• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS POLA GERAKAN ISLAM DALAM

A.1. Hubungan Bersifat Represif

135

133

Abdul azis thaba.Op.cit. Hal. 241. 134

Ibid.Hal. 240. 135

Bersifat represif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan menekan, mengekang, menahan, menghambat atau menindas

Pada masa awal kepemimpinan Soeharto terlihat bagaimana Soeharto ingin menjauhkan umat Islam dari kancah politik dikarenakan Islam ditakuti akan menghambat proses pembangunan yang telah dirancang sedemikian rupa oleh Soeharto dengan para antek-anteknya. Hubungan

yang terjalin pada awal masa pemerintahan Soharto tidak begitu harmonis, hal ini diperjelas oleh pernyataan oleh Pak Ahmad Taufan dalam wawancara:

“Pada tahun 1980 an awal itu, situasi hubungan politik antara pemerintah Orde Baru dengan kelompok Islam belum harmonis. Masih situasi melanjutkan situasi politik tahun 1970-an, walaupun aneh sebetulnya, pada saat situasi politik menjatuhkan sokarno itu, Kelompok Islam paling didepan. Kelompok Islam dengan Soeharto dulunya berkoloborasi....”136

“ ...memang pada masa Orde Baru kelompok-kelompok Islam inikan mendapat perhatian spasial dari pemerintah. Dia itu dijaga sekali supaya kelompok Islam ini tidak bertindak diluar apa yang tidak diingikan pemerintah....”.

Selain itu, hubungan yang terjalin pada awalnya, Soeharto menjadikan kelompok Islam sebagai kelompok yang Istimewa dan mendapat perhatian khusus dari penguasa pada saat itu, sebagaimana yang di ungkapan Ibu Masdalifah:

137

“tentunya pada saat itu banyak sekali peraturan yang tidak sesuai dengan pedoman kita, contohnya peraturan tentang perkawainan, hak waris...”.

Pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Masdalifah terlihat bagaimana Untuk menjaga tujuan yang diinginkan pemerintah pada saat itu, pemerintah harus mengeluarkan berbagai macam peraturan–peraturan yang bersifat represif. Hal ini diperjelas oleh pernyataan Siti Aminah dalam wawancara yang mengatakan:

138

Pernyatan dari Ibu Siti Aminah mengenai peraturan perkawinan yang dimaksudkan itu, terdapat pada Rancangan Undang-undang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 16 Agustus 1973.139

136

Taufan Damanik. Wawancara pada hari Senin, tanggal 20 Febuari 2017 pukul 11.00- 11.35 WIB di Fisip USU.

137

Masdalifah. Wawacara pada hari Jum’at, 6 Januari 2017, Pukul 11.00-12.10 WIB. Di Fisip USU.

138

Siti Aminah. Wawancara pada hari Jumat, 20 Januari 2017, Pukul 13.00-13.30WIB. di jalan kejaksaan gang mala. No 61.Tembung

139

Sabili. Op.cit. Hal.21.

Didalam RUU perkawinan ini terdapat 9 butir yang bertententangan dengan ajaran Islam yaitu pasal 2 ayat 1, pasal 3 ayat 2, pasal 7 ayat 1, pasal 8 ayat c, pasal 10 ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 13ayat 1 dan 2, pasal 37, pasal 46 ayat c dan d, pasal 62 ayat 2 dan pasal 62 ayat 9, RUU ini di buat tanpa dikonsultasikan lebih dulu dengan

umat Islam.140 Tetapi setelah terjadi lobbying antara tokoh-tokoh Islam dengan pejabat negara bahkan dengan presiden Soharto, hasil dari lobbying yang telah dilakukan adalah presiden memberikan jaminan bahwa beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam akan dihapuskan.141

“ Pada saat dipimpin Bapak Daud Yusuf, beliau mengeluarkan kebijakan pada bulan puasa sekolah tidak diliburkan. Padahal tahun sebelumnya sekolah diliburkan satu bulan selama puasa...”

