• Tidak ada hasil yang ditemukan

VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6."

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

VALIDITAS DIAGNOSTIK

C-REACTIVE PROTEIN

(CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT

SKOR ALVARADO 5-6

JIMMY NIM 0914028203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

VALIDITAS DIAGNOSTIK

C-REACTIVE PROTEIN

(CRP) PADA PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT

SKOR ALVARADO 5-6

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Program Pascasarjana Universitas Udayana

JIMMY NIM 0914028203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 22 JANUARI 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

dr. I Ketut Wiargitha, SpB(K)Trauma Dr.dr.Nyoman Golden, SpBS(K) NIP. 196006211987101001 NIP.196203071989031001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, SpGK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K)

(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji

Pada Program Pascasarjana Universitas Udayana

pada Tanggal 22 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 523/UN14.4/HK/2016

Tertanggal 20 Januari 2016

Penguji:

1. dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma

2. Dr. dr. Nyoman Golden, Sp.BS (K) Neuro-Onkologi

3. Dr. dr. Tjokorda GB Mahadewa, M.Kes., Sp.BS (K) Spine

4. Dr. dr. A.A. Gde Oka, Sp.U

(5)
(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur

kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka karya akhir ini

dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan,

pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang

sangat berharga dari semua pihak, karya akhir ini tidak akan terlaksana dengan

baik dan lancar.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih

yang setulus-tulusnya dan perhargaan yang setinggi-tingginya kepada dr. Ketut

Wiargitha, SpB(K) Trauma selaku pembimbing pertama dan Ketua Program Studi

Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah serta Dr. dr. Nyoman Golden,

SpBS(K) selaku pembimbing kedua yang telah memberikan dorongan,

semangat serta meluangkan waktu dan pemikiran sejak awal sampai akhir

pendidikan penulis.

Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.

Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT, FICS, M. Kes yang telah memberikan

kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. Ucapan terima

kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas

(7)

vii

Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde

Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, SpGK, atas kesempatan yang telah diberikan

pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan

Kedokteran Klinik (combined degree). Pada kesempatan ini, penulis juga

menyampaikan rasa terima kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr.

Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Bedah dan melakukan

penelitian di RSUP Sanglah Denpasar, Kepala Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Prof. Dr. dr. Sri Maliawan,

SpBS(K), yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program

pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Ilmu Bedah FK UNUD/RSUP

Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat serta masukan selama

pembuatan karya akhir ini, Kepala SMF Bedah Umum FK UNUD/RSUP Sanglah

Denpasar dr. I.B. Darmaputra, SpB-KBD atas kesempatan yang telah diberikan

dalam menyelesaikan karya akhir ini dan juga seluruh kepala divisi dan staf

pengajar Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan dan dorongan saat penyusunan

karya akhir ini. Secara khusus, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

tulus kepada dr. Inge Kurniawati atas dukungannya dalam membantu

menyelesaikan penelitian ini, rekan sejawat PPDS I Bagian/SMF Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas pengertian dan

bantuannya tanpa mengenal waktu selama masa penulisan karya akhir ini serta

(8)

viii

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya akhir ini jauh dari sempurna.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan

dalam penulisan karya akhir ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan

dan penyelesaian karya akhir ini.

Denpasar, Januari 2016

(9)

ix

ABSTRAK

VALIDITAS DIAGNOSTIK C-REACTIVE PROTEIN (CRP) PADA

PASIEN DENGAN APENDISITIS AKUT SKOR ALVARADO 5-6

Penggunaan ultrasonografi yang merupakan standar modalitas diagnostik untuk penderita apendisitis akut skor Alvarado 5-6 mempunyai beberapa kendala apabila diterapkan di rumah sakit daerah di Indonesia. Hal ini akan semakin memperlambat penanganan, meningkatkan morbiditas dan mortalitas serta kejadian apendisektomi negatif. CRP sebagai petanda inflamasi akut mempunyai nilai diagnostik untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 yang merupakan daerah abu-abu.

Penelitian ini merupakan studi uji diagnostik menggunakan rancangan prospektif dan potong lintang untuk menilai validitas nilai diagnostik kadar CRP pada kasus apendisitis akut skor Alvarado 5-6 dan nilai “cut-off” dari kadar CRP. Sebanyak 60 sampel penelitian adalah penderita apendisitis akut skor Alvarado 5-6 yang dilakukan apendisektomi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi mulai dari April 2015 sampai November 2015.

Dari 60 sampel penelitian, sebanyak 29 (48,33%) sampel adalah laki-laki dan 31 (51,67%) sampel adalah perempuan. Hasil analisa ROC menunjukkan bahwa kemampuan CRP untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 sangat baik (AUC 0,95). Penelitian ini juga mendapatkan nilai “cut-off”CRP terbaik adalah ≥ 7,5 mg/dL. Berdasarkan nilai “cut-off” terbaik CRP tersebut, uji validitas yang dilakukan didapatkan sensitivitas 95,8%, spesifisitas 75%, nilai prediksi positif 93,9%, nilai prediksi negatif 81,8% dan akurasi 91,67%.

CRP dapat berfungsi sebagai alat diagnostik tambahan untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 terutama di rumah sakit daerah di Indonesia.

(10)

x

ABSTRACK

VALIDITY OF C-REACTIVE PROTEIN (CRP)

FOR PATIENTS WITH ACUTE APPENDICITIS ALVARADO SCORE 5-6

The utility of ultrasonography as a standard diagnostic tool for patients with acute appendicitis Alvarado score 5-6 has some limited, especially when it applied at the regional hospital in Indonesia. Diagnostic delay has been associated with increased morbidity and mortality and the incidence of negative appendectomy. C-reactive protein (CRP) can plays as an important role in acute inflammation in this gray area.

Between April to November 2015, 60 consecutive patients with acute appendicitis Alvarado score 5-6 whom performed appendectomy were studied prospectively. This study was a diagnostic test to evaluate the validity of CRP for patient with acute appendicitis Alvarado score 5-6 and determine the best cut-off point of CRP.

There were 29 (48,33%) males and 31 (51,67%) females. The cut-off point of C-reactive protein was set at 7,5 mg/dL by using receiver operating characteristic curve (0.95). The sensitivity and specificity of CRP in patients with acute appendicitis Alvarado score 5-6 were 95,8% and 75%. Positive predictive value, negative predictive value and accuracy rate were 93,9%, 81,8% and 91,67% respectively.

This study suggests that CRP can be functioning as an additional diagnostic tool for patients with acute appendicitis Alvarado score 5-6, especially when it applied at the regional hospital in Indonesia.

(11)

xi

PENETAPAN PANITIA PENGUJI... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

(12)

xii

2.5.1 Anamnesis ... 16

2.5.2 Pemeriksaan Fisik ... 18

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang ... 19

2.5.3.1 Pemeriksaan Laboratorium ... 19

2.5.3.2 Sistem Skoring... 23

2.5.3.3 Pemeriksaan Radiologis... 24

2.6 Penatalaksanaan ... 29

2.7 C-Reactive Protein... 31

2.8 Hubungan C-Reactive Protein dengan Apendisitis Akut ... 34

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 45

3.1 Kerangka Berpikir ………... 45

4.3.2 Kriteria Inklusi Penelitian ... 49

4.3.3 Kriteria Eksklusi Penelitian …………... 49

4.3.4 Tehnik Pengambilan Sampel ... 50

4.3.5 Besar Sampel ... 50

4.4 Variabel Penelitian …………... 51

4.4.1 Klasifikasi Dan Identifikasi Variabel ... 51

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 51

4.5 Bahan Penelitian... 53

4.5.1 Sampel ... 53

4.5.2 Bahan Sediaan Untuk Uji CRP ... 54

4.6 Instrumen Penelitian... 54

4.7 Prosedur Penelitian ... 54

(13)

xiii

4.7.2 Pelaksanaan Penelitian... 54

4.7.3 Pemeriksaan Laboratorium ... 55

4.7.3.1 Pemeriksaan CRP ... 55

4.8 Alur Penelitian... 55

4.9 Analisis Data... 56

BAB V HASIL PENELITIAN... 58

5.1 Karakteristik subyek dan variabel penelitian... 58

5.2 Hasil analisa ROC dan nilai “cut-off” terbaik CRP untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 dengan hasil histopatologi sebagai standar baku emas... 60

