• Tidak ada hasil yang ditemukan

15 bertanda positif, dinyatakan dalam

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Kota Bogor

4.2. Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat

Klasifiikasi penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi citra satelit Landsat 5 TM+ pada tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification) menggunakan teknik maaximum likelyhood. Penutupan lahan (land cover) pada wilayah kajian diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu badan air, lahan terbangun, ladang, rumput/semak, sawah, sawit dan vegetasi tinggi. Masing – masing diklasifikasikan berdasarkan kelas spektral melalui beberapa

training area (Gambar 15) yang diperoleh dari pengecekan di lapang.

Gambar 15 Trainning area pada klasifikasi tutupan lahan. Akurasi klasifikasi lahan tersebut diperoleh dengan mecocokkan hasil ground check dengan hasil klasifikasi pada citra. Berdasarkan uji akurasi, didapatkan bahwa klasifikasi lahan pada penelitian di area studi, sebesar 95.65% dan nilai kappa statistik sejumlah 0.9454. Nilai akurasi dan kappa tersebut menunjukkan adanya kesalahan klasifikasi sebesar 4.35% dengan perbedaan hasil klasifikasi terhadap ground truth sebesar 5.46% dari kondisi sebenarnya. Dengan demikian, klasifikasi penutupan pada penelitian ini telah menghampiri kondisi penutupan lahan yang sebenarnya pada wilayah kajian. Hal ini ditandai dengan nilai akurasi dan kappa statistik yang lebih dari 85%.

Tabel 6 Klasifikasi penutupan lahan Bogor tahun 2006 Penutupan Lahan Luas (Ha) Luas (%) Badan air 505 4.7 Sawah 2357 22.1 Vegetasi tinggi 1704 15.9 Semak/rumput 2786 26.1

Badan air Sawah

Vegetasi tinggi Lahan terbangun

Rumput/semak Ladang

16

Sawit 118 1.1 Ladang 7434 69.6 Lahan terbangun 6616 62 Total 10674 100

Hasil klasifikasi penutupan lahan pada daerah studi menunjukkan bahwa wilayah Bogor didominasi oleh lahan pertanian sebesar 65.95% dari keseluruhan penutupan lahan di Bogor. Penutupan lahan berupa vegetasi tinggi hanya menempati 11,65% dari total luas di Bogor pada daerah kajian. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan dari vegetasi menjadi lahan terbangun maupun lahan pertanian seiring dengan meningkatnya jumah penduduk, pembangunan infrastruktur dan berbagai perkembangan kegiatan pembangunan di Bogor. Badan air sebagian besar terletak terdapat di Sungai Ciliwung, sungai Cisadane dan sumber badan air lainnya.

Tabel 7 Klasifikasi penutupan lahan Kota Bogor tahun 2006 Penutupan lahan Luas

Ha % Badan air 318 2.9 Sawah 1124 10.5 Vegetasi tinggi 808 7.6 Lahan terbangun 4799 45 Semak/rumput 1335 12.5 Ladang 2289 21.4 Total 10674 100 Untuk wilayah di Kota Bogor, penutupan lahan didominasi oleh lahan terbangun terbangun dengan persentase penutupan lahan sebesar 45% dari keseluruhan penutupan lahan di Kota Bogor. Luas area terbuka hijau semakin terdesak dengan maraknya pembangunan yang dilakukan di area Kota Bogor. Dengan terkonsentrasinya lahan terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota (rural), mengindikasikan akan adanya fenomena

urban heat island di mana secara wilayah perkotaan akan cenderung lebiih panas dibandingkan wilayah di pinggir kota sehingga membentuk seperti kubah di pusat kota.

Luasan pada masing – masing penutupan lahan tidak sepenuhnya

menunjukkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutupan lahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa kesalahan seperti faktor galat secara spasial ketika klasifikasi penutupan lahan.

4.3. Pendugaan Komponen Neraca Energi Pada Beberapa Penutupan Lahan 4.3.1. Pendugaan Albedo

Albedo merupakan nisbah antara radiasi pantul dengan radiasi datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari data citra Landsat 5 TM+ dengan memanfaatkan fungsi kanal 1, 2 dan 3. Pada wilayah kajian ini, diperoleh bahwa lahan terbuka memiliki nilai albedo yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan berupa vegetasi dan badan air. Hasil pengolahan citra Landsat diperoleh banwa nilai rata-rata albedo pada badan air, lahan bervegetasi (sawah, ladang, vegetasi tinggi, sawit dan semak/rumput) dan lahan terbangun bernilai 0.04843, 0.0526378 dan 0.063163. Nilai tersebut menunjukkan bahwa lahan terbangun memiliki nilai radiasi pantul yang lebih besar dibandingkan dengan lahan bervegetasi maupun badan air.

