wilayah kajian

Pengambilan wilayah kajian (subset) bertujuan untuk efisiensi besarnya citra satelit yang akan diolah. Citra satelit LANDSAT ETM path/row : 124/062 tahun 2001 dan 2010 di potong berdasarkan data vektor wilayah administrasi Kota Palembang.

4. Survey lapangan

Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui kelas lahan yang ada di wilayah kajian. Diambil beberapa titik contoh kelas lahan yang ada di wilayah kajian, selanjutnya koordinat kelas lahan tersebut ditandai dengan menggunakan GPS.

5. Klasifikasi penutupan lahan

(31)

penelitian ini dilakukan klasifikasi citra dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification). Pembuatan training area merupakan penentuan posisi contoh di lapangan dengan bantuan citra warna komposit dan peta penutupan lahan untuk setiap kelas penutupan lahan yang dibantu dengan data pengecekan lapang.

Tahapan yang dilakukan dalam klasifikasi terbimbing menggunakan Software Erdas Imagine 9.1 :

a. Pengenalan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra dengan berpedoman pada titik kontrol yang diambil pada lokasi penelitian menggunkan GPS.

b. Pemilihan daerah (area of interest) yang diidentifikasi sebagai satu tipe penutupan lahan berdasarkan pola-pola spektral yang ditampilkan oleh citra.

c. Proses klasifikasi citra yang dilakukan dengan metode klasifikasi terbimbing berdasarkan pola-pola spektral dan titik GPS (sample). Pola-pola spektral yang digunakan untuk mengklasifikasikan wilayah kajian antara lain :

1) Lahan terbangun (pemukiman, area industri, pertokoan/perdagangan, dan perkantoran)

2) Rawa

3) Semak (belukar)

4) Lahan terbuka (lahan kosong/areal proyek) 5) Sawah

6) Badan air (sungai dan danau)

7) Vegetasi rapat (tumbuhan sejenis, perkebunan, dan hutan kota) tajuk cukup rindang dan kompak, berumur panjang, toleran terhadap keterbatasan sinar matahari dan air, jenis tanaman yang ditanam termasuk golongan evergreen bukan dari golongan tanaman yang menggugurkan daun (decidous), memiliki perakaran yang dalam, dan memiliki jarak tanam rata-rata < 3 m.

8) Vegetasi jarang (kebun campuran, jalur hijau, taman kota dan TPU) : tajuk cukup rindang dan kompak, tetapi tidak terlalu gelap, warna

(32)

16

hijau dengan variasi warna lain seimbang, jenis tanaman tahunan atau musiman, jarak tanam setengah rapat sehingga menghasilkan keteduhan yang optimal (> 3 m).

9) Awan

10) Bayangan awan 11) Kabut tipis

d. Menggabungkan daerah-daerah yang memiliki tipe penutupan lahan yang sama (recode).

e. Pengoreksian citra hasil klasifikasi dengan membandingkannya dengan citra sebelum diklasifikasi atau uji akurasi dengan memasukkan titik koordinat dari sample penutupan lahan di lapangan ke dalam citra yang telah diklasifikasikan lalu dihitung oleh program Accuracy Assesment pada Erdas.

6. Estimasi suhu permukaan

Estimasi nilai suhu permukaan menggunakan Software Erdas Imagine 9.1. Langkah awal adalah membangun sebuah model pada model maker untuk mengkonversi nilai-nilai pixel band 6 landsat 7 ETM. Nilai DN (Digital Number) dikonversi menjadi nilai radiasi. Berikut adalah rumus yang digunakan untuk mengkonversi nilai digital menjadi nilai radiasi (USGS 2002).

Lλ Radiasi = gain x DN (digital number) + offset

Dengan nilai gain sebesar 0,05518, digital number dengan band 6, dan nilai offset sebesar 1,2378, kemudian dilakukan konversi band 6 pada Landsat 7 ETM untuk mengetahui suhu permukaan (USGS 2002) :

Keterangan : T : Suhu permukaan (K)

K2 : Konstanta (666.09 W/(m2*ster*µm) K1 : Konstanta (1282.71 K)

(33)

7. Korelasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) dengan suhu permukaan

NDVI digunakan untuk mengetahui kondisi vegetasi yang ada pada suatu wilayah. NDVI pada dasarnya menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Nilai NDVI berkisar antara -1 samapai +1. Jika nilai NDVI semakin besar (mendekati 1) maka wilayah tersebut semakin hijau dan semakin rapat tertutup vegetasi atau kanopi. Sebaliknya, nilai NDVI pada suatu wilayah yang jarang atau tidak terdapat vegetasi akan mendekati -1. Nilai NDVI merupakan perbedaan reflektansi dari kanal inframerah dekat dan kanal cahaya tampak (merah). Untuk menghitung NDVI digunakan persamaan :

NDVI : (NIR – VIS)/(NIR+VIS)

Keterangan :

NIR : Reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared (Band 4) VIS : Reflektansi kanal cahaya tampak/infrared (Band 3)

Selanjutnya dibuat persamaan regresi sederhana antara suhu dengan nilai NDVI. Persamaan tersebut berupa regresi sederhana dengan NDVI sebagai variabel bebas x dan suhu permukaan sebagai variabel tak bebas y dengan persamaan umum sebagai berikut : y = b0 + b1*x.

8. Estimasi kelembaban udara relatif (RH)

Untuk mengetahui kelembaban relatif wilayah kajian, maka dilakukan pengukuran langsung sample data kelembaban di beberapa kelas lahan yang ada di dalam wilayah kajian. Masing-masing kelas lahan 2 ulangan. Selanjutnya estimasi nilai kelembaban berdasarkan hasil regresi antara suhu rata-rata, kelembaban rata-rata dari stasiun BMKG di Kota Palembang dan hasil pengukuran langsung. Regresi tersebut berupa regresi sederhana umum sebagai berikut :

y = a + bx

y adalah kelembaban sebagai variabel tak bebas, sedangkan x merupakan suhu udara sebagai variabel bebas. Selanjutnya hasil regresi dimasukkan ke dalam software Erdas untuk mendapatkan peta sebaran kelembaban. Nilai DN dari suhu permukaan digunakan sebagai nilai x atau variabel bebas untuk penentuan wilayah sebaran kelembaban.

(34)

18

9. Estimasi THI (Temperature Humidity Index)

Penentuan THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara dan kelembaban (RH) dengan persamaan sebagai berikut (Nieuwolt 1975 dalam Murdiyarso dan Suharsono 1992).

Keterangan : T a : Suhu Udara (oC)

RH : Kelembaban relatif (%)

Nilai suhu udara (Ta) menggunakan nilai DN dari suhu permukaan, sedangkan nilai kelembaban relatif (RH) menggunakan nilai DN kelembaban relatif. Selanjutnya dibuat peta distribusi suhu dan THI di Kota Palembang berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian Niewolt (1975), klasifikasi tingkat kenyamanan dibedakan menjadi empat kelas yaitu kelas sangat nyaman dengan nilai THI kurang dari 19, kelas nyaman dengan nilai THI antara 19 sampai 22, kelas sedang dengan nilai THI antara 23 sampai 26, dan kelas tidak nyaman dengan selang nilai THI lebih dari 27.

(35)

4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Letak dan luas

Berdasarkan PP No. 23 tahun 1998 Kota Palembang memiliki wilayah sebesar 40.051 Ha yang terdiri dari 16 kecamatan dan 103 kelurahan, terletak diantara 2°52’ sampai 3°5’ Lintang Selatan dan 103°37’ sampai 104°52’ Bujur Timur.Berdasarkan pasal 4 PP No. 23 tahun 1988 tanggal 6 Desember 1988 batas wilayah Kota Palembang bahwa :

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pangkalan Benteng, Desa Gasing dan Desa Kenten Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Dati II Musi Banyuasin. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bakung Kecamatan Indralaya

Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kecamatan Gelumbung Kabupaten Dati II Muara Enim.

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Balai Makmur Kecamatan Banyuasin I Kabupaten Dati II Musi Banyuasin.

d. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sukajadi Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Dati II Musi Banyuasin.

4.1.2 Topografi

Kota Palembang terletak pada dataran dengan relief permukaan yang relatif datar dan rendah, tempat-tempat yang agak tinggi terletak di bagian utara kota. Elevasi puncaknya sekitar 16-40 mdpl dan rata-rata 8 mdpl. Sebagian kota Palembang digenangi air terlebih lagi bila hujan terus menerus (BPS 2009).

