• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan pengaruh jarak jangkau ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan di perkotaan ( studi kasus : kota Bogor )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan pengaruh jarak jangkau ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan di perkotaan ( studi kasus : kota Bogor )"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PUTRI YASMIN NURUL FAJRI, Pemodelan Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau terhadap Suhu Permukaaan di Perkotaan (Studi Kasus : Bogor, Jawa Barat). Dibimbing oleh TANIA JUNE dan LILIK BUDI PRASETYO

Penelitian ini dilakukan di Bogor pada koordinat 106o48'40'' BT-106o46'22'' BT dan 6o30'53'' LS - 6o40'08'' LS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh jarak ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro khususnya suhu permukaan di perkotaan sehingga menghasilkan pemodelan yang dapat menghubungkan jarak ruang terbuka hijau yang efektif dalan perencanaan tata ruang perkotaan. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menggunakan penginderaan jauh dengan menggunakan satelit Landsat 5 TM+. Selanjutnya, dari citra satelit tersebut, dilakukan klasifikasi panutupan lahan yang dibedakan ke dalam tujuh tutupan lahan yang meliputi badan air, lahan terbangun, semak, sawah, vegetasi tinggi, ladang dan sawit. Pada penutupan lahan bervegetasi (semak, sawah, vegetasi tinggi, ladang dan sawit), dilakukan penghitungan jarak dengan menggunakan prinsip euclidean distance. Dengan demikian, fungsi ruang terbuka hijau pada penelitian ini merupakan fungsi jarak antar kelas vegetasi. Selain itu, dilakukan juga penghitungan komponen-komponen neraca energi yang meliputi radiasi netto (Rn), soil heat flux (G), sensible heat flux (H) dan latent heat flux (LE) pada tiap tutupan lahan baik tutupan lahan bervegetasi maupun tutupan lahan tidak bervegetasi.

Berdasarkan hasil analisis, diperoleh model dengan persamaan ̂ = -0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 Ln(Rn) - 0.000038 Ln(Dsawah - 0.000053 Ln(Ladang) di mana albedo merupakan nisbah radiasi pantul terhadap radiasi datang, Rn adalah radiasi netto, Dsawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah dan Dladang adalah jarak titik amatan terhadap ladang. Persamaan ini memiliki koefisien determinasi (R2) 88% dan hasil validasi menunjukkan korelasi 93.3% antara suhu permukaan hasil dugaan dengan suhu permukaan sebenarnya. Dalam persamaan ini vegetasi tinggi tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan diduga karena tingginya nilai LE di wilayah Bogor dan pengaruh vegetasi tinggi tertutup oleh vegetasi yang lain yang menutup lahan di Bogor.

(2)

ABSTRACT

PUTRI YASMIN NURUL FAJRI, Modelling The Effect Of Greenspace On Surface Temperature in Urban Area (Case Study: Bogor, West Java). Supervised by TANIA JUNE and

LILIK BUDI PRASETYO

This research was conducted in Bogor, located at 106o48'40'' E-106o46'22'' E and 6o30'53''S -6o40'08'' S. The research aimed at determining the influence of greenspace distance on micro climate especially on surface temperature, and therefore the effective distance of greenspace can be determined for urban spatial planning consideration. Urban surface temperature is the function of energy balance components and greenspace distance. Information of greenspace was derived from satellite image of Landsat 5 TM +.The image wa classified into seven land cover types i.e water bodies, constructed land, bush, paddy field (sawah), high vegetation, field (ladang), and oil palm. Distance to each greenspace type (bush, paddy field, high vegetation, field, and palm), were calculated using Euclidean distance principle. Energy balance components of each land cover class that include net radiation (Rn), soil heat flux (G), sensible heat flux (H), and latent heat flux (LE) were extracted from band 1,2,3 and 6 of Landsat 5 TM image data. Analysis result showed the influence of energy balance component and greenspace distance to surface temperature is satisfactorily described by the following :

̂

= -0.0280 + 0.0198 albedo + 0.00538 Ln(Rn) - 0.000038 Ln(Dsawah - 0.000053 Ln(Ladang)

where albedo is the ratio of radiation reflected to incoming radiation. Rn is the net radiation, Dsawah is the distance of observation point on the paddy field, and Dladang is the distance of observation point on the field. The equation has a coefficient of determination (R2) 88% and validation results showed a correlation 93,3% between the estimated surface temperature with the actual surface temperature. High vegetation do not affect significantly affect Bogor.

(3)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suhu permukaan merupakan salah satu unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi karakteristik unsur iklim mikro lainnya seperti suhu udara, arah angin dan sebagainya. Pada daerah perkotaan, unsur-unsur fisis atmosfer sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan aktivitas penggunaan lahan. Aktivitas tersebut membentuk karakteristik iklim mikro yang khas di perkotaan. Salah satu karakteristik iklim mikro yang tampak adalah dengan terbentuknya pulau panas (urban heat island) di mana terdapat perbedaan yang nyata antara suhu rata-rata daerah urban dengan daerah sub-urban.

Pada dasarnya, penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap penerimaan radiasi matahari dan kemampuan bahan penutup lahan tersebut dalam melepaskan panas yang diterima dari radiasi matahari. Menurut Wardhani (2006), penutupan lahan berupa penutupan vegetasi, dapat menurunkan suhu di pusat kota dibandingkan dengan daerah pinggiran kota. Dengan pertimbangan tersebut, maka diperlukan eksistesi ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Namun demikian, Perencanaan wilayah perkotaan seringkali kurang memperhatikan aspek fisis perkotaan. Umumnya, pembangunan ruang terbuka hijau hanya dilakukan pada lahan-lahan yang kosong dan kurang mencukupi sebagai peredam panas perkotaan. Oleh Karena itu, diperlukan perumusan dalam penentuan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan agar ruang terbuka hijau tersebut dapat secara efektif menciptakan iklim mikro diperkotaan yang nyaman.

Pendugaan jarak ruang terbuka hijau yang efektif dapat ditempuh dengan observasi pengaruh ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro khususnya suhu udara di perkotaan. Akan tetapi, untuk dapat diperoleh data yang menggambarkan pengaruh ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan dengan tepat, maka diperlukan kondisi cuaca yang menghampiri kondisi normal di mana tidak terjadi fenomena ENSO pada tahun tersebut. Oleh sebab itu, pendugaan sebaran suhu permukaan pada area yang luas, dilakukan dengan menggunakan teknik teknik penginderaan jauh.

Teknik pengindraan jauh selain dapat menghemat biaya dan waktu, dapat pula

menyediakan data yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan serta meliputi area kajian yang luas. Dengan demikian, perumusan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan dapat diperoleh melalui ekstraksi komponen neraca energi, suhu permukaan dan jarak antar-ruang terbuka hijau sehingga dapat memudahkan penentu kebijakan dalam perencanaan pembangunan tata kota dan wilayah perencanaan tata ruang di perkotaan.

1.2. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model hubungan antara jarak RTH terhadap iklim mikro khususnya suhu permukaan di perkotaan. Berdasarkan model tersebut, didapatkan jarak RTH yang efektif, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perencanaan tata ruang perkotaan.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Terbuka Hijau

Dalam Undang-Undang no 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pasal 1 ayat 31 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Selanjutnya, pada pasal 29 ayat 3 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1998 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan, terdapat tujuh bentuk RTH berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu :

 RTH yang berlokasi dikarenakan adanya tujuan konservasi,

 RTH untuk tujuan keindahan kota,

 RTH karena adanya tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya RTH rekreasi dan RTH pusat kegiatan olahraga,

(4)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suhu permukaan merupakan salah satu unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi karakteristik unsur iklim mikro lainnya seperti suhu udara, arah angin dan sebagainya. Pada daerah perkotaan, unsur-unsur fisis atmosfer sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan aktivitas penggunaan lahan. Aktivitas tersebut membentuk karakteristik iklim mikro yang khas di perkotaan. Salah satu karakteristik iklim mikro yang tampak adalah dengan terbentuknya pulau panas (urban heat island) di mana terdapat perbedaan yang nyata antara suhu rata-rata daerah urban dengan daerah sub-urban.

Pada dasarnya, penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap penerimaan radiasi matahari dan kemampuan bahan penutup lahan tersebut dalam melepaskan panas yang diterima dari radiasi matahari. Menurut Wardhani (2006), penutupan lahan berupa penutupan vegetasi, dapat menurunkan suhu di pusat kota dibandingkan dengan daerah pinggiran kota. Dengan pertimbangan tersebut, maka diperlukan eksistesi ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Namun demikian, Perencanaan wilayah perkotaan seringkali kurang memperhatikan aspek fisis perkotaan. Umumnya, pembangunan ruang terbuka hijau hanya dilakukan pada lahan-lahan yang kosong dan kurang mencukupi sebagai peredam panas perkotaan. Oleh Karena itu, diperlukan perumusan dalam penentuan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan agar ruang terbuka hijau tersebut dapat secara efektif menciptakan iklim mikro diperkotaan yang nyaman.

