• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Hubungan Birokrasi Pemerintahan dan Otoritas

Hubungan Birokrasi Pemerintahan dengan otoritas tradisional, dapat dilihat dari perkembangan birokrasi itu sendiri. Menurut Weber (1978) birokrasi (pemerintahan) bersifat evolutif mengikuti proses perkembangan rasionalisasi13 dan tipe sistem otoritas (Ritzer dan Goodman 2003) dari otoritas tradisional menuju otoritas legal rasional. Pada awal perkembangannya, birokrasi memiliki otoritas tradisional, namun, seiring munculnya kerajaan, negara, dan pembagian kerja yang semakin kompleks, peranan otoritas tradisional dalam birokrasi digantikan oleh birokrasi modern.

Jika dianggap Birokrasi Pemerintahan adalah Negara, maka hubungan masyarakat yang menganut otoritas tradisional dengan Birokrasi Pemerintahan legal-rasional dapat diawali dengan asal usul kemunculan Negara yang merupakan hasil proses sejarah yang teratur, terjadi berulang, oleh karenanya bukan peristiwa unik (Caneiro 1970). Secara umum terdapat dua kelompok teori yang menjelaskan kemunculan Negara (Manan 1995), yakni teori sukarela (voluntaristic) dan teori pemaksaan (coercive). Menurut teori sukarela ini, Negara muncul dari sekelompok masyarakat yang secara spontan, sukarela melepaskan kedaulatannya kemudian bersatu dengan komunitas lain untuk membentuk Negara dengan tujuan agar dapat melindungi, menjamin kelangsungan hidup bersama. Pendukung teori ini di antaranya Thomas Hobbes (1588-1679), J.J. Roseau (1712- 1778). Teori sukarela terbaru dikemukakan oleh Wittfogel (1957) dengan

“hipotesa Hydraulic”, yang berpendapat Negara muncul akibat kesadaran Kaum petani yang harus berjuang untuk menopang kehidupan mereka dari pertanian irigasi. Muncul kesadaran di antara mereka, akan menguntungkan jika mereka bergabung menjadi unit politik yang lebih besar agar mampu mengelola irigasi yang lebih besar. Administrasi berikut tenaga pelaksananya, yang mereka tunjuk untuk mengelola irigasi besar tersebut mendorong munculnya organisasi Negara. Dari pendekatan kelompok teori sukarela ini, Negara merupakan kelanjutan dari

13

Berkaitan dengan tipe ideal tindakan sosial. Terdapat empat bentuk tipe ideal tindakan sosial. Pertama, tindakan rasional, yaitu tindakan dimana alat dan tujuan dipilih dan dipertimbangkan. Kedua, tindakan berorientasi nilai, dimana tindakan tujuan telah ditentukan, sedangkan alat pencapaian tujuan dapat dipertimbangkan oleh karenanya dipilih. Ketiga, Tindakan afektif, yakni tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosi seperti, cinta, marah. Keempat, tindakan tradisional yakni tindakan yang telah lazim (tradisi) dilakukan.

masyarakat yang masih menganut otoritas tradisional. Pandangan ini mirip dengan pendapat Weber di atas, bahwa masyarakat tradisional secara sukarela kemudian membentuk Birokrasi Pemerintahanan (Negara).

Kelompok teori kedua, yang menjelaskan asal-usul kemunculan Negara adalah teori pemaksaan (coercive). Menurut teori ini, bukan kepentingan individu dengan maksud baik agar dapat bertahan hidup merupakan cikal bakal terbentuknya negara, tetapi adalah paksaan, kekerasan dalam bentuk perang, dan revolusi. Beberapa penganutnya adalah Ibnu Khaldun (1967), Carneiro (1970). Hal ini terlihat dari muncul kerajaan dan Negara dalam sejarah Erofa, Asia dan Nusantara. Menurut pendekatan ini, Birokrasi Pemerintahan awalnya terbentuk dengan memerangi kelompok masyarakat otoritas tradisional.