4.1.3 Geologi dan Tanah

Jenis tanah Kota Palembang berlapis alluvial, liat dan berpasir, terletak pada lapisan yang masih muda dan banyak mengandung minyak bumi. Tanah relatif datar dan rendah, tempat-tempat yang agak tinggi terletak di bagian utara kota (BPS 2009).

(36)

20

4.1.4 Iklim

Palembang tergolong kedalam daerah yang beriklim tropis. Pada tahun 2008, suhu udara rata-rata 26,4°C sampai 27,8°C. Suhu udara maksimum bulanan pada tahun 2008 terjadi pada bulan Mei yaitu 34,5°C, sedangkan suhu udara minimum terjadi pada bulan Agustus yaitu 21,0°C. Kecepatan angin pada tahun 2008 setiap bulannya berkisar antara 2 knots hingga 5 knots. Selama tahun 2008 curah hujan berkisar antara 24 mm sampai 634 mm (BPS 2009).

4.1.5 RTH Palembang

RTH Kota Palembang sejak dari zaman kolonial cenderung mengalami penurunan, data penurunan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Proporsi RTH Kota Palembang dari zaman kolonial hingga tahun 2007

Zaman Tahun Proporsi RTH (%)

Kolonial 1919 90,33 Kemerdekaan II 1978 84,42 1989 66,04 Kemerdekaan III 2001 61,94 2007 58,04 Sumber : Meiliyani 2008

Perubahan proporsi RTH menurun dari zaman kolonial hingga kemerdekaan III dikarenakan banyaknya alih fungsi ruang terbuka hijau menjadi lahan terbangun (Meiliyani, 2008). Berdasarkan Tabel 1 proporsi RTH di Kota Palembang pada tahun 2007 masih di atas 30%, akan tetapi dilihat dari trend perubahannya, maka terjadi penurunan luasan dari masa ke masa. Berdasarkan hasil laporan Bappeda Kota Palembang, data luasan RTH pada tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Luasan RTH Kota Palembang tahun 2009

No. Guna Lahan Luas (m2) (%)

1 Hutan 24.842.682,00 24,90

2 Rawa Perlindungan 18.712.142,80 18,76

3 Pertanian & Perkebunan 35.679.883,10 35,77

4 Hutan Kota 10.983.605,20 11,01

5 Pemakaman 6.744.176,30 6,76

6 Taman Kota 2.793.700,05 2,80

Luas Total 99.756.189,45 100,00

(37)

4.2 Kependudukan

Jumlah penduduk Kota Palembang pada pertengahan tahun 2007 adalah sebesar 1.394.954 jiwa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,88% dibandingkan dengan tahun 2006. Sedangkan pada pertengahan tahun 2008 jumlah penduduk Palembang sebesar 1.417.047 jiwa (BPS 2009). Laju pertumbuhan penduduk ini, dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian dan migrasi penduduk. Jumlah penduduk Kota Palembang periode tahun 2003-2007 dapat dilihat seperti pada Tabel 3 berikut ini :

Tabel 3 Jumlah penduduk Kota Palembang tahun 2003-2007

No Kecamatan Jumlah Penduduk

2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 Ilir Barat II 60.761 62.032 63.264 64.708 65.923 66.966 2 Gandus 48.502 49.015 50.078 51.182 52.125 52.973 3 Seberang Ulu I 142.587 146.403 149.135 152.607 155.521 157.933 4 Kertapati 74.738 76.417 77.978 79.736 81.225 82.520 5 Seberang Ulu II 82.902 85.109 86.889 88.833 90.482 91.933 6 Plaju 76.996 79.155 80.749 82.581 84.129 85.464 7 Ilir Barat I 106.727 109.952 112.099 114.668 116.833 118.671 8 Bukit Kecil 45.408 45.865 46.789 47.85 48.748 49.522 9 Ilir Timur I 75.448 77.45 78.674 80.599 82.191 83.409 10 Kemuning 80.246 81.865 83.423 85.351 86.973 88.331 11 Ilir Timur II 154.864 157.602 160.818 164.449 167.522 170.192 12 Kalidoni 86.418 87.718 89.617 91.596 93.281 94.795 13 Sako 90.229 90.263 92.214 94.251 95.986 72.396 14 Sukarami 161.609 163.705 167.066 170.828 174.015 104.700 15 Sematang Borang - - - - - 25.148

16 Alang Alang Lebar - - - - - 72.094

Total 1.287.435 1.312.551 1.338.793 1.369.239 1.394.954 1.417.047 Sumber : BPS 2009

Sejak tahun 2007 Kota Palembang di bagi menjadi 16 kecamatan. Penambahan dua kecamatan baru tersebut adalah Kecamatan Alang Alang Lebar dan Kecamatan Sematang Borang. Kecamatan tersebut merupakan pecahan dari kecamatan yang sudah ada sebelumnya, yaitu Kecamatan Sukaramai dan Kecamatan Sako.