Disisi lain Soeharto dengan para pendukungnya di hampiri rasa cemas dan khawatir jika semangat keislaman yang terjadi pada masa lalu muncul kembali disaat Soeharto baru mencicipi manisnya kursi kekuasaan, sehingga Soeharto berusaha untuk membuat peraturan dengan berkerjasama dalam membentuk kebijakan-kebijakan yang menghambat perkembangan Umat Islam dilakukan di semua sendi-sendi pemerintahan, baik itu dari bidang keagamaan sendiri bahkan dalam bidang pendidikan. Didalam bidang pendidikan siswa-siswi pada bulan ramadhan diwajibkan untuk sekolah dengan kegiatan belajar mengajar seperti biasa dan dilarang untuk libur, peraturan ini di keluarkan oleh Mentri Kebudayaan dan Pendidikan pada saat itu di jabat oleh Daoed Josoef dengan dikeluarkannya SK No. 0211/U/1978. Peraturan ini diperkuat dengan pernyataan Bapak Ahmad Taufan dalam wawancara:

142

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Josoef adanya kebijakan mengintervensi kehidupan kampus dengan dikeluarkannya SK No. 0156/U/1978 mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 tentang pedoman umum organisasi dan keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kebijakan-kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bentuk upaya untuk meredam aktivitas politik kampus, dimana mahasiswa dilarang untuk ikut berpolitik, kebebasan intelektual para mahasiswa dihambat dengan dalih stabilitas politik dan

.

140

Abdul azis thaba. Op.cit.Hal. 258. 141

Ibid. Hal.261. 142

pembangunan. Pernyataan ini diperkuat oleh Bu Wilda Andriani yang mengatakan:

“....karna ada peraturannya namanya itu NKK BKK menganai normalisasi kampus, jadi mahasiswa saat itu diarahkan untuk belajar, belajar dan ya belajar...”.143

“sesuai dengan peraturan pada saat itu, organisasi ekternal tidak boleh masuk, pada zaman NKK BKK.”

Kebijakan yang sering dikenal dengan NKK BKK ini sangat menghambat para mahasiswa untuk bisa menikmati gerakan-gerakan didalam maupun diluar kampus, termasuk gerakan-gerakan Islam juga sangat sulit untuk memasuki dunia kampus. Dengan kebijakan ini mahasiswa-mahasiswi Islam sangat sulit untuk menimba ilmu agama mengenai kajian-kajian Islam termasuk kajian-kajian mengenai kewajiban Jilbab yang tentunya tidak didapatkan oleh mahasiswi Muslim. Kebijakan mengenai NKK BKK juga di sampaikan oleh Bapak Ahmad Taufan sebagai berikut:

144

“mau pergi halaqah atau pengajian-pengajian itu sulit. Saya.masih teringat bagaimana kami harus mengisi halaqah-halaqah dari rumah ke rumah dengan sembunyi- sembunyi”.

Mahasiswi-mahasiswi muslim yang ingin mengikutipengajian-pengajian, mereka harus besembunyi-sembunyi pada awalnya. Seperti hal yang pernah dirasakan oleh Ibu Wilda Adriani yang mengatakan bahwa

145

143

Wilda Adriani.wawancara pada hari kamis, 8 Januari 2017, Pukul 14.50-15.45 WIB.di Tanjung Morawa.

144

Hasil wawancara bersama Bapak Ahmad Taufan.. 145

Halaqah merupakan suatu kelompok yang terdiri dari 8 sampai 10 orang yang dibina oleh satu orang yang disebut Murabbi, didalam kelompok ini membahas berbagai macam persoalan agama .Di saat melakukan pengajian halaqah ia harus bersembunyi-sembunyi untuk memasuki rumah tempat peretemun halaqah yang disepakati, memasukinya secara berganti-gantian, dengan membawa masuk sendal-sendal kedalam rumah supaya tidak dicurigai.

kejadian yang dialami oleh Ibu Wilda Adriani juga dirasakan oleh Ibu Siti Aminah sebagaimana pemaparan yang disampaikan beliau:

“....Kalau untuk pengajian saat itu termasuk dihalangi-halangi, karna pada saat itu, kalau ada yang berkumpul 3 orang atau lebih itu di curigai, makanya kalau mau pengajian itu, ya kami harus sembunyi-sembunyi. jadi mau pergi ke pengajian itu saya sama kawan- kawan itu naik sadako yang sama tapi kami turun itu di tempat yang beda-beda padahal rumah yang dituju itu sama”146

“Disisi lain pemerintah cukup represtif sehingga mengakibatkan dukungan politiknya kurang bagus....”.

