• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi adalah peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan manusia, menurut penelitian mengungkapkan bahwa 70% waktu bangun manusia digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi memiliki pengertian proses di mana seorang individu mengoperkan perangsang (lambang-lambang bahasa) untuk mengubah tingkah laku individu yang lainnya Abdurachman (dalam Muslimin, 2013). Komunikasi merupakan gambaran bagaimana seseorang memahami, melihat, mendengar dan merasakan tentang dirinya (sense of self), kemampuan memahami media serta bagaimana cara individu tersebut berinteraksi dengan lingkungan, dari mengumpulkan, dan mempresentasikan informasi, hingga menyelesaikan konflik (Muslimin, 2013).

Komunikasi menentukan kualitas kehidupan manusia (Rakhmat, 2008). Berbicara adalah cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Setiap orang dapat berbicara, tetapi tidak semua orang dapat berbicara baik dan berkomunikasi di depan umum.

Mahasiswa sebagai peserta didik yang mengeyam pendidikan lebih tinggi tentunya tidak dapat menghindari proses komunikasi yang di mana bentuk komunikasi yang ada di setting perkuliahan dapat berupa bertanya kepada dosen, mempresentasikan tugas, dan melakukan diskusi kelompok. Tidak hanya di setting perkuliahan, terkadang mahasiswa dituntut untuk mampu berbicara, mengemukakan pendapat, ide-idenya secara lisan di depan banyak orang (Elliot,

2002). Kenyataan yang ada di lapangan, berbicara di depan umum bukanlah suatu hal yang mudah. Adanya tekanan-tekanan membuat seseorang khususnya di sini mahasiswa mengalami hambatan yang akan memicu kecemasan (Bandura, 1997).

Kecemasan merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai disertasi perubahan fisiologis. Kecemasan tersebut timbul akibat adanya respons terhadap kondisi stres atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri sendiri, akan menimbulkan respons dari sistem saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti lambung, jantung, pembuluh darah maupun motorik. Perubahan fisiologis akan memicu perubahan psikologis dalam diri individu seperti muncul perasaan panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi (Mulyadi, 2003).

Pada umumnya kecemasan dalam berbicara (baik dengan perorangan maupun secara publik) bukan disebabkan oleh ketidakmampuan individu, tetapi sering disebabkan oleh tingkatan berpikir positif yang rendah atau pikiran-pikiran negatif dan tidak rasional (Rogers, 2004). William (2004) menjelaskan bahwa kecemasan biasanya juga dipengaruhi oleh cara berpikir yang keliru. Terlalu menilai diri begitu tajam sehingga sekilas tidak berani mencoba sesuatu yang tidak kita kuasai dengan sangat sempurna. Selain itu, mengingat secara terus- menerus mengenai sesuatu yang menakutkan sehingga diri merasa diteror sampai

rasa takut tersebut menjadi jauh lebih besar dari diri sendiri dan akhirnya berhenti sambil meyakinkan bahwa semuanya adalah malapetaka. Hal ini juga ditemukan dalam penelitian Marinho (2015) yang ditemukan bahwa saat mahasiswa ditunjuk untuk berbicara di depan umum, sering sekali muncul pikiran negatif yang menyebabkan mereka menjadi cemas. Kecemasan bebicara di depan umum akan mengarah pada ketakutan dan tentunya memiliki dampak negatif dalam keberhasilan akademik mahasiswa tersebut.

Spielberger, dkk (dalam Ghufron 2012) menetapkan kecemasan berbicara saat berbicara di depan umum menjadi dua dimensi yaitu kekhawatiran dan emosionalitas. Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis dan sistem syaraf otomatik yang timbul akibat atau suatu objek tertentu. Dimensi ini juga meliputi perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk yang tidak menyenangkan, seperti ketegangan bertambah, jantung berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu. Khawatir merupakan aspek kognitif dari kecemasan berbicara yang dialami berupa pikiran yang negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak adanya harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri, menyerah terhadap situasi yang ada, dan merasa khawatir berlebihan tentang kemungkinan apa yang dilakukan.

Menurut Bandura (1997), kognisi adalah proses berpikir individu tentang situasi tertentu. Corsini (1994) menyatakan bahwa cara berpikir menentukan bagaimana individu merasa dan berbuat. Cara individu memaknai hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan berpengaruh terhadap

perasaan dan perilakunya. Jika individu mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum, maka pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya sehubungan dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi berbicara di depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan berdampak pada perilaku. Tetapi jika individu memiliki pikiran yang positif, maka ia akan mampu untuk menaklukkan perasaan cemasnya (Ayres, 1992).

Dalam mengurangi atau mengatasi kecemasan dalam berbicara di depan umum, individu dapat mengubah cara berpikir dari yang negatif atau tidak rasional menjadi cara berpikir positif. Peale (2001) menjelaskan bahwa untuk membentuk pikiran yang positif dapat digunakan pernyataan-pernyataan positif. Jika individu secara terus-menerus mengguakan kata-kata yang positif maka akan berpengaruh terhadap kesehatan tubuh dan kekuatan stimulus positif yang akan memberikan efek yang baik. Kata-kata yang digunakan akan merefleksikan secara kuat ke dalam pikiran dan pikiran akan memberikan efek positif atau negatif terhadap individu.

Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini dilakukan oleh Rahayu (2006) menunjukkan bahwa mahasiswa yang cenderung berpikir positif akan mampu mengendalikan perasaan dan kegugupannya sehingga individu tersebut mampu untuk mengendalikan kecemasan untuk berbicara di depan umum. Sedangkan mahasiswa dengan pikiran negatif akan sulit mengendalikan kegugupannya sehingga kurang mampu untuk mengendalikan kecemasaan saat berbicara di depan umum.

Mahasiswa yang diberikan tugas atau kegiatan yang mengharuskan mereka berhadapan dan berbicara di depan banyak orang tentunya tak terhindar dari adanya perasaan cemas. Hal ini salah satunnya dapat disebabkan oleh adanya pikiran-pikiran negatif. Saat seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi. Berpikir positif memiliki kecenderungan individu untuk memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan selalu berpikir optimis terhadap lingkungan serta dirinya sendiri. Pola pikir inilah yang dapat membantu individu dalam mengatasi masalahnya (William, 2004). Maka mahasiswa yang mampu untuk tetap mempertahankan pikiran positifnya, maka kecemasan saat berbicara di depan umum tidak akan tinggi. Tetapi bila mahasiswa kurang mampu untuk mempertahankan pikiran positifnya, maka kecemasan saat berbicara di depan umum akan tinggi.

Ketika menghadapi situasi yang menekan, dalam hal ini berbicara depan umum, keyakinan terhadap kemampuan individu (efikasi diri) akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi tersebut (Bandura, 1997). Bandura menyatakan bahwa efikasi diri berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor yang berperan penting dalam munculnya kecemasan. Individu yang percaya bahwa ia mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami kecemasan yang tinggi. Sebaliknya individu yang percaya bahwa ia tidak dapat mengatur ancaman, mengalami kecemasan yang tinggi.

Dalam teori sosial kognitif yang diungkapkan oleh Bandura (1997), efikasi diri akan membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha untuk maju, kegigihan serta ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan dan derajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka. Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari Lent (1991) bahwa keyakinan yang kuat dalam diri untuk mencapai performansi yang diharapkan akan memberi dorongan dan kekuatan pada diri individu itu sendiri.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Feist & Feist (2002) bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stres yang tinggi, maka individu tersebut mempunyai efikasi diri yang rendah. Sementara individu yang memiliki efikasi diri tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam menghadapi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari. Dengan kata lain, semakin tinggi efikasi diri seseorang, maka tingkat kecemasan ketika berbicara di depan umum akan semakin rendah. Begitu pula sebaliknya jika semakin rendah efikasi diri seseorang, maka tingkat kecemasan ketika berbicara di depan umum akan semakin tinggi.

Bandura (1997) mengemukakan bahwa efikasi diri aakan menentukan bagaimana individu merasa berpikir dan bertingkah laku terhadap keputusan yang dipilih, usaha-usaha yang akan dilakukan, dan keteguhannya pada saat menghadapi hambatan, memiliki rasa bahwa individu mampu untuk mengendalikan lingkungan sosialnya. Keyakinan pada seluruh kemampuan

meliputi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan.

Myers (1996) mengungkapkan bahwa individu dengan efikasi diri yang tinggi tidak mudah mengalami depresi dan kecemasan serta memiliki pola hidup yang terfokus, sehingga dapat hidup lebih sehat dan sukses dalam bidang akademis. Mahasiswa yang memiliki efikasi diri rendah kurang terampil dalam mengendalikan kecemasan, sedangkan mahasiswa yang memiliki efikasi tinggi akan lebih terampil dalam mengendalikan kecemasan ketika berbicara di depan umum.

Penelitian dari Djayanti (2015) yang menjadi pendukung untuk penelitian ini, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Selain itu juga ada dua penelitian lain dari Shagita (2013) dan Wahyuni (2015) di mana hasil dari kedua penelitian tersebut sama-sama menemukan bahwa ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Semakin tinggi efikasi diri, maka kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semakin rendah. Sebaiknya, jika semakin rendah efikasi diri, maka kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semakin tinggi.

Kesimpulan yang dapat diambil ialah apabila mahasiswa memiliki tingkat berpikir positif tinggi, maka kecemasan berbicara di depan umum akan rendah. Sebaliknya, apabila mahasiswa memiliki tingkat berpikir positif rendah, maka kecemasan berbicara di depan umum akan tinggi. Sama halnya dengan efikasi diri. Semakin tinggi efikasi diri mahasiswa, maka akan semakin rendah

kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin rendah efikasi diri mahasiswa, semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Sehingga kedua variabel berpikir positif dan efikasi diri memiliki hubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum.

Dokumen terkait