Pendugaan jarak ruang terbuka hijau yang efektif dapat ditempuh dengan observasi pengaruh ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro khususnya suhu udara di perkotaan. Akan tetapi, untuk dapat diperoleh data yang menggambarkan pengaruh ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan dengan tepat, maka diperlukan kondisi cuaca yang menghampiri kondisi normal di mana tidak terjadi fenomena ENSO pada tahun tersebut. Oleh sebab itu, pendugaan sebaran suhu permukaan pada area yang luas, dilakukan dengan menggunakan teknik teknik penginderaan jauh.

Teknik pengindraan jauh selain dapat menghemat biaya dan waktu, dapat pula

menyediakan data yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan serta meliputi area kajian yang luas. Dengan demikian, perumusan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan dapat diperoleh melalui ekstraksi komponen neraca energi, suhu permukaan dan jarak antar-ruang terbuka hijau sehingga dapat memudahkan penentu kebijakan dalam perencanaan pembangunan tata kota dan wilayah perencanaan tata ruang di perkotaan.

1.2. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model hubungan antara jarak RTH terhadap iklim mikro khususnya suhu permukaan di perkotaan. Berdasarkan model tersebut, didapatkan jarak RTH yang efektif, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perencanaan tata ruang perkotaan.

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Terbuka Hijau

Dalam Undang-Undang no 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pasal 1 ayat 31 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Selanjutnya, pada pasal 29 ayat 3 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota.

Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1998 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan, terdapat tujuh bentuk RTH berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu :

 RTH yang berlokasi dikarenakan adanya tujuan konservasi,

 RTH untuk tujuan keindahan kota,

 RTH karena adanya tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya RTH rekreasi dan RTH pusat kegiatan olahraga,

(5)

2

 RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan perumahan,

 RTH untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang ,

 RTH untuk halaman maupun bangunan rumah dan bangunan

Menurut Wardhani (2006), ruang terbuka hijau sangat efektif dalam mengurangi

climatological heat effect pada lokasi pemusatan bangunan tinggi yang berakibat pada timbulnya anomali pergerakan zat pencemar udara yang berdampak destruktif baik terhadap fisik bangunan maupun makhluk hidup.

2.2. Citra Satelit Landsat

Menurut Kieffer & Lillesand (1997), Penginderaan jauh (inderaja) secara umum didefinisikan sebagai suatu cara untuk memperoleh informasi dari objek tanpa mengadakan kontak fisik dengan objek tersebut, sedangkan secara khusus adalah

usaha untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik baik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek.

Menurut fungsinya satelit inderaja dibedakan menjadi satelit sumber daya alam dan satelit lingkungan-cuaca. Satelit yang termasuk sumber alam diantaranya adalah SPOT dan LANDSAT, sedangkan satelit lingkungan dan cuaca diantaranya METEOR dan COSMOS (USSER), TIROS-N dan NOAA-N (USA).

The United States Geological Survey

USGS (2002), menyebutkan bahwa pemantauan sumber daya yang ada di bumi dapat dilakukan dengan menggunakan Satelit Landsat 5 yang diluncurkan pada tanggal 1 maret 1984. Satelit ini mengorbit pada ketinggian orbit pada 705 km, sun synchronous, dan memetakan bumi dengan siklus pengulangan 16 hari sekali pada pukul 10.00 waktu setempat.

. Sistem Landsat-5 dirancang untuk

bekerja 7 kanal atau kanal energi pantulan (kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7) dan satu kanal energi emisi (kanal 6). Sensor ETM+ bekerja pada tiga resolusi, yaitu :

• Kanal spektral yaitu kanal 1 hingga kanal 5 dan kanal 7 untuk resolusi 30 meter

• Kanal 6 bekerja dengan resolusi 120 meter.

Tabel 1 Fungsi dan panjang gelombang tiap kanal dalam satelit Landsat ETM+ ( Lillesan dan Kiefer, 1997)

Kanal Panjang

Gelombang(µ m) Warna Spektral Kegunaan

1 0.45 - 0.52 Biru Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tanah, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan dan mengidentifikasi budidaya manusia. 2 0.52 - 0.60 Hijau Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan

dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan kenampakan budidaya manusia.

3 0.63 - 0.69 Merah Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakan untuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman juga untuk pengamatan budidaya manusia.

4 0.76 - 0.90 Infra merah dekat

Untuk membedakan jenis tumbuhan aktifitas dan kandungan biomassa untuk membatasi tubuh air dan pemisahan kelembaban tanah

5 1.55 - 1.75 Infra merah sedang

Menunjukkan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan.

6 10.4 - 12.5 Infra Merah Termal

Untuk menganalisis tegakan tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas.

7 2.08 - 2.35 Infra merah sedang

(6)

3

Dalam menganalisis suhu permukaan,

maka kanal yang digunakan adalah kanal 6 yang merupakan satu- satunya kanal yang memilki sensor terhadap thermal IR pada sistem penginderaan jauh. Panjang gelombang yang ditangkap oleh kanal tersebut adalah 10.4-12.5 µm, di mana secara umum memiliki fungsi untuk mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan kelembaban tanah.

2.3. Pengertian dan komponen neraca energi

Radiasi netto (Rn)

Permukaan matahari dengan suhu sekitar 6000 Kelvin akan memancarkan radiasi sebesar 73,5 juta Wm-2 . Radiasi yang sampai di puncak atmosfer rata-rata 1360 Wm-2, hanya sekita 50% yang diserap oleh permukaan bumi, 20% diserap oleh air dan partikel-partikel atmosfer, sedangkan 30% dipantulkan oleh permukaan bumi, awan dan atmosfer.

Matahari dapat memancarkan radiasi gelombang pendek, sedangkan benda di alam yang mempunyai suhu permukaan lebih besar dari 0 Kelvin (atau -273 oC) dapat memancarkan radiasi gelombang panjang yang nilainya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaan benda tersebut (Hukum Stefan-Bolzman). Sebagian dari radiasi matahari akan diserap dan dipancarkan lagi dalam bentuk gelombang panjang.

Selisih antara gelombang pendek netto dan gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang hilang disebut radiasi netto yang dirumuskan sebagai berikut:

Rn = Rs↓+Rs↑+Rl↑+Rl↓ ……(1) dengan Rs↓ adalah radiasi gelombang pendek yang datang, Rs↑ adalah radiasi gelombang pendek yang dipantulkan, Rl↑ radiasi gelombang penjang yang dipantulkan dan Rl↓ adalah radiasi gelombang penjang yang datang. Sebagian dari radiasi gelombang pendek dipantulkan dan diserap atau diteruskan. Seberapa besar energi pantulannya tergantung pada albedo (α) permukaanya.

Gambar 1 Ilustrasi komponen-komponen neraca energy. Sumber : Langensiepen (2003).

Berdasarkan pemanfaatan radiasi netto sebagaimana Gambar 1, radiasi netto dapat pula dirumuskan sebagai

Rn= H+G+λE+S……(2)

dimana H adalah sensible heat flux, G adalah soil heat flux, λE adalah latent heat flux, S adalah storage.

Samson dan Lemeur (2001) dalam tulisannya menyebutkan bahwa radiasi netto yang diterima oleh obyek di muka bumi akan digunakan untuk proses-proses fisis dan biologis yang dirumuskan ke dalam persamaan berikut :

Rn = Sa+Sg+Sw+Sv+Sp……….(3) di mana Rn merupakan radiasi netto, Sa adalah sensible heat flux yang seringkali dilambangkan dengan H, Sg adalah soil heat

flux yang sering dilambangkan dengan G, Sw adalah latent heat flux yang sering dilambangkan dengan λE, Sv adalah bimass

heat storage dan Sp adalah photosynthesis

heat storage. Keseluruhan pemanfaatan radiasi netto tersebut dinyatakan dalam satuan Wm-2.

Berbeda dengan Samson dan Lemeur (2001), Mayers dan Hollinger (2003) dalam tulisannya menjelaskan bahwa G berbeda dengan Sg. Menurut Mayers dan Hollinger (2003), Sg merupakan ground heat storage di atas soil heat flux plate (G).

Mayers dan Hollinger (2003) juga menyebutkan bahwa terdapat komponen pemanfaatan radiasi netto untuk pemanasan kandungan air (Sc). Dengan demikian, persamaan radiasi netto menurut Mayers dan Hollinger (2003) adalah :

(7)

4

 Pengaruh thermal radiasi hampir 70%

diserap oleh tanaman dan diubah sebagai lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya.