5.3 Uji validitas C-Reactive Protein untuk apendisitis akut skor Alvarado 5-6 terhadap hasil histopatologi berdasarkan nilai “cut-off” terbaik... 61

BAB VI PEMBAHASAN... 63

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 69

7.1 Simpulan... 69

7.2 Saran... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Variasi letak apendiks vermiformis... 7

Gambar 2.2 Mikroskopis apendisitis akut supuratif... 15

Gambar 2.3 Makroskopis apendisitis akut gangrenosa... 16

Gambar 2.4 Gambaran ultrasonografi apendisitis akut... 28

Gambar 2.5 Struktur molekul dan morfologi CRP... 34

Gambar 2.6 Respon vaskuler terhadap inflamasi... 35

Gambar 2.7 Tahapan migrasi lekosit dari sirkulasi ke jaringan tempat infeksi... 39

Gambar 2.8 Stimulasi dan sintesis acute phase reactan selama proses inflamasi... 40

Gambar 2.9 Fungsi utama C-reactive protein (CRP) pada sistim imun nonspesifik... 42

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian... 46

Gambar 4.1 Bagan rancangan validasi kadar CRP... 47

Gambar 4.2 Bagan Alur Penelitian... 56

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Frekuensi pasien dengan apendisitis sederhana maupun

komplikata... 10 Tabel 2.2 Klasifikasi apendisitis akut dan hubungan antara

gambaran makro dan mikroskopik... 14 Tabel 2.3 Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan

strategi penatalaksanaan... 25 Tabel 2.4 Respon CRP berbagai penyakit... 33 Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subyek dan variabel penelitian.. 59 Tabel 5.2 Hasil analisis validitas CRP menggunakan nilai “cut

-off” terbaik untuk mendiagnosis apendisitis akut... 61 Tabel 6.1 Perbandingan hasil penelitian oleh berbagai penulis

(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

CRP : C - reactive protein

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

PCT : Procalcitonin

CT-scan : Computed Tomography Scan

MRI : Magnetic Resonance Imaging

USG : Ultrasonogafi

IL : Interleukin

TNF-α : Tumor Necrosing Factor α

ICAM-1 : Intercellular Adhesion Molecule 1

VICAM-1 : Vascular Cell Adhesion Molecule 1

TGF- : Transforming Growth Factor

IFN- : Interferon

APR : Acute Phase Reactans

LED : Laju Endap Darah

DM : Diabetes Mellitus

ELISA : Enzyme Linked Immunosorbent Assays

IRMA : Immunoradiometric Assay

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat keterangan kelaikan etik penelitian... 79

Lampiran 2 Surat ijin penelitian... 82

Lampiran 3 Informasi kepada pasien... 83

Lampiran 4 Lembar penelitian... 84

Lampiran 5 Data sampel... 85

(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh Fitz

pada tahun 1886 (Williams, 1983). Sejak saat itu apendisitis akut merupakan salah

satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit

apendisitis merupakan penyakit pada pasien rawat inap di rumah sakit yang

menempati urutan keempat tertinggi pada tahun 2006 dan menempati urutan

kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

Apendisitis akut sering dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas dan

mortalitas. Kesulitan dalam mendiagnosis sering terjadi terutama pada pasien

anak kecil, orang tua dan perempuan dalam masa reproduksi. Misdiagnosis dan

keterlambatan dalam menangani penyakit ini menyebabkan komplikasi seperti

perforasi dan peritonitis semakin memperberat beban pasien (Chong, dkk., 2010).

Demikian, diagnosis apendisitis akut secara akurat masih sulit terutama pada

pasien dengan kecurigaan apendisitis yang berada dalam skor Alvarado 5-6 yang

merupakan daerah abu-abu.

Ultrasonografi yang dipakai selama ini sebagai pilihan untuk membantu

menegakkan diagnosis apendisitis akut skor Alvarado 5-6 memiliki sejumlah

kekurangan. Penggunaan ultrasonografi sangat bergantung dari operator yang

memerlukan keahlian khusus serta harus diperhatikan untuk menghindari

(19)

2

yang relatif mahal, interpretasi yang membutuhkan waktu, keberadaan gas di

dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau

berat badan pasien yang berlebihan (indeks massa tubuh > 25 merupakan faktor

yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37%) (Anielski, dkk., 2010).

Sampai saat ini terdapat sejumlah petanda inflamasi yang menjadi subyek

penelitian dalam kaitannya dengan apendisitis akut, seperti C-reactive protein,

prokalsitonin, Interleukin-6 dan Interleukin-8. C-reactive protein (CRP)

merupakan salah satu parameter protein fase akut yang terbaik yang dapat

digunakan untuk membantu diagnosis kondisi akut abdomen terutama apendisitis.

Penggunaannya yang semakin meningkat dikarenakan alat ini mempunyai

keuntungan seperti sensitif, sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus apabila

dibandingkan dengan ultrasonografi, dapat mendeteksi apendisitis akut pada tahap

awal, mudah diulang, hasil yang cepat (< 2 jam) serta biaya yang relatif murah.

CRP sebagai faktor fase akut yang terkuat dapat digunakan sebagai indikator

tunggal akan terjadinya inflamasi oleh karena infeksi bakteri ataupun nekrosis

(Anielski, dkk., 2010). CRP bukanlah pemeriksaan yang spesifik untuk

apendisitis, akan tetapi informasi yang diberikan dalam pemeriksaan ini

mempunyai nilai diagnostik terutama keberadaan infeksi akut apabila

digabungkan dengan evaluasi penemuan klinis.

Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai validasi

diagnostik CRP pada pasien dengan kecurigaan apendisitis akut skor Alvarado 5-6

pada populasi Indonesia. Berdasarkan data-data tersebut di atas maka penulis

(20)

3

pasien yang diduga apendisitis akut skor Alvarado 5-6 agar dapat mengambil

keputusan dalam menyingkirkan penyakit yang bukan apendisitis akut, berguna

sebagai alat bantu diagnostik apendisitis akut dan menentukan penatalaksanaan

yang diambil sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta

kejadian apendisektomi negatif. Lebih lanjut, serum biomarker ini tidak hanya

dapat mengindikasikan apendisitis yang terjadi, akan tetapi bahkan dapat

mengidentifikasi derajat keparahan apendisitis tersebut. Hal tersebut diharapkan

memberikan dampak yang positif terutama mengenai penegakkan diagnosis dan

penatalaksanaan tentang apendisitis akut.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah

penelitian sebagai berikut:

Bagaimana validasi diagnostik CRP pada pasien apendisitis akut dengan skor

Alvarado 5-6 yang dilakukan apendisektomi?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui validasi diagnostik CRP pada pasien apendisitis akut

(21)

4

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui nilai “cut off” kadar CRP pada pasien dengan apendisitis akut

dengan skor Alvarado 5-6.

2. Mengetahui sensitivitas CRP pada apendisitis akut dengan skor Alvarado

5-6.

3. Mengetahui spesifisitas CRP pada apendisitis akut dengan skor Alvarado

5-6.

4. Mengetahui nilai prediksi CRP pada apendisitis akut dengan skor

Alvarado 5-6.

5. Mengetahui akurasi CRP pada apendisitis akut dengan skor Alvarado 5-6.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademik

Memberikan data dan menambah khasanah pengetahuan tentang hubungan

dan peran CRP pada pasien apendisitis akut. Hasil penelitian yang didapatkan

juga dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian berikutnya mengenai

petanda diagnostik pada apendisitis akut.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dapat dipergunakan sebagai modalitas diagnostik tambahan dalam

membantu mendiagnosis apendisitis akut oleh para klinikus, khususnya di

Rumah Sakit daerah di Indonesia yang memiliki keterbatasan alat

(22)

5

2. Dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan penatalaksanaan

apendisitis akut, terutama dari segi kecepatan diagnostik, waktu operasi,

(23)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Apendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada apendiks

vermiformis, dan sampai saat ini masih merupakan penyebab akut abdomen yang

paling sering memerlukan tindakan pembedahan. Apendisitis akut jarang

ditemukan pada zaman dahulu. Sejak Hippocrates sampai Moses Maimonides,

data mengenai apendisitis masih belum tercatat (Petroianu, 2012).