(38)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Penutupan Lahan Kota Palembang

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, seperti bangunan perkotaan, danau, dan vegetasi, sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Menurut Lo (1995), penutupan lahan menggambarkan konstruksi lahan seluruhnya yang tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh.

Faktor penting untuk menentukan pemetaan penutupan lahan terletak pada pemilihan skema klasifikasi yang dirancang sesuai dengan tujuan penggunaan. Skema klasifikasi yang baik harus sederhana dalam penggunaan dan tidak sembarangan dalam menjelaskan setiap kategori penutupan dan penggunaan lahan. Tingkat kecermatan hasil peta berhubungan erat dengan skema klasifikasi yang mempertimbangkan skala peta akhir.

Luas Kota Palembang menurut Pemerintah daerah Palembang pada tahun 1998 sebesar 40.051 ha, sedangkan berdasarkan peta administrasi yang diberikan oleh Bappeda Kota Palembang luasan Kota Palembang sebesar 36.837,69 ha. Selisih antara data tersebut dapat disebabkan oleh adanya kesalahan perhitungan pada awal pembuatan peta administrasi atau dapat juga disebabkan kesalahan dalam menentukan batas-batas wilayah dalam pembentukan peta digital Kota Palembang.

Interpretasi dan analisis citra yang dilakukan dengan menggunakan Landsat 7 ETM pada dua tahun yang berbeda, yaitu pada 10 Mei 2001 dan 23 Agustus 2010 serta kombinasi band 5, band 4 dan band 3. Berdasarkan hasil interpretasi Landsat melalui metode klasifikasi terbimbing, maka wilayah Kota Palembang dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Lahan terbangun (pemukiman, area industri, pertokoan/perdagangan, dan perkantoran)

2. Rawa

3. Semak (belukar)

(39)

5. Sawah

6. Badan air (sungai dan danau)

7. Vegetasi rapat (taman wisata alam, tegakan sejenis, dan hutan) 8. Vegetasi jarang (kebun campuran, jalur hijau, taman dan TPU) 9. Awan

10. Bayangan awan 11. Kabut (haze)

Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut, kemudian dilakukan uji akurasi overall classification accuracy dan overall kappa statistics untuk mengetahui tingkat ketepatan klasifikasi dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Pada tahun 2001 hasil akurasi klasifikasi tersebut berturut-turut sebesar 91,09% dan 88,59% sedangkan pada tahun 2010 sebesar 95,05% dan 93,97%. Akurasi atau ketelitian dalam klasifikasi merupakan hal penting dalam menilai hasil dari pemrosesan citra penginderaan jauh bagi suatu sistem penutupan lahan yang disusun berdasarkan data penginderaan jauh.

Kriteria yang ditetapkan oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) untuk tingkat ketelitian interpretasi minimum tidak kurang dari 85% dan ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori kurang lebih sama. Apabila tingkat akurasi kappa kurang dari 85%, hal tersebut dikarenakan beberapa sebab, yaitu pengambilan data GPS yang kurang banyak atau karena perbedaan waktu/jeda antara tanggal penyiaman citra dan pengambilan data di lapangan yang berbeda.

Palembang merupakan kota besar yang terus mengalami perubahan kondisi tutupan lahan. Pada penelitian ini, akuisisi citra tahun 2001 sedangkan pengambilan data GCP pada tahun 2010, telah menghasilkan nilai akurasi yang kecil. Hal tersebut dikarenakan pada periode 2001-2010 telah terjadi banyak perubahan lahan di Kota Palembang. Penjelasan mengenai tipe tutupan lahan di Kota Palembang adalah sebagai berikut :

1. Area terbangun

Area terbangun merupakan daerah yang digunakan secara intensif dan banyak lahan yang tertutup oleh bangunan. Pengklasifikasian penutupan lahan di wilayah Kota Palembang untuk tipe area terbangun meliputi, area perdagangan, area permukiman, area perkantoran, jalan raya, area industri dan perdesaan. Area

(40)

24

terbangun memliki kenampakan dengan ukuran yang cukup luas di bagian tengah lokasi penelitian sehingga dapat diindikasikan sebagai daerah perkotaan. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 tipe penutupan lahan area terbangun dicirikan dengan warna merah, sedangkan dalam pengklasifikasian diberi warna merah gelap.

