• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum - HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI UNIVERSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum - HUBUNGAN ANTARA BERPIKIR POSITIF DAN EFIKASI DIRI DENGAN KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI UNIVERSI"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

23 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan Berbicara di Depan Umum 1. Pengertian Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Kecemasan berbicara di depan umum merupakan keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada individu. Keadaan tidak nyaman tersebut dialami ketika membayangkan akan tampil berbicara di depan umum, saat menjelang berbicara di depan umum dan pada saat sedang melaksanakan berbicara di depan orang banyak. Dalam kamus lengkap psikologi, Chaplin (2002) menjelaskan pengertian kecemasan sebagai perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Pendapat lain menurut Menurut Daradjat (dalam Muslimin, 2013), kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik).

(2)

dengan kehadiran orang lain, biasanya disertai dengan perasaan malu yang ditandai dengan kekakuan, hambatan dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial. Keadaan individu seperti ini dianggap mengalami kecemasan sosial. Abdurachman (dalam Muslimin, 2013) mengartikan berbicara adalah cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Kemudian Muslimin (2013) memberikan pernyataan bahwa berbicara di depan umum sendiri memiliki pengertian sebuah metode komunikasi yang dilakukan oleh seseorang baik secara perseorangan maupun dengan kelompok orang.

Menurut Rogers (2008) terdapat perbedaan antara berbicara di depan umum dengan pembicaraan biasa. Pada konsteks pembicaraan biasa individu merasa aman untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. Bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan biasa adalah adanya proses memberi dan menerima (komunikasi dua arah atau dialog). Berbeda dengan berbicara di depan umum, individu mulai berbicara di depan umum, secara otomatis individu tersebut menjadi pemimpin dan memegang kendali penuh dari banyak orang. Proses komunikasi berubah menjadi satu arah (monolog).

(3)

di depan umum tidak dapat berdiri sendiri, tetapi masing-masing gejala saling berhubungan. Individu yang mengalami kecemasan berbicara di depan umum akan mengalami gejala pada psikologisnya, akan mempengaruhi fisiologis dan kognitifnya semua gejala tersebut saling timbal balik satu dengan yang lainnya.

Dari penjelasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik) yang ditandai dengan reaksi fisik dan psikologis saat berbicara di depan orang banyak. Kecemasan berbicara di depan umum di sini seperti melakukan presentasi di depan kelas, menjadi presenter, atau menjadi pembicara dalam suatu kegiatan perkuliahan.

2. Aspek-aspek Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Rogers (2004) memaparkan beberapa dari aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum, antara lain:

a. Aspek Fisik

Komponen fisik biasanya dirasakan jauh sebelum memulai pembicaraan. Gejala fisik tersebut dapat berbeda pada tiap orang. Gejala-gejala fisik tersebut diantaranya jantung berdebar-debar, suara yang bergetar, kaki gemetar, kejang perut, dan sulit untuk bernafas.

b. Aspek Mental

(4)

tepat dan melupakan hal-hal yang sangat penting. Selain itu juga tersumbatnya pikiran sehingga membuat individu yang sedang berbicara tidak tahu apa yang harus diucapkan selanjutnya.

c. Aspek Emosional

Gejala-gejala yang termasuk dalam komponen emosional adalah adanya rasa tidak mampu, rasa takut yang biasa muncul sebelum individu tampil dan rasa kehilangan kendali. Biasanya secara mendadak muncul rasa tidak berdaya seperti anak yang tidak mampu mengatasi masalah, munculnya rasa panik dan rasa malu setelah berakhir pembicaraan.

Ada pendapat lain dari Burgoon (1994) yang memaparkan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum sebagai berikut:

a. Unwillingness

Unwillingness adalah tidak adanya minat individu melakukan berbicara di

depan umum, sehingga ada usaha untuk menghindar bila melakukan kegiatan tersebut.

b. Unrewarding

Unrewarding adalah tidak adanya penghargaan atau peningkatan hukuman

atas komunikasi yang pernah dilakukan individu. Pengalaman tersebut menjadikan individu mengalami kecemasan bila dikemudian hari berbicara di muka umum lagi.

c. Uncontrol

(5)

Menurut Rogers (2004) ada tiga aspek-aspek kecemasan antara lain aspek fisik, aspek mental dan aspek emosional. Burgoon (2994) mengungkapkan bahwa aspek-aspek kecemasan dibagi juga menjadi tiga antara lain Unwillingness, unrewarding dan uncontrol. Dari dua pendapat ahli tersebut yang diacu untuk menjelaskan aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum dalam penelitian ini adalah pendapat dari Rogers (2004). Teori tersebut dipilih karena aspek-aspek kecemasan berbicara di depan umum dijabarkan secara jelas dan lebih terperinci.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Berbicara di Depan Umum

Kecemasan berbicara di depan umum disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor yang berasal dari luar diri individu (eksternal) dan faktor yang terdapat dalam diri individu (internal), yang dapat dipaparkan sebagai berikut:

1) Faktor Eksternal

a. Lingkungan yang baru

(6)

mempengaruhi partisipasi mahasiswa dalam hal berbicara khususnya berbiacara di depan umum.

Penelitian dari Vevea (2010) juga menunjukkan bahwa adanya masa transisi dari lingkungan sekolah ke lingkungan perkuliahan membuat mahasiswa merasa gugup. Suasana yang baru membuat mahasiswa harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tersebut.

b. Budaya

Penelitian McCroskey dan Richmond (dalam Powel, 2010) menunjukkan bahwa pelajar di pedesaan memiliki kecenderungan kecemasan berbicara di depan kelas lebih tinggi dibandingkan pelajar di perkotaan. Samovar (2007) mengungkapkan bahwa budaya memiliki efek terhadap kecemasan berbicara pada individu sebab budaya dalam masyarakat sangat menentukan proses berpikir, persepsi serta tindakan individu terhadap suatu situasi.