Jean Fernel dari Prancis memberikan deskripsi acute typhlitis (berasal dari

bahasa Yunani “typhlon” yang berarti sekum) sewaktu mengotopsi anak

perempuan berusia 7 tahun yang meninggal karena apendiks perforasi di tahun

1554. Dia menemukan obstruksi lumen sekum dan apendiks dengan nekrosis,

perforasi dan spillage dari isi usus ke dalam kavitas abdomen. Tahun 1711,

Lorenzo Heister untuk pertama kalinya mengemukakan apendiks sebagai suatu

infeksi primer dan tempat terbentuknya abses pada kasus acute typhlitis. Tahun

1735, Claudius Amyand untuk pertama kalinya melakukan operasi apendisektomi

(Williams, 1983; Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).

Tanda dan gejala klasik apendisitis akut pertama kali dilaporkan oleh

Reginald Heber Fitz pada tahun 1886. Dia mengemukakan hubungan antara

apendisitis dengan penyakit inflamasi yang berasal dari perut kanan bawah serta

penanganan apendisektomi sedini mungkin. Charles McBurney di tahun 1889

mendeskripsikan pengalamannya mengoperasi penderita apendisitis akut. Dia

(24)

7

“Gridiron” yang sampai sekarang masih dipakai. Pada tahun 1902, kasus

apendisitis akut mulai dikenal oleh mayarakat umum pada saat Raja Edward VII

terkena penyakit tersebut dan membaik setelah Lord Joseph Lister dan Sir

Frederic Treves melakukan operasi (Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).

2.1 Struktur Apendiks

Apendiks merupakan saluran yang buntu seperti cacing dengan panjang

bervariasi, dari agenesis komplit sampai lebih dari 30 cm, akan tetapi biasanya

berukuran 5-10 cm dan lebar sekitar 0,5-1 cm. Jarak apendiks sekitar 2,5 cm di

bawah katup ileosekal dari pangkalnya di sekum (Prystowsky, 2005). Posisi

apendiks sangat bervariasi, mulai dari parakolika (35%), retrosekal (65,3%),

pelvik (31%), preileal (1%), postileal (1,5%), promontorik (1%) dan subsekal

(2,3%) (Gambar 2.1) (Wakeley, 1933; Rybkin dan Thoeni, 2007). Pangkal

apendiks vermiformis letaknya tetap, dan proyeksinya di titik McBurney (batas

sepertiga bagian lateralis dan sepertiga bagian tengah dari garis Monro-Richter,

yaitu garis antara spina iliaka anterior superior dan umbilikus) (Shelton, dkk.,

2003).

(25)

8

Sekum mendapat darah dari arteri sekalis dan apendiks vermiformis dari

arteri apendikularis, keduanya cabang dari arteri ileokolika. Darah vena dialirkan

ke vena ileokolika, terus ke vena mesenterika superior. Limfe sekum dialirkan

nodus limfatik presekalis dan dari apendiks vermiformis ke nodus limfatikus pada

mesoapendiks dan dari keduanya dialirkan ke nodi limfatik ileokolika, terus ke

nodi limfatik mesenterika superior. Persarafan sekum dan apendiks vermiformis

diurus oleh saraf-saraf simpatis dan parasimpatis dari pleksus mesenterikus

superior. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang

mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan

persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral

pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Prystowsky, 2005).

Apendiks menghasilkan lendir 2-3 ml per hari. Lendir itu secara normal

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya

hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab

timbulnya apendisitis. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin sekretoar

yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang merupakan

zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan

immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah IgA. Namun

demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem

imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks

kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain dan di

(26)

9

2.2 Epidemiologi Apendisitis Akut

Apendisitis akut merupakan kegawatdaruratan abdomen yang paling

sering ditemukan. Di Inggris terdapat 40.000 pasien dengan apendisitis akut yang

dirawat setiap tahunnya (Humes dan Simpson, 2006) sedangkan di Amerika

didapatkan angka insidensi yang meningkat setiap tahunnya, yaitu dari 7,62

menjadi 9,38 per 10.000 orang antara tahun 1993-2008 (Buckius, dkk., 2012).

Resiko seseorang terkena apendisitis akut sepanjang hidupnya sebesar 9% dimana

pada laki-laki didapatkan angka sebesar 9% dan pada perempuan sebesar 6%

(Anderson, dkk., 2012; Petroianu, 2012). Apendisitis akut dapat terjadi pada

semua kelompok usia, akan tetapi hal ini sangat jarang pada orang dengan usia

sangat lanjut. Frekuensi apendisitis akut tertinggi ditemukan pada kelompok usia

10-19 tahun. Perbandingan rasio laki-laki dengan perempuan yang menderita

apendisitis akut adalah 1,4:1. Rasio apendisitis sederhana dengan apendisitis

kompleks adalah 3:1 (Buckius, dkk., 2012). Apendisitis akut banyak didapatkan

pada ras kulit putih yaitu sebesar 74% dan paling jarang pada kulit hitam yaitu

sebesar 5% (Petroianu, 2012). Buckius, dkk. (2012) mendapatkan angka kenaikan

yang signifikan pada ras hispanik, asia dan orang asli amerika sedangkan pada ras

kulit putih dan kulit hitam terjadi penurunan (Tabel 2.1).

Beberapa penelitian di Eropa menunjukkan kecenderungan penurunan

angka kejadian apendisitis akut pada dewasa muda yaitu usia 10-19 tahun (Humes

dan Simpson, 2006; Buckius, dkk., 2012) . Sebuah studi di Denmark

menunjukkan penurunan insiden apendisitis akut antara tahun 1996 dan 2004.

(27)

10

Tabel 2.1.

Frekuensi pasien dengan apendisitis sederhana maupun komplikata (Buckius, dkk., 2012)

sebesar 27,8% dan pada kelompok usia 15-19 tahun adalah 12,8%. Tren ini juga

sama pada populasi perempuan dengan penurunan insiden sebesar 35,9% pada

kelompok usia 10-14 tahun dan menurun menjadi 22,5% pada kelompok usia

15-19 tahun. Sebuah studi retrospektif di Spanyol yang dilakukan antara tahun 15-

1998-2007 juga mendapatkan penurunan angka insiden apendisitis (Buckius, dkk.,

2012).

Rasio terjadinya perforasi lebih tinggi pada anak kecil dan orang lanjut

usia. Angka terjadinya perforasi pada anak kecil berumur kurang dari 5 tahun

sebesar 82% dan mendekati 100% pada anak usia 1 tahun. Secara keseluruhan,

angka perforasi bervariasi antara 20-76% (Morrow dan Newman, 2007).

(28)

11

sangatlah jarang. Keadaan ini lebih disebabkan oleh penyakit lain, seperti tumor

(Carr, 2000).

2.3 Patofiologi Apendisitis Akut

Hingga saat ini etiologi dari apendisitis akut masih belum jelas diketahui

dengan pasti. Selama ini dipercaya bahwa obstruksi lumen apendiks merupakan

penyebab tersering, diikuti oleh infeksi bakteri sekunder pada dinding apendiks.

Fekalit, hiperplasi limfoid, benda asing, parasit dan tumor merupakan penyebab

obstruksi pada apendisitis akut (Prystowsky, 2005; Birnbaum dan Wilson, 2000).

Pada penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Wangensteen dan

Dennis (1939) ditemukan obstruksi lumen yang pada akhirnya menjadi apendisitis

akut. Dasar teori ini adalah obstruksi menyebabkan inflamasi, meningkatkan

tekanan intralumen dan pada akhirnya terjadi iskemia. Apendiks mempunyai

lumen yang relatif lebih kecil apabila dihubungkan dengan panjangnya.