Tidak hanya Ibu Wilda dan Ibu Siti Aminah yang beranggapan sikap pemerintah terhadap Islam bersifat repesif sama halnya yang disampaikan oleh Bapak Ahmad Taufan sebagai berikut:

147

“perempuan yang memakai Jilbab bahkan mereka sering mentertawai dengan sebutan “nenek lampir, nenek sihir” bahkan orang tua tidak membolehkan anaknya dekat dengan perempuan yang menggunakan Jilbab, mereka takut anak mereka akan diculik oleh perempuan yang menggunakan Jilbab.”

Penjelasan yang telah disampaikan oleh Ibu Wilda, Ibu Siti Aminah dan Pak Taufan memperjelas sifat represif dari pemerintahan saat itu. Sedangkan untuk Kajian mesjid yang dulunya intens dilakukan di daerah ITB tepatnya di Mesjid Salmam ITB. Didalam pengajian yang dilakukan di Mesjid Salman ITB adanya materi-materi yang membuat semangat para mahasiswa kembali, selain itu juga adanya materi mengenai kewajiban menggunakan Jilbab.

Semangat penggunaan Jilbab yang dilakukan oleh Mahasiswi maupun Pelajar di Bandung menyebar ke setiap daerah-daerah yang ada di Indonesia. Inilah yang menjadikan penggunaan Jilbab ditakuti bahkan dituduh sebagai afiliasi dari sebuah gerakan radikal yang akan menentang pemerintah. Jilbab pada saat itu dianggap menjadi sebuah busana yang sangat kolot, Kuno dan bahkan “labeling (julukan)” yang buruk selalu disematkan ke pada mereka, seperti Nenek sihir, Jahula, penculikan danlainnya. Seperti halnya yang di ungkapkan oleh Ibu Wilda,

148

146

Hasil wawancara bersama Siti Aminah.. 147

Hasil wawacara bersama Bapak Ahmad Taufan. 148

Pemberian “labelling” yang diterima oleh perempuan yang menggunakan Jilbab diperjelas oleh pernyataan Ibu Siti hajar dalam wawancara yang mengatakan,

“....di masyarakatakn belum ada yang memakai Jilbab, jadi yang pakai Jilbab sering di ejek “jahula, jahula”.149

Pada tahun 1982 Mentri Kebudayaan dan Pendidikan menghasilkan sebuah kebijakan dikeluarkannya sebuah kebijakan secara tersembunyi yang menyebabkan pelarangan penggunaan Jilbab baik di sekolah-sekolah, perguruan tinggi, tempat bekerja bahkan ditengah masyarakat menjadikan busana Jilbab menjadi sesuatu yang merisaukan masyarakat. Memasuki tahun 1982 hingga tahun 1985, pada periode ini umat Islam dan pemerintah Orde Baru mulai saling memahami posisi masing-masing. Periode ini diawali dengan dikeluarkan kebijakan asas tunggal pancasila bagi Orsospol (organisasi sosial dan politik) ditujukan untuk semua ormas di Indonesia. Bagi umat Islam, gagasan asas tunggal menimbulkan masalah karena dikhawatirkan akan menghapuskan asas ciri Islam, dan menjadikan pancasila sebagai “agama baru”150

Pemerintah pada saat itu menerapkan asas tuggal pancasila dilandasi oleh trauma masalalu dengan jatuh bangunnya kabinet dalam sistem demokrasi, yang dikhawatirkan oleh pemerintah akan berdampak pada proses kerja pemerintah serta menganggu stabilitas politik dan keamanan Indonesia.