Badan air memiliki nilai albedo terendah. Kondisi ini disebabkan oleh karakteristik air yang memiliki nilai kapasitas kalor yang paling besar yaitu 4.18x10-6 m-3oC-1 dibandingkan dengan vegetasi (2.51x10-6 m-3oC-1) dan lahan terbangun (2.17x10-6 m-3oC-1). Dengan kapasitas kalor yang besar, maka badan air mampu menampung energi radiasi yang lebih besar. Hal ini menyebabkan radiasi yang dipantulkan juga akan cenderung lebih kecil dibandingkan penutupan lahan yang lain.

Pada lahan bervegetasi baik berupa tutupan rendah seperti semak/rumput dan ladang maupun vegetasi dan juga vegetasi terendam seperti sawah, memiliki radiasi pantul yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun. Hal ini disebabkan energi yang diterima oleh tumbuhan sebagian besar digunakan untuk metabolisme tumbuhan dan hanya beberapa bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Kondisi ini berbeda dengan karakteristik penutupan lahan pada lahan terbuka. Untuk lahan terbuka, sebagian besar energi yang diterima digunakan untuk memanaskan udara sehingga banyak dari radiasinya digunakan untuk memanaskan atmosfer.

17

4.3.2. Pendugaan Radiasi Netto

Radiasi netto merupakan nilai yang menunjukkan selisih radiasi yang diterima permukaan bumi terhadap radiasi yang meninggalkan permukaan bumi. Pada siang hari, radiasi netto bernilai positif, sedangkan pada malam hari radiasi netto bernilai negative. Radiasi netto yang bernilai positif ini yang digunakan untuk memanaskan udara, lautan dan permukaan bumi.

Berdasarkan data citra Landsat 5 TM+ dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diperoleh bahwa terdapat perbedaan radiasi netto yang serap oleh permukaan tiap penutupan lahan. Radiasi netto pada badan air, vegetasi dan lahan terbangun dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai radiasi gelombang panjang pada penelitian ini hanya diambil dari nilai radiasi gelombang panjang yang dipancarkan oleh bumi, karena radiasi gelombang panjang yang dating dari radiasi matahari nilainya sangat kecil. Nilai radiasi netto diperoleh dari selisih antara radiasi radiasi gelombang pendek yang diperoleh melalui nilai albedo dan radiasi gelombang panjang yang diperoleh dari suhu permukaan.

Pada penelitian ini, dilakukan penghitungan radiasi netto yang merupakan penjumlahan radiasi gelombang pendek yang dating dan yang dipantulkan serta radiasi gelombang panjang yang dipantulkan dariobyek. Dalam penelitian ini,r adiasi gelombang panjng yang beradal dari obyek di bumi tidak dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan memiliki nilai yang menghampiri nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan.

Berdasarkan Tabel 8 terlihat adanya perbedaan penerimaan radiasi netto untuk setiap penutupan lahan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik penutupan lahan baik dari nilai albedo, radiasi gelombang pendek maupun radiasi gelombang panjang. Secara umum, nilai radiasi gelombang pendek yang dipantulkan memiliki nilai yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipantulkan. Hal ini dikarenakan pada siang hari, radiasi yang dating dari matahari lebih dominan dibandingkan dengan radiasi yang yang berasal dari bumi.

Penerimaan radiasi netto pada lahan terbangun menempati nilai terendah dibandingkan dengan enam penutupan lainnya pada Tabel 8. Kondisi ini

disebabkan albedo yang tinggi pada lahan terbangun sehingga radiasi gelombang pendek yang diterimanya akan lebih dominan untuk dipantulkan dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Selain itu, proses ini juga berkaitan dengan kapasitas kalor pada perkerasan (man made) yang cenderung lebih rendah, sehingga kemampuan obyek dalam menyimpan energi yang diterimanya menjadi rendah dibandingkan energi yang dipantulkan. Hal ini pula yang menyebabkan lahan terbangun akan memiliki suhu permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya bila dilihat melalui penginderaan jauh.

Penutupan lahan berupa sawah, memiliki nilai radiasi netto yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan terbangun, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan badan air dan jenis tumbuhan lainnya. Pada dasarnya, penggunaan radiasi netto pada sawah cenderung variatif tergantung pada umur tanaman padi.