Konfigurasi ini merupakan predisposisi terbentuknya obstruksi “closed-loop” dan

berlanjut menjadi inflamasi. Obstruksi lumen yang terjadi pada bagian proksimal

membuat tekanan intralumen di distal dari obstruksi meningkat. Kapasitas lumen

apendiks hanya 1 ml, dimana peningkatan volume intralumen sebesar 0,5 ml dapat

meningkatkan tekanan intralumen sebesar 50-65 mmHg. Sekali tekanan

intralumen melebihi 85 mmHg, terjadilah trombosis pada vena yang

menyebabkan kongesti pembuluh darah, drainase limfatik terganggu dan apendiks

membengkak. Pada saat pembuluh darah kongesti, mukosa apendiks menjadi

(29)

12

mukosa menyebabkan invasi bakteri intralumen ke dinding apendiks. Kebanyakan

bakteri yang teridentifikasi merupakan bakteri gram negatif, yaitu Escherichia

coli (70%), Bacteroides fragilis (70%), Enterococcus (30%) dan Pseudomonas

(20%). Secara umum, lebih dari 10 jenis bakteri dapat ditemukan. Perbandingan

bakteri anaerobik dan aerobik adalah 3:1. Pada tahap awal apendisitis akut,

kerusakan mukosa yang terjadi oleh karena infeksi dan inflamasi merupakan

karakteristik yang ditemukan pada pemeriksaan patologi. Proses inflamasi dapat

berlanjut pada serosa apendiks, melibatkan peritoneum parietalis sehingga

menyebabkan nyeri yang spesifik pada perut kanan bawah. Jika proses ini

terlampaui, tekanan intralumen meningkat merangsang terjadinya infark vena,

nekrosis “full-thickness” dan akhirnya perforasi. Perforasi dapat berlanjut menjadi peritonitis atau berkembang membentuk abses. Waktu untuk terjadinya gangren

dan perforasi bervariasi. Waktu terjadinya nyeri abdomen pada apendiks

gangrenosa adalah 46,2 jam dan pada perforasi adalah 70,9 jam (Prystowsky,

2005; Petroianu, 2012).

Fekalit yang diduga sebagai penyebab obstruksi pada apendisitis akut

seringkali tidak ditemukan pada saat operasi (Carr, 2000). Pada penelitian dalam

skala kecil yang dilakukan oleh Horton (1977), dilaporkan fekalit hanya

ditemukan sebanyak 9% sedangkan 25% lumen berisi kosong. Sisa kasus lainnya

lumen berisi feses yang lembek dan material purulen. Penelitian tersebut diperkuat

oleh Arnbjörnsson dan Bengmark (1984) yang mengukur tekanan intralumen pada

33 pasien yang menjalani apendisektomi. Mereka melaporkan tekanan intralumen

(30)

13

phlegmonosa. Obstruksi apendiks dengan peningkatan tekanan intralumen timbul

oleh karena proses inflamasi dan berhubungan dengan apendisitis gangrenosa.

Sisson, dkk. (1971) melaporkan ulserasi yang terbentuk pada mukosa

superfisial terjadi lebih awal daripada dilatasi apendiks. Infeksi virus disinyalir

memiliki peran penting terbentuknya ulserasi tersebut. Hal ini diikuti oleh invasi

bakteri sekunder yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya apendisitis akut.

Apendisitis akut lebih sering dijumpai di negara maju dibanding negara

berkembang. Kebiasaan dalam mengkonsumsi makanan rendah serat dan

pengaruh konstipasi berperan dalam timbulnya penyakit apendisitis. Feses yang

keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan

menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon

biasa. Sayuran hijau dan tomat memegang peran sebagai pelindung mukosa

apendiks dari invasi bakteri (Prystowsky, 2005).

2.4 Klasifikasi Apendisitis Akut

Perubahan yang terjadi akibat proses inflamasi pada apendiks dapat

melibatkan seluruh struktur apendiks ataupun hanya sebagian dari panjang

apendiks tersebut, akan tetapi, biasanya hanya melibatkan bagian distal dari

apendiks. Pada penglihatan secara kasat mata, akan terlihat pembuluh darah

apendiks yang melebar dan serosa yang mengkilap. Seiring dengan perkembangan

(31)

14

apendiks. Pada tahap ini, mesoapendiks biasanya ikut terlibat dalam proses

inflamasi (Carr, 2000).

Secara histologis, inflamasi akut pada apendiks dapat dibedakan menjadi

beberapa kelompok. Hal ini terangkum dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2.

Klasifikasi apendisitis akut dan hubungan antara gambaran makro dan mikroskopik (Carr, 2000)

Secara mikroskopik, inflamasi akut pada apendisitis terbagi menjadi

apendisitis akut kataral, supuratif/flegmonosa dan gangrenosa. Pada permulaan

apendisitis akut, inflamasi hanya terbatas pada mukosa apendiks sehingga disebut

apendisitis mukosal atau kataralis. Hal ini ditandai dengan ditemukannya netrofil

di dalam mukosa ditambah dengan ulserasi mukosa. Apabila mukosa apendiks

terlihat normal dan netrofil ditemukan di dalam lumen, terminologi apendisitis

(32)

15

dilakukan apendisektomi dan kejadian ini dianggap bukan merupakan inflamasi

apendiks yang sebenarnya. Pada pemeriksaan histopatologis, akan didapatkan

eksudat fibropurulen atau netrofil purulen di dalam lumen apendiks. Secara klinis,

apendisitis intraluminal akut sering tidak menunjukkan gejala apendisitis (Carr,

2000).

Apendisitis supuratif atau flegmonosa dikarakteristikkan dengan adanya

infiltrat netrofil yang melibatkan lapisan muskularis propria. Mukosa apendiks

biasanya mengalami inflamasi disertai dengan ulserasi. Pada tahap ini biasanya

gejala nyeri pada perut kanan bawah sudah mulai muncul. Perubahan lain yang

terjadi antara lain edema, serositis fibrinopurulen, mikro abses yang terjadi pada

dinding apendiks dan thrombus pada pembuluh darah (Gambar 2.2.) (Carr, 2000).

Gambar 2.2. Mikroskopis apendisitis akut supuratif. Tampak infiltrat inflamasi akut transmural disertai dengan ulserasi mukosa, pus intraluminal dan serositis

fibrionpurulen (Carr, 2000)

Pada apendisitis gangrenosa, apendiks mengalami nekrosis pada dinding

(33)

16

pemeriksaan secara makroskopis maupun histopatologis (Gambar 2.3.). Pada

kasus yang tidak tertangani dengan baik, perforasi akan terjadi. Bila tekanan

lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark

dan gangren. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan ataupun merah

kehitaman (Carr, 2000).

Gambar 2.3. Makroskopis apendisitis akut gangrenosa. Panjang apendiks 75 mm dan membengkak oleh karena edema. Tampak gambaran kehitaman pada apendiks disertai dengan eksudat fibrinopurulen pada permukaan serosa (Carr,

2000)

2.5 Diagnosis Apendisitis Akut 2.5.1 Anamnesis

Diagnosis apendisitis akut tergantung dari riwayat penyakit yang detail

dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Kompleksitas diagnosis terletak pada

bervariasinya gejala yang muncul (Ahmad, dkk., 2011; Chong, dkk., 2010).

Kesulitan ini akan muncul terutama pada anak kecil, sedangkan pada usia lanjut

(34)

17

keterlambatan dalam mendiagnosis mencapai 72 jam apabila dihubungkan dengan

penderita usia lanjut (Shafi, dkk., 2011).

Nyeri abdomen merupakan keluhan utama pada apendisitis akut. Nyeri

progresif ini bermula sebagai nyeri kolik yang dirasakan pada bagian

periumbilikus disertai rasa mual dan muntah, dan kemudian bermigrasi serta

menetap di fossa iliaka kanan dalam 24 jam pertama. Nyeri ditemukan pada lebih

dari 95% pasien dengan apendisitis akut. Seringkali nyeri ini tidak dirasakan di

fossa iliaka kanan, akan tetapi dapat terjadi pada lokasi yang berbeda, contoh

apendiks retrosekal, kehamilan, pelvik dan lain-lain. Nyeri abdomen tersebut akan

bertambah bila pasien bergerak, batuk atau bersin. Anoreksia sering merupakan

fitur yang predominan, diikuti dengan rasa mual dan bahkan muntah (Petroianu,

2012; Froggatt dan Harmston, 2011; Hung, dkk., 2012; Lewis, dkk., 1975;

Prystowsky, 2005).

Pasien dengan apendisitis akut biasanya mengalami gejala demam.

Demam ini dikarateristikkan sebagai demam yang tidak terlalu tinggi (38ºC).

Kejadian perforasi patut diwaspadai apabila demam melampaui 38,3ºC

(Prystowsky, 2005; Petroianu, 2012).