Gambar 2 Area terbangun (permukiman) di pinggir Sungai Musi. 2. Rawa

Kategori tutupan lahan rawa merupakan salah satu tipe tutupan vegetasi yang berair atau cenderung tergenang air. Daerah rawa ini biasanya dijadikan sebagai daerah resapan air. Wilayah Kota Palembang merupakan daerah dataran rendah yang memiliki daerah rawa yang cukup luas. Dari hasil interpretasi citra Landsat tahun 2001 dan 2010 kategori rawa berwarna hijau kecokelatan, sedangkan dalam pengklasifikasian diberi warna abu-abu.

Gambar 3 Rawa yang ada di pinggir jalan Kecamatan Gandus. 3. Semak

Tipe semak berupa rumput atau ilalang yang tumbuh liar, serta diselingi oleh tumbuhan perdu. Pada tipe ini penduduk sering membuat tegalan atau kebun-kebun kecil di tengah-tengah semak tersebut. Tegalan tersebut tidak terlalu

(41)

luas dan letaknya terpencar-pencar serta cenderung tidak beraturan. Semak di wilayah Palembang umumnya merupakan rawa yang sudah tidak berair lagi, sehingga tanahnya menjadi kering dan ditumbuhi oleh ilalang/rumput yang lama kelamaan menjadi semak. Hasil interpretasi dari citra landsat tahun 2001 dan 2010 semak tersebut berwarna hijau muda kekuningan, sedangkan dalam klasifikasi diberi warna hijau kekuningan.

Gambar 4 Semak di Kecamatan Alang Alang Lebar.

4. Lahan terbuka

Lahan terbuka (kosong) dalam tipe penutupan lahan ini merupakan lahan yang tidak termanfaatkan dan dalam kondisi tidak bervegetasi seperti lapangan, tanah gundul dan area tempat proyek pembangunan. Tipe penutupan lahan terbuka pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 di Kota Palembang dicirikan dengan warna kuning kecokelatan, sedangkan dalam pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna merah muda.

Gambar 5 Lahan kosong di Kecamatan Ilir Barat 1. 5. Sawah

Kelas sawah terdiri dari kelas sawah irigasi ataupun tadah hujan. Selain itu sawah juga dibedakan berdasarkan sawah yang belum ditanami dan sawah yang siap panen. Sawah yang diinterpretasi berupa sawah yang memiliki tanaman padi

(42)

26

dan sawah basah (belum ada tanaman padinya). Sawah pada citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 dicirikan dengan warna biru keunguan untuk sawah (basah) dan warna hijau muda keunguan untuk sawah, sedangkan dalam pengklasifikasiannya dicirikan dengan warna biru keabuan-abuan.

Gambar 6 Sawah di Kecamatan Kertapati. 6. Badan air

Kategori badan air berupa sungai dan danau kecil yang ada di dalam wilayah Kota Palembang. Sungai dan danau pada landsat 7 ETM 2001 dan 2010 dicirikan dengan warna biru tua. Setelah diklasifikasikan warnanya tidak jauh berubah menjadi warna biru tua juga.

Gambar 7 Sungai Musi dan Jembatan Ampera.

7. Vegetasi rapat

Kategori vegetasi rapat merupakan penutupan lahan yang berupa hutan alam, perkebunan, dan tegakan sejenis yang rapat. Berdasarkan hasil interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2000 dan 2009 kelas ini berwarna hijau gelap, sedangkan untuk klasifikasinya digunakan warna hijau tua.

(43)

Gambar 8 Tegakan pinus TWA Punti Kayu.

8. Vegetasi jarang

Tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang di Kota Palembang dikategorikan menjadi kebun campuran, jalur hijau, taman kota, TPU (Tempat Pemakaman Umum) dan campuran antara tanaman keras (berkayu) dan non keras (berkayu). Berdasarkan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2010 tipe penutupan lahan untuk vegetasi jarang dicirikan dengan warna hijau muda. Dalam proses pengklasifikasian, vegetasi jarang juga dicirikan dengan warna hijau muda.