 Pengaruh fotosintesis karena hampir 28% dari energi yang ada diserap untuk fotosintesis dan disimpan dalam bentuk energi kimia

 Pengaruh fotomorfogenetik yaitu sebagai regulator dan pengendali proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Sensible Heat Flux (H)

Sensible Heat Flux (H) atau yang dikenal dengan lengas terasa atau fluks pemanasan udara merupakan energi yang digunakan untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Maharani, 2005). Fluks lengas terasa pada umumnya berlangsung secara konveksi di mana panas dipindahkan bersama-sama dengan fluida yang bergerak. Proses tersebut dirumuskan kedalam persamaan berikut :

……..(5) di mana H adalah fluks pemanasan udara (Wm-2), ρ adalah kerapatan udara kering (Kgm-3), Cp adalah panas jenis udara pada tekanan tetap (JKg-1K-1), Ts adalah suhu permukaan (oC), Ta adalah suhu udara (

o C) dan Γa adalah tahanan aerodinamik. Berdasarkan persamaan 5 diatas, diketahui bahwa semakin besar perbedaan antara suhu permukaan dengan suhu udara diatasnya dengan tahanan aerodinamik yang kecil, maka jumlah energi akan menjadi besar. Proses pemanasan udara melalui konveksi lebih efektif dibandingkan dengan konduksi atau radiasi. Oleh karena itu, proses pemanasan udara dalam neraca energi hanya diwakili oleh proses konveksi, sehingga nilai H ~ Rn.

Latent Heat Flux (LE)

Latent heat flux (LE) merupakan limpahan energi yang digunakan untuk menguapkan air ke atmosfer. Menurut Monteith dan Unsworth (1990), fluks panas laten adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama. Bila terjadi evaporasi, maka sistem yang berevaporasi mengalami pengurangan energi , sedangkan aliran energi akan bersifat positif (Michael, 2006). Pada proses ini terjadi konversi panas laten menjadi lengas terasa yang kemudian meningkatkan suhu udara dan menurunkan suhu permukaaan.

Soil Heat Flux (G)

Soil Heat Flux (G) merupakan sejumlah energi matahari yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Bentuk aliran energi pada fluks panas udara berupa konduksi di mana sebagian energi kinetik molekul benda/medium yang bersuhu lebih tinggi dipindahkan ke molekul benda yang lebih rendah melalui tumbukan molekul-molekul tersebut. Hal ini ditunjukkan melalui persamaan berikut :

……..(6)

di mana G adalah fluks pemanasan tanah (Wm-2), k adalah koefisien konduktifitas tanah (Wm-2K-1) dan adalah gradient suhu (Km-1). Menurut Pusmahasib (2002), limpahan lengas tanah yang sampai di permukaan tanah akan berkurang seiring dengan meningkatnya indeks luas daun suatu vegetasi.

Storage (S)

Sebagaimana persamaan 2, diketahui bahwa pemanfaatan radiasai netto selain digunakan untuk sensible heat flux, soil heat flux dan latent heat flux, radiasi netto yang diserap akan digunakan sebagai komponen

storage. Menurut Mayers dan Hollinger (2003), komponen storage terdiri dari penggunaan radiasi netto untuk adveksi, pengubahan energi menjadi biomasa (Sv), energy untuk fotosintesis (Sp) dan memanaskan sejumlah air yang terkandung di dalam suatu obyek terutama pada vegetasi (Sc).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jing et. al. (2006), adveksi merupakan pemanfaatan radiasi netto untuk proses pemanasan secara horizontal. Adveksi dipengaruhi oleh energi yg tersedia, kandungan air, kecepatan angin dan gradien vertical dari suhu udara.dalam penelitian tersebut, didapatkan pula adanya ragam spasial pada proses adveksi.

Samson dan Lemeur (2001) menyebutkan bahwa penggunaan komponen

storage pada radiasi nettto tidak sebesar pemanfaatan radiasi netto untuk G, LE dan H. Terkadang, komponen S hanya dipertimbangkan sebagai fraksi yang tetap pada pemanfaatan Rn oleh suatu obyek karena sulitnya menentukan heat storage

terutama Sp ( (Aston (1985) dalam Samson dan Lemeur (2001)).

(8)

5

dan 3o49’ BT) menyatakan bahwa

peningkatan dan penurunan penggunaan radiasi netto mengubah energi menjadi biomasa (Sv) sebanding dengan sensible heat

flux. Selain itu, Samson dan Lemeur (2001) juga menyebutkan bahwa pemanfaatan radiasi netto untuk proses fotosintesis (Sp) pada tumbuhan pinus hanya sebesar 3% dari keseluruhan radiasi netto yang diterima vegetasi tersebut.

2.4. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

Departemen Kehutanan 2001 mendefinisikan NDVI ( Normalized Difference Vegetation Index ) sebagai suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal infra merah dan kanal merah dekat yang menunjukkan tingkat konsentrasi klorofil daun yang berkorelasi dengan kerapatan vegetasi berdasarkan nilai spektral pada setiap piksel. Sementara Panuju (2009) mendefinisikan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai nilai indeks tanpa satuan yang menggambarkan kondisi vegetasi pada suatu hamparan yang dirumuskan sebagai

…(7)

di mana NIR adalah gelombang infra merah dekat (0.76 - 0.90 µm) dan IR adalah gelombang infra merah (0.63 - 0.69 µm). Menurut Knipling (1970), vegetasi memiliki reflektansi yang rendah terhadap gelombang cahaya tampak dan IR karena sebagian besar gellombang cahaya tampak tersebut diserap oleh klorofil dan sebagian besar IR pada panjang gelombang di atas 1.3 µ m akan diserap oleh air. Sebaliknya, vegetasi akan merefleksikan sebagian besar gelombang infra merah dekat yang diterimanya.

Perhitungan NDVI merupakan perbandingan antara reflektansi gelombang infra merah dekat dengan gelombang cahaya tampak. Nilai NDVI berkisar dari -1 hingga +1. Nilai tersebut mengindikasikan tingkat kesuburan dan kerapatan vegetasi dari suatu penutupan lahan. Semakin rapat dan subur suatu vegetasi, maka nilai NDVI akan menunjukkan nilai yang tinggi, sedangkan pada area yang telah terjadi pembukaan lahan akan menunjukkan nilai NDVI yang rendah. Nilai NDVI positif (+) terjadi apabila suatu obyek lebih banyak memantulkan gelombang inframerah dekat dibandingkan dengan infra merah. Nilai

NDVI nol (0) terjadi apabila pemantulan gelombang inframerah sama dengan pemantulan gelombang infra merah. Nilai NDVI negatif (-) terjadi apabila suatu awan, salju dan badan air memantulkan gelombang infra merah yang lebih banyak dibandingkan dengan gelombang inframerah dekat.

Menurut Allen et. al (2001) terdapat hubungan antara nilai NDVI, soil heat flux

(G), radiasi netto, albedo dan suhu permukaan :

G = f (Rn, Ts, α, ζDVI )…….(8) dirumuskan sebagai berikut :

(1-0.98 NDVI4)………..(9)

di mana :

G = soil heat flux (Wm-2) Ts = suhu permukaan (K) NDVI = indeks vegetasi Rn = radiasi netto (Wm-2) α = albedo.

Panuju (2009) menyatakan bahwa pendugaan indeks vegetasi dengan menggunakan NDVI memiliki berbagai keuntungan. Pertama, NDVI potensial untuk mempelajari tanaman. Kedua, NDVI dapat digunakan untuk memisahkan tipe permukaan bervegetasi. Ketiga, NDVI merupakan indeks vegetasi yang relatif tidak sensitif terhadap topografi.

Menurut Darmawan (2005), berdasarkan beberapa studi menunjukkan bahwa indeks vegetasi (NDVI) menunjukkan bahwa NDVI sebagai parameter terbaik dalam membedakan berbagai kelas vegetasi. Minimum NDVI adalah nilai NDVI minimal dan umumnya merupakan titik terendah dari kegiatan fotosintesis, sementara maksimum NDVI adalah nilai maksimum yang merupakan titik tertinggi aktivitas fotosintesis.

2.5. Suhu Permukaan

(9)

6

Hal ini akan meningkatkan fluks energi yang

keluar dari permukaan benda tersebut. Energi panas tersebut akan dipindahkan dari permukaan yang lebih panas ke udara diatasnya yang lebih dingin. Sebaliknya, jika udara lebih panas dan permukaan lebih dingin, panas akan dipindahkan dari udara ke permukaan dibawahnya.

Perubahan suhu permukaan obyek tidaklah sama. Hal ini tergantung pada karakteristik objek tersebut. Karakteristik yang menyebabkan perbedaan tersebut diantaranya emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Suhu permukaan objek akan meningkat bila memiliki emisivitas dan kapasitas panas yang rendah dan konduktivitas termalnya tinggi (Adiningsih, 2001).

Emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas sangat berpengaruh terhadap suhu permukaan. Emisivitas adalah rasio total energi radian yang diemisikan suatu benda per unit waktu per unit luas pada suatu permukaan dengan panjang gelombang tertentu pada temperatur benda hitam pada kondisi yang sama. Konduktivitas termal dapat didefinisikan sebagai kemampuan fisik suatu benda untuk menghantarkan panas dengan pergerakan molekul. Kapasitas panas merupakan jumlah panas yang dikandung oleh suatu benda (Handayani 2007 ).

2.6. Neraca Energi Tiap Penutupan Lahan bervegetasi

Menurut Waspadadi (2007), ruang terbuka hijau dengan luasan 30x30 meter mampu menurunkan suhu udara di lahan terbangun sebesar 0,0631oC. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diidentifikasi bahwa bila RTH mampu menurunkan suhu udara. Oleh karena itu, RTH juga mampu menurunkan suhu permukaan pada penutupan lahan non-vegetasi. Dengan demikian, dapat dipertimbangkan bahwa luasan RTH mempengaruhi kondisi suhu permukaan disekitaanya dan dapat digunakan sebagai peubah penjelas dari peubah respon berupa suhu permukaan. Pada penelitian yang dilakukan Waspadadi (2007) juga diketahui bahwa dengan penambahan 213,75 m lahan bervegetasi pada 3 poligon (14.850 m2) mampu menggeser rentang suhu permukaan yaitu dari selang 21-33 oC menjadi 23-32 oC.

Persawahan

Pusmahasib (2002) menjelaskan bahwa pada lahan bervegetasi tanaman padi sawah, radiasi netto yang mencapai

permukaan tanah akan berkurang. Hal ini terjadi karena sebagian dari radiasi netto akan mengenai tanaman sebelum mencapai permukaan tanah. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa untuk penutupan lahan berupa persawahan, nilai fluks pemanasan udara (H) berfluktuasi sesuai dengan perkembangan umur tanaman padi. Fluks pemanasan udara relatif besar terjadi pada awal umur tanaman padi dan akan menurun ketika tajuk tanaman mulai rapat. Kondisi ini dikarenakan pada saat tersebut tanaman masih muda dengan rumpun yang masih renggang, sehingga radiasi global yang datang langsung mengenai air pada lahan sawah. Akibatnya suhu air akan tinggi dan akan terjadi peningkatan limpahan lengas terasa.

Ketika tanaman mulai tumbuh dan tajuk tanaman mulai rapat, radiasi yang sampai ke permukaan tanah akan menurun karena tajuk tanaman padi yang rapat menghalangi penerimaan langsung radiasi ke tanah. Nilai H pada persawahan akan meningkat saat menjelang panen karena terjadi perontokan tanaman padi dan pembukaan lahan akibat proses pemanenan.

Pada rujukan yang sama, diketahui bahwa untuk daerah persawahan, LE (latent heat) yang terjadi cukup tinggi dan berbanding lurus terhadap penerimaan radiasi netto yang mengenai kawasan persawahan tersebut. Nilai LE akan menurun seiring dengan umur tanaman dan akan meningkat pada saat menjelang panen. Hal ini dikarenakan pada saat umur tanaman masih muda, lahan sawah masih terairi sehingga kelembaban udara di sekitar tanaman akan meningkat dan defisit tekanan uap air akan menurun, akibatnya nilai LE akan berkurang. Sebaliknya, pada saat akhir tanam, pengairan pada lahan mulai dikurangi, maka kelembaban udara akan turun sehingga terjadi peningkatan defisit tekanan dan mengakibatkan LE juga akan meningkat. Sementara itu, untuk nilai fluks panas tanah (G) pada persawahan, nilainya akan berkurang seiring dengan pertambahan umur tanaman padi sawah dan akan meningkat kembali pada saat tanaman padi sawah menggugurkan daunnya ketika menjelang panen.

Vegetasi tinggi

(10)

7

yang direfleksikan oleh unit indeks luas

daun atau kanopi, sedangkan transmisivitas adalah proporsi kerapatan fluks radiasi yang ditransmisikan oleh unit indeks luas daun. Absorbsivitas dapat didefinisikan sebagai proporsi kerapatan fluks radiasi yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun.

Dalam June (1993), radiasi surya yang sampai di permukaan kanopi tanaman ± 85% akan diserap dan kurang dari 10% akan dipantulkan. Sedangkan bagian yang tidak diintersepsi akan diteruskan atau ditransmisikan ke bagian bawah kanopi sebesar 5%. Proses penyerapan, pemantulan dan penerusan radiasi pada area tanaman akan menyebabkan terjadinya perubahan spektrum dari radiasi surya di puncak, tengah dan dasar kanopi. Keadaan ini mempunyai implikasi penting untuk tanaman yang tumbuh di bawah kanopi yang tebal. Faktor yang mempengaruhi penetrasi radiasi surya ke dalam tajuk meliputi sudut berdirinya daun, sifat permukaan daun, ketebalan daun (transmisi radiasi), ukuran daun, elevasi matahari serta proporsi dari radiasi langsung dan baur tajuk tanaman.

Dalam suatu vegetasi, bila indeks pantulan yang terjadi adalah (ρ), indeks transmisi ( ), dan indeks absorbsi (α), maka keseimbangan radiasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Impron, 1999) :

ρ + + α = 100%...(10)

Koefisien pemadaman (extinction coefficient) tajuk tanaman menggambarkan besarnya kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman, mulai dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (June, 1993). Distribusi cahaya dalam kanopi tanaman merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman dan efisiensi konversi penerimaan radiasi menjadi bahan kering (June, 1993). Koefisien pemadaman dapat menjelaskan bagaimana hubungan karakteristik kanopi tanaman dan intersepsi radiasi.

Nilai koefisien pemadaman (k) bergantung pada spesies, tipe tegakan, dan distribusi daun. Nilai k kurang dari 1 terdapat pada kondisi dedaunan yang tidak horizontal atau distribusi daun tidak merata (merumpun). Sementara nilai k lebih dari 1 terdapat pada distribusi daun yang tersebar merata (June, 1993).

Yoshida (2009) menyatakan bahwa pada penutupan lahan berupa hutan dengan vegetasi tinggi yang rapat, akan

memancarkan 70% fluks panas laten dan 30% lengas terasa dari radiasi netto yang diterimanya. Untuk daerah urban, radiasi netto yang diserap oleh vegetasi menjadi lebih besar dibandingkan dengan wilayah hutan. Selanjutnya disebutkan dalam Rauf (2009) bahwa kandungan air pada tajuk vegetasi tinggi lebih besar dibandingkan dengan rumput, sehingga kebutuhan panas laten untuk mengevaporasikan air pada permukaan tajuk vegetasi tinggi lebih besar dibandingkan dengan rumput.

Rumput/semak

Menurut Newton & Blackman (1970), rumput memiliki tekstur daun yang kasar dan berujung runcing, tekstur ini menyebabkan radiasi yang diterimanya akan dipancarkan lebih besar dibandingkan dengan daun yang bertekstur halus. Hal ini menyebabkan rumput akan memancarkan suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu permukaan pada daun bertekstur halus.

Tabel 2 Neraca energi pada vegetasi tinggi dan rumput Variabel neraca energi Hutan/ Vegetasi tinggi (MJm-2hari-1)

Rumput (MJm-2hari-1)

Rn 11.28±2.74 10.21±2.5

LE 8.41± 6.50 4.21±2.4

H 2.85±6.16 6.00 2.7

G 0.02±0.59 0.01±0.2 Sumber : Rauf (2009)

(11)

8

Tabel 3 Aliran energi dan massa

Variabel neraca energi

Vegetasi tinggi (MJm-2hari-1)

Rumput (MJm-2hari-1)

Rn 11.28±2.74 10.21±2.53

LE 8.41± 6.50 4.21±2.48

LE/Rn 74.56 41.23

H 2.85±6.16 6.00 2.69

H/Rn 25.27 58.77

Aliran

massa 3.43 1.72

Sumber : Rauf (2009)

Ladang

Pada penelitian yang dilakukan oleh Jose dan Berrade (1983) di Calobozo Biological Station, USA, dihasilkan bahwa dengan penghitungan Radiasi netto, sensible heat flux, latent heat flux dan soil heat flux

melalui pendekatan neraca energi selama musim basah dihasilkan radiasi netto yang diserap oleh tanaman ladang ladang seperti singkong dengan radiasi yang cukup rendah pada siang hari, pada umumnya radiasi netto yang diru bah menjadi panas laten sebesar 76 hingga 86 persen. Proses tersebut bergantung pada fase-fase pertumbuhan tanaman pada ladang dan tutupan kanopi tanaman tersebut. Selanjutnya, disebutkan bahwa sensile heat flux pada ladang akan mencapai maksimum terjadi pada tengah hari.