(7)

perkotaan yang lebih terampil McCroskey dan Richmond (dalam Powel, 2010).

c. Komunikasi dalam keluarga

Hasibuan (2011) menyatakan bahwa perkembangan kecemasan berbicara pada individu mulai terjadi sejak usia kanak-kanak dan berkembang hingga usia dewasa. Keluarga adalah lingkungan pertama dalam kehidupan individu, tempat individu belajar menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Rothlisberg (dalam Rice, 2002) mengungkapkan bahwa interaksi yang berkualitas antara anggota keluarga berpengaruh terhadap kesuksesan individu dalam tumbuh kembangnya. Individu yang terbiasa direspon dengan baik dalam keluarga akan menunjukkan perilaku yang lebih positif seperti pencapaian prestasi yang tinggi, konsep diri yang positif, moral yang baik, serta mampu berkomunikasi secara efektif. 2) Faktor Internal

a. Pola pikir

(8)

Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumya terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang mempunyai pola pikir yang positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif, maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.

Albrecth (2009) menyatakan bahwa individu yang berpikir positif akan mengarahkan pikiran-pikirannya ke hal-hal yang positif, akan berbicara tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan bersikap positif dalam menghadapi permasalahan.

(9)

Begitu juga dengan kecemasan berbicara di depan umum, saat seseorang berpikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi. Berpikir positif memiliki kecenderungan individu untuk memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan selalu berpikir

optimis terhadap lingkungan serta dirinya sendiri. Pola pikir inilah yang dapat

membantu individu dalam mengatasi masalahnya (William, 2004).

b. Keterampilan komunikasi

Manusia dalam kehidupan sosial tidak dapat terlepas dari proses interaksi dengan orang lain. Sifat sosial manusia adalah membutuhkan orang lain dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Hubungan timbal balik membutuhkan komunikasi verbal dan non verbal. Keterampilan komunikasi yang baik cenderung mengurangi kecemasan berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum yang dimaksud peneliti adalah kecemasan yang terjadi pada individu ketika tampil berbicara di depan publik, menjadi presenter, menjadi MC, menjadi announcer (penyiar radio), sebagai negosiator dalam melaksanakan nego

(10)

c. Pengalaman individu

Burgoon (1994) menyebutkan bahwa satu faktor yang menyebabkan kecemasan berbicara di depan umum yaitu kurangnya pengalaman atau adanya pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan individu. Hal ini mengakibatkan individu cenderung mempunyai pikiran dan perasaan yang negatif terhadap dirinya dan kemudian menghindar untuk berbicara di depan umum. Individu meyakini bahwa kejadian yang buruk akan terjadi.

d. Kepercayaan diri

Taylor (2011) rasa percaya diri (self confidence) adalah keyakinan seseorang akan kemampuan yang dimiliki untuk menampilkan perilaku tertentu atau untuk mencapai target tertentu. Dengan kata lain, kepercayaan diri adalah bagaimana kita merasakan tentang diri kita sendiri, dan perilaku kita akan merefleksikan tanpa kita sadari. Kepercayaan diri bukan merupakan bakat (bawaan), melainkan kualitas mental, artinya kepercayaan diri merupakan pencapaian yang dihasilkan dari proses pendidikan atau pemberdayaan.

(11)

perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, seperti perbedaan-perbedaan status sosial, status ekonomi dan tingkat pendidikan. Kepercayaan diri mahasiswa diasumsikan dapat mempengaruhi tingkat kecamasan mereka di dalam berbicara di depan umum. Mahasiswa dengan memiliki kepercayaan diri yang memadai akan dapat meminimalisir kecemasan yang terjadi pada diri mereka saat mengadakan sebuah presentasi, dan mahasiswa tersebut dapat menyikapi sebuah proses presentasi dengan respon yang positif.

e. Efikasi diri

Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997). Menurut Prakosa (2006) keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh pelajar ataupun mahasiswa. Keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan yang didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan akan menuntut seseorang untuk berperilaku secara mantap dan efektif.

(12)

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal yang dapat dijabarkan masing-masing. Faktor eksternal meliputi lingkungan yang baru, budaya dan komunikasi dalam keluarga. Sedangkan faktor internal meliputi pola pikir, keterampilan komunikasi, pengalaman individu, kepercayaan diri dan efikasi diri.

(13)

Ketika menghadapi tugas yang menekan dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan. Bandura (1997) menyatakan bahwa keyakinan akan kemampuan dalam diri individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif disebut efikasi diri. Dengan keyakinan akan kemampuan tersebut, individu akan berusaha semaksimal mungkin dalam mencapai hasil yang baik. Saat individu mendapatkan tugas (khususnya berbicara di depan umum), maka ia akan berusaha untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sehingga rasa cemas yang muncul saat harus berbicara di depan umum akan dapat dikendalikan oleh individu. Penelitian dari Djayanti (2015) menemukan adanya hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum. Semakin tinggi tingkat efikasi diri, maka semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin rendah tingkat efikasi diri, maka semakin tinggi tingkat kecemasan berbicara di depan umum.

(14)

B. Berpikir Positif 1. Pengertian Berpikir Positif

Ada beberapa konsep dari berpikir diantaranya yaitu thinking, thought, and mind (Chaplin, 2008). Konsep berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah thinking. Thinking atau Berpikir didefiniskan sebagai proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental (Suharnan, 2005). Walgito (2003) menjelaskan bahwa berpikir merupakan kemampuan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Berpikir terjadi sebagai respon terhadap masalah yang timbul dari dunia luar sehingga dapat dikatakan bahwa individu berpikir apabila menghadapi permasalahan atau persoalan. Bono (1990) menyatakan bahwa berpikir adalah eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai suatu tujuan.

Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumya terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Seseorang yang mempunyai pola pikir positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif, maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya.

(15)

tentang kesuksesan daripada kegagalan, cinta kasih daripada kebencian, kebahagiaan daripada kesedihan, keyakinan daripada ketakutan, kepuasan daripada kekecewaan sehingga individu akan bersikap positif dalam menghadapi permasalahan.