Gambar 9 Taman Kota Kambang Iwak.

9. Awan

Tipe ini tergolong kedalam kelas tidak ada data. Tipe ini terbentuk karena adanya pengaruh cuaca, iklim lokal pada wilayah pengambilan citra dan wilayah Indonesia yang memiliki tingkat awan yang cukup tinggi (Nurcahyono 2003). Awan pada hasil interpretasi berwarna putih, sedangkan pada hasil klasifikasi juga tetap diberi warna putih.

(44)

28

10. Bayangan awan

Tipe ini juga merupakan tipe yang tergolong kedalam tidak ada data. Bayangan awan bisanya terbentuk karena adanya awan. Luasannya tidak begitu berbeda dengan awan. Dari hasil interpretasi bayangan awan berwarna hitam, begitu juga dengan hasil klasifikasinya.

11. Kabut

Kabut tergolong ke dalam tipe tidak ada data. Pada citra landsat kabut terlihat samar-samar berwarna putih menyerupai awan. Pada kombinasi band 5,4,3 tidak terlihat adanya kabut tipis, akan tetapi pada band 6 yang diolah untuk melihat sebaran suhu, terlihat jelas ada kabut tipis pada citra. Hal tersebut berakibat pada klasifikasi suhu yang menjadi sangat rendah atau menjadi sangat tinggi.

5.1.1 Penutupan lahan Kota Palembang tahun 2001 dan 2010

Penutupan lahan wilayah Kota Palembang pada tahun 2001 berdasarkan klasifikasi Landsat 7 ETM dengan perekaman tanggal 10 Mei 2001 dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini :

Tabel 4 Luas penutupan lahan Kota Palembang tahun 2001

No. Tutupan Lahan Luas

ha %

1 Tidak ada data 14.493,15 39,34 2 Vegetasi Rapat 8.614,17 23,38 3 Area Terbangun 5.660,19 15,37 4 Vegetasi Jarang 2.782,62 7,55 5 Rawa 2.154,96 5,85 6 Semak 1.648,44 4,47 7 Badan Air 726,03 1,97 8 Sawah 397,98 1,08 9 Lahan Terbuka 359,55 0,98 Total 36.837,09 100,00

Data-data mengenai luasan tipe penutupan lahan per wilayah kecamatan dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Tabel 4, tipe tutupan lahan tidak ada

Gambar

Tabel 1 Proporsi RTH Kota Palembang dari zaman kolonial hingga tahun 2007
Tabel 3 Jumlah penduduk Kota Palembang tahun 2003-2007
Gambar 10  Peta tutupan lahan Kota Palembang tahun 2001.
Tabel 5 Luas penutupan lahan Kota Palembang tahun 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada abad sebelumnya, Ordinan Penjara 1872 dan Ordinan Pencegahan Jenayah yang diperkenalkan memperuntukkan proses pendaftaran semua penjenayah untuk mengenalpasti

Dari hasil tersebut maka dapat diketahui bahwa pegawai yang bekerja keras akan mendapatkan sebuah kesuksesan terkait dengan etos kerja pegawai negeri sipil di Kantor Kecamatan

Analisis Sensitivitas Respon Konsumen terhadap Ekstensifikasi Merek pada Sabun Cair Merek Citra (Studi pada Mahasiswa UIN Malang).. Skripsi Strata 1, Jurusan

Predictors: (Constant), Lingkerja, Kompensasi, Jjgkarir Dari uji ANOVA diperoleh F hitung sebesar 33.123 dengan tingkat signifikansi 0,000, karena tingkat probabilitas

Penelitian ini menunjukan hasil yang berlawanan dengan relasi gender dan kualitas pernikahan, yaitu bahwa rata-rata ketahanan keluarga buruh tani ‘brondol’ bawang merah

Untuk mendapatkan lapisan yang tipis, kondisi dari kedua aliran fase harus diatur yaitu diusahakan membuat aliran yang turbulen, karena pada lapisan film yang tipis akan

Dalam penelitian ini, keputusan seorang perempuan yang berstatus menikah untuk bekerja (curahan waktu jam kerja) sebagai variabel dependen, sedangkan variabel

Keunikan kawasan tradisional itu juga semakin spesifik, yang ditandai dengan bentang alam lansekap yang menarik karena berada di lereng Gunung Andong, bangunan