Tabel 4 Neraca energi (MJm-2) pada ladang singkong di sabana pada musim basah

komponen

Periode observasi

50 84 115 153

Hari setelah pemupukan

Rl 18.4 21.5 9.6 18.5

Rn 14.1 12.7 5.0 11.4

G 0.3 0.5 0.2 0.7

H -1.8 -7.5 -0.9 -5.5

LE

-12.2 -8.1 -3.9 -5.3 Sumber : Lean, 1996.

III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan April 2011 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data diantaranya:

 Perangkat lunak Erdas 9.1 untuk mengklasifikasikan penutupan lahan pada wilayah kajian serta menentukan berbagai komponen-komponen NDVI, neraca energi, suhu permukaan dan albedo.

 Perangkat lunak ArcGIS 9.3 digunakan untuk menentukan jarak dengan prinsip

Euclidean distance, menentukan titik amatan dan memperoleh berbagai komponen-komponen sebagai peubah penjelas dan peubah respon berdasarkan titik amatan.

 Perangkat lunak Ms. Office 2010 untuk mengolah data yang diperoleh dan melaporkan hasil penelitian.

 Perangkat lunak Minitab 15.0 sebagai perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh menggunakan alasisa statistik

(12)

8

Tabel 3 Aliran energi dan massa

Variabel neraca energi

Vegetasi tinggi (MJm-2hari-1)

Rumput (MJm-2hari-1)

Rn 11.28±2.74 10.21±2.53

LE 8.41± 6.50 4.21±2.48

LE/Rn 74.56 41.23

H 2.85±6.16 6.00 2.69

H/Rn 25.27 58.77

Aliran

massa 3.43 1.72

Sumber : Rauf (2009)

Ladang

Pada penelitian yang dilakukan oleh Jose dan Berrade (1983) di Calobozo Biological Station, USA, dihasilkan bahwa dengan penghitungan Radiasi netto, sensible heat flux, latent heat flux dan soil heat flux

melalui pendekatan neraca energi selama musim basah dihasilkan radiasi netto yang diserap oleh tanaman ladang ladang seperti singkong dengan radiasi yang cukup rendah pada siang hari, pada umumnya radiasi netto yang diru bah menjadi panas laten sebesar 76 hingga 86 persen. Proses tersebut bergantung pada fase-fase pertumbuhan tanaman pada ladang dan tutupan kanopi tanaman tersebut. Selanjutnya, disebutkan bahwa sensile heat flux pada ladang akan mencapai maksimum terjadi pada tengah hari.

Tabel 4 Neraca energi (MJm-2) pada ladang singkong di sabana pada musim basah

komponen

Periode observasi

50 84 115 153

Hari setelah pemupukan

Rl 18.4 21.5 9.6 18.5

Rn 14.1 12.7 5.0 11.4

G 0.3 0.5 0.2 0.7

H -1.8 -7.5 -0.9 -5.5

LE

-12.2 -8.1 -3.9 -5.3 Sumber : Lean, 1996.

III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan April 2011 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data diantaranya:

 Perangkat lunak Erdas 9.1 untuk mengklasifikasikan penutupan lahan pada wilayah kajian serta menentukan berbagai komponen-komponen NDVI, neraca energi, suhu permukaan dan albedo.

 Perangkat lunak ArcGIS 9.3 digunakan untuk menentukan jarak dengan prinsip

Euclidean distance, menentukan titik amatan dan memperoleh berbagai komponen-komponen sebagai peubah penjelas dan peubah respon berdasarkan titik amatan.

 Perangkat lunak Ms. Office 2010 untuk mengolah data yang diperoleh dan melaporkan hasil penelitian.

 Perangkat lunak Minitab 15.0 sebagai perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh menggunakan alasisa statistik

(13)

9

 Seperangkat komputer dan printer

 GPS (Ground Control Point) sebagai alat yang digunakan untuk memperoleh

ground check point (GCP).

Bahan – bahan yang digunakan antara lain : 1. Data citra Landsat TM+ Path/Row

122/065, tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dengan penutupan awan 0%.

2. Peta dasar wilayah Kota Bogor 3. Data iklim Kota Bogor (1993-2009)

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Pemrosesan Data Citra

Pemrosesan awal citra satelit dilakukan sebelum analisis spasial dan atribut, yaitu untuk mendapatkan informasi yang diinginkan dari suatu data citra. Beberapa tahapan yang dilakukan pada pemrosesan data citra dilakukan sebagai berikut:

Ts

Titik amatan

Tidak

Komponen neraca energi

Rn G H LE

Albedo

Klasifikasi terbimbing

Badan air

Lahan bervegetasi

Sawah Sawit

Rumput/ semak

Vegetasi tinggi Ladang

Lahan terbangun Landsat 5 TM+

Koreksi citra

Subset image

Kanal 1,2,3 dan 6 Kanal 1,2,3,4,5 dan 7

Euclidean distance

Terpenuhi

Validasi Model Ya

Nyata

Tidak Nyata Analisis

regresi Tidak

Nyata

Uji asumsi

Tidak

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian.

T

ran

sfo

rma

si

T

ran

sfo

rma

(14)

10

a. Koreksi Geometrik

Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan analisis titik kontrol medan (ground control point / GCP) yang dapat dikenali pada citra satelit dan peta acuan. Koreksi ini dilakukan untuk memproyeksikan citra ke dalam suatu system proyeksi tertentu. Pada penelitian ini, proyeksi yang digunakan adalah UTM (Universal Transverse Mercator). Penggunaan system proyeksi UTM sangat ideal bagi Indonesia karena dapat memberikan distorsi minimal untuk kondisi geografis Indonesia yang berada di sekitar katulistiwa.

b. Koreksi Radiometrik

Koreksi radiometrik dilakukan untuk mengoreksi data akibat pengaruh kondisi atmosfer yang disebabkan oleh variasi cuaca dan sudut matahari, pengaruh dan perubahan reflektan spektral dari obyek di permukaan. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode dark object dimana dark object tiap kanal dalam satu scene diperoleh dari data histogram. Pengaruh haze akan meningkatkan nilai digital number. Oleh karena itu, secara keseluruhan data akan dikurangi dengan selisih nilai antara dark object dan nilai nol. Hal ini ditempuh dengn asumsi bahwa keseluruhan data dalam scene

tersebut mendapatkan pengaruh atmosfer yang sama.

c. Subset Wilayah Kajian

Dari data citra satelit Landsat TM+

path/row 122/065, dilakukan cropping

dengan data vektor Kodya Bogor pada koordinat 106o48'40'' BT dan -6o30'53'' LS sampai dengan106o46'22'' BT dan -6o40'08'' LS. Subset ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengolah dan menganalisis daerah kajian.

d. Klasifikasi Penutup Lahan

Pada penelitian ini, proses klasifikasi penutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dengan teknik maximum likelyhood. Metode klasifikasi ini menggunakan kanal 5, 4 dan 3. Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan mencocokkan hasil penutupan lahan pada citra dengan kondisi di lapangan pada daerah kajian. Klasifikasi lahan dibedakan berdasarkan penutupan lahan dengan spektral paling nyata pada daerah kajian. Di wilayah Bogor, penutupan lahan dibedakan menjadi tujuh bagian, yaitu badan air, lahan terbangun, sawah, rumput/semak, ladang, vegetasi tinggi dan sawit.

 Badan air pada penelitian ini didefinisikan sebagai kumpulan air yang besarnya antara lain bergantung pada relief permukaan bumi, curah hujan, suhu, dan sebagainya misal; sungai, rawa, danau, laut, dan samudra.

 Lahan terbangun didefinisikan sebagai perkerasan hasil tangan manusia baik berupa rumah, jalan beraspal dan sebagainya.

Gambar 4 Diagram alir klasifikasi terbimbing penutupan lahan.

 Sawah adalah tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi

 Rumput/semak adalah tumbuhan jenis ilalang yang berbatang kecil, batangnya beruas, daunnya sempit panjang atau tumbuhan perdu yg mempunyai kayu-kayuan kecil dan rendah

 Ladang adalah tanah yg diusahakan dan ditanami (ubi, jagung, dsb) dengan tidak diairi.

 Vegetasi tinggi didefinisikan sebagai tumbuhan yang berbatang keras, besar dan berkayu.

 Sawit merupakan perkebunan dengan dominasi kelapa sawit sebagai

Supervised classification Recode

Fill Focal Majority Layer

Stacking

Subset

Image

Geo Correction Citra

Landsat

Titik Uji

Peta Tutupan

Lahan

Erdas Imagine

9.1

Uji Akurasi

Ya

(15)

11

komoditas utama penutupan lahan pada

area tersebut.

Proses selanjutnya, dilakukan uji akurasi untuk mengetahui akurasi dari klasifikasi lahan berdasarkan titik hasil

peninjauan di lapangan. Bila nilai akurasi lebih besar dari 85%, maka klasifikasi layak digunakan, tetapi bila nilai akurasi kurang dari 85% maka dilakukan klasifikasi ulang.