.

151

Reaksi umat Islam terhadap kebijakan asas tunggal bermacam-macam diantaranya ada menerima tanpa syarat, menerima karena terpaksa dan menolak sama sekali.152

“....dasar semua itu pancasila, yang menjadi problamatika adalah sebagian besar kelompok-kelompok Islam tidak menyetujui itu, karena biasanya yang menjadi acuan bagi kelompok Islam adalah Al-quran dan Hadist, tetapi ketika negara hadir dan

Pernyataan ini diperjelas oleh Ibu Masdalifah dalam wawancara yang mengatakan:

149

Siti Hajar. Wawancara pada hari Minggu, 5 Febuari. Pukul 19.05-19.40 WIB di tanjung Anom. 150

Ishlah. Dinamika Politik Umat Islam di Era Orde Baru.edisi khusus tahun III , 1996. Ha 33 151

Abdul azis.Opcit.hal.263. 152

menjadikan setiap aktivitas dasarnya harus pancasila, inilah ya menjadikan hubungan pemerintah dengan kelompok Islam, yang menyebabkan disharmoni.”153

“.... Di tambah lagi dengan Asas tunggal tidak hanya terjadi dengan kelompok Islam, tetapi juga kelompok Marhein, gerakan Marhein juga dibubarkan. Gerakan yang menolak asas tunggal ada dua organisasi yaitu Maherin dan PII sedangkan HMI akhirnya menerima. Meskipun secara politik GMNI dan GMKI menerima asas tunggal tetapi mereka tidak nyaman dengan asas tunggal karna seperti sikap otoritarian pemerintah, sehingga terkesan memaksakan kepada masyatakat....”

Peraturan mengenai asas tunggal pancasila menyebabkan ketegangan antara pemerintah dengan kelompok Islam dan, tentunya peraturan ini mendapat reaksi dari kelompok-keompok Islam bahkan ada yang menolak dengan adanya asa tunggal pancasila, dan tentunya ada juga menerima, tetapi tetap saja yang menerima asas tunggal pancasila, mereka merasa peraturan itu dibuat terkesan memaksa, ini terlihat dari ungkapan Bapak Ahmad Taufan:

154

UU Keormasan inilah yang dipaksakan agar dijadikan pedoman sehingga asasnya yang semula itu memilik asas yang berbeda ada yang Islam dan lainnya. Dan mereka harus merubahnya dan taat dengan pancasila. Jadi sifatnya menyesuaikan diri dengan Undag- undang. Hanya memang ada beberapa organisasi yang tidak mematuhi peraturan itu, diantaranya ya PII.

Peraturan yang mengenai asas tunggal pancasila yang dirasakan memaksa juga dirasakan oleh Bapak Satmian yang merupakan kader PII yang menolak asas tunggal, hal ini diperjelas melalui wawancara dengan pak Satiman yang mengatakan:,

155

Peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang bersifat represif tidak hanya asas tunggal pancasila, didalam dunia pendidikan kebijakan yang dikeluarkan belum berpihak dengan umat Islam seperti Sk dirjen Dikdasmen no 052/C/Kep./D.82 ketentuan seragam sekolah yang disusul dengan peraturan pelaksanaan No. 18306/C/D.83 tentang pedoman Pakaian Seragam disekolah- sekolah, bagi beberapa siswi yang melakukan penyimpangan karena keyakinan 153

Hasil wawancara bersama Ibu Masdalifah. 154

Hasil wawancara baersama Bapak Ahamad Taufan.. 155

Bapak satiman. Wawancara pada hari Selasa, 20 Febuari 2017 pada pukul 11.05-11.35 di SMK Swasta PAB Helvetia.

agama diberlakukan secara persuasif, edukatif dan manusiawi.156 Tujuan dari diberlakukan SK 052 tentunya baik untuk dunia pendidikan yang terdapat didalam peraturan ini, pada bab 1 pasal 1 ayat 3 mengenai tujuan dari penyeragaman sekolah adalah Memperkecil rasa kebanggaan yang berlebihan-lebihan dan mengembalikan ke rasa bangga yang wajar terhadap sekolah-sekolahnya masing- masing, serta Memperkecilkan perbedaan status sosial keluarga dari mana murid atau siswa berasal.157