Teoritisi lain yang dapat dikategorikan penganut teori pemaksanaan adalah Moore (1966). Menurutnya terdapat tiga rute Dunia Modern (birokrasi modern) terbentuk, pertama, rute demokrasi yang berlangsung melalui revolusi Kaum borjuasi seperti yang terjadi pada Negara Inggris, Unites Stated of America dan Francis. Kedua, rute pemerintah fasis yang otoriter, seperti yang berlangsung di Negara Jerman, Jepang dan Itali. rute ini berlangsung melalui revolusi yang terjadi pada masyarakat akar rumput. Ketiga, rute Komunis seperti yang terjadi di Negara China, Russia, melalui revolusi komunis.

Pada sisi yang lain, hubungan Birokrasi Pemerintahan dengan Otoritas Tradisional, jika direduksi menjadi hubungan Negara dengan etnis yang terkandung di dalamnya, maka telah lama menjadi pokok kajian yang menarik dan penting, baik dari sudut pandang akademis maupun sudut pandang politis. Secara akademis kedudukan Negara yang demikian sentral harus diberi pembenaran, karena sebelum Negara telah berlangsung kehidupan bersama lainnya yang disebut kelompok etnis seperti Suku, masyarakat adat, sistem kekerabatan, dimana keteraturan sosial yang menyangganya dilegitimasi oleh otoritas tradisional. Dalam pandangan ini, Negara dibangun oleh satu atau lebih etnis atau Suku bangsa yang kemudian berbuah nasionalisme. Berdirinya suatu Negara bangsa (nation-state) tidak terlepas dari berbagai perjanjian atau kesepakatan di antara kelompok-kelompok sub-Nation (pactum unionis) untuk hidup bersama

dan menyerahkan kedaulatan hidup orang-perorangan (pactum subjectionis) untuk diatur oleh Negara dengan aturan yang dikehendaki bersama.

Menurut Smith (1995), nasionalisme yang membentuk 135 Negara di Dunia, berasal dari kelompok-kelompok etnis (ethnies), seperti kelompok kekerabatan, kelompok agama dan sistem kepercayaan., yang kemudian menjalin rasa identitas bersama. Munculnya Nasionalisme tidak harus terdiri dari ethnies14

yang memiliki jumlah populasi yang sama antar satu dengan yang lainnya, namun, disebabkan terbentuknya ikatan kelompok atau solidaritas sebagai satu kesatuan bangsa serta merasa berbeda dengan bangsa lain. Suatu bangsa merupakan penamaan dari suatu populasi yang memiliki dan berbagi sejarah, mitos, kenangan, budaya, ekonomi, hak-hak hukum dan tugas-tugas bersama, walaupun itu terjadi hanya antara elit mereka.

Menurut Anderson (2001) nasionalisme sebagai bentukan dari komunikasi antar personal. Dari komunikasi antar personal ini kemudian terbentuk komunitas etnis yang mempunyai pandangan sama, sedarah dan senasib, dari satu garis keturunan. Selanjutnya, komunitas etnis inilah kemudian membentuk nasionalisme dalam cakupan etnis yang lebih luas bernama nasionalisme. Rasa etnosentrisme yang menjadi cikal bakal nasionalisme itu akan terbentuk jika komunikasi antar etnis mencukupi, selain, harus timbul perasaan satu nasib.

Menurut ulasan sejarah, hubungan antara etnis (ethnies) maupun antar etnis dengan Negara (Birokrasi Pemerintahan) di dalam Negara yang terbentuk melalui etnonasional tersebut, ditandai dengan hubungan dinamis. Terdapat hubungan dimana suatu masa mereka saling berhadap-hadapan (diametral) antar satu dengan yang lainnya, namun terdapat pula hubungan yang saling dukung dan saling bekerjasama sehingga keteraturan sosial sebuah Negara menjadi mungkin. Pada hubungan diametral, terdapat medan laga (daerah) dan sifat (politik, kekerasan/perang) yang berbeda, seperti yang terjadi di Bosnia-Herzegovina pada tahun 1999, Afganistan, Irlandia Utara, Pakistan, Filipina, Rwanda, Afrika Selatan, Tibet, Cina, dan Rusia. (Brown, 1994).