Tabel 8 Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm-2) tiap penutupan lahan

Pada awal penanaman, sawah akan tergenangi oleh air di mana kanopi sawah pada saat tersebut masih relatif kecil sehingga energi yang diterimanya sebagian digunakan untuk pertumbuhan dan penyerapan oleh air, sedangkan sisanya dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk panas. Penerimaan radiasi netto akan terus meningkat seiring dengan fase pertumbuhan tanaman padi dan akan menurun kembali pada saat menjelang panen karena daun dan bulir padi akan gugur. Kondisi yang beragam ini menyebabkan pada saat pemotretan citra satelit Landsat 5 pada pukul 10.00 waktu setempat akan cenderung merekam kondisi terkini pada waktu tersebut. Berdasarkan analisa menggunakan pengindraan jauh, sebagian lahan yang

Penutupan lahan Rs↑ Rs↓ Rl↑ Rn Lahan terbangun 56 833 487 289 Sawah 48 833 472 312 Badan air 50 834 468 316 Semak/rumput 47 839 473 319 Lading 43 841 467 330 Vegetasi tinggi 43 842 463 336 Sawit 44 833 450 339

18

teridentifikasi sebagai persawahan masih

tergenangi oleh air. Sehingga nilai radiasi netto akan lebih rendah dibandingkan dengan radiasi netto pada badan air.

Berbeda dengan sawah, badan air memiliki kapasitas kalor yang lebih besar sehingga dapat menampung energi yang lebih besar dibandingkan dengan sawah. Akan tetapi, penggunaan radiasi netto oleh badan air pada umumnya digunakan untuk merubah air menjadi uap air pada suhu tetap dan menghidupi organisme-organisme didalamnya.

Pada lahan bervegetasi tinggi, nilai radiasi netto yang diterimanya lebih besar dibandingkan dengan radiasi netto pada keempat penutupan lahan lainnya selain penutupan lahan berupa perkebunan sawit. Hal ini disebabkan oleh karakteristik vegetasi yang memanfaatkan sebagian besar energi yang diterimanya untuk proses metabolisme dan proses fisiologis tumbuhan. Berdasarkan Tabel 8, radiasi yang diserap oleh vegetasi tinggi sebesar 39.83% terhadap radiasi yang datang. Dari 39.83% radiasi tersebut,70% akan diubah menjadi lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya. Selanjutnya, 28% dari energi tersebut akan digunakan untuk fotosintesis dan disimpan dalam bentuk energi kimia dan sisanya akan digunakan untuk fotomorfogenetik.

Pada hasil pengecekan di lapangan, diketahui bahwa pohon beringin, mahoni dan kenari mendominasi penutupan lahan berupa vegetasi tinggi di daerah Kota Bogor. Ketiga vegetasi tersebut merupakan vegetasi daerah tropis, sehingga dalam penggunaan radiasi tidak sebesar tanaman kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman daerah kering sehingga membutuhkan energi yang besar baik pemanfaatannya untuk merubah radiasi netto menjadi lengas maupun fungsiologis lainnya. Selain itu, tanaman kelapa sawit yang termasuk ke dalam wilayah kajian penelitian merupakan tanaman perkebunan sehingga penerimaan radiasi netto cenderung seragam dan marupakan penutupan lahan yang paling besar dalam menggunakan radiasi netto.

Semak/rumput pada dasarnya menghampiri kenampakan pada ladang. Akan tetapi, secara ekofisiologi, kedua penutupan lahan ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal penangkapan radiasi yang diterimanya. Rumput/semak memiliki morfologi daun dengan tekstur kasar dan

meruncing sehingga akan cenderung membaurkan radiasi yang diterimanya dan hanya sebagian kecil radiasi yang diserapnya bila dibandingkan dengan tanaman ladang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai radiasi netto rumput yang lebih rendah bila dibandingkan dengan radiasi netto pada ladang. Sebaliknya, pada tanaman ladang, radiasi netto diserap dan digunakan untuk proses fisiologis tumbuhan sebagaimana yang dilakukan pada vegetasi tinggi. Akan tetapi, karena tinggi tanaman ladang yang terbatas, maka penggunaan tanaman ladang tidak akan sebesar vegetasi tinggi. Tekstur daun pada tanaman ladang juga mempengaruhi responnya terhadap radiasi yang diterimanya. Pada umumnya, tanaman ladang memiliki tekstur daun yang halus sehingga akan menyerap radiasi lebih besar dibandingkan dengan radiasi yang dipancarkan maupun dipantulkan. Hal ini tampak jelas pada warna yang terlihat pada pengindraan jauh bila dibandingkan dengan spectrum yang dipancarkan oleh rumput.

