• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT

6.1. Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dengan Dampak Sosial

Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah semakin tinggi partisipasi anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program CSR maka semakin kuat modal sosial komunitas perdesaan. Berdasarkan hipotesis tersebut, terdapat dua variabel yang akan diukur, yakni variabel tingkat partisipasi, yang dalam hal ini terbagi dalam tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, maupun pelaporan, dan variabel kekuatan modal sosial, mencakup tingkat kepercayaan, kekuatan kerjasama, serta kekuatan jaringan. Melalui perhitungan statistika dengan uji korelasi rank spearman dan menggunakan alat bantu SPSS v .15.0, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan) dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.849. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka terima Ho, artinya tidak ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan) dan variabel kekuatan modal sosial. Hubungan antara kedua variabel tersebut tidak berhubungan secara signifikan sehingga semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap perencanaan tidak berhubungan pada peningkatan kekuatan modal sosial kelompok simpan pinjam.

Uji kedua dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi (tahap pelaksanaan) dan variabel kekuatan modal sosial. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap pelaksanaan) dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.017. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) < alpha (0.1=10 persen) maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variable tingkat partisipasi (tahap pelaksanaan) dan variabel kekuatan modal sosial. Terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut, sehingga semakin tingggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam maka semakin tinggi kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam.

Uji ketiga dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel tingkat partisipasi (tahap evaluasi) dan variabel kekuatan modal sosial. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap evaluasi) dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.088. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap evaluasi) dan variabel kekuatan modal sosial. Hubungan antara kedua variabel tersebut bernilai signifikan sehingga semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada tahap perencanaan berpengaruh pada peningkatan kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam, begitu pun sebaliknya. Sedangkan untuk penghitungan variabel tingkat partisipasi pada tahap pelaporan dan kekuatan modal sosial, nilai korelasi tidak keluar karena pada tahap pelaporan nilainya sama (1), jadi walaupun kekuatan modal sosial naik turun, dapat diperkiraan tidak ada hubungannya dengan tahap pelaporan.

Selanjutnya adalah uji untuk mengukur hubungan antara tingkat partisipasi pada keseluruhan tahapan penyelenggaraan program dan kekuatan modal sosial. Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hipotesis di atas, didapatkan angka korelasi antara variabel tingkat partisipasi (tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap pelaporan) dan variabel kekuatan modal sosial adalah sebesar 0.079. Karena p-value (Sig.(2-tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada seluruh tahapan dan variabel kekuatan modal sosial. Sebagai pembanding, dilakukan uji statistik terhadap variabel tingkat partisipasi menggunakan kerangka konsep Arnstein (1969) terhadap kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini untuk melihat korelasi diantara kedua variabel tersebut. Hasil uji statistik menunjukkan angka korelasi sebesar 0.031. Karena p-value (Sig.(2- tailed)) > alpha (0.1=10 persen) maka tolak Ho, artinya ada korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada seluruh tahapan dan variabel kekuatan modal sosial. Kedua uji statistik dengan dua kerangka konsep yang berbeda menunjukkan hasil yang sama, dimana semakin tinggi partisipasi anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan program CSR maka semakin kuat modal sosial yang terbentuk.

6.1.2. Analisis Hubungan antara Tingkat Partisipasi Masyarakat dan Dampak Sosial

Modal sosial dipahami sebagai perekat internal yang membuat aktivitas di dalam suatu komunitas tetap berlangsung secara fungsional. Modal sosial berada dalam struktur hubungan antar pihak yang berinteraksi walaupun dapat diteliti pada individu maupun kolektif (Serageldin, 2000). Dalam hal ini, diduga keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam dalam penyelenggaraan LKMS Kartini berhubungan dengan sejauhmana anggota kelompok simpan pinjam berinteraksi satu sama lain dengan nilai-nilai yang mendasarinya, yakni kebajikan bersama (social virtue), simpati dan empati (altruism), serta kerekatan hubungan antar-individu dalam suatu kelompok (social cohesivity). Jika dikaitkan dengan data mengenai tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam pada sub-bab sebelumnya, dapat dianalisis bahwasanya dari 30 orang responden yang merupakan anggotan kelompok simpan pinjam LKMS kurang atau bahkan tidak terlibat pada tahapan perencanaan dan evaluasi penyelenggaraan program. Dugaan tersebut diperkuat dengan apa yang dipaparkan oleh Staff PGPA, Bapak Dali Sadli, sebagai perwakilan dari Perusahaan Geothermal, yakni:

“Perusahaan Geothermal memiliki keterlibatan mempersiapkan

pembentukan koperasi tersebut, baik bersifat dukungan langsung berupa dana untuk pembangunan fisik maupun dana untuk penyelenggaraan pelatihan, sedangkan perencanaan teknis dilakukan secara keseluruhan oleh mitra perusahaan, yaitu PNM. Permodalan Nasional Madani(PNM) merupakan mitra Perusahaan Geothermal dalam penyelenggaraaan koperasi ini, dimana PNM melakukan pendampingan terhadap koperasi hingga awal pendirian hingga akan berakhir akhir tahun 2010 ini.”(Bapak Dali Sadli).

