• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN 1 Karakteristik penelitian

IV.2.2. Hubungan antara variabel demografi dengan outcome

Pada penelitian Murray dkk (2007), ras dan tingkat pendidikan memiliki nilai prediktif moderate setelah faktor lain disetarakan. Pasien kulit hitam cenderung memiliki outcome jelek dibanding kelompok ras yang lain dan pendidikan yang tinggi memiliki outcome yang lebih baik dibanding pendidikan rendah. Pada penelitian ini tidak ada kesan adanya

hubungan antara jenis kelamin dan GOS, dengan atau tanpa penyetaraan.

Dari penelitian ini diperoleh diantara beberapa suku bangsa, maka nilai rerata skor NRS paling tinggi pada suku Aceh (42,50 ± 9,67), yang berarti neurobehavior outcome paling berat dialami oleh penderita trauma kapitis suku Aceh. Sedangkan gangguan neurobehavioral paling ringan ditandai dengan rendahnya nilai rata-rata skor NRS adalah suku Melayu (39,50 ± 11,48). Tetapi tidak dijumpai perbedaan yang signifikan dalam skor NRS diantara suku bangsa. Sama halnya dengan GOS, outcome

baik dan jelek paling banyak dijumpai pada kelompok suku Batak. Tetapi hubungan antara suku bangsa dan GOS juga tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini menunjukkan bahwa suku bangsa bukan prediktor yang kuat untuk outcome.

Tingkat pendidikan turut mempengaruhi outcome baik fungsional maupun perubahan neurobehavior. Hal tersebut terlihat pada studi ini, dimana pada penelitian ini diperoleh gangguan neurobehavior paling berat yang ditandai dengan paling tingginya skor NRS terdapat pada kelompok penderita dengan tingkat pendidikan terendah yaitu buta huruf / tidak sekolah (70,00 ± 00,00). Sedangkan perubahan neurobehavior paling ringan dialami penderita pada kelompok tingkat pendidikan SMP (38,36 ± 13,71), ditandai dengan lebih rendahnya nilai rerata skor NRS. Namun perbedaan rerata nilai skor NRS ini tidak signifikan. Sementara pada GOS, outcome baik terbanyak dimiliki oleh kelompok tingkat pendidikan SMA dan outcome jelek paling sedikit dimiliki oleh kelompok penderita

dengan tingkat pendidikan akademi, perguruan tinggi dan buta huruf / tidak sekolah. Namun perbedaan outcome ini pun juga tidak signifikan.

Banyak penelitian menyatakan perkiraan outcome sudah dapat diketahui dalam 3 hari masa perawatan paska trauma (Musridharta, 2006). Lewin dkk (1996) adalah salah satu yang menemukan bahwa umur merupakan merupakan prediktor terbaik dari kapasitas kognitif pasien sampai 24 jam ( cit Kraus and McArthur, 1996). Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Brown dkk (2005) yang menyebutkan bahwa umur merupakan salah satu prediktif untuk disabilitas dini dan memprediksi aktifitas produktifitas pada satu tahun.

Banyak studi telah melaporkan usia muda sebagai faktor resiko yang penting untuk outcome jelek. Misalnya, Levy dkk telah menemukan bahwa mortalitas setelah trauma kapitis menurun sejalan peningkatan umur. Sebaliknya, Bruce dkk yang meneliti outcome anak-anak setelah trauma kapitis berat, melaporkan prognosis yang lebih baik pada anak- anak usia muda dengan persentase yang tinggi (cit Abraham dkk, 2000).

Pada penelitian ini, salah satu outcome dinilai dengan pemeriksaan GOS. Pada GOS dapat dlihat bahwa peningkatan umur akan berdampak kepada hasil outcome yang lebih jelek terutama di atas usia 55 tahun, tapi perbedaan ini tidak bermakna.

Menurut penelitian Machamer dkk (2003), yang melakukan studi untuk mengetahui outcome neurobehavioral terhadap penderita violent

mempengaruhi outcome neurobehavioral adalah nilai SKG, rendahnya tingkat pendidikan, usia tua serta jenis kelamin laki-laki.

Berdasarkan umur, maka penderita dengan usia > 50 tahun mengalami outcome neurobehavior yang lebih berat ditandai dengan skor NRS yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok penderita usia < 50 tahun. Pada penelitian ini yang menggunakan cut-off point yang berbeda menunjukkan perbedaan nilai rerata skor NRS antara usia penderita tidak berbeda bermakna.

Masih ada perbedaan pendapat mengenai pengaruh umur terhadap perubahan neurobehavior pada penderita trauma kapitis. Rao (2000) menyebutkan salah satu faktor resiko mayor bagi timbulnya gangguan neuropsikiatri setelah trauma kapitis adalah peningkatan usia.