Peale (2001) menyebutkan bahwa berpikir positif adalah suatu bentuk dari pikiran dimana selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk. Dengan berpikir positif akan melihatkan sesuatu pengetahuan bahwa akan ada yang baik dan yang buruk dalam kehidupan, tetapi hal ini lebih ditekankan pada yang baik. Berpikir positif membawa banyak keuntungan bagi kesehatan tubuh. Selain itu juga berpikir positif saat mengalami keadaan yang buruk akan memberikan kekuatan pada diri untuk terus berpikir mencari jalan keluar.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa berpikir positif memiliki pengertian bentuk dari pemikiran mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang positif, membentuknya dengan bahasa yang positif dengan menunjukkan pikiran-pikirannya serta selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.

2. Aspek-aspek Berpikir Positif

Menurut Albrecth (2009) aspek-aspek dari berpikir positif adalah sebagai berikut:

a. Pernyataan yang tidak memihak (non judgment talking)

(16)

seseorang cenderung memberikan pernyataan atau penilaian yang negatif. Aspek ini sangat berperan dalam menghadapi keadaan yang cenderung negatif.

b. Harapan yang positif (positive expectation)

Melakukan sesuatu dengan memusatkan perhatian pada kesuksesan, optimis, pemecahan masalah yang menjauhkan diri dari perasaan takut akan kegagalan dengan menggunakan kata-kata yang mengandung harapan.

c. Penyesuaian diri yang realistis (realistic adaptation)

Mengakui kenyataan dan segera berusaha menyesuaikan diri dan menjauhkan diri dari penyesalan, frustasi, kasihan diri dan menyalahkan diri sendiri. d. Afirmasi diri (self affirmative)

Memusatkan perhatian pada kekuatan diri dan melihat secara lebih positif dengan dasar pikiran bahwa setiap individu sama berartinya dengan individu lain.

Selain itu ada pendapat lain dari Ubaedy (dalam Elfiky, 2009) yang menyatakan bahwa dimensi-dimensi dari berpikir positif dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Muatan pikiran

(17)

orang lain, dan lingkungan), dan bermanfaat (menghasilkan sesuatu yang berguna).

b. Penggunaan pikiran

Memasukkan muatan positif pada ruang pikiran merupakan tindakan positif namun tindakan tersebut berada pada tingkatan yang masih rendah jika muatan positif tersebut tidak diwujudkan dalam tindakan nyata. Oleh karena itu isi muatan yang positif tersebut perlu diaktualisasikan ke dalam tindakan agar ada dampak yang ditimbulkan.

c. Pengawasan pikiran

Dimensi ketiga dari berpikir positif adalah pengawasan pikiran. Aktivitas ini mencakup usaha untuk mengetahui muatan apa saja yang dimasukkan ke ruang pikiran dan bagaimana pikiran bekerja. Jika diketahui terdapat hal-hal yang negatif ikut ke ruang pikiran maka perlu dilakukan tindakan berupa mengeluarkan hal-hal yang negatif tersebut dengan menggantinya dengan yang positif. Demikian pula jika ternyata teridentifikasi bahwa pikiran bekerja tidak semestinya maka dilakukan usaha untuk memperbaiki kelemahan atau kesalahan tersebut.

(18)

dalam teori Albrecth (2009) lebih mendetail untuk menjelaskan dan mewakili masalah yang ada.

C. Efikasi Diri 1. Pengertian Efikasi Diri

Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Hal ini akan mengakibatkan bagaimana individu merasa, berpikir dan bertingkah laku terhadap keputusan yang dipilih, usaha-usaha yang akan dilakukan dan keteguhannya pada saat menghadapi hambatan, individu merasa mampu untuk mengendalikan lingkungan sosialnya. Keyakinan pada seluruh kemampuan meliputi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan. Penilaian seseorang terhadap efikasi diri memainkan peranan besar dalam hal bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas, dan tantangan. Selain itu juga Schultz (1994) mendefiniskan efikasi diri sebagai perasaan kita terhadap kecukupan, efisiensi dan kemampuan kita dalam mengatasi kehidupan.

(19)

ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakup kehidupan mereka.

Baron & Byrne (2000) mengemukakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Sedangkan Feist & Feist (2000) menyatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.

Efikasi diri memiliki keefektifan yaitu individu mampu menilai dirinya memiliki kekuatan untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan. Tingginya efikasi diri yang dipersepsikan akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertindak secara tepat dan terarah, terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas. Pikiran individu terhadap efikasi diri menentukan seberapa besar usaha yang dicurahkan dan seberapa lama individu akan tetap bertahan dalam menghadapi hambatan atau pengalaman yang tidak meyenangkan. Efikasi diri selalu berhubungan dan berdampak pada pemilihan perilaku, motivasi dan keteguhan individu dalam menghadapi setiap persoalan (Bandura, 1997).

(20)

2. Aspek-aspek Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997) terdapat tiga aspek-aspek dari efikasi diri, yaitu: a. Level

Dimensi ini mengacu pada taraf kesulitan tugas yang diyakini individu akan mampu mengatasinya. Tingkat efikasi diri seseorang berbeda satu sama lain. Tingkatan kesulitan dari sebuah tugas, apakah sulit atau mudah akan menentukan efikasi diri. Pada suatu tugas atau aktivitas, jika tidak terdapat suatu halangan yang berarti untuk diatasi, maka tugas tersebut akan sangat mudah dilakukan dan semua orang pasti mempunyai efikasi diri yang tinggi pada permasalahan ini.

b. Generality

Aspek ini berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku. Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas. c. Strength

(21)

terhadap keyakinannya. Kemantapan inilah yang menentukan ketahanan dan keuletan.