Gambar 5 Badan air.

Gambar 7 Sawah kering.

Gambar 9 Sawah berair.

.

Gambar 6 Semak/rumput.

Gambar 8 Vegetasi tinggi.

(16)

12

Gambar 11 Lahan terbangun.

Gambar 12 Ladang.

3.3.2. Penentuan jarak dengan metode euclidean distance

Gambar 13 Diagram alir penentuan

Euclidean distance.

Euclidean distance merupakan teknik penghitungan jarak antara dua objek dengan menggunakan teorema Phytagoras. Dalam penelitian ini, tiap lahan bervegetasi yang meliputi sawah, ladang, rumput/semak, sawit dan vegetasi tinggi akan dihubungkan dengan penutupan lahan yang serupa. Dengan demikian, akan dihasilkan fungsi jarak antar sawah yang satu dengan sawah yang lainnya dalam lokasi penelitian, begitupun dengan vegetasi tinggi, ladang, rumput/semak dan sawit. Jarak-jarak tersebut digunakan sebagai peubah penjelas yang selanjutnya akan digunakan sebagai penduga suhu permukaan di suatu titik amatan.

3.3.3. Neraca Energi

a. Perhitungan Suhu Permukaan (Ts)

Suhu permukaan diperoleh melalui kanal 6 yang kemudian diekstraksi menjadi digital number, spectral radiance, suhu kecerahan dan suhu permukaan tiap penutupan lahan. • Konversi nilai Digital Number (DN) ke

dalam nilai Spectral Radiance

Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai spektral radiance dari nilai DN dalam Landsat 7 science data Users Handbook-chapter 11 (2003), adalah sebagai berikut :

Lλ = Gain * QCAL + Offset ... (11)

Atau dapat juga dituliskan :

() ) ( ) ( i MIN MIN MIN MAX i MIN i MAX L QCAL QCAL QCAL QCAL L L

L   

         ... (12)

di mana :

Lλ = Spectral radiance pada kanal

ke-i (Wm-2sr-1µ m-1)

QCAL = Nilai digital number kanal ke-i

LMINi = Nilai minimum spectral

radiance kanal ke-i

LMAXi = Nilai maksimum spectral

radiance kanal ke-i, minimum pixel value

QCALMIN = 1 (LGPS Products) 0 (NPLAS Products) QCALMAX = Maksimum Pixel value (255) • Konversi nilai Spectral Radiance ke

dalam suhu kecerahan

Emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas sangat berpengaruh terhadap suhu permukaan. Spektral yang dapat digunakan untuk mengkaji kondisi suhu pada obyek di permukaan bumi adalah spektral termal.

Euclidean distance

Zonal Statistic

Titik amatan

Polygon

Polygon sawah, rumput/semak, sawit, vegetasi tinggi,dan ladang

Spatial Analysis

Klasifikasi Lahan

Jarak (Dsawah, Dsawit, Dveg, Dladang dan Dr/s)

(17)

13

Penggunaan spektral termal ini dapat

dilakukan dengan analisis brightness temperature. Brightness temperature (TB) adalah perhitungan dari intensitas radiasi termal yang diemisikan oleh obyek. Satuan yang digunakan adalah satuan suhu, sebab terdapat korelasi antara intensitas radiasi yang diemisikan dan suhu fisik dari badan radiasi, di mana diasumsikan bahwa emisi radiasi pada permukaan obyek berwarna hitam adalah 1,0 (Khomarudin, 2005). Suhu kecerahan dihitung dengan menggunakan nilai spectral radiance yang diperoleh dari nilai digital number (USGS, 2002). Dengan mengetahui nilai spectral radiance, maka dapat diketahui nilai suhu kecerahannya melalui persamaan:

di mana :

TS

= Suhu Permukaan yang terkoreksi (K)

TB = Suhu kecerahan (K)

= ( = 1,438 X 10-23)

= Tetapan Boltzman ( 1,38 X 1010 -23

JK-1)

λ = Panjang gelombang radiasi emisi (11,5 m)

= Emisivitas

Nilai emisivitas untuk lahan non-vegetasi yaitu sekitar 0.96 dan untuk lahan vegetasi sekitar 0.97. Sedangkan nilai emisivitas untuk air sekitar 0.98 (Artis dan Carnahan 1982 dalam Hermawan 2005). 2 1 ln 1 B K T K L         ...(14)

dengan K1= 666.09 Wm -2

sr-1m-1 dan K2= 1282.71 Kelvin untuk Landsat ETM sedangkan untuk Landsat TM, K1= 607,76 Wm-2sr-1m-1 dan K2 = 1260.56 Kelvin, TB adalah suhu kecerahan (Kelvin) dan Lλ

adalah Spectral radiance pada kanal ke-i yang nilainya (17,04/255 ) DN (Radiance

(Wm-2sr-1

m-1). Persamaan suhu permukaan adalah sebagai berikut :

Gambar 14 Diagram alir penentuan suhu permukaan dan neraca energi.

b. Albedo

Pendugaan albedo dari citra Landsat dalam USGS (2002) dapat ditentukan melalui persamaan :

..(15)

di mana :

d = jarak astronomi bumi-matahari

ESUNλ = rata-rata nilai solar spectral radiance

Cos ө = sudut zenith matahari

Nilai d2 dapat diketahui dengan menentukan JD (Julian Date) yaitu jumlah hari dalam satu tahun yang dihitung sampai tanggal akuisisi data citra tersebut. Persamaan yang digunakan dalam penentuan jarak astronomi bumi-matahari

d2 = (10.01674 Cos (0.98 JD-4))2...(16) Ts

G Rs ↑

Kanal 6

Subset image wilayah Kota Bogor Path/Row 122/ 065

Kanal 3,4

Spectral

radiance

NDVI Albedo (α)

Rs↓ Rs↓ Ts

Rn

H λE

(18)

14

Tabel 5 Parameter perhitungan albedo

 Fluks Panas Tanah

Fluks panas tanah dihitung berdasarkan hubungan antara radiasi netto (Rn), suhu permukaan (Ts) , albedo () dan NDVI yang dirumuskan oleh Allen et. al

2001 :

(0.0038 ……….(17)

 Fluks Panas Udara

Fluks pemanasan udara dapat dihampiri melalui persamaan :

……..(18)

di mana H adalan Sensible Heat Flux, Rn adalan radiasi netto, G adalah fluks pemanasan udara dan  adalah nisbah bowen. Nisbah bowen merupakan nilai perbandingan antara besarnya fluks pemanasan udara terhadap panas laten yang dirumuskan ebagai berikut:

……..(19)

3.3.4. Pembuatan model

Data yang diperoleh dari hasil interpretasi pada citra, selanjutnya dijadikan sebagai peubah untuk menentukan atau menduga pengaruh luas dan jarak ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan. Tahapan pembuatan model dapat dilakukan sesuai tahapan pada Gambar 3.

 Penentuan Peubah

Penentuan peubah dilakukan untuk mengetahui jenis peubah yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh model. Dalam menentukan jenis peubah, terlebih dahulu perlu dilakukan analisa hubungan tiap peubah. Pada penelitian kali ini, terdapat sepuluh peubah yang menjadi kajian penelitian, yaitu suhu permukaan, albedo, radiasi netto, fluks pemanasan tanah, fluks panas udara, sawah, sawit, vegetasi

tinggi, rumput/semak dan ladang. Peubah penjelas berupa sawah, sawit, vegetasi tinggi, rumput/semak dan ladang merupakan fungsi jarak yang diperoleh dari tahap 3.3.2.

 Penentuan Titik amatan

Titik yang digunakan adalah titik pada penutupan lahan berupa lahan terbangun pada wilayah kajian. Pada titik-titik tersebut akan ditentukan berbagai peubah penjelas yang selanjutnya akan diekstraksi sebagai suatu model.

 Uji Asumsi

Dalam memodelkan dengan menggunakan analisis regresi, maka diharapkan data mengikuti asumsi sebagai berikut :

a) Galat dari peubah penjelas menyebar normal

b) Ragam pada peubah penjelas homogen (homoskendastisitas)

c) Diantara peubah penjelas tidak terdapat multikolinieritas dan bila terdapat multikolinieritas, maka hanya digunakan peubah inti yang merupakan peubah utama yang paling berpengaruh terhadap suhu permukaan.

d) Galat pada model linier bersifat bebas antara satu observasi dengan observasi berikutnya atau yang biasa disebut dengan tidak ada autokorelasi antar galat pada model. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi, dapat dilakukan dengan menggunakan statistik uji Durbin-Watson. Apabila nilai D-W berada di mendekati angka 2, maka tidak terjadi autokorelasi.

