TINJAUAN PUSTAKA
2.8 Hubungan C-Reactive Protein Dengan Apendisitis Akut
Inflamasi didefinifikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun didapat. Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi dapat bersifat lokal, sistemik, akut dan kronis yang menimbulkan kelainan patologis. Petanda respon inflamasi lokal pertama digambarkan oleh orang Romawi sekitar 2000 tahun yang lalu berupa kemerahan, bengkak, panas dan nyeri. Pada abad ke-2, Galen menambahkan
35
petanda inflamasi ke-5 berupa gangguan fungsi alat yang terkena. Dalam beberapa menit setelah terjadi cedera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan peningkatan volume darah di tempat. Volume darah yang meningkat di jaringan dapat menimbulkan perdarahan. Permeabilitas vaskular yang meningkat menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah yang menimbulkan edema (Gambar 2.6.) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Gambar 2.6. Respon vaskuler terhadap inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)
Dalam beberapa jam lekosit menempel ke sel endotel di daerah inflamasi dan bermigrasi melewati dinding kapiler masuk ke rongga jaringan yang disebut
36
ekstravasasi. Pada pemeriksaan histologik ditemukan cairan edema dan infiltrasi sel lekosit. Berbagai faktor plasma seperti immunoglobulin, komplemen, sistem aktivasi kontak koagulasi-fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil, mastosit, eosinofil, monosit-fagosit, sel endotel dan molekul adhesi, trombosit, limfosit dan sitokin berinteraksi satu dengan yang lain. Patogen yang menembus sawar luar imunitas nonspesifik seperti kulit, membran mukosa, infeksi atau cedera jaringan dapat memacu kaskade reaksi inflamasi yang kompleks (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Neutrofil merupakan sel utama pada inflamasi dini, bermigrasi ke jaringan dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan peningkatan produksi neutrofil dalam sumsum tulang. Orang dewasa normal memproduksi lebih dari 1010 neutrofil per hari tetapi pada inflamasi dapat meningkat sampai 10 kali lipat. Pada inflamasi akut, neutrofil dalam sirkulasi dapat meningkat dengan segera dari 5000/µl sampai 30.000/µl. Peningkatan tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi yang berasal dari sumsum tulang dan persediaan marginal intravaskular. Persediaan marginal ini merupakan sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskular yang keluar dari sirkulasi. Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan pertama terhadap mikroorganisme yang masuk membutuhkan komponen seluler untuk membersihkan debris lokal dan meningkatkan perbaikan jaringan (Baratawidjaya dan Rengganis, 2014).
Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat yang
37
mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikini, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi ( Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Pada inflamasi akut, pelepasan berbagai mediator sel mast (histamin dan bradikinin) disertai aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel inflamasi dan sel endotel yang masing-masing melepaskan mediator yang menimbulkan efek sistemik seperti panas, neutrofil dan protein fase akut seperti CRP. Inflamasi akan pulih bila mediator tersebut menjadi tidak aktif. Bila penyebab tidak dapat disingkirkan atau timbul pajanan ulang maka akan terjadi inflamasi kronik (Baratawidjaya dan Rengganis, 2014).