Goldstein dkk (1999) yang melakukan pemeriksaan neurobehavior pada penderita usia tua yang mengalami trauma kapitis melaporkan dijumpainya penurunan fungsi kognitif dan mood dari penderita dibandingkan kontrol dan sebelum penderita mengalami trauma. Namun hal ini bertentangan dengan hasil penelitian McCauley dkk (2001) yang menyebutkan tidak ada pengaruh usia terhadap tingkat keparahan perubahan neurobehavior.

Data penelitian ini tidak memberikan dukungan terhadap adanya korelasi antara umur dan outcome setelah trauma kapitis ringan-sedang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa usia bukan merupakan prediktor yang kuat terhadap outcome trauma kapitis ringan-sedang. Hasil yang sama juga pernah dilaporkan pada penelitian Abraham dkk (2000) dimana tidak

ada korelasi statistik antara umur dan morbiditas saat keluar rumah sakit. Kaufman dkk juga menemukan tidak ada perbedaan pada

neurobehavioral outcome orang dewasa dan anak-anak setelah mengalami luka tembak pada kepala (cit Abraham dkk, 2000).

Berdasarkan jenis kelamin, setelah dianalisa secara statistik nilai rerata skor NRS pada kelompok laki-laki berbeda bermakna dengan perempuan (p = 0,038). Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian McCauley dkk (2001) yang menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari jenis kelamin terhadap skor NRS-R. Sedangkan pada GOS, pada jenis kelamin tidak didapati perbedaan yang bermakna antara perempuan dan laki-laki. Hasil ini sesajalan dengan penelitian yang dilakukan Murray dkk (2007). Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin hanya merupakan prediktor untuk neurobehavioral outcome.

Tingkat keparahan trauma kapitis dapat mempengaruhi outcome

baik dari segi disabilitas maupun neurobehavior. Pada studi ini penderita dengan nilai SKG 9 – 12 mengalami perubahan neurobehavior lebih berat dan outcome lebih jelek. Ditandai dengan lebih tingginya nilai rerata skor NRS (55,00 ± 22,54) dibandingkan dengan nilai rata-rata skor NRS pada kelompok penderita dengan SKG 13 – 15 (37,18 ± 11,75) dan lebih banyaknya sample pada kelompok ini yang beroutcome jelek dibanding yang baik (10 vs. 4). Berdasarkan analisa statistik dengan menggunakan uji t-independent dijumpai perbedaan signifikan nilai rerata skor NRS antara subjek dengan nilai SKG 13-15 dengan subjek yang memiliki nilai SKG 9 – 12 (p = 0,001). Begitu juga pada GOS, dengan menggunakan uji

chi-square dijumpai perbedaan yang signifikan pada GOS (p=0,004). Sehingga SKG merupakan prediktor yang kuat terhadap oucome pada trauma kapitis ringan-sedang.

Hal ini sejalan dengan penelitian Gruner dkk (2006) yang melakukan studi untuk melihat gangguan neurobehavior terhadap 41 penderita cedera kranioserebral, mendapatkan hasil bahwa penderita dengan trauma kapitis berat (SKG < 9) secara keseluruhan memperlihatkan tingginya skor dari NRS yang menggambarkan tingginya tingkat disfungsi neurobehavior.

Hasil yang sama juga diperoleh dari penelitian yang dilakukan Chiaretti dkk (2001) dan Signorini (1999) dimana SKG merupakan prediktor terhadap GOS. Hal yang sebaliknya malah terjadi pada studi Naalt dkk (1999) dimana pada pasien trauma kapitis ringan-sedang,

outcome ditentukan oleh lamanya PTA (r=-0,46) dan bukan SKG (r=0,19) saat masuk.

Beberapa studi terdahulu telah melaporkan bahwa gambaran

Head CT-Scan merupakan salah satu prediktor penting terhadap outcome

penderita trauma kapitis (Chiaretti, 2001; Signorini, 1999). Hal ini sejalan dengan hasil yang didapati pada penelitian ini.

Pada studi ini, outcome jelek lebih banyak dialami oleh kelompok

medium focal injury (40,9%), sedangkan outcome baik pada kelompok normal (75%) dimana analisa statistik dengan chi-square menunjukkan perbedaan yang signifikan (p = 0,000).

Gangguan neurobehavior paling berat yang ditandai dengan tingginya nilai rerata skor NRS terdapat pada kelompok dengan gambaran

massive diffuse injury (78,00 ± 25,46) diikuti kelompok mild / moderate diffuse(67,50 ± 38,89) dan nilai rerata skor NRS yang terendah adalah kelompok normal (32,97 ± 6,09). Hasil analisa statistik dengan menggunakan uji one-way Anova menunjukkan dijumpai perbedaan yang signifikan dalam nilai rerata skor NRS diantara berbagai tingkatan gambaran Head CT-Scan tersebut (p = 0,000).