4.3.3. Pendugaan Soil Heat Flux (G), Sensible Heat Flux (H) dan Latent Heat Flux (LE)

Pada dasarnya, Soil Heat Flux (G) merupakan bagian dari radiasi netto yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk proses fisik dan biologi tanah. Fluks panas tanah ini dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan dengan suhu tanah.Dalam penelitian ini, nilai G diperoleh dari hubungan suhu permukaan, radiasi netto, albedo dan NDVI.

Berdasarkan pengolahan citra Landsat 5 dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diketahui bahwa pada pukul 10.00 waktu setempat, terdapat perbedaan penggunaan energi pada tiap penutupan lahan di mana Tabel 9 Rata-rata komponen Soil Heat Flux

(H) Bogor tahun 2006 (Wm-2) Penutupan lahan G Rn G/Rn (%) Sawit 31.9 316.2 10 Ladang 35.5 312.5 11 Vegetasi tinggi 35.9 335.5 10.7 Semak/rumput 36 319.1 11 Badan air 37 330.2 11 Sawah 37.1 339 11 Lahan terbangun 38 289.5 13

19

variabilitasnya didasarkan karakteristik tiap

penutupan lahan. Dalam penelitian ini penggunaan radiasi netto untuk fotosintesis diabaikan karena nilainya sangat kecil.

4.3.3.1. Lahan terbangun

Lahan terbangun merupakan penutupan lahan yang paling dominan di Kota Bogor dan menyebabkan timbulnya fenomena urban heat island yang ditunjukkan oleh tingginya nilai panas pada penutupan ini ( Lampiran 3). Pada

penutupan lahan berupa lahan terbangun. Proporsi penggunaan radiasi netto menjadi

soil heat flux (G) menempati nilai tertinggi (13.13%) bila dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. Hal ini disebabkan lahan terbangun memanfaatkan sebagian besar radiasi netto untuk memanaskan tanah dan permukaan dibandingkan dengan jenis penutupan lahan lainnya. Faktor lain yang turut mempengaruhi nilai G pada lahan terbangun adalah tingginya nilai konduktivitas thermal pada lahan tersebut. Karena sebagian besar radiasi netto pada lahan terbangun digunakan untuk memanaskan tanah dan permukaan, maka

sensible heat flux akan tinggi sebanding dengan soil heat flux.

Berdasarkan Gambar 16, diketahui bahwa sensible heat flux merupakan prioritas utama pada lahan terbangun dalam penggunaan radiasi netto yang diterimanya. Hal ini ditunjukkan dengan perbandingan

sensible heat flux : soil heat flux :latent heat flux, yaitu 10 : 2 : 3. Kondisi tersebut menyebabkan tingginya suhu permukaan dan suhu udara pada lahan terbangun.

Gambar 16 Proporsi penggunaan neraca energi pada berbagai penutupan lahan di Bogor. Tabel 10. Rata-rata komponen Sensible Heat

Flux (H) Bogor tahun 2006 (Wm-2) Penutupan lahan H Rn H/Rn (%) badan air 25.4 316 8 Sawah 91.8 312.5 29 semak/rumput 94.4 335.5 28 Ladang 98.2 319.1 31 vegetasi tinggi 99.9 330.1 30 Sawit 102.3 339.0 30 lahan terbangun 201.2 289.5 69.5

20

Bila dilihat pada perbandingan

penggunaan radiasi netto pada lahan terbangun di daerah Bogor, terlihat bahwa penggunaan radiasi netto untuk fluks panas laten lebih besar bila dibandingkan dengan fluks panas tanah (3:2). Kondisi ini menggambarkan bahwa pada daerah Bogor memiliki kandungan uap air yang cukup besar. sehingga alokasi pemanfaatan radiasi netto lebih banyak digunakan untuk mengubah air menjadi uap air pada suhu konstan dibandingkan untuk memanaskan permukaan tanah. Dengan kandungan uap air yang cukup besar, maka nilai suhu permukaan pada lahan terbangun memiliki selisih nilai yang tidak terpaut jauh dengan penutupan lahan terbangun pada lokasi penelitian.