Ada pendapat lain dari Corsini (1994) yang membagi aspek-aspek efikasi diri menjadi empat yaitu:

a. Kognitif

Kognitif merupakan keyakinan seseorang untuk memikirkan cara-cara yang dapat digunakan dan merancang tindakan yang akan diambil untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Asumsi yang timbul pada aspek ini adalah semakin efektif keyakinan seseorang dalam berpikir dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasannya, maka akan mendukung seseorang untuk bertindak dengan tepat guna mencapai tujuan yang diharapkan.

b. Motivasi

Motivasi merupakan keyakinan seseorang dalam memotivasi diri melalui pikirannya untuk melakukan tindakan dan mengambil keputusan guna mencapai tujuan yang diharapkan. Setiap orang berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinannya pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Motivasi dalam efikasi diri digunakan untuk memprediksi kesuksesan dan kegagalan seseorang.

c. Afeksi

(22)

emosional. Afeksi ditunjukkan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan. d. Seleksi

Seleksi merupakan keyakinan seseorang untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Seleksi tingkah laku mempengaruhi perkembangan personal. Asumsi yang timbul pada aspek ini adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat seseorang tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi situasi sulit.

Pada penelitian ini yang dipakai untuk mendukung teori efikasi diri adalah teori dari Bandura (1997) dengan pertimbangan keterangan dari aspek-aspek yang diungkapkan lebih sesuai digunakan untuk penelitian ini.

D. Hubungan antara Berpikir Positif dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa

(23)

Peale (2001) menyatakan bahwa berpikir umumnya terbagi menjadi dua yaitu berpikir positif dan berpikir negatif. Apabila seseorang mempunyai pola pikir yang positif maka individu tersebut dapat mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif, maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya. Meskipun berpikir positif bukanlah solusi terhadap berbagai masalah kehidupan, tetapi pemikiran akan membantu menentukan suasana hati yang dialami dalam situasi tertentu. Begitu individu mengalami suasana hati tertentu, suasana hati tersebut akan disertai dengan pemikiran lain yang mendukung dan memperkuat suasana hati.

Miller & Tesser (1990) mengungkapkan bahwa pikiran memiliki pengaruh terhadap sikap dan perilaku. Sikap terdiri dari komponen kognitif dan afektif. Pikiran menekankan komponen afektif untuk menghasilkan penilaian dan perkiraan mengenai perwujudan perilaku (afektif menggerakkan perilaku). Di sisi lain, pikiran menekankan komponen kognitif untuk menghasilkan penilaian dan perkiraan mengenai perilaku (kognitif menggerakkan perilaku). Pikiran positif akan menghasilkan sikap mental yang positif yang akan membantu individu membangun harapan serta mengatasi keputusasaan dan ketidakberanian (Hills, 2009).

(24)

sisi positif, suka bekerja keras dan dapat mengendalikan emosinya ketika berbicara di depan umum, sehingga kecemasan saat berbicara di depan umum dalam diri seseorang rendah. Individu dengan pola pikir negatif lebih menggunakan perasaaanya, lebih mudah stress dan mengekspresikan kecemasan karena selalu fokus pada pendapatnya sendiri. Bertentangan dengan pola pikir positif, kecemasan berbicara di depan umum pada seseorang dengan pola pikir negatif akan tinggi.

Devito (1995) menyatakan kecemasan berbicara di muka umum dapat terjadi karena individu memiliki pola pikir negatif sehingga komunikasi yang dilakukan memberikan hasil negatif. Sebagai contoh dalam sebuah diskusi kelompok umumnya siswa diminta untuk maju dan berbicara di depan kelas, saat ujian, dan ketika berlatih bicara dengan orang asing. Pada saat diminta untuk berbicara di depan kelas, sebagian besar siswa mengungkapkan bahwa mereka merasa kaget dan ragu-ragu. Pada saat mereka telah selesai berbicara dan melakukan suatu kesalahan, mereka akan merasa malu dan takut dimana hal tersebut karena adanya kekhawatiran terjadinya penilaian sosial yang negatif terhadap mereka dan disebabkan karena adanya ketakutan akan gagal.

(25)

buruk yang tidak menyenangkan, seperti ketegangan bertambah, jantung berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu. Khawatir merupakan aspek kognitif dari kecemasan berbicara yang dialami berupa pikiran yang negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak adanya harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri, menyerah terhadap situasi yang ada, dan merasa khawatir berlebihan tentang kemungkinan apa yang dilakukan.

Menurut Bandura (1997), kognisi adalah proses berpikir individu tentang situasi tertentu. Berdasarkan teori kognitif, cara berpikir menentukan bagaimana individu merasa dan berbuat (Corsini, 1994). Dengan kata lain, cara individu memaknai hubungan antara dirinya dengan lingkungan di sekitarnya akan berpengaruh terhadap perasaan dan perilakunya. Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum, maka pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya sehubungan dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi berbicara di depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan berdampak pada perilaku (Ayres, 1992).

(26)

suatu hukuman, sehingga rasa takut dipermalukan dapat menjadi penghambat untuk berbicara di depan umum (Ayres, 2002).

Opt & Loffredo (2000) memaparkan hasil penelitiannya, bahwa semakin seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi. Peale (2001) menyatakan bahwa seseorang yang berpikir positif akan memandang segala persoalan yang muncul dari sudut pandangan yang positif. Individu yang berpikir positif akan menanggapi dan mengatasi persoalan secara lebih optimis dan mengarahkan pikirannya pada hari depan yang gemilang.

(27)

berbagai perasaan negatif seperti takut salah atau ditertawakan, malu, merasa tidak bisa dan rendah diri dan lain sebagainya.

Rogers (2004) mengemukakan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah pola pikiran yang keliru. Seseorang yang hendak berbicara di depan umum merasa bahwa dirinya sedang diadili, merasa penampilan dan gerak gerik serta ucapannya sedang menjadi perhatian khalayak. Atau dengan kata lain hal tersebut dikarenakan pikiran-pikiran yang negatif dan tidak rasional. Reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami individu dapat digunakan sebagai tanda bahwa apa yang dipikirkan mengenai dirinya sendiri mungkin tidak rasional.