Apa yang disampaikan oleh Bapak Dali Sadli, diperkuat oleh penjelasan yang disampaikan Ibu Lili Suciati, Manajer LKMS Kartini:

“Evaluasi program, dilakukan setiap bulan karena dalam

perjalannya koperasi selalu dikontrol oleh mitra perusahaan. Sejauh pembiayaan kelompok dinilai sangat lancar, meskipun evaluasi kegiatan hanya dilakukan oleh pengurus dan evaluasi keseluruhan pada Rapat Akhir Tahun baru akan direncanakan untuk diselenggarakan, jadi sejauh ini memang masyarakat anggota

koperasi belum dilibatkan dalam mengevaluasi secara langsung, melainkan saran dan pandangan masyarakat ditampung melalui outreach staffyang terjun ke lapangan.”(Ibu Lili Suciati)

Oleh karena itu, tingkat keterlibatannya dinilai rendah dan tidak berkorelasi, sehingga kurang dapat memunculkan aspek-aspek yang dapat memperkuat modal sosial masyarakat. Itu artinya, belum tentu dengan keterlibatan mereka dalam program pemberdayaan ekonomi lokal tersebut mempengaruhi sejauhmana tingkat kepercayaan, kekuatan kerjasama, dan kekuatan jejaring dalam sistem sosial masyarakat.

Untuk tahapan pelaporan, nilai korelasi tidak keluar karena pada tahap pelaporan nilainya sama. Hal tersebut sejalan dengan data yang dipaparkan pada seluruh responden tidak berpartisipasi sama sekali pada tahapan ini. Hal tersebut diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Lili Suciati, Manajer LKMS Kartini, yang menyampaikan pandangannya terkait keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini:

“Pelaporan dalam hal ini dilakukan oleh pihak koperasi yang kemudian disampaikan ke mitra perusahaan, dan dari mitra perusahaan disampaikan kepada perusahaan. Sejauh ini masyarakat peserta kelompok simpan pinjam memang belum dilibatkan pada

tahapan pelaporan.” (Ibu Lili Suciati)

Sejauh ini, kapasitas anggota koperasi belum mampu untuk terlibat dalam pembuatan pelaporan secara sistematis, apalagi sebagian besar anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini merupakan ibu-ibu yang berangkat dari latar belakang pendidikan yang cenderung rendah. Tapi, untuk keberlanjutannya masyarakat anggota kelompok simpan pinjam akan dipersiapkan untuk dapat mengevaluasi kegiatan simpan pinjam secara mandiri, sekaligus dapat menyusun pelaporan pembiayaan tingkat kelompok secara terpadu.

Berdasarkan uji korelasi antara variabel tingkat partisipasi pada setiap tahapan penyelenggaraan program dengan dampak sosial menunjukkan bahwasanya hanya tingkat partisipasi pada tahap pelaksanaan dan evaluasi saja yang menunjukkan hubungan signifikan sehingga dalam hal ini keterlibatan anggota kelompok simpan pinjam pada pelaksanaan program mempengaruhi

kekuatan modal sosial mereka. Sedangkan pada tahap perencanaan dan pelaporan, kedua variabel tersebut tidak berkorelasi, sehingga itu artinya, partisipasi anggota kelompok pada tahapan tersebut tidak berpengaruh pada kekuatan modal sosial. Ketika variabel tingkat partisipasi secara keseluruhan diuji hubungannya terhadap dampak sosial, baik dengan kerangka Uphoff maupun dengan kerangka Arnstein, diperoleh angka hubungan yang signifikan, itu artinya partisipasi anggota kelompok dalam penyelenggaraan program, baik pada tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap pelaporan, berhubungan dengan kekuatan modal sosial anggota kelompok simpan pinjam.

Bagaimana tingkat kepercayaan, kekuatan jejaring, serta kekuatan kerjasama antara masyarakat dengan masyarakat lain, maupun masyarakat terhadap pemerintah desa, dan masyarakat terhadap perusahaan geothermal sudah terbentuk sebelum program pemberdayaan ekonomi lokal ini diselenggarakan. Seiring dengan berjalannya waktu, hingga terbentuknya LKMS Kartini yang memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompk simpan pinjam dengan mengutamakan kebersamaan kelompok, dapat meningkatkan kepercayaan diantara masyarakat terhadap para stakeholder. Adanya kumpulan mingguan dan sistem tanggung renteng yang berlaku dalam kelompok memberi peluang bagi mereka untuk lebih merekatkan satu dengan lainnya. Meskipun demikian, sejauhmana keterlibatan masyarakat dapat membawa dampak bagi kekuatan modal sosial mereka, juga ditentukan oleh individu masing-masing. Hal tersebut diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh staff lapangan dari LKMS Kartini yang bertanggung jawab untuk mengkoordinir kelompok ibu-ibu di Desa Cihamerang, Teh Echa:

“Pada kenyataannya tidak semua anggota kelompok mau berkumpul setiap minggunya untuk sekedar bertemu dan beramah taman sekaligus membayar cicilan Bahkan beberapa anggota tidak pernah mengikuti kumpulan mingguan dan selalu menitipkan cicilan pinjaman dengan teman-temannya. Selain itu, terkadang kebiasaan buruk salah satu anggota justru merenggangkan hubungan antar anggota, karena meskipun berlaku sistem tanggung renteng, kebiasaan terlambat membayar cicilan atau bahkan tidak membayar sama sekali menimbulkan pertentangan-pertentangan

Fakta tersebut, menggambarkan bahwa perlu adanya penguatan modal sosial diantara anggota kelompok simpan pinjam agar senantiasa terbentuk hubungan yang harmonis diantara anggota. Paling tidak, dengan adanya pertemuan yang rutin memberikan dampak pada tingkat kepercayaan diantara anggota kelompok, melalui adanya sistem pembiayaan kelompok yang mengharuskan salah satu anggota menjadi ketua kelompok yang selanjutnya mengkoordinir teman-teman sekelompoknya. Selain itu, melalui kumpulan-kumpulan mingguan, jejaring diantara anggota dapat berkembang, bahkan untuk kegiatan-kegiatan anggota kelompok yang harus dilaksanakan secara kolektif, anggota dapat menguatkan modal kerjasama diantara mereka.

6.2. Hubungan Antara Tingkat Partisipasi dengan Dampak Ekonomi