Gejala klasik apendisitis akut ini terdapat pada setengah sampai dua

pertiga penderita. Kegagalan dalam mengenali gejala dan tanda apendisitis akut

akan membuat penatalaksanaan tertunda dan meningkatkan angka morbiditas

(35)

18

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan abdomen akan ditemukan nyeri tekan pada fossa iliaka

kanan. Hal ini terdapat pada 95% pasien dengan apendisitis akut. Penekanan

maksimal dilakukan pada titik McBurney, yaitu titik sepertiga lateral dari garis

khayal yang menghubungkan Spina iliaka anterior superior kanan dengan

umbilikus. Nyeri tekan lepas (rebound tenderness) tidak dianjurkan dilakukan

apabila gejala nyeri sudah jelas karena akan membuat pasien tidak nyaman

(Petroianu, 2012).

Adanya rigiditas otot juga merupakan tanda yang bermakna untuk

apendisitis akut. Hal ini dikarenakan rangsangan peritoneal akibat apendisitis

yang berlanjut sampai ke peritoneum parietalis dan merupakan hal yang sangat

penting sebagai indikasi operasi. Nyeri ketok, rigiditas otot dan nyeri tekan lepas

merupakan tanda klinis yang paling dapat diandalkan terutama dalam

mendiagnosis apendisitis akut (Shelton, dkk., 2003; Humes dan Simpson, 2006).

Selain pemeriksaan tersebut, dapat juga dilakukan pemeriksaan lain seperti

tanda Blumberg, Rovsing, Psoasstretch dan Obturator. Pemeriksaan ini terdapat

pada kurang dari 10% pasien dengan apendisitis akut (Humes dan Simpson,

2006).

Nyeri pada pemeriksaan rektal dan vagina dapat ditemukan, bahkan tidak

jarang normal. Kegunaan pemeriksaan ini masih dipertanyakan. Pemeriksaan

yang berulang terutama pada anak-anak sangatlah menyiksa dan menyediakan

sedikit informasi sebagai diagnostik. Pemeriksaan ini hanya dilakukan apabila

(36)

19

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

2.5.3.1 Pemeriksaan Laboratorium

Sampai saat ini belum ada satupun pemeriksaan laboratorium yang berdiri

sendiri yang dapat mendiagnosis apendisitis akut. Data laboratorium awal

biasanya disertai peningkatan sel darah putih (lekositosis) dan jumlah netrofil.

Lekositosis (> 10.000/mm3) ditemukan pada 70-90% apendisitis akut. Netrofilia

ditemukan pada lebih 75% sebagian besar kasus. Akan tetapi, peningkatan ini juga

ditemukan pada pasien usia lanjut dan kehamilan yang menderita apendisitis akut.

Pada pasien gangguan sistem imun seperti penderita Acquired Immune Deficiency

Syndrome (AIDS), lekositosis ditemukan pada 12-14% kasus (Petroianu, 2012).

Pada penelitian prospektif yang dilakukan Cardall, dkk. (2004) untuk menilai

penggunaan klinis lekositosis dan demam dalam mendiagnosis apendisitis,

mereka mendapatkan angka sensitivitas 76%, spesifisitas 52%, nilai prediksi

positif 42%, nilai prediksi negatif 82% untuk lekosit dan sensitivitas 47%,

spesifisitas 64%, nilai prediksi positif 37%, nilai prediksi negatif 72% untuk

demam lebih dari 99,0ºF. Mereka menyimpulkan bahwa lekositosis dan demam

merupakan alat diagnostik yang tidak dapat diandalkan dalam mendiagnosis

apendisitis.

Dalam dua dekade terakhir, terdapat peningkatan penggunaan panel

diagnostik tambahan dalam memprediksi kejadian apendisitis. Di samping

diterapkannya pemeriksaan laboratorium rutin seperti jumlah lekosit dan hitung

netrofil, beberapa tes laboratorium lain dapat dipakai secara luas dan bersifat

(37)

20

Angka normal CRP adalah < 10 mg/l sedangkan pada penderita dengan

apendisitis akut meningkat >25 mg/l. Pada apendiks gangrenosa, angka CRP

melampaui 55 mg/l dan pada apendiks perforasi > 66 mg/l. Peningkatan CRP

pada apendisitis akut memiliki angka sensitivitas sebesar 47-75% dan spesifisitas

sebesar 56-82%. CRP ini meningkat dalam 12 jam sejak munculnya gejala.

Kombinasi dari lekositosis, netrofilia lebih dari 75% dan peningkatan CRP

meningkatkan sensitivitas sebesar 97-100% dalam mendiagnosis apendisitis akut

(Petroianu, 2012; Shogilev, dkk., 2014). Tsioplis, dkk. (2013) melaporkan bahwa

disamping riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, lekosit, CRP dan

ultrasonografi masih merupakan faktor yang penting dalam menegakkan diagnosis

apendisitis.

Level CRP pada penderita apendisitis akut sering dihubungkan dengan

beratnya derajat infeksi dan bahkan kadar CRP dipakai untuk membedakan

apendisitis flegmonosa dengan perforasi apendisitis (Kaya, dkk., 2012). Nilai

cut-off CRP yang diberikan oleh Moon, dkk. (2011) sebesar 7,05 mg/dL

mengindikasikan bahwa penanganan apendisitis harus segera dilakukan oleh

karena kemungkinan terjadinya perforasi sangat tinggi, terutama pada anak kecil

dan orang tua. Yokoyama, dkk. (2009) melaporkan bahwa hanya CRP yang

konsisten dengan derajat keparahan apendisitis dan merupakan tanda yang

mengindikasikan dilakukannya pembedahan apendisektomi dengan nilai cut-off

4,95 mg/dl. Asfar, dkk. (2000) mencatat angka sensitivitas CRP dalam

mendiagnosis apendisitis akut sebesar 93,6%, spesifisitas sebesar 86,6%, nilai

(38)

21

negatif sebesar 19,2% (15 dari 78 pasien yang dioperasi; dimana dari 15 pasien

tersebut didapatkan kadar CRP normal pada 13 pasien). Mereka menilai bahwa

kadar CRP pre-operatif yang normal pada pasien dengan kecurigaan apendisitis

akut berhubungan dengan apendiks yang normal. Hal yang serupa dilaporkan oleh

Gurleyik, dkk. (1995) dalam penelitiannya yang membandingkan CRP dengan

penilaian klinis ahli bedah mengenai apendisitis akut. Mereka mendapatkan

sensitivitas 93,5%, spesifisitas 80%, akurasi 91%, negatif palsu 3%, positif palsu

11% kadar CRP dalam mendiagnosis apendisitis akut dan merekomendasikan

pemeriksaan CRP sebagai laboratorium rutin pada pasien dengan kecurigaan

apendisitis akut. Apabila parameter laboratorium lekositosis dan CRP

digabungkan, maka didapat angkasensitivitas 85%, spesifisitas 100%, nilai

prediksi positif 100% dan nilai prediksi negatif 81% (Kumar, dkk., 2011). Hal

serupa juga dikemukakan oleh Mohammed, dkk. (2004), mereka melaporkan

evaluasi klinis ditambah dengan pemeriksaan lekosit, netrofil dan CRP dapat

meningkatkan akurasi diagnosis apendisitis dan mengurangi insiden terjadinya

perforasi dan apendisektomi negatif. Kwan dan Nager (2010) melaporkan

penggunaan CRP yang dikombinasi dengan lekositosis merupakan alat bantu yang

berguna dalam mendiagnosis apendisitis akut pada anak-anak. Studi yang

dilakukan oleh mereka tersebut juga mirip oleh penelitian yang dilakukan

Mekhail, dkk. (2011). Bahkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Gavela, dkk.

(2012) tentang evaluasi procalcitonin (PCT) dan CRP sebagai prediktor derajat

keparahan apendisitis pada anak kecil, mereka mendapatkan bahwa CRP dan PCT

(39)

22

anak kecil. Kadar CRP > 3 mg/dl dan/atau PCT > 0,18 mg/mL memiliki resiko

untuk terjadinya komplikasi yang pada akhirnya menentukan tindakan intervensi.