Indonesia juga merupakan Negara etnonasionalisme, yang dibentuk oleh beragam etnis melalui kesepakatan para elite seperti terlihat dalam peristiwa

14

Smith menggambarkan kelompok etnis yang membentuk latar belakang negara-negara modern sebagai " ethnies ".

Sumpah Pemuda. Di Indonesia, masyarakat adat telah terlebih dahulu ada jauh sebelum Birokrasi Pemerintahan (Negara) di proklamirkan (Burn 2010). Negara merupakan imajinasi sekelompok elite (Anderson 2001).

Bersamaan gejalanya yang terjadi pada masyarakat Global di atas, di Indonesia hubungan di antara Birokrasi Pemerintahan (negara) dan Otoritas Tradisional (masyarakat etnis) juga bersifat dinamis. Terdapat masa-masa, dimana hubungan keduanya ditandai dengan hubungan yang diametral, bertentangan atau konflik. Terdapat pula masa-masa dimana hubungan keduanya saling dukung, bekerjasama, meski terkadang bersifat simbiosis mutualisme. Hanya saja, menurut Kleden (2004) secara umum hubungan keduanya bermasalah. Hubungan yang bermasalah tersebut bukan saja bersumber dari warisan pemerintah kolonial Belanda dengan politik memecah belah, tetapi juga ketika negara di konstruksi, para elite lalai mempertimbangkan masyarakat etnis yang justru menjadi dasar bangunan negara (Simandjuntak, 1994). Pemikiran para pendiri Negara Republik ini lebih ditujukan pada permasalahan kebangsaan, bukan permasalahan Negara, serta hubungannya dengan masyarat etnis yang telah lebih dahulu ada. Soekarno lebih mendalami pemikiran Ernest Renan, Otto Bauer, Karl Kautsky. Begitupun Hatta (1953,1954), sebahagian besar tulisannya membahas Nasionalisme, perjuangan kemerdekaan, arti bangsa dan ekonomi Islam. Pembahasan mengenai hubungan individu, masyarakat dengan Negara, dikaji dari hasil kajian dengan subjek bangsa lain. Menurut Kleden (2004), secara tidak sadar, bentuk negara kolonial, baik Belanda maupun Jepang, yang menindas kehidupan rakyat di daerah jajahannya telah menjadi model bagi bapak bangsa. Ini, merupakan kecenderungan banyak Negara bekas jajahan.

Norma-norma yang menjadi pegangan untuk membentuk Negara modern (modern state) baru mulai muncul dan dibicarakan ketika masa menjelang kemerdekaan (Simanjuntak, 1994). Di antara “bapak bangsa” tersebut, karya R.Soepomo yang mendominasi. Dengan menolak Liberalisme dan Marxisme, Soepomo mengusulkan menyatukan atau mengintegrasikan kepentingan individu, kepentingan kelompok dalam kepentingan Negara, yang kemudian di kenal dengan sebutan paham Negara integralistik. Hanya saja, Paham Negara Integralistik ini tidak menguraikan mekanisme dan prosedur yang memungkinkan

terintegrasinya kepentingan individu, kepentingan masyarakat (kelas sosial, etnis dan sejenisnya) dengan kepentingan Negara. Akibat politisnya, dalam UUD’45 mekanisme dan prosedur tersebut juga lalai diatur. Sehingga, menurut Kleden (2004), Hak-hak azazi manusia (HAM) yang menjadi atribut penting dari

martabat manusia diatur dalam UUD’45. Kemudian, hak-hak individu dan kelompok masyarakat (etnis, adat) terhadap sumberdaya alam dibatasi, Akibatnya, Negara kemudian menjadi alat yang dipakai sesuka hati untuk kepentingan penguasa.

Paham Negara integralistik inilah yang kemudian menjadi bagian serta menjadi tradisi Birokrasi Pemerintahan, yang lalai atau mendominasi dan melakukan hegemoni terhadap rakyatnya. Dasar pemikiran inilah yang menyimpulkan bahwa hubungan Negara dengan rakyat (etnis, masyarakat adat) bermasalah.

2.8. Falsafah Alam dan Budaya Merantau Minangkabau: Landasan Kultural