4.3.3.2. Badan air

Badan air merupakan satu-satunya penutupan lahan dimana air secara permanen mendominasi suatu lahan. Selain karakteristik air seperti yang telah disebutkan pada pembahasan mengenai albedo dan radiasi netto, diketahui pula bahwa fluks panas laten merupakan prioritas utama dalam penggunaan radiasi netto oleh badan air di mana pengubahan energi menjadi panas laten sebesar 80.24% (Tabel 11). Pengubahan energi yang diserap oleh badan air yang digunakan sebagai sensible heat fluxdan soil heat flux hanya sebesar 8.02% dan 11.21%.

Tabel 11 Rata-rata suhu permukaan Bogor tahun 2006 Penutupan Lahan Ts (oC) Badan air 28 Sawah 29 Vegetasi tinggi 28 Semak/rumput 29 Ladang 28 Sawit 25 Lahan terbangun 31 Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa penggunaan radiasi netto yang diterima oleh badan air didominasi untuk merubah air menjadi uap air pada suhu konstan dibandingkan untuk merubah energi kedalam panas baik panas tanah maupun panas terasa. Hal ini mengakibatkan suhu permukaan pada badan air pada siang hari akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan suhu lingkungan.

4.3.3.3. Sawah

Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa karakter sawah menghampiri karakter badan air dalam hal pemanfaatan radiasi netto. Hanya saja, sawah menggunakan energi dari radiasi netto untuk sensible heat flux lebih besar dibandingkan dengan badan air. Pemanfaatan radiasi netto oleh sawah untuk sensile heat adalah empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pemanfaatan sensile heat oleh badan air. Hal ini disebabkan tanaman padi sawah memiliki karakteristik tertentu dalam merespon radiasi matahari seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai radiasi netto (subbab 4.3.2).

Penutupan lahan berupa sawah memiliki alokasi pemanfaatan radiasi netto sebagai lengas terasa (sensile heat) dan

latent heat dengan perbandingan 2:1. Pada kondisi tersebut, menyebabkan suhu permukaan pada sawah akan cenderung tinggi dan stabil (simpangan baku suhu permukaan sawah hanya berkisar ± 1.3oC). Variabilitas suhu permukaan di sawah cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan badan air yang memiliki simpangan baku sebesar ± 2 oC.

4.3.3.4. Vegetasi tinggi dan sawit

Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa perbandingan pemanfaatan radiasi netto pada vegetasi tinggi menyerupai penggunaan radiasi netto pada sawit. Perbandingan pemanfaataan radiasi netto pada kedua penutupan ini adalah 3:6:1 (H:LE:G). Kedua penutupan lahan ini memprioritaskan penggunaan radiasi netto yang diterimanya untuk panas laten dibandingkan untuk memanaskan udara maupun untuk memanaskan tanah. hal ini disebabkan oleh karakteristik Bogor yang memiliki kandungan air yang cukup besar di atmosfer pada lapisan pembatas. Akan tetapi, kedua penutupan lahan ini memiliki respon yang berbeda dalam merepresentasikan suhu permukaannya

Vegetasi tinggi memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit dan memiliki ragam suhu permukaan yang cukup besar (ragam suhu permukaaan vegetasi tinggi = 4oC). Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit memiliki suhu permukaan terendah (25oC) diantara keenam penutupan lahan lainnya. Selain itu, perkebunan sawit memiliki ragam suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi tinggi (0.25 oC). Hal ini disebabkan terdapat perbedaan kondisi lingkungan untuk kedua penutupan lahan

21

ini. Pada wilayah studi penelitian ini, lahan

bervegetasi tinggi yang paling dominan terdapat di pusat Kota Bogor dan hutan penelitian Cifor.

Gambar 17 Kondisi lingkungan sekitar lahan bervegetasi tinggi.

(i)

(ii)

Gambar 18 (i) dan (ii) Kondisi lingkungan sekitar Lahan perkebunan sawit.

Pada lokasi ini, terjadi aliran panas secara konveksi dari penutupan lahan disekitarnya terhadap penutupan lahan bervegetasi tinggi. Aliran panas ini disebabkan oleh adanya gradien panas antara vegetasi tinggi dengan penutupan lainnya. Dengan berpindahnya panas tersebut menuju

gradien panas yang lebih rendah (vegetasi tinggi), maka suhu udara pada vegetasi tinggi akan tergantikan. Dengan besarnya perbedaan gradient suhu antara permukaan dengan suhu pada vegetasi tinggi, maka tahanan aerodinamik akan semakin kecil. Hal inilah yang menyebabkan tingginya suhu permukaan pada vegetasi tinggi dibandingkan dengan perkebunan sawit. Sebaliknya, perkebunan sawit yang terletak di Bantar Kambing, Bogor memiliki penutupan lahan yang seragam dan terpusat pada lokasi tertentu. Selain itu, perkebunan sawit memiliki lingkungan yang didominasi oleh tumbuhan sejenis dan terdapat badan air disekitarnya. Dengan kondisi lingkungan ini, gradient panas antara lingkungan dengan perkebunan tidak berbeda nyata sehingga suhu permukaan akan rendah.