Mereka juga mendapatkan angka sensitivitas 95%, spesifisitas 74%, nilai prediksi

positif 68%, nilai prediksi negatif 96,2% untuk CRP dan sensitivitas 97%,

spesifisitas 80%, nilai prediksi positif 72%, nilai prediksi negatif 89,3% untuk

PCT. Hal serupa juga dilaporkan oleh Wu, dkk. (2005), mereka mendapatkan nilai

cut-off CRP selama 3 hari berturut-turut memberikan nilai prediksi yang berguna

terutama untuk mendiagnosis apendisitis akut pada tahap awal. Untuk kasus

apendisitis akut pada anak kecil yang menderita obesitas, kadar CRP bukan

merupakan marker inflamasi yang bisa dipercaya. Hal ini disebabkan lemak

viseral merupakan organ endokrin penting yang terlibat secara kompleks dalam

hubungannya dengan inflamasi sistemik yang dapat mengganggu kadar CRP pada

pasien dengan apendisitis akut (Kutasy, dkk., 2010).

Akan tetapi pada penelitian meta-analisis yang dilakukan oleh Hallan dan

Asberg (1997), mereka melaporkan CRP merupakan alat bantu diagnostik untuk

apendisitis akut dengan tingkat akurasi yang medium dan sedikit lebih inferior

dibanding pemeriksaan lekosit. Dari 22 artikel yang diteliti, mereka mendapatkan

angka sensitivitas 40%-99%, spesifisitas 27%-90%, nilai cut-off untuk apendisitis

yang positif bervariasi antara 5 sampai 25 mg/l serta hanya 2 artikel yang

melaporkan penambahan pemeriksaan CRP memberikan informasi yang

bermakna dalam mendiagnosis apendisitis akut.

Penggunaan serum biomarker tunggal dan diambil dalam waktu yang

(40)

23

dengan skor Alvarado dan pemeriksaan radiologis mempunyai beberapa

keuntungan, antara lain biaya yang relatif lebih murah, obyektif dan lebih mudah

dilakukan oleh karena tanpa resiko terpapar radiasi atau kebutuhan sedasi untuk

anak kecil (Wu, dkk., 2012).

2.5.3.2 Sistem Skoring

Sejumlah sistem skoring telah dikembangkan dalam mendiagnosis

apendisitis akut dan mempengaruhi penatalaksanaan kasus tersebut. Sistem

tersebut merupakan penunjang diagnosis berharga dalam membedakan suatu

apendisitis akut dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik. Ada beberapa sistem

skoring diagnosis yang dikenal, antara lain skor Alvarado, skor RIPASA, versi

modifikasi skor Alvarado, skor apendisitis pediatri, serta yang jarang dipakai

seperti skor Kharbanda dan Lintula (Wray, dkk., 2013; Chong, dkk., 2010;

Memon, dkk., 2013). Skor Alvarado sendiri merupakan sistem skoring yang

sederhana, mudah diterapkan dan paling banyak diadopsi oleh klinisi. Pada tahun

1986, Alfredo Alvarado mengembangkan sebuah sistem skoring untuk membantu

mendiagnosis apendisitis akut serta penatalaksanaannya. Sistem ini disebut juga

MANTRELS oleh karena terdiri dari kombinasi 8 gejala klinis dan tanda yang

ditemukan pada pemeriksaan klinis maupun penunjang. Jumlah skor yang

diperoleh akan menentukan apakah pasien yang dicurigai tersebut akan

dipulangkan, diobservasi atau dioperasi. Rentang skor dari 0-10, dimana skor < 5

merupakan indikasi bagi pasien untuk dipulangkan, skor 5-6 dilakukan observasi

(41)

24

indikasi tindakan pembedahan (Wray, dkk., 2013; Ohle, dkk., 2011). Berdasarkan

skor Alvarado, kemungkinan pasien menderita apendisitis akut dengan skor < 5

adalah 30%, skor 5-6 adalah 66% dan skor ≥ 7 adalah 9γ% (Tabel β.γ.) (Ohle,

dkk., 2011). Penilaian obyektif adalah nyeri pada fossa iliaka kanan. Ali, dkk

(2013) melaporkan validasi skor Alvarado dalam mendiagnosis apendisitis akut.

Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas sebesar 88,13%, spesifisitas

sebesar 70,96%, angka prediksi positif 85,24%, angka prediksi negatif 75,86%

dan 16,9% untuk apendisektomi negatif. Nizamuddin dkk. (2009) melaporkan

sensitivitas sebesar 86% pada grup dengan skor ≥ 7 dan 90,6% pada grup dengan

skor 5-6. Nilai prediksi positif sebesar 85,4% (laki-laki 88,3% dan perempuan

81,4%) dan tingkat akurasi sebesar 85,4%. Penelitian ini serupa dengan studi yang

dilakukan Memon, dkk. (2013) dimana mereka mendapatkan sensitivitas sebesar

93,5%, nilai prediksi positif sebesar 92,3% dan akurasi sebesar 89,9%. Penelitian

lain yang dilakukan oleh Ohle, dkk. (2011) mendapatkan angka sensitivitas

sebesar 94-99% untuk skor < 5, 8β% untuk skor ≥ 7 dan spesifisitas sebesar 81%.

Data yang terkumpul mengindikasikan bahwa skor Alvarado dapat digunakan

sebagai alat diagnostik yang efektif dan cepat dalam mendiagnosis apendisitis

akut.

2.5.3.3 Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan

mendiagnosis berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengaruh tehnik

(42)

25

Tabel 2.3.

Probabilitas apendisitis berdasarkan skor Alvarado dan strategi penatalaksanaan (Ohle, dkk., 2011)

jelas. Beberapa penelitian melaporkan angka kejadian apendisektomi negatif yang

tidak berubah walaupun banyak muncul tehnik pencitraan. Di sisi lain,

penggunaan ultrasonografi dan CT-scan menurunkan jumlah rawat inap dan

apendisektomi yang tidak diperlukan (Birnbaum dan Wilson, 2000; Humes dan

Simpson, 2006).

Pada tahun 1986, Puylaert mengusulkan penggunaan ultrasonografi

dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pada ultrasonografi, kompresi secara

gradual pada abdomen kanan bawah meningkatkan ketepatan dalam mendiagnosis

apendisitis akut. Tehnik kompresi ini memiliki peran yang penting dalam

(43)

26

bantu yang cepat, non-invasif, murah dan tidak memerlukan persiapan ataupun

kontras. Kegunaan ultrasonografi sangatlah membantu klinisi dalam mendiagnosis

apendisitis akut terutama pada pasien yang hamil dan anak kecil. Anielski, dkk.

(2010) mencatat bahwa meskipun ultrasonografi merupakan alat yang membantu

dalam diagnosis preoperatif untuk kasus-kasus akut abdomen, kegunaannya untuk

apendisitis akut terbatas. Penggunaan ultrasonografi sangat bergantung dari

operator yang memerlukan keahlian khusus serta harus diperhatikan untuk

menghindari penafsiran yang berlebihan. Akan tetapi hal ini tertutup oleh

pentingnya ultrasonografi dalam memeriksa pasien dengan nyeri perut kanan

bawah. Kurva pembelajaran dibutuhkan operator dalam memeriksa dan

menganalisa pasien dengan keluhan nyeri perut kanan bawah. Kekurangan lain

dari ultrasonografi antara lain letak atau posisi apendiks yang menyulitkan, biaya

yang relatif mahal, interpretasi yang membutuhkan waktu, keberadaan gas di

dalam usus sehingga menyulitkan operator untuk melihat kondisi apendiks atau

berat badan pasien yang berlebihan (indeks massa tubuh > 25 merupakan faktor

yang dapat menurunkan sensitivitas sampai 37%) (Anielski, dkk., 2010; Lee, J.

H., 2003).

Di tangan yang ahli, sensitivitas ultrasonografi dilaporkan sebesar 75-90%,

spesifisitas 86-100%, akurasi 87-96%, nilai prediksi positif sebesar 91-94% dan

nilai prediksi negatif sebesar 89-97% dalam mendiagnosis apendisitis akut

(Birnbaum dan Wilson, 2000). Akurasi yang diberikan oleh ultrasonografi dapat

menekan angka apendisektomi negatif sebesar 10-20% (Morrow dan Newman,

(44)

27

dilakukan oleh Doria, dkk. (2006) mengenai penggunaan ultrasonografi atau

CT-Scan dalam mendiagnosis apendisitis akut pada pasien anak kecil, mereka

mendapatkan angka sensitivitas dan spesifisitas CT-scan yang lebih tinggi

dibanding ultrasonografi (94% dan 95% vs 88% dan 94%). Ultrasonografi harus

dilakukan dengan memeriksa abdomen dan organ pelvis. Hal ini penting terutama

untuk membedakan apakah apendiks terletak di rongga pelvis atau terdapat

kelainan di bidang ginekologi. Bendeck, dkk. (2002) melaporkan keuntungan

pemeriksaan radiologis berupa ultrasonografi atau CT-scan pada penderita

perempuan dewasa dengan kecurigaan apendisitis akut. Mereka mendapatkan

angka kejadian apendisektomi negatif yang lebih rendah dibandingkan yang tidak

dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif. Akan tetapi pada kelompok lain,

tidak didapatkan perbedaan secara bermakna angka kejadian apendisektomi

negatif pada kelompok yang dilakukan pemeriksaan radiologis pre-operatif

maupun yang tidak.