“....Jilbab dilihat sebagai representasi Islam garis keras, radikal, anti pancasila. Ketika itu suasana memang masih panas terkait asas tunggal pacasila. Muslim sering menjadi sasaran kecurigaan pemerintah dan di anggap memusuhi pancasila, sehingga simbol- simbol Islam tertentu termasuk Jilbab, serta menguatnya aspirasi Islam di lihat sebagai ancaman bagi pemerintah”

Hubungan yang kurang baik sudah terbangun diantara Pemerintah dan kelompok Islam, menjadikan pandangan umat Islam terhadap peraturan ini sebagai bentuk represif yang dilakukan pemerintah, agar menghalangi-halangi kelompok Islam. Seperti yang sudah pernah di jelaskan, semakin banyaknya para siswi, mahasiswi maupun muslimah yang sudah menggunakan Jilbab menjadi ketakutan tersendiri bagi pemerintah. Stigma yang dibangun dikalangan masyarakat dimana wanita-wanita yang menggunakan Jilbab harus dijauhi karena dianggap anggota dari kelompok radikal pada saat itu. Hal ini diperjelas dengan wawancara bersama Bapak Alwi Alatas yang mengataka,:

158

Mengantisipasi semakin banyaknya siswi-siswi yang menggunakan Jilbab, maka dikeluarkanlah peraturan Sk dirjen Dikdasmen No 052/C/Kep./D.82 peraturan yang penggunaan seragam sekolah. Dimana siswa-siswi harus menggunakan seragam sekolah yang sama dan telah disepakati. Jadi disini terlihat bagaimana pemerintah membuat sebuah aturan yang tidak secara terang-terang

156

Heni yuningsih.Tarbiyah. Volume: 1. 20015.hal 188 157

Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departement Pendidilcan Dan Kebudayaanno. 052/C'/Kep/D 82 Diakses pada Senin 1 November 2016 pukul 13.00 WIB melalui:

158

melarang menggunakan Jilbab. Tapi jika ditelusuri, tentunya hasil kesepakatan yang dibuat mengenai busana sekolah adalah baju dengan rok bagi perempuan dan celana bagi laki-laki tanpa menggunkan kerudung itu menjadi sebuah pedoman yang harus dipatuhi oleh pelajar.

Dikeluarkannya peraturan untuk menggunakan seragam sekolah yang sama di sekolah negri, memberikan efek negatif bagi siswi-siswi yang mulai untuk menggunakan Jilbab. Berbagai reaksi dari kepala sekolah maupun guru di Sekolah Negri memberikan sanksi kepada siswi yang menggunakan Jilbab. Sanksi yang diterima dari teguran, diduga sebagai kelompok gerakan radikal, namanya tidak tercatat di daftar kehadiran sampai pada saksi yang berat yaitu siswi–siswi dikeluarkan untuk pindah ke sekolah swasta. Hal ini diperjelas dengan hasil wawancara Bapak Masri sitanggang yang mengatakan.:

“mahasiswa dan pelajar itu diingatkan untuk tidak memakai bahkan di beberapa daerah dijakarta “dipulangkan kerumah” artinya gak boleh sekolah.”159

Memasuki hubungan pemerintah dengan kelompok Islam yang bersifat akomodatif.

Berbagai kasus-kasus yang pelarangan Jilbab siswi-siswi SMA negri terjadi didaerah Jawa terkhususnya, bahkan di Sumatra Utara. Dari tahun setelah dikeluarkan SK ini, maka bertambah banyak kasus-kasus pelarangan Jilbab. Walaupun begitu, peristiwa ini menarik perhatian dari gerakan-gerakan Islam untuk semakin menyebar luaskan kajian mengenai Jilbab, supaya bertambah banyak wanita-wanita muslimah mengetahui hukum dari penggunaan Jilbab sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan.

Dokumen terkait