 Analisis Regresi

Analisis regresi yang digunakan adalah dengan menghubungkan fluks pemanasan udara (heat), albedo, fluks pemanasan tanah, radiasi netto, vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah, ladang dan sawit RTH yang diperoleh dari data yang telah diolah. Selanjutnya, ketiga prediktor tersebut akan dihubungkan dengan suhu permukaan titik amatan yang didasarkan pada koordinat titik tersebut.

 Penentuan Peubah yang Berpengaruh Pada saat meregresikan suatu prediktor terhadap peubah respon, akan ada beberapa prediktor yang tidak berpengaruh terhadap peubah penjelas,. Pada kondisi demikian, perlu adanya pemilihan prediktor yang berpengaruh dan selanjutnya dilakukan kembali analisis regresi.

 Transformasi Box-Cox

Transformasi Box Cox diberlakukan kepada variabel respon, Y, yang harus Parameter Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3

Sudut elevasi matahari

58032' -58032' 58032'

Irradiasi

matahari 1969 1840 1551 jarak

bumi ke matahari

(19)

15

bertanda positif, dinyatakan dalam

transformasi kuasa dengan persamaan berikut : { ( )⁄

…..

(20)

Salah satu metode penaksiran yang dapat digunakan ialah metode maksimum likelihood (Draper & Smith, 1981).

 Validasi Model

Proses validasi model dimaksudkan untuk menguji kelayakan model untuk menduga titik-titik lain di wilayah kajian. Validasi dilakukan dengan menggunakan 20% dari titik amatan. Pada penelitian ini, diambil 229 titik amatan, sehingga data yang digunakan untuk validasi adalah sebanyak 59 data dengan titik tersebar secara acak dan mewakili seluruh wilayah kajian. Bila hasil validasi dianggap baik, maka persamaan dapat diaplikasikan kepada berbagai pihak yang terkait.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Kota Bogor

Secara astronomis, Kota Bogor terletak pada 106o43’30’’ BT – 106o51’00’’ BT dan 6o30’30’’δS – 6o41’00’’δS dengan luas wilayah adalah 21.56 Km2. Dalam penelitian ini, wilayah Bogor yang dikaji terletak pada 106o48'40'' BT - 106o46'22'' BT dan 6o30'53'' LS - 6o40'08'' LS.

Kota Bogor berada pada ketinggian 190 hingga 300 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini terbilang sejuk dengan suhu udara rata-rata tiap bulannya adalah 26oC dengan kelembaban nisbi pada tahun 2006 sebesar 81%. Suhu terendah Bogor mencapai 21.8oC yang sering terjadi pada bulan Desember hingga Januari.

4.2. Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat

Klasifiikasi penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi citra satelit Landsat 5 TM+ pada tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification) menggunakan teknik maaximum likelyhood. Penutupan lahan (land cover) pada wilayah kajian diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu badan air, lahan terbangun, ladang, rumput/semak, sawah, sawit dan vegetasi tinggi. Masing – masing diklasifikasikan berdasarkan kelas spektral melalui beberapa

training area (Gambar 15) yang diperoleh dari pengecekan di lapang.

Gambar 15 Trainning area pada klasifikasi tutupan lahan.

Akurasi klasifikasi lahan tersebut diperoleh dengan mecocokkan hasil ground check dengan hasil klasifikasi pada citra. Berdasarkan uji akurasi, didapatkan bahwa klasifikasi lahan pada penelitian di area studi, sebesar 95.65% dan nilai kappa statistik sejumlah 0.9454. Nilai akurasi dan kappa tersebut menunjukkan adanya kesalahan klasifikasi sebesar 4.35% dengan perbedaan hasil klasifikasi terhadap ground truth sebesar 5.46% dari kondisi sebenarnya. Dengan demikian, klasifikasi penutupan pada penelitian ini telah menghampiri kondisi penutupan lahan yang sebenarnya pada wilayah kajian. Hal ini ditandai dengan nilai akurasi dan kappa statistik yang lebih dari 85%.

Tabel 6 Klasifikasi penutupan lahan Bogor tahun 2006

Penutupan Lahan

Luas

(Ha) Luas (%)

Badan air 505 4.7

Sawah 2357 22.1

Vegetasi tinggi 1704 15.9 Semak/rumput 2786 26.1

Badan air Sawah

Vegetasi tinggi Lahan terbangun

Rumput/semak Ladang

(20)

15

bertanda positif, dinyatakan dalam

transformasi kuasa dengan persamaan berikut : { ( )⁄

…..

(20)

Salah satu metode penaksiran yang dapat digunakan ialah metode maksimum likelihood (Draper & Smith, 1981).

 Validasi Model

Proses validasi model dimaksudkan untuk menguji kelayakan model untuk menduga titik-titik lain di wilayah kajian. Validasi dilakukan dengan menggunakan 20% dari titik amatan. Pada penelitian ini, diambil 229 titik amatan, sehingga data yang digunakan untuk validasi adalah sebanyak 59 data dengan titik tersebar secara acak dan mewakili seluruh wilayah kajian. Bila hasil validasi dianggap baik, maka persamaan dapat diaplikasikan kepada berbagai pihak yang terkait.

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Kota Bogor

Secara astronomis, Kota Bogor terletak pada 106o43’30’’ BT – 106o51’00’’ BT dan 6o30’30’’δS – 6o41’00’’δS dengan luas wilayah adalah 21.56 Km2. Dalam penelitian ini, wilayah Bogor yang dikaji terletak pada 106o48'40'' BT - 106o46'22'' BT dan 6o30'53'' LS - 6o40'08'' LS.

Kota Bogor berada pada ketinggian 190 hingga 300 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini terbilang sejuk dengan suhu udara rata-rata tiap bulannya adalah 26oC dengan kelembaban nisbi pada tahun 2006 sebesar 81%. Suhu terendah Bogor mencapai 21.8oC yang sering terjadi pada bulan Desember hingga Januari.

4.2. Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat

Klasifiikasi penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi citra satelit Landsat 5 TM+ pada tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification) menggunakan teknik maaximum likelyhood. Penutupan lahan (land cover) pada wilayah kajian diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu badan air, lahan terbangun, ladang, rumput/semak, sawah, sawit dan vegetasi tinggi. Masing – masing diklasifikasikan berdasarkan kelas spektral melalui beberapa

training area (Gambar 15) yang diperoleh dari pengecekan di lapang.

Gambar 15 Trainning area pada klasifikasi tutupan lahan.

Akurasi klasifikasi lahan tersebut diperoleh dengan mecocokkan hasil ground check dengan hasil klasifikasi pada citra. Berdasarkan uji akurasi, didapatkan bahwa klasifikasi lahan pada penelitian di area studi, sebesar 95.65% dan nilai kappa statistik sejumlah 0.9454. Nilai akurasi dan kappa tersebut menunjukkan adanya kesalahan klasifikasi sebesar 4.35% dengan perbedaan hasil klasifikasi terhadap ground truth sebesar 5.46% dari kondisi sebenarnya. Dengan demikian, klasifikasi penutupan pada penelitian ini telah menghampiri kondisi penutupan lahan yang sebenarnya pada wilayah kajian. Hal ini ditandai dengan nilai akurasi dan kappa statistik yang lebih dari 85%.

Tabel 6 Klasifikasi penutupan lahan Bogor tahun 2006

Penutupan Lahan

Luas

(Ha) Luas (%)

Badan air 505 4.7

Sawah 2357 22.1

Vegetasi tinggi 1704 15.9 Semak/rumput 2786 26.1

Badan air Sawah

Vegetasi tinggi Lahan terbangun

Rumput/semak Ladang

(21)

16

Sawit 118 1.1

Ladang 7434 69.6

Lahan

terbangun 6616 62

Total 10674 100

Hasil klasifikasi penutupan lahan pada daerah studi menunjukkan bahwa wilayah Bogor didominasi oleh lahan pertanian sebesar 65.95% dari keseluruhan penutupan lahan di Bogor. Penutupan lahan berupa vegetasi tinggi hanya menempati 11,65% dari total luas di Bogor pada daerah kajian. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan dari vegetasi menjadi lahan terbangun maupun lahan pertanian seiring dengan meningkatnya jumah penduduk, pembangunan infrastruktur dan berbagai perkembangan kegiatan pembangunan di Bogor. Badan air sebagian besar terletak terdapat di Sungai Ciliwung, sungai Cisadane dan sumber badan air lainnya.