Secara spesifik, ultrasonografi dilakukan dengan penekanan pada perut

kanan bawah. Menempatkan pasien dengan posisi dekubitus lateral kiri sangat

membantu memvisualisasi apendiks retrosekal. Pada pemeriksaan ultrasonografi,

apendiks yang mengalami inflamasi akan memiliki diameter 6 mm atau lebih.

Ditemukan juga adanya perubahan inflamasi pada jaringan sekitar khususnya pada

jaringan lemak yang mengelilinginya (Gambar 2.4.). Pada apendiks perforasi

gambaran ultrasonografi menunjukkan bentuk apendiks yang irregular dan adanya

(45)

28

2002; Morrow dan Newman, 2007; Rybkin dan Thoeni, 2007; Kurane, dkk.,

2008; Doria, 2009; Poortman, dkk., 2009).

A B

Gambar 2.4.Gambaran ultrasonografi apendisitis akut. (a) Axis memanjang dan (b) Potongan melintang (Birnbaum dan Wilson, 2000)

CT-scan merupakan alternatif diagnostik pada apendisitis akut. Alat ini

direkomendasikan apabila ultrasonografi belum dapat menyimpulkan apendisitis.

CT-scan merupakan alat diagnostik yang lebih superior dibanding ultrasonografi

dalam hal spesifisitas (96% vs 76%), akurasi (94% vs 83%) dan nilai prediksi

negatif (95% vs 76%). Dalam hal sensitivitas dan nilai prediksi positif, CT-scan

menyerupai ultrasonografi (91% vs 89% dan 95% vs 96%) (Shelton, dkk., 2003;

Hlibczuk, dkk., 2010; Birnbaum dan Wilson, 2000; Doria, 2009; Poortman, dkk.,

2009; Krajewski, dkk., 2011). CT-scan lebih superior dalam mendiagnosis

inflamasi periapendiks, kelainan abdomen akut selain apendisitis akut dan lebih

sensitif menganalisa apendiks normal dibanding ultrasonografi. Pada pemeriksaan

CT-scan, apendiks yang mengalami inflamasi memiliki diameter lebih besar dari 9

mm dan cenderung mengalami perubahan inflamasi pada jaringan sekitarnya.

Diameter apendiks normal yang ditemukan pada orang dewasa bervariasi mulai

dari 3 mm sampai 10 mm. Kadang kala dijumpai juga apendikolit yang terdapat

(46)

29

juga dapat membedakan penyebab apendisitis seperti obstruksi lumen akibat

keganasan. Kekurangan dari pemeriksaan CT-scan adalah waktu yang dibutuhkan

dalam memvisualisasi dan menginterpretasi hasil yang pencitraan serta biaya

untuk melakukan pemeriksaan ini (Shelton, dkk., 2003; Birnbaum dan Wilson,

2000).

Laparoskopi, CT-Scan dan MRI merupakan pemeriksaan yang relatif

mahal dan tidak mudah dilakukan di semua rumah sakit, terutama di Unit Gawat

Darurat. Pemeriksaan tersebut hanya akan menunda penegakkan diagnosis yang

pada akhirnya akan meningkatkan jumlah komplikasi, beban biaya dan masa

rawat inap serta waktu untuk beraktivitas kembali. Angka mortalitas akibat

penundaan diagnostik dan penatalaksanaan dilaporkan sebesar 0,2-0,8% dapat

meningkat sampai diatas 20% pada pasien dengan usia diatas 70 tahun (Ali, dkk.,

2013). Lee, dkk. (2001) bahkan melaporkan bahwa CT-scan dan ultrasonografi

tidak meningkatkan akurasi diagnostik apendisitis maupun menurunkan angka

kejadian apendisektomi negatif. Pemeriksaan tersebut hanya akan menghambat

diagnosis dan penanganan pasien dengan apendisitis.

2.6 Penatalaksanaan

Apendisektomi darurat merupakan suatu prosedur operasi yang efektif dan

diterima secara universal serta dilakukan lebih dari 250.000 kali per tahun di

Amerika Serikat. Prosedur apendisektomi merupakan tindakan operasi yang

(47)

30

prosedur ini mencakup 10% dari semua tindakan operasi kegawatdaruratan di

abdomen (Chong, dkk., 2010; Kareem, dkk., 2009).

Tindakan resusitasi yang diikuti dengan operasi apendisektomi merupakan

pilihan pertama pada pasien dengan apendisitis akut. Pemberian analgesia tidak

dianjurkan karena hal tersebut akan mengaburkan gejala yang muncul. Tindakan

operasi adalah pilihan standar dalam menangani kasus apendisitis (Humes dan

Simpson, 2006). Akan tetapi, apendisektomi untuk apendisitis akut bukanlah

tanpa resiko. Resiko jangka panjang terjadinya obstruksi akibat adhesi setelah

apendisektomi sebesar 1,3% selama 30 tahun setelah prosedur operasi. Angka

apendisektomi negatif dilaporkan sebesar 10-20% walaupun CT-scan digunakan

secara luas (Wray, dkk., 2013). Semua pasien harus mendapatkan antibiotika

spektrum luas preoperatif (1 sampai 3 dosis) untuk menurunkan angka kejadian

infeksi paska operasi dan pembentukan abses intraabdomen (Humes dan Simpson,

2006).

Apendisektomi merupakan prosedur yang relatif aman dengan angka

mortalitas 0,8 per 1.000 untuk kasus apendisitis yang belum perforasi dan

meningkat menjadi 5,1 per 1.000 kasus apendiks perforasi. Secara keseluruhan,

perforasi terjadi antara 16-30% dan meningkat secara bermakna pada penderita

usia lanjut dan anak kecil (Humes dan Simpson, 2006; Oliak, dkk., 2000). Infeksi

luka operasi tergantung dari derajat kontaminasi intraoperatif, berkisar antara <

5% untuk apendisitis sederhana dan mencapai 20% untuk apendiks gangrenosa

(48)

31

Penelitian yang dilakukan oleh Abou-Nukta, dkk. (2006) menunjukkan

tidak adanya perbedaan bermakna komplikasi antara pembedahan yang dilakukan

< 12 jam dengan 12-24 jam. Apabila lebih dari 36 jam sejak gejala pertama

muncul, angka terjadinya komplikasi perforasi meningkat antara 16-36% dan

bahkan meningkat 5% pada setiap 12 jam penundaan operasi. Abou-Nukta,

dkk.(2006) menganjurkan prosedur apendisektomi harus dilakukan setelah

diagnosis apendisitis ditegakkan.

2.7 C-Reactive Protein

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang ditemukan dalam darah

dan meningkat sebagai respon terhadap inflamasi sebagai suatu protein fase akut.

Lebih lanjut CRP merupakan turunan pentraksin dan disintesis oleh hati. CRP

juga diproduksi oleh dinding pembuluh darah seperti sel endotel, sel otot polos

dan jaringan adiposa (Pepys dan Hirschfield, 2003).