Albrecht (2009) menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang tinggi akan fokus pada harapan yang diinginkan, meskipun lingkungan sekitarnya tifak mendukung. Sebaliknya individu yang memiliki tingkat berpikir positif yang rendah, maka maka akan timbul hambatan dalam diri individu terhadap harapan yang dimilikinya jika lingkungan disekitarnya tidak mendukung. Hal ini tentunya juga akan berdampak sama dengan mahasiswa. Mahasiswa yang memiliki pikiran positif akan memiliki kemampuan yang baik dalam mengolah kecemasan saat berbicara di depan umum agar hal tersebut tidak akan mengganggu performanya.

(28)

akan tinggi. Hal ini menandakan bahwa kedua variabel ini memiliki hubungan yang saling berkaitan.

E. Hubungan antara Efikasi Diri dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa komunikasi memegang peranan penting dalam kegiatan pendidikan. Beberapa bentuk komunikasi seperti bertanya kepada dosen, mempresentasikan tugas, dan melakukan diskusi kelompok yang dilakukan oleh mahasiswa di dalam kelas, dimana mahasiswa tidak hanya berinteraksi dengan dosen, tetapi juga dituntut untuk berbicara, mengemukakan pendapat, ide-idenya secara lisan di depan banyak orang (Elliot, 2000). Ada harapan-harapan yang diberikan kepada mahasiswa sebagai kelompok yang mengeyam pendidikan tinggi untuk memiliki kompetensi yang lebih baik dalam hal ini kemampuan berkomunikasi khususnya berbicara di depan umum sebagai bekal mahasiswa di kehidupan masyarakat. Faktanya di lapangan kecemasan muncul saat mahasiswa ditunjuk untuk berbicara di depan umum (Wahyuni, 2015).

(29)

Ketika menghadapi tugas yang menekan dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan. Bandura (1997) menyatakan bahwa keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif disebut efikasi diri.

Efikasi diri mempengaruhi bagaimana perasaan individu, cara berfikir, memotivasi diri, dan bagaimana individu bertingkah laku. Efikasi diri juga mempengaruhi individu dalam penelitian tugas, kegigihan dalam usaha meraih prestasi. Efikasi diri berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor yang berperan penting dalam munculnya kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami kecemasan yang tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa mereka tidak dapat mengatur ancaman, maka akan mengalami kecemasan yang tinggi (Bandura, 1997). Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari Feist & Feist (2002) yang menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka kecenderungannya mereka mempunyai tingkat efikasi diri yang rendah. Sementara mereka yang memiliki efikasi diri yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

(30)

menjauhi tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut di pandang sebagai ancaman bagi mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau mereka tetapkan. Ketika menghadapi tugas-tugas yang sulit, mereka sibuk memikirkan kekurangan-kekurangan diri mereka, gangguan-gangguan yang mereka hadapi, dan semua hasil yang dapat merugikan mereka. Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah tidak berpikir tentang bagaimana cara yang baik dalam menghadapi tugas-tugas yang sulit. Saat menghadapi tugas yang sulit, mereka mengurangi usaha-usaha mereka dan cepat menyerah. Mereka juga lamban dalam membenahi ataupun mendapatkan kembali efikasi diri mereka ketika menghadapi kegagalan (Suryabrata, 2010).

Individu yang menghadapi situasi menekan, dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka efikasi diri akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi tersebut (Bandura, 1997). Tingginya efikasi diri yang dimiliki akan memotivasi individu secara kognitif untuk bertidak lebih bertahan dan terarah terutama apabila tujuan yang hendak di capai merupakan tujuan yang jelas. Tidak mengherankan apabila ditemukan hubungan yang signifikan antara efikasi diri dengan prestasi dan performasi individu tersebut.

(31)

untuk berperilaku secara mantap dan efektif. Sehingga mahasiswa yang memiliki tingkat efikasi diri yang tinggi akan memiliki performa yang baik jika ia ditunjuk untuk berbicara di depan umum. Kecemasan berbicara di depan umum merupakan fungsi rendahnya efikasi diri. Efikasi diri berperan menentukan bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas dan tantangan. Pada saat merasa takut dan cemas, biasanya individu mempunyai efikasi diri rendah. Sementara individu yang memiliki efikasi diri tinggi, merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menggangap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

Penelitian Djayanti (2015) menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum, yang berarti bahwa apabila efikasi diri tinggi maka kecemasan berbicara di depan umum rendah. Begitu juga sebaliknya, apabila efikasi diri rendah maka kecemasan berbicara di depan umum tinggi. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian Wahyuni (2015) yang menunjukkan ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa.

(32)

F. Hubungan antara Berpikir Positif dan Efikasi Diri dengan Kecemasan Berbicara di Depan Umum pada Mahasiswa

Komunikasi adalah peristiwa yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain. Komunikasi menyentuh segala aspek kehidupan manusia, menurut penelitian mengungkapkan bahwa 70% waktu bangun manusia digunakan untuk berkomunikasi. Komunikasi memiliki pengertian proses di mana seorang individu mengoperkan perangsang (lambang-lambang bahasa) untuk mengubah tingkah laku individu yang lainnya Abdurachman (dalam Muslimin, 2013). Komunikasi merupakan gambaran bagaimana seseorang memahami, melihat, mendengar dan merasakan tentang dirinya (sense of self), kemampuan memahami media serta bagaimana cara individu tersebut berinteraksi dengan lingkungan, dari mengumpulkan, dan mempresentasikan informasi, hingga menyelesaikan konflik (Muslimin, 2013).

Komunikasi menentukan kualitas kehidupan manusia (Rakhmat, 2008). Berbicara adalah cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Setiap orang dapat berbicara, tetapi tidak semua orang dapat berbicara baik dan berkomunikasi di depan umum.