4.3.3.5. Ladang dan Rumput/Semak

Ladang memanfaatkan sebagian besar energi radiasi yang diserapnya untuk dirubah menjadi energi panas yang terdistribusikan 11.37% untuk soil heat flux, 30.78% untuk

sensible heat fluxdan59.52% untuk latent heat flux. Pemanfaatan radiasi netto sebagai

soil heat flux pada ladang lebih besar dibandingkan dengan rumput/semak yang hanya 11.29%. Kondisi ini disebabkan pada ladang, terdapat tanah yang tidak tertutup kanopi tanaman, sehingga penerimaan radiasi oleh tanah menjadi besar. Sebaliknya, pada lahan yang berumput/semak, hampir keseluruhan tanah tertutup rumput/semak secara merata, sehingga pemanasan tanah menjadi tertahan oleh vegetasi.

Dengan adanya perbedaan kuantitas G pada ladang dan rumput/semak, maka distribusi LE dan H juga akan berbeda. Alokasi pemanfaatan Rn sebagai G yang Tabel 12 Rata-rata komponen Latent Heat Flux

(LE) Bogor tahun 2006 Penutupan lahan LE (Wm-2) Rn (Wm-2) LE/Rn (%) Lahan terbangun 50.3 289.5 17.4 Sawah 183.6 312.5 58.7 Semak/rumput 188.7 319.1 59.1 Ladang 196.5 330.1 59.5 Vegetasi tinggi 199.6 335.5 59.5 Sawit 204.9 339 60.4 Badan air 253.8 316 80.24

22

besar mengakibatkan nilai LE dan H ladang

lebih rendah dibandingkan dengan rumput/semak. Seperti halnya pemanfaatan radiasi netto pada vegetasi tinggi, sawit- sawah dan badan air, kedua penutupan lahan ini juga memprioritaskan pengubahan radiasi netto menjadi panas laten sebagai prioritas utamanya karena tersedianya air pada bagian-bagian tubuh penutupan lahan ini.

4.3.4. Perbandingan nilai indeks vegetasi (NDVI) dengan komponen neraca energi

Nilai indeks vegetasi yang digambarkan melalui nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan indeks yang menggambarkan

proporsi reflektan infra merah dekat dengan infra merah. Secara teoritis, pada lahan yang bukan vegetasi akan lebih banyak memantulkan infra merah dekat dibandingkan dengan infra merah. Selain itu, nilai NDVI juga menggambarkan tingkat kesuburan dan kerapatan tanaman di mana semakin tinggi nilai NDVI, maka tingkat kerapatan dan kesuburan tanaman tersebut semakin tinggi. Sebaliknya, lahan dengan nilai NDVI yang rendah menggambarkan lahan yang kurang subur dan telah terjadi pembukaan lahan pada daerah tersebut. Untuk mempermudah melihat pengaruh NDVI terhadap neraca energi, maka dilakukan penggabungan pada beberapa klasifikasi lahan yang didasarkan pada nilai NDVI yang serupa.

Gambar 19 Diagram hubungan radiasi netto terhadap NDVI. Klasifikasi penutupan lahan dibedakan

ke dalam lima kelas di mana terdiri dari lahan terbangun, badan air, sawah, vegetasi rapat (sawit dan vegetasi tinggi) dan vegetasi rendah (rumput/semak dan ladang). Dengan menghubungkan antara radiasi netto terhadap NDVI, maka dapat diketahui karakter neraca energi pada indeks vegetasi pada penutupan lahan tertentu. Merujuk pada Gambar 16 dan Tabel 12, terlihat bahwa pada lahan bervegetasi, penggunaan radiasi netto sebagian besar digunakan untuk fluks pemanasan laten (LE) pada lahan bervegetasi. Nilai LE berbanding lurus dengan nilai NDVI. di mana semakin banyak vegetasi di daerah tersebut, maka nilai LE akan semakin besar dan H serta G

Dokumen terkait