• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.3. Hubungan Antara Tekanan Panas Dengan Suhu Tubuh Pekerja

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa hampir seluruh pekerja pabrik tahu di Kecamatan Ciputat (83 %) mempunyai beban kerja sedang dan berat dengan pola kerja-istirahat 75-100. Disesuaikan dengan tabel 5.4, rata-rata ISBB lingkungan kerja

pabrik tahu berkisar antara 29 – 31 oC. Dibandingkan dengan Permenaker nomor 13 tahun 2011 tentang NAB faktor fisika dan kimia di tempat kerja, hasil tersebut menunjukkan bahwa ISBB lingkungan kerja pabrik tahu melebihi nilai ambang batas (NAB) yang diperkenankan yaitu 28.0° C. Hal tersebut menunjukkan bahwa rata-rata responden terpapar tekanan panas selama bekerja.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (P < 0,05) antara tekanan panas dengan suhu tubuh pekerja pabrik tahu di Kecamatan Ciputat tahun 2013. Dari hasil perhitungan kekuatan asosiasi, didapatkan nilai odds ratio tekanan panas dengan suhu tubuh sebesar 5,143. Hal ini berarti bahwa pekerja dengan tekanan panas diatas NAB mempunyai risiko 5 kali lebih besar untuk mengalami suhu tinggi dibandingkan pekerja dengan tekanan panas dibawah NAB. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sari (2007) yang menemukan adanya tekanan panas yang terjadi pada pekerja PT Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk. Hasil penelitian Sari tersebut juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan suhu tubuh.

Hasil penelitian yang hampir sama dikemukakan sebelumnya oleh Hunt (2011). Dalam penelitiannya terhadap pekerja pengeboran tambang ia menemukan bahwa tekanan panas, dalam hal ini kombinasi lingkungan dan intensitas kerja berpengaruh terhadap sistem termoregulasi tubuh. Berdasarkan hasil pemantauan suhu tubuh pekerja terdapat grafik peningkatan suhu tubuh berdasarkan peningkatan intensitas kerja, meskipun peningkatan suhu tersebut masih dalam batas aman yang dianjurkan oleh OSHA (38,5o C).

Sementara itu dalam hasil penelitian ini disebutkan bahwa intesitas kerja pembuatan tahu cukup bervariasi pada masing-masing pekerja tergantung jenis dan proses kerja. Dari hasil pengukuran selama satu jam kerja, terdapat perbedaan yang signifikan (P < 0,05) rata-rata beban kerja laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Rata-rata pekerja laki-laki mengeluarkan energi sekitatr >350 kalori perjam, sedangkan rata-rata pekerja perempuan mengeluarkan energi sekitar 126 kalori perjam.

Tingginya beban kerja membuat metabolisme tubuh pekerja semakin meningkat, begitu juga panas tubuhpun meningkat karena proses metabolisme tersebut (Nadel dalam Hunt, 2011). Karena tubuh selalu mempertahankan suhu tubuh agar tetap dalam batas normal, jumlah panas yang dihasilkan dengan yang dikeluarkan harus tetap seimbang. Untuk menyeimbangkan suhu tersebut sebagian panas tubuhpun harus keluar melalui keringat. Namun proses keluarnya panas melalui keringat itupun masih dipengaruhi suhu lingkungan sekitar. Karena suhu panas tubuh mengalir menuju lingkungan yang lebih dingin, adanya lingkungan yang lebih panas dari tubuh dapat mengganggu proses transfer panas dari dalam keluar tubuh

(Suma’mur, 1996).

Kejadian lingkungan panas yang melebihi tubuh ini terjadi di beberapa pabrik tahu di Kecamatan Ciputat. Hasil pengukuran 2 titik lokasi di setiap pabrik menunjukkan hasil yang cukup tinggi. Dimana Rata-rata ISBB lingkungan kerja pabrik tahu mencapai 29,9o C. Suhu tersebut sudah melebihi NAB Permenaker untuk kategori beban kerja sedang dan berat. Walhasil banyak pekerja yang mengeluhkan tekanan panas. Ketika tekanan panas mendekati batas toleransi tubuh risiko terjadinya

kelainan kesehatan seperti pusing, kelelahan dan naiknya suhu tubuh juga akan meningkat.

Tingginya tekanan panas pada pekerja pabrik tahu disebabkan karena kombinasi dua faktor, yaitu faktor beban kerja dan panas lingkungan kerja. Intensitas beban kerja yang cukup berat menghasilkan panas tubuh yang tinggi. Sebagaimana dalam teori termodinamika sebelumnya bahwa panas tubuh mengalir ke lingkungan yang dingin (Parsons, 2003), adanya lingkungan yang panasnya dibawah panasnya tubuh menjadi syarat untuk terjadinya aliran panas keluar tubuh.