Mahasiswa sebagai peserta didik yang mengeyam pendidikan lebih tinggi tentunya tidak dapat menghindari proses komunikasi yang di mana bentuk komunikasi yang ada di setting perkuliahan dapat berupa bertanya kepada dosen, mempresentasikan tugas, dan melakukan diskusi kelompok. Tidak hanya di setting perkuliahan, terkadang mahasiswa dituntut untuk mampu berbicara,

(33)

2002). Kenyataan yang ada di lapangan, berbicara di depan umum bukanlah suatu hal yang mudah. Adanya tekanan-tekanan membuat seseorang khususnya di sini mahasiswa mengalami hambatan yang akan memicu kecemasan (Bandura, 1997).

Kecemasan merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai disertasi perubahan fisiologis. Kecemasan tersebut timbul akibat adanya respons terhadap kondisi stres atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri sendiri, akan menimbulkan respons dari sistem saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti lambung, jantung, pembuluh darah maupun motorik. Perubahan fisiologis akan memicu perubahan psikologis dalam diri individu seperti muncul perasaan panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi (Mulyadi, 2003).

(34)

rasa takut tersebut menjadi jauh lebih besar dari diri sendiri dan akhirnya berhenti sambil meyakinkan bahwa semuanya adalah malapetaka. Hal ini juga ditemukan dalam penelitian Marinho (2015) yang ditemukan bahwa saat mahasiswa ditunjuk untuk berbicara di depan umum, sering sekali muncul pikiran negatif yang menyebabkan mereka menjadi cemas. Kecemasan bebicara di depan umum akan mengarah pada ketakutan dan tentunya memiliki dampak negatif dalam keberhasilan akademik mahasiswa tersebut.

Spielberger, dkk (dalam Ghufron 2012) menetapkan kecemasan berbicara saat berbicara di depan umum menjadi dua dimensi yaitu kekhawatiran dan emosionalitas. Dimensi emosi merujuk pada reaksi fisiologis dan sistem syaraf otomatik yang timbul akibat atau suatu objek tertentu. Dimensi ini juga meliputi perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi emosi terhadap hal buruk yang tidak menyenangkan, seperti ketegangan bertambah, jantung berdebar keras, tubuh berkeringat, dan badan gemetar saat mengerjakan sesuatu. Khawatir merupakan aspek kognitif dari kecemasan berbicara yang dialami berupa pikiran yang negatif terhadap kemungkinan kegagalan serta konsekuensinya seperti tidak adanya harapan mendapat sesuatu sesuai yang diharapkan, kritis terhadap diri sendiri, menyerah terhadap situasi yang ada, dan merasa khawatir berlebihan tentang kemungkinan apa yang dilakukan.

(35)

perasaan dan perilakunya. Jika individu mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum, maka pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya sehubungan dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi berbicara di depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan berdampak pada perilaku. Tetapi jika individu memiliki pikiran yang positif, maka ia akan mampu untuk menaklukkan perasaan cemasnya (Ayres, 1992).

Dalam mengurangi atau mengatasi kecemasan dalam berbicara di depan umum, individu dapat mengubah cara berpikir dari yang negatif atau tidak rasional menjadi cara berpikir positif. Peale (2001) menjelaskan bahwa untuk membentuk pikiran yang positif dapat digunakan pernyataan-pernyataan positif. Jika individu secara terus-menerus mengguakan kata-kata yang positif maka akan berpengaruh terhadap kesehatan tubuh dan kekuatan stimulus positif yang akan memberikan efek yang baik. Kata-kata yang digunakan akan merefleksikan secara kuat ke dalam pikiran dan pikiran akan memberikan efek positif atau negatif terhadap individu.

(36)

Mahasiswa yang diberikan tugas atau kegiatan yang mengharuskan mereka berhadapan dan berbicara di depan banyak orang tentunya tak terhindar dari adanya perasaan cemas. Hal ini salah satunnya dapat disebabkan oleh adanya pikiran-pikiran negatif. Saat seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi. Berpikir positif memiliki kecenderungan individu untuk memandang segala sesuatu dari segi positifnya dan selalu berpikir optimis terhadap

lingkungan serta dirinya sendiri. Pola pikir inilah yang dapat membantu individu

dalam mengatasi masalahnya (William, 2004). Maka mahasiswa yang mampu untuk

tetap mempertahankan pikiran positifnya, maka kecemasan saat berbicara di depan

umum tidak akan tinggi. Tetapi bila mahasiswa kurang mampu untuk

mempertahankan pikiran positifnya, maka kecemasan saat berbicara di depan umum

akan tinggi.

(37)

Dalam teori sosial kognitif yang diungkapkan oleh Bandura (1997), efikasi diri akan membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha untuk maju, kegigihan serta ketekunan yang mereka tunjukkan dalam menghadapi kesulitan dan derajat kecemasan atau ketenangan yang mereka alami saat mereka mempertahankan tugas-tugas yang mencakupi kehidupan mereka. Hal ini juga sejalan dengan pendapat dari Lent (1991) bahwa keyakinan yang kuat dalam diri untuk mencapai performansi yang diharapkan akan memberi dorongan dan kekuatan pada diri individu itu sendiri.

Pendapat lain yang dikemukakan oleh Feist & Feist (2002) bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stres yang tinggi, maka individu tersebut mempunyai efikasi diri yang rendah. Sementara individu yang memiliki efikasi diri tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam menghadapi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari. Dengan kata lain, semakin tinggi efikasi diri seseorang, maka tingkat kecemasan ketika berbicara di depan umum akan semakin rendah. Begitu pula sebaliknya jika semakin rendah efikasi diri seseorang, maka tingkat kecemasan ketika berbicara di depan umum akan semakin tinggi.

(38)

meliputi, kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri, kapasitas kognitif, kecerdasan dan kapasitas bertindak pada situasi yang penuh tekanan.