Tabel 7 Klasifikasi penutupan lahan Kota Bogor tahun 2006

Penutupan lahan Luas

Ha %

Badan air 318 2.9

Sawah 1124 10.5

Vegetasi tinggi 808 7.6 Lahan

terbangun 4799 45 Semak/rumput 1335 12.5

Ladang 2289 21.4

Total 10674 100

Untuk wilayah di Kota Bogor, penutupan lahan didominasi oleh lahan terbangun terbangun dengan persentase penutupan lahan sebesar 45% dari keseluruhan penutupan lahan di Kota Bogor. Luas area terbuka hijau semakin terdesak dengan maraknya pembangunan yang dilakukan di area Kota Bogor. Dengan terkonsentrasinya lahan terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota (rural), mengindikasikan akan adanya fenomena

urban heat island di mana secara wilayah perkotaan akan cenderung lebiih panas dibandingkan wilayah di pinggir kota sehingga membentuk seperti kubah di pusat kota.

Luasan pada masing – masing penutupan lahan tidak sepenuhnya

menunjukkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutupan lahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa kesalahan seperti faktor galat secara spasial ketika klasifikasi penutupan lahan.

4.3. Pendugaan Komponen Neraca Energi Pada Beberapa Penutupan Lahan 4.3.1. Pendugaan Albedo

Albedo merupakan nisbah antara radiasi pantul dengan radiasi datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari data citra Landsat 5 TM+ dengan memanfaatkan fungsi kanal 1, 2 dan 3. Pada wilayah kajian ini, diperoleh bahwa lahan terbuka memiliki nilai albedo yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan berupa vegetasi dan badan air. Hasil pengolahan citra Landsat diperoleh banwa nilai rata-rata albedo pada badan air, lahan bervegetasi (sawah, ladang, vegetasi tinggi, sawit dan semak/rumput) dan lahan terbangun bernilai 0.04843, 0.0526378 dan 0.063163. Nilai tersebut menunjukkan bahwa lahan terbangun memiliki nilai radiasi pantul yang lebih besar dibandingkan dengan lahan bervegetasi maupun badan air.

Badan air memiliki nilai albedo terendah. Kondisi ini disebabkan oleh karakteristik air yang memiliki nilai kapasitas kalor yang paling besar yaitu 4.18x10-6 m-3oC-1 dibandingkan dengan vegetasi (2.51x10-6 m-3oC-1) dan lahan terbangun (2.17x10-6 m-3oC-1). Dengan kapasitas kalor yang besar, maka badan air mampu menampung energi radiasi yang lebih besar. Hal ini menyebabkan radiasi yang dipantulkan juga akan cenderung lebih kecil dibandingkan penutupan lahan yang lain.

(22)

17

4.3.2. Pendugaan Radiasi Netto

Radiasi netto merupakan nilai yang menunjukkan selisih radiasi yang diterima permukaan bumi terhadap radiasi yang meninggalkan permukaan bumi. Pada siang hari, radiasi netto bernilai positif, sedangkan pada malam hari radiasi netto bernilai negative. Radiasi netto yang bernilai positif ini yang digunakan untuk memanaskan udara, lautan dan permukaan bumi.

Berdasarkan data citra Landsat 5 TM+ dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diperoleh bahwa terdapat perbedaan radiasi netto yang serap oleh permukaan tiap penutupan lahan. Radiasi netto pada badan air, vegetasi dan lahan terbangun dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai radiasi gelombang panjang pada penelitian ini hanya diambil dari nilai radiasi gelombang panjang yang dipancarkan oleh bumi, karena radiasi gelombang panjang yang dating dari radiasi matahari nilainya sangat kecil. Nilai radiasi netto diperoleh dari selisih antara radiasi radiasi gelombang pendek yang diperoleh melalui nilai albedo dan radiasi gelombang panjang yang diperoleh dari suhu permukaan.

Pada penelitian ini, dilakukan penghitungan radiasi netto yang merupakan penjumlahan radiasi gelombang pendek yang dating dan yang dipantulkan serta radiasi gelombang panjang yang dipantulkan dariobyek. Dalam penelitian ini,r adiasi gelombang panjng yang beradal dari obyek di bumi tidak dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan memiliki nilai yang menghampiri nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan.

Berdasarkan Tabel 8 terlihat adanya perbedaan penerimaan radiasi netto untuk setiap penutupan lahan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik penutupan lahan baik dari nilai albedo, radiasi gelombang pendek maupun radiasi gelombang panjang. Secara umum, nilai radiasi gelombang pendek yang dipantulkan memiliki nilai yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipantulkan. Hal ini dikarenakan pada siang hari, radiasi yang dating dari matahari lebih dominan dibandingkan dengan radiasi yang yang berasal dari bumi.

Penerimaan radiasi netto pada lahan terbangun menempati nilai terendah dibandingkan dengan enam penutupan lainnya pada Tabel 8. Kondisi ini

disebabkan albedo yang tinggi pada lahan terbangun sehingga radiasi gelombang pendek yang diterimanya akan lebih dominan untuk dipantulkan dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Selain itu, proses ini juga berkaitan dengan kapasitas kalor pada perkerasan (man made) yang cenderung lebih rendah, sehingga kemampuan obyek dalam menyimpan energi yang diterimanya menjadi rendah dibandingkan energi yang dipantulkan. Hal ini pula yang menyebabkan lahan terbangun akan memiliki suhu permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya bila dilihat melalui penginderaan jauh.

Penutupan lahan berupa sawah, memiliki nilai radiasi netto yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan terbangun, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan badan air dan jenis tumbuhan lainnya. Pada dasarnya, penggunaan radiasi netto pada sawah cenderung variatif tergantung pada umur tanaman padi.

Tabel 8 Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm-2) tiap penutupan lahan

Pada awal penanaman, sawah akan tergenangi oleh air di mana kanopi sawah pada saat tersebut masih relatif kecil sehingga energi yang diterimanya sebagian digunakan untuk pertumbuhan dan penyerapan oleh air, sedangkan sisanya dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk panas. Penerimaan radiasi netto akan terus meningkat seiring dengan fase pertumbuhan tanaman padi dan akan menurun kembali pada saat menjelang panen karena daun dan bulir padi akan gugur. Kondisi yang beragam ini menyebabkan pada saat pemotretan citra satelit Landsat 5 pada pukul 10.00 waktu setempat akan cenderung merekam kondisi terkini pada waktu tersebut. Berdasarkan analisa menggunakan pengindraan jauh, sebagian lahan yang

Penutupan

lahan Rs↑ Rs↓ Rl↑ Rn Lahan

(23)

18

teridentifikasi sebagai persawahan masih

tergenangi oleh air. Sehingga nilai radiasi netto akan lebih rendah dibandingkan dengan radiasi netto pada badan air.

Berbeda dengan sawah, badan air memiliki kapasitas kalor yang lebih besar sehingga dapat menampung energi yang lebih besar dibandingkan dengan sawah. Akan tetapi, penggunaan radiasi netto oleh badan air pada umumnya digunakan untuk merubah air menjadi uap air pada suhu tetap dan menghidupi organisme-organisme didalamnya.

Pada lahan bervegetasi tinggi, nilai radiasi netto yang diterimanya lebih besar dibandingkan dengan radiasi netto pada keempat penutupan lahan lainnya selain penutupan lahan berupa perkebunan sawit. Hal ini disebabkan oleh karakteristik vegetasi yang memanfaatkan sebagian besar energi yang diterimanya untuk proses metabolisme dan proses fisiologis tumbuhan. Berdasarkan Tabel 8, radiasi yang diserap oleh vegetasi tinggi sebesar 39.83% terhadap radiasi yang datang. Dari 39.83% radiasi tersebut,70% akan diubah menjadi lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya. Selanjutn

Gambar

Tabel 13. Suhu titik amatan dan jarak terhadap vegetasi tinggi di Kota Bogor
Gambar 24 Uji kenormalan residual sawah terhadap suhu permukaan.
Gambar 25 Scatter plot suhu permukaan (peubah respon) terhadap RTH dan komponen neraca energi
Gambar 1  Ilustrasi Komponen Neraca Energi ..............................................................
+7

Referensi

Dokumen terkait

A time to kill, and a time to heal; a time to break down, and a time to build up; A time to weep, and a time to laugh; a time to mourn, and a time to dance; A time to cast

Jika dibandingkan dengan target yang ditetapkan untuk tahun 2017, indikator kinerja ini dapat dikatakan sudah mencapai dari target yang ditetapkan yaitu sebesar

Dalam penelitian ini, keputusan seorang perempuan yang berstatus menikah untuk bekerja (curahan waktu jam kerja) sebagai variabel dependen, sedangkan variabel

Kebudayaan ialah segala sesuatu yang dicip- takan oleh budi manusia, yaitu segala sesuatu yang dipikirkan, diusahakan, serta dikerjakan oleh manu- sia dalam lingkup

[r]

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari aspek pengawasan mutu dan pema- saran ape1 di tingkat petani dan para pelaku pemasaran (tengkulak, 'pedagang pengum- pul'

Kegiatan Pendayagunaan TKS bertujuan untuk memberdayakan para sarjana dalam kegiatan pendampingan masyarakat dibidang perluasan kesempatan kerja dan penempatan tenaga kerja,