Signorini dkk (1996), melakukan penelitian untuk mengetahui prediktor terhadap survival 372 penderita trauma kapitis, mendapatkan bahwa salah satu prediktor yang signifikan terhadap survival adalah gambaran Head CT- Scan. Pada studi tersebut, hasil Head CT-Scan

dikelompokkan secara sederhana menjadi 2 kelompok, yaitu adanya hematom (perdarahan intraserebral, subdural, atau ekstradural) serta tanpa hematom. Walaupun pembagian ini sangat kasar, tapi kelihatannya lebih efisien dan konsisten diantara berbagai sentra.

Pada penelitian ini, berdasarkan ada tidaknya hematom pada gambaran Head CT-Scan, maka dijumpai pada penderita tanpa gambaran hematom lebih banyak berada pada outcome baik dibanding pada penderita dengan adanya gambaran hematom. Sedangkan nilai rerata skor NRS pada penderita dengan adanya gambaran hematom pada

Head CT-Scan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan penderita tanpa gambaran hematom pada Head CT-Scan (p= 0,000). Hal ini menunjukkan

penderita dengan gambaran hematom pada CT-Scan mengalami outcome

lebih jelek dibandingkan penderita tanpa hematom.

Dijumpainya lesi baik pada hemisfer kiri maupun pada hemisfer kanan berperan dalam menimbulkan gejala-gejala psikotik pada penderita cedera kepala. Kerusakan terhadap area orbital-frontal menimbulkan

disinhibition, sedangkan kerusakan pada convexity lobus frontal menyebabkan dysexecutive symptoms. Kerusakan pada lobus temporal dapat menimbulkan emotional lability dan gangguan memory (Rao, 2000). Lesi pada temporal parietal dapat menyebabkan agitasi, hiperactive state,

keterlibatan area paralimbic dapat menyebabkan agitasi, delusi dan halusinasi (Drubach dan Peralta, 1996).

Ditinjau dari hubungan letak lesi pada hemisfer yang berbeda dengan gangguan neurobehavior, studi ini memperlihatkan gangguan neurobehavior paling jelek didapati pada penderita trauma kapitis akut ringan-sedang dengan lesi pada hemisfer kanan. Sedangkan outcome

jelek pada GOS paling banyak pada penderita dengan lesi pada hemisfer kiri. Kedua outcome ini memperlihatkan hasil yang bertolak belakang. Kedua outcome ini berbeda secara signifikan diantara lokasi lesi pada hemisfer yang berbeda dengan p=0,000.

Selain itu, ditinjau dari hubungan letak lesi dengan timbulnya gangguan neurobehavior, pada studi ini diperoleh nilai rerata skor rata- rata NRS paling tinggi pada kelompok penderita dengan lesi difus (61,80 ± 24,50) yang menunjukkan tingkat keparahan neurobehavioral yang dialami penderita, diikuti penderita dengan lesi pada lobus frontal (52,50 ±

16,80). Nilai rata-rata skor NRS paling rendah terdapat pada kelompok penderita tanpa dijumpainya lesi dari gambaran Head CT-Scan. Perbedaan nilai rerata skor NRS di tinjau dari lokasi lesi berbeda bermakna berdasarkan uji one-way Anova (p = 0,000). Sedangkan hubugan letak lesi dengan GOS pada penelitian ini menunjukkan perbedaan yang bermakna diantara kelompok dengan tidak ada lesi, lesi difus, lesi otakkiri dan lesi pada lobus frontal (p = 0,000), dimana outcome

baik paling banyak dijumpai pada kelompok tidak ada lesi. Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang mendukung hasil ini.

Tateno dkk (2003) melaporkan bahwa baik penderita dengan

aggressive behavior maupun non-aggressive setelah trauma kapitis terbanyak memiliki lesi difus pada gambar CT-Scan, sedangkan lesi pada lobus frontal lebih banyak dijumpai pada kelompok aggressive.

Aggressive behavior juga memiliki korelasi dengan lesi otak pada lokasi spesifik tertentu seperti hipotalamus, area paralimbik, dari lobus temporalis dan prefrontal cortex. Telah diketahui bahwa kerusakan lobus frontal meliputi ascending serotonin pathways berperan dalam patofisiologi timbulnya depresi serta violent behavior. Manifestasi psikiatrik dapat terjadi baik akibat lesi fokal yang dapat merubah gross morphology

dari otak, ataupun akibat lesi difus yang mempengaruhi fungsi otak, maupun kombinasi keduanya (Drubach dan Peralta, 1996).

Lesi fokal seperti kontusio, mass lesions, maupun perdarahan menimbulkan manifestasi psikiatrik dengan cara mempengaruhi fungsi

psikologikal tertentu dari otak. Tipe gejala psikiatrik yang terjadi ditentukan oleh lokasi dan fungsi regio yang terlibat. (Drubach dan Peralta, 1996).

Dokumen terkait