Myers (1996) mengungkapkan bahwa individu dengan efikasi diri yang tinggi tidak mudah mengalami depresi dan kecemasan serta memiliki pola hidup yang terfokus, sehingga dapat hidup lebih sehat dan sukses dalam bidang akademis. Mahasiswa yang memiliki efikasi diri rendah kurang terampil dalam mengendalikan kecemasan, sedangkan mahasiswa yang memiliki efikasi tinggi akan lebih terampil dalam mengendalikan kecemasan ketika berbicara di depan umum.

Penelitian dari Djayanti (2015) yang menjadi pendukung untuk penelitian ini, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Selain itu juga ada dua penelitian lain dari Shagita (2013) dan Wahyuni (2015) di mana hasil dari kedua penelitian tersebut sama-sama menemukan bahwa ada hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa. Semakin tinggi efikasi diri, maka kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semakin rendah. Sebaiknya, jika semakin rendah efikasi diri, maka kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa semakin tinggi.

(39)

kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya, semakin rendah efikasi diri mahasiswa, semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Sehingga kedua variabel berpikir positif dan efikasi diri memiliki hubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum.

G. Landasan Teori

Setiap orang bisa berbicara, tetapi tidak setiap orang dapat berbicara baik dan komunikatif di depan umum. Berbicara adalah cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Komunikasi adalah cara manusia berinteraksi dengan manusia lain. Berkomunikasi dengan orang lain merupakan situasi yang hampir terjadi di seluruh proses kehidupan. Komunikasi menentukan kualitas kehidupan manusia, dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang efektif sangatlah diperlukan, untuk menyam–paikan ide, gagasan dan pengetahuan kepada masyarakat. Tidak ada individu yang mampu hidup normal tanpa adanya proses komunikasi atau berbicara dengan orang lain (Rakhmat, 2009).

William (2004) menyatakan bahwa tidak semua komunikasi dapat berjalan efektif. Ada hambatan dalam komunikasi yang disebut dengan communication apprehension. Orang yang mengalami hambatan komunikasi akan merasa cemas

(40)

Chaplin (2002) menjelaskan pengertian kecemasan sebagai perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut. Pendapat lain menurut Menurut Daradjat (dalam Muslimin, 2013), kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Hudaniah (2003) menyatakan bahwa pada umumnya kecemasan berwujud ketakutan kognitif, keterbangkitan syaraf fisiologis dan suatu pengalaman subjektif dari ketegangan dan kegugupan.

(41)

Abdurachman (dalam Muslimin, 2013) mengartikan berbicara adalah cara seseorang berkomunikasi dengan orang lain untuk menyampaikan sesuatu yang diinginkan. Kemudian Muslimin (2013) memberikan pernyataan bahwa berbicara di depan umum sendiri memiliki pengertian sebuah metode komunikasi yang dilakukan oleh seseorang baik secara perseorangan maupun dengan kelompok orang.

Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan berbicara di depan umum adalah suatu keadaan tidak nyaman yang sifatnya tidak menetap pada diri individu yang terjadi ketika seseorang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik) yang ditandai dengan reaksi fisik dan psikologis saat berbicara di depan orang banyak.

(42)

Kecemasan merupakan perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai disertasi perubahan fisiologis. Kecemasan tersebut timbul akibat adanya respons terhadap kondisi stres atau konflik. Rangsangan berupa konflik, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri sendiri, akan menimbulkan respons dari sistem saraf yang mengatur pelepasan hormon tertentu. Akibat pelepasan hormon tersebut, maka muncul perangsangan pada organ-organ seperti lambung, jantung, pembuluh darah maupun motorik. Perubahan fisiologis akan memicu perubahan psikologis dalam diri individu seperti muncul perasaan panik, tegang, bingung, tidak bisa berkonsentrasi (Mulyadi, 2003).

Kecemasan berbicara di depan umum tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pola pikir. Pola pikir dapat mempengaruhi suasana hati, reaksi fisik dan menyebabkan terjadinya perubahan interaksi sosial seseorang. Perubahan dalam perilaku individu akan mempengaruhi bagaimana individu tersebut berpikir dan merasa, baik secara fisik maupun secara emosional. Pola pikir seseorang sangat membantu dalam mengatasi masalah yang berhubungan dengan suasana hati (mood) seperti depresi, kecemasan, kemarahan, kepanikan, kecemburuan, rasa bersalah dan rasa malu (Mapes, 2006).

(43)

suasana hati. Sebaliknya apabila seseorang mempunyai pola pikir yang negatif, maka individu tersebut cenderung menjadi depresi, cemas, panik, muncul perasaan bersalah, yang pada akhirnya akan mengganggu interaksi sosialnya. Pada penelitian ini lebih difokuskan kepada berpikir positif.

Berpikir didefiniskan sebagai proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental (Suharnan, 2005). Walgito (2003) menjelaskan bahwa berpikir merupakan kemampuan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Berpikir terjadi sebagai respon terhadap masalah yang timbul dari dunia luar sehingga dapat dikatakan bahwa individu berpikir apabila menghadapi permasalahan atau persoalan.

Albrecth (2009) mengemukakan bahwa berpikir positif adalah mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang positif, membentuknya dengan bahasa yang positif dan menunjukkan pikiran-pikirannya. Berpikir positif adalah Perubahan dalam perilaku individu berpengaruh terhadap bagaimana individu tersebut berpikir dan merasa, baik secara fisik maupun secara emosional.

Kesimpulan dari berpikir positif yang dapat diambil adalah bentuk dari pemikiran mengatur antara perhatian terhadap sesuatu yang positif, membentuknya dengan bahasa yang positif dengan menunjukkan pikiran-pikirannya serta selalu melihat hasil yang baik dari suatu situasi yang buruk.

(44)

terhadap perasaan dan perilakunya. Sebagai contoh, jika seseorang mempunyai pikiran yang negatif tentang situasi berbicara di depan umum, maka pikiran negatif tersebut akan mempengaruhi perasaan dan perilakunya sehubungan dengan situasi tersebut. Pikiran negatif tentang situasi berbicara di depan umum akan menimbulkan perasaan takut atau cemas, yang kemudian akan berdampak pada perilaku. Apabila individu memiliki pikiran positif, maka ia akan mampu untuk mengatasi kecemasan saat berbicara di depan umum (Ayres, 1992).