Inflamasi lokal yang terjadi memberikan proteksi dini terhadap infeksi atau cedera jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respon lokal dan sistemik. Reaksi lokal terdiri atas tumor, rubor, kalor, dolor dan gangguan fungsi. Bila darah keluar dari sirkulasi darah, kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik diaktifkan. Banyak perubahan vaskular yang terjadi dini disebabkan oleh efek langsung mediator enzim plasma seperti bradikinin dan fibrinopeptida yang menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Beberapa efek vaskular disebabkan efek anafilatoksin (C3a dan C5a) yang menginduksi degranulasi sel mast yang melepas histamin. Histamin menimbulkan vasodilatasi dan kontraksi otot polos. Prostaglandin juga berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
38
Dalam beberapa jam setelah awitan perubahan vaskular, neutrofil menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respon inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin (IL-1, IL-6 dan TNF-α) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut
menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel endotel seperti TNF-α yang meningkatkan ekspresi selektin-E, IL-1 menginduksi peningkatan ekspresi ICAM-1 dan VICAM-1. Neutrofil, monosit dan limfosit mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan selanjutnya ke jaringan. IL-1 dan TNF-α juga memacu makrofag dan sel endotel
untuk memproduksi kemokin yang berperan pada influx neutrofil melalui peningkatan ekspresi molekul adhesi. IFN- dan TNF-α juga mengaktifkan makrofag dan neutrofil, meningkatkan fagositosis dan penglepasan enzim ke rongga jaringan. Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar tidak terjadi kerusakan jaringan. TGF- membatasi respon inflamasi dan memacu
akumulasi dan proliferasi fibroblast dan endapan matriks ekstraselular yang diperlukan untuk perbaikan jaringan (Gambar 2.7.) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
39
Gambar 2.7. Tahapan migrasi lekosit dari sirkulasi ke jaringan tempat terjadinya infeksi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)
Pada umumnya respon inflamasi akut menunjukkan awitan yang cepat dan berlangsung sebentar. Inflamasi akut biasanya disertai reaksi sistemik yang disebut respon fase akut yang ditandai oleh perubahan cepat dalam kadar beberapa protein plasma. Reaksi dapat menimbulkan reaksi berantai dan rumit yang berdampak terjadinya vasodilatasi, kebocoran vaskulator mikro dengan eksudasi cairan dan protein serta infiltrasi lokal sel-sel inflamasi. Inflamasi akut merupakan respon khas imunitas nonspesifik. Hal ini adalah respon cepat terhadap kerusakan sel dan berlangsung (beberapa jam – hari) serta dipacu oleh sejumlah sebab seperti kerusakan kimiawi dan termal serta infeksi. Infeksi dihadapi oleh makrofag yang melepas sejumlah kemokin dan sitokin yang menarik neutrofil ke tempat infeksi. Inflamasi juga dapat dipicu oleh sel mast residen yang cenderung menarik eosinofil. Segera setelah inflamasi dipacu berbagai perubahan terjadi
40
dalam endotel vaskular yang memungkinkan ekstravasasi limfosit terutama neutrofil, tetapi juga monosit dan limfosit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).
Inflamasi akut berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein yang disebut protein fase akut yang terdiri atas a1-antitripsin, komplemen (C3 dan C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin. Molekul-molekul tersebut memiliki sejumlah fungsi antara lain mencegah enzim (a1-antitripsin), opsonisasi, CRP mengikat C-polisakarida dari S. pneumonia, scavenging (haptoglobin) dan sebagainya (Gambar 2.8.). Produksi sitokin TNF-α dan IL-6 menyebabkan unsur spontan pada fase akut yang dihasilkan oleh hepar seperti CRP tampak meningkat (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Dalam klinik, pengukuran protein fase akut diperlukan untuk menilai derajat inflamasi dan respon terhadap terapi.
Gambar 2.8. Stimulasi dan sintesis acute phase reactan selama proses inflamasi (Hengst, 2003)
41
Perubahan metabolik dan endokrinologi yang terjadi pada hampir semua penderita dengan apendisitis akut dan perubahan tersebut tergantung pada berat ringannya infeksi. Mekanisme itu mencakup pertahanan organ tersebut terhadap infeksi misalnya perlindungan sendiri dan mempertahankan sistem homeostasis. Salah satu reaksi yang terjadi setelah infeksi adalah pelepasan zat dari hepar berupa acute phase reactans (APR) kedalam darah. Salah satu APR yang paling terkenal adalah C-reactive protein (CRP). APR teraktivasi hasil respon sistemik terhadap infeksi termasuk pada apendisitis akut. CRP yang merupakan salah satu protein fase akut, termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas nonspesifik. Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein C pneumokok yang membentuk kompleks dan mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran CRP digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100 kali atau lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul antara lain fosforilkolin yang ditemukan pada permukaan bakteri/jamur. Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan LED. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten. CRP lebih sensitif dibandingkan LED karena dapat dijadikan indikator respon fase akut dalam 24 jam pertama proses inflamasi sedangkan LED terjadi setelahnya. Tidak seperti LED, CRP merupakan protein serum stabil yang pengukurannya tidak dipengaruhi waktu dan komponen serum lain. Besar inflamasi berhubungan langsung dengan kadar CRP (Clyne dan Olshaker, 1999).