Sumber panas yang digunakan pabrik tahu untuk memasak bubur kedelai dibedakan menjadi dua, yaitu sumber panas dari pembakaran kayu bakar langsung (tradisional) dan sumber panas dari ketel uap. Perbedaan dampak dua sumber panas tersebut terhadap lingkungan kerja adalah sumber panas pembakaran tradisional lebih panas dibandingkan sumber panas dari teknik uap. Hal ini disebabkan letak sumber panas teknik uap berada agak jauh dari pekerja sekaligus ada tembok penghalang dibandingkan dengan sumber panas masak tradisional. Pernah sekali waktu dalam pengukuran ISBB didapatkan nilai 31o C di pabrik tahu tradisional. Pabrik ini memasak bahan baku bubur kedelai diatas api kayu bakar langsung. Sesekali ada aktifitas mengaduk dan berdiri menunggu bubur tersebut matang. Sebagai imbasnya pekerja dipabrik tahu tersebut sering mengeluhkan rasa ketidaknyamanan.

Melihat cukup begitu luasnya dampak tekanan panas tersebut terhadap pekerja pabrik tahu, dianjurkan bagi pengusaha dan pekerja untuk mengendalikan bahaya tersebut agar dapat mengurangi risiko naiknya suhu tubuh secara berlebihan. Untuk mengurangi panasnya lingkungan kerja, disarankan bagi pengusaha pabrik tahu

tradisional untuk mengganti sumber panas memasak mereka dengan sumber panas teknik uap seperti yang digunakan oleh pabrik tahu lain. Bila hal ini tidak dapat dilakukan sebaiknya tempat memasak tersebut diberikan jarak terhadap pekerja atau diberi penghalang panas seperti papan atau tembok. Selain itu pengusaha juga dapat menetapkan jadwal batas waktu akses maksimal terhadap pekerja ketika memasak bubur kedelai. Hal ini ditujukan agar mengurangi paparan panas yang berlebihan terhadap pekerja. Sirkulasi pergantian udara di beberapa pabrik tahu cukup terjaga karena sebagian besar pabrik tahu tidak berada pada ruangan yang sepenuhnya tertutup.

Kategori beban kerja yang berat seperti pekerja laki-laki yang memulai kerja dari jam 7 pagi hingga jam 5 sore dengan beban kalori sekitar >350 kalori perjam membutuhkan waktu istirahat yang lebih banyak dibandingkan pekerja wanita yang hanya menghabiskan 126 kalori perjam. Untuk itu dianjurkan bagi pekerja untuk selalu mengambil jeda setiap satu jam kerja ketika intensitas kerja tersebut mulai terasa berat atau ketika pekerja mulai merasa pusing lelah dan banyak berkeringat. selain itu dianjurkan bagi pengusaha untuk memberikan training praktik kerja aman, mengatur jadwal dan menyediakan alat bantu pesawat sederhana seperti alat dorong pengangkut beban dan alat pengaduk bubur kedelai. Hal ini ditujukan agar dapat mengurangi beban kerja pekerja.

6.4. Hubungan Antara Usia Dengan Suhu Tubuh Pekerja Pabrik Tahu di Kecamatan Ciputat Tahun 2013

Faktor usia merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dikontrol. Masa lansia menurut Pearce (1990) berisiko lebih besar mengalami tekanan panas dibandingkan masa muda. Lansia mempunyai rentang suhu tubuh yang lebih sempit daripada dewasa awal. Lansia sensitif terhadap suhu ekstrim, karena kemunduran mekanisme kontrol, terutama pada kontrol vasomotor, penurunan jumlah jaringan subkutan, penurunan aktivitas kelenjar, dan penurunan metabolisme. Menurut Bartnicki dalam Graveling (1988) tingkat toleransi terhadap panas pada usia 40 tahun menunjukkan adanya penurunan.

Penuaan menurut Kenney (1995) berhubungan dengan beberapa perubahan biologis dan fisiologis. Berkurangnya massa tulang dan otot, perubahan ukuran tubuh meningkatkan suhu inti tubuh. Penuaan juga berhubungan dengan penurunan denyut jantung maksimal yang berdampak terhadap termoregulasi dan sistem kardiovaskular (Kenney, 1997).

Hasil uji statistik dalam penelitian ini menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan suhu tubuh pekerja pabrik tahu (P > 0,05). Hal ini bisa disebabkan karena sedikitnya jumlah pekerja yang berusia diatas 40 tahun, sehingga penemuan pekerja yang memiliki suhu diatas 37,6o C juga sedikit. Sejalan dengan penelitian sebelumnya, Hendra (2003) juga tidak menemukan adanya hubungan antara usia dengan suhu tubuh pekerja di PT Pindad Bandung. Salah satu hal penyebabnya adalah jumlah sampel yang sedikit. Jumlah sampel yang terlalu kecil mengakibatkan kecilnya variasi usia dalam analisa hasil penelitian.

Oleh karena itu, diharapkan penelitian selanjutnya dapat menggunakan sampel yang lebih besar sehingga variasi usia juga besar. Bila perlu untuk mendapatkan kualitas hubungan dan kekuatan asosiasi yang bagus dapat digunakan desain yang berbeda seperti menggunakan desain studi kasus kontrol atau cohort.

Dokumen terkait