Penelitian dari Opt & Loffredo (2000) ditemukan bahwa semakin seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi.

(45)

dasar pikiran bahwa setiap individu sama berartinya dengan individu lain (Albrecth, 2009).

Selain pola pikir, faktor lain yang mempengaruhi kecemasan berbicara di depan umum adalah efikasi diri. Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi dan memperoleh hasil yang positif. Hal ini akan mengakibatkan bagaimana individu merasa, berpikir dan bertingkah laku terhadap keputusan yang dipilih, usaha-usaha yang akan dilakukan dan keteguhannya pada saat menghadapi hambatan, individu merasa mampu untuk mengendalikan lingkungan sosialnya. Baron & Byrne (2000) mengemukakan bahwa efikasi diri merupakan penilaian individu terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai suatu tujuan, dan menghasilkan sesuatu. Sedangkan Feist & Feist (2000) menyatakan bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa efikasi diri adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat menguasai situasi untuk memperoleh hasil yang positif secara kecukupan dan efisien dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap peristiwa lingkungan mereka sendiri.

(46)

Penilaian seseorang terhadap efikasi diri memainkan peranan besar dalam hal bagaimana seseorang melakukan pendekatan terhadap berbagai sasaran, tugas, dan tantangan. Ketika menghadapi tugas yang menekan dalam hal ini berbicara di depan umum, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan.

Efikasi diri berguna untuk melatih kontrol terhadap stressor yang berperan penting dalam munculnya kecemasan. Individu yang percaya bahwa mereka mampu mengadakan kontrol terhadap ancaman tidak mengalami kecemasan yang tinggi. Sebaliknya mereka yang percaya bahwa mereka tidak dapat mengatur ancaman, maka akan mengalami kecemasan yang tinggi (Bandura, 1997). Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari Feist & Feist (2002) yang menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketakutan yang tinggi, kecemasan yang akut atau tingkat stress yang tinggi, maka kecenderungannya mereka mempunyai tingkat efikasi diri yang rendah. Sementara mereka yang memiliki efikasi diri yang tinggi merasa mampu dan yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan dan menganggap ancaman sebagai suatu tantangan yang tidak perlu dihindari.

(47)

Pada penelitian ini akan dilihat hubungan antara berpikir positif (X1) dengan kecemasan berbicara di depan umum (Y) dan hubungan antara efikasi diri (X2) dengan kecemasan berbicara di depan umum (Y). Kemudian dilihat juga berpikir positif (X1) dan efikasi diri (X2) keduanya memiliki hubungan dengan kecemasan berbicara di depan umum (Y). Pada gambar 2.1 akan diuraikan hubungan antara variabel X1 dengan Y, variabel X2 dengan Y dan Variabel X1, X2 dengan Y. Kerangka teoritis pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

1

3

2

Gambar 2. 1 Kerangka Teoritis BERPIKIR POSITIF (X1)

Aspek-aspek:

Pernyataan yang tidak

memihak

Harapan yang positif

Penyesuaian diri yang

realistis

Afirmasi diri

EFIKASI DIRI (X2)

Aspek-aspek:

Level

Generality

Strength

KECEMASAN BERBICARA DI DEPAN UMUM (Y)

Aspek-aspek:

Fisik

Mental

(48)

Keterangan gambar:

1: X1 berhubungan dengan Y; Menunjukkan hubungan antara berpikir positif dengan kecemasan berbicara di depan umum.

2: X2 berhubungan dengan Y; Menunjukkan hubungan antara efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum.

3: X1 dan X2 keduanya memiliki hubungan dengan Y; Menunjukkan hubungan antara berpikir positif dan efikasi diri dengan kecemasan berbicara di depan umum.

H. Hipotesis

Berdasarkan uraian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Ada hubungan negatif antara berpikir positif dengan kecemasan berbicara di depan umum pada mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi UBM Jakarta. Semakin tinggi berpikir positif mahasiswa, maka semakin rendah tingkat kecemasan berbicara di depan umum. Sebaliknya jika semakin rendah berpikir positif mahasiswa, maka semakin tinggi tingkat kecemasan berbicara di depan umum.

(49)

diri mahasiswa, maka semakin tinggi tingkat kecemasan berbicara di depan umum.

Gambar

Gambar 2. 1

Referensi

Dokumen terkait

Adapun penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara kinerja perusahaan dengan pengukuran berbasis akuntansi dan pasar saham, resiko, dan ukuran

paling sedikit bencana karena kemampuannya mengurangi dampak bencana dengan memperkuat rumahnya dan menggunakan asset yang dimilikinya, (2) penderitaan yang dialami, menjadikan

• Laut teritorial, yang semula hanya 3 mil laut pasang surut dari setiap pulau, maka indonesia sebagai negara kepulauan dan untuk menjaga keamanan negara dikeluarkan perpu no

Secara kumulatif volume impor yang melalui Pelabuhan Gorontalo Januari-Juli 2015 adalah sebesar 7.809,4 ton dengan kontribusi impor terbesar adalah kelompok bahan

Sedangkan metode yang digunakan oleh dosen dalam mengajarkan Muhadatsah III adalah dengan mengistruksikan mahasiswa untuk menyiapkan materi kemudian meminta mereka

Ibid.., hlm.. Artinya tenung merupakan magik destruktif, yaitu praktek dari orang yang mencoba menyakiti orang lain lewat magik, sehingga tidak seperti sihir yang mengubah,

Pada persiapan penelitian dilakukan survei awal ke wilayah studi. Survei awal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi reaktor biogas dan pengomposan. Selanjutnya dilakukan

dilakukannya variasi temperatur tersebut yaitu untuk mengetahui perbedaan sifat mekanik berupa kekerasan dan keuletan pada material, sehingga kita dapat mengetahui nilai