42
Gambar 2.9.Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik (Hengst, 2003)
Fungsi fisiologi CRP adalah kemampuannya untuk mengikat berbagai macam bahan eksogen dan endogen atau mengikat molekul toksik yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak untuk selanjutnya disingkirkan dari sirkulasi darah (Volanakis, 2001).
Secara umum, inflamasi yang ringan dan infeksi virus dapat meningkatkan kadar CRP berkisar antara 10-40 mg/L, sedangkan pada infeksi bakteri dan inflamasi berat dapat meningkatkan CRP antara 40-200 mg/L. Beberapa penelitian menunjukkan kadar serum CRP 100 mg/L memiliki sensitivitas 80-85% untuk infeksi bakteri. Pada kebanyakan kasus, CRP lebih mencerminkan inflamasi dan atau kerusakan jaringan yang sedang terjadi dibanding parameter laboratorium respon fase akut yang lain seperti viskositas plasma dan laju endap darah. Lebih lanjut, CRP pada fase akut tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan proses makan. Kerusakan hati mempengaruhi produksi CRP dan hanya sedikit
43
obat yang dapat mempengaruhi kadar CRP. Konsentrasi CRP merupakan petanda inflamasi biokimia nonspesifik yang sangat berguna sebagai alat untuk mengetahui penyakit organ, untuk memantau respon pengobatan terhadap inflamasi dan infeksi serta mendeteksi infeksi pada penyakit imunokompromis dan penyakit yang dikarakteristikkan dengan absennya CRP pada respon fase akut (Aguiar, dkk., 2013).
Dalam menginterpretasikan hasil CRP, ada beberapa hal yang mempengaruhinya yang berhubungan dengan inflamasi. Supaya pengukuran CRP mempunyai arti klinis maka variasi biologis yang harus diperhatikan supaya tidak mempengaruhi interpretasi. Hal-hal yang meningkatkan kadar CRP adalah kegemukan, DM, hipertensi, merokok, sedangkan keadaan yang menurunkan kadar CRP adalah diet dan penurunan berat badan, latihan fisik, berhenti merokok, terapi aspirin dan statin (Huang, dkk., 2013).
Pemeriksaan klinis untuk CRP dapat dilakukan tanpa memandang waktu pemeriksaan dan tidak perlu puasa. Sampel serum akan stabil dalam penyimpanan 3 hari dengan suhu 20-250C, 8 hari pada suhu 2-80C dan untuk jangka waktu lama disimpan pada suhu -700c (Ridker, dkk., 2000).
Awalnya metode yang umum dipakai adalah ELISA yang secara tunggal digunakan beberapa studi epidemiologi. Metode ini semikuantitatif terutama hanya untuk riset, tidak secara rutin disediakan di laboratorium klinis kemudian dikembangkan metode CRP (metode kuantitatif) yang otomatis dan dapat digunakan secara rutin di laboratorium klinis. Uji CRP yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) adalah metode imunonefelometri dari Dade
44
Behring karena banyak digunakan dalam penelitian dalam skala besar dan hasilnya terdapat kesesuaian dengan metode sebelumnya yang telah disahkan yaitu metode IRMA dan ELISA serta mempunyai kepekaan tinggi yaitu 0,15 mg/dl (Roberts, dkk., 2001).