CRP ditemukan untuk pertama kalinya oleh Tillet dan Francis pada tahun

1930. CRP adalah protein residual 224 dengan berat molekul 118-144 kDa. Gen

CRP terletak pada kromosom 1. Awalnya penamaan CRP berasal dari

kemampuannya mempresipitasi somatik C-polisakarida dari bakteri Streptococcus

pneumonia dan merupakan protein yang muncul pertama kali pada fase akut

sebagai petanda sistemik yang sensitif terhadap rangsangan inflamasi dan

kerusakan jaringan (Clyne dan Olshaker, 1999; Aziz dkk., 2003). Respon pada

fase akut meliputi respon fisiologik dan biokimia dari mahkluk endotermik

(49)

32

khusus, sintesis jumlah protein diatur di hati melalui kontrol sitokin yang

dihasilkan oleh jaringan yang sakit. Ini sama sekali tidak ada hubungan dengan

protein C ataupun peptida C. Protein fase akut yang lain termasuk inhibitor

proteinase dan sistem koagulasi, sistem komplemen, protein transport dan serum

protein amiloid A. CRP mengaktivasi sistem komplemen dan terikat dengan

reseptornya. Peningkatan CRP yang bermakna mengindikasikan inflamasi yang

terjadi (Pepys dan Hirschfield, 2003).

Konsentrasi median CRP di tubuh orang dewasa sehat adalah 0,8 mg/l, 90

persentil mencapai 3,0 mg/l dan 99 persentil mencapai 10 mg/l. CRP sebagai

petanda inflamasi akut mengalami kenaikan 100-1.000 kali setelah terjadinya

infeksi ataupun trauma. Bahkan pada reaksi fase akut CRP dapat meningkat

10.000 kali lipat (< 50 µg/l - > 500 mg/l). Plasma CRP diproduksi oleh hepatosit

melalui kontrol sitokin IL-6. CRP dapat meningkat melebihi 5 mg/l dan timbul

4-6 jam setelah terjadinya rangsangan, berduplikasi setiap 8 jam dan mencapai

puncaknya dalam 48 jam. Waktu paruh di dalam plasma adalah 19 jam dan

membutuhkan waktu beberapa hari untuk kembali normal. Apabila rangsangan

sebagai pencetus inflamasi dihilangkan maka CRP akan kembali ke angka normal

secara cepat. Kadar CRP > 10 mg/l mengindikasikan reaksi inflamasi yang

bermakna. Kadar serum CRP yang meningkat terlihat pada kondisi trauma,

nekrosis jaringan, infeksi, pembedahan, infark miokardium dan berhubungan

dengan meningkatnya resiko penyakit kardiovaskuler. Beberapa keadaan

noninflamasi juga dapat meningkatkan kadar CRP, seperti obesitas, depresi,

(50)

33

produksi CRP dan polimorfisme genetik IL-1 dan IL-6 juga telah dikemukakan.

Pada penyakit atherosklerosis, CRP merupakan faktor resiko yang independen.

Kadar CRP yang tinggi sering dihubungkan dengan meningkatnya angka

mortalitas dan morbiditas (Aziz, dkk., 2003; Pepys dan Hirschfield, 2003;

Marnell, dkk., 2005; Volanakis, 2001). Pada kebanyakan kasus, representasi CRP

bervariasi menandakan inflamasi yang terjadi seperti dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4.

Respon CRP berbagai penyakit (Pepys dan Hirschfield, 2003)

CRP termasuk dalam turunan pentraksin protein calcium dependent

ligand-binding plasma. Molekul CRP pada manusia tersusun atas lima subunit

polipeptida nonglikosilasi yang identik, masing-masing terdiri dari 206 sisa asam

amino. Protomer CRP dihubungkan secara nonkovalen dalam konfigurasi annular

(51)

34

“lectin fold” yang terdiri atas lembaran β lapis dengan topologi jellyroll yang datar. Situs yang mengikat ligan tersusun atas lengkungan dengan 2 ion kasium

yang terikat 4 Å terpisah oleh ikatan protein dan terletak pada bagian konkaf,

sedangkan bagian lain membawa heliks α tunggal (Gambar β.5.) (Pepys dan

Hirschfield, 2003; Thompson, dkk., 1999).

Gambar 2.5.Struktur molekul dan morfologi CRP. (a).Dengan mikrograf elektron menunjukkan struktur pentamerik, (b).Struktur kristal dengan diagram

berwarna yang menunjukkan “lectin fold” dan dua atom kalsium yang terikat pada masing-masing protomer, dan (c)Molekul CRP dengan molekul fosfokolin

tunggal yang terletak pada masing-masing protomer (Pepys dan Hirschfield, 2003)

2.8 Hubungan C-Reactive Protein Dengan Apendisitis Akut

Inflamasi didefinifikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau

cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun didapat.

Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti

infeksi dan cedera jaringan. Inflamasi dapat bersifat lokal, sistemik, akut dan

kronis yang menimbulkan kelainan patologis. Petanda respon inflamasi lokal

pertama digambarkan oleh orang Romawi sekitar 2000 tahun yang lalu berupa

(52)

35

petanda inflamasi ke-5 berupa gangguan fungsi alat yang terkena. Dalam beberapa

menit setelah terjadi cedera jaringan, ditemukan vasodilatasi yang menghasilkan

peningkatan volume darah di tempat. Volume darah yang meningkat di jaringan

dapat menimbulkan perdarahan. Permeabilitas vaskular yang meningkat

menimbulkan kebocoran cairan pembuluh darah yang menimbulkan edema

(Gambar 2.6.) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Gambar 2.6. Respon vaskuler terhadap inflamasi (Baratawidjaja dan Rengganis, 2014)

Dalam beberapa jam lekosit menempel ke sel endotel di daerah inflamasi

(53)

36

ekstravasasi. Pada pemeriksaan histologik ditemukan cairan edema dan infiltrasi

sel lekosit. Berbagai faktor plasma seperti immunoglobulin, komplemen, sistem

aktivasi kontak koagulasi-fibrinolitik dan sel-sel inflamasi seperti neutrofil,

mastosit, eosinofil, monosit-fagosit, sel endotel dan molekul adhesi, trombosit,

limfosit dan sitokin berinteraksi satu dengan yang lain. Patogen yang menembus

sawar luar imunitas nonspesifik seperti kulit, membran mukosa, infeksi atau

cedera jaringan dapat memacu kaskade reaksi inflamasi yang kompleks

(Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Neutrofil merupakan sel utama pada inflamasi dini, bermigrasi ke jaringan

dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama. Untuk memenuhi hal tersebut

diperlukan peningkatan produksi neutrofil dalam sumsum tulang. Orang dewasa

normal memproduksi lebih dari 1010 neutrofil per hari tetapi pada inflamasi dapat

meningkat sampai 10 kali lipat. Pada inflamasi akut, neutrofil dalam sirkulasi

dapat meningkat dengan segera dari 5000/µl sampai 30.000/µl. Peningkatan

tersebut disebabkan oleh migrasi neutrofil ke sirkulasi yang berasal dari sumsum

tulang dan persediaan marginal intravaskular. Persediaan marginal ini merupakan

sel-sel yang untuk sementara menempel pada dinding vaskular yang keluar dari

sirkulasi. Proses inflamasi diperlukan sebagai pertahanan pertama terhadap

mikroorganisme yang masuk membutuhkan komponen seluler untuk

membersihkan debris lokal dan meningkatkan perbaikan jaringan (Baratawidjaya

dan Rengganis, 2014).

Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan alterasi

(54)

37

mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Inflamasi distimulasi

oleh faktor kimia (histamin, bradikini, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin)

yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam sistem

kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi (

Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

Pada inflamasi akut, pelepasan berbagai mediator sel mast (histamin dan

bradikinin) disertai aktivasi komplemen, sistem koagulasi, sel inflamasi dan sel

endotel yang masing-masing melepaskan mediator yang menimbulkan efek

sistemik seperti panas, neutrofil dan protein fase akut seperti CRP. Inflamasi akan

pulih bila mediator tersebut menjadi tidak aktif. Bila penyebab tidak dapat

disingkirkan atau timbul pajanan ulang maka akan terjadi inflamasi kronik

(Baratawidjaya dan Rengganis, 2014).

Inflamasi lokal yang terjadi memberikan proteksi dini terhadap infeksi

atau cedera jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respon lokal dan sistemik.

Reaksi lokal terdiri atas tumor, rubor, kalor, dolor dan gangguan fungsi. Bila

darah keluar dari sirkulasi darah, kinin, sistem pembekuan dan fibrinolitik

diaktifkan. Banyak perubahan vaskular yang terjadi dini disebabkan oleh efek

langsung mediator enzim plasma seperti bradikinin dan fibrinopeptida yang

menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Beberapa efek

vaskular disebabkan efek anafilatoksin (C3a dan C5a) yang menginduksi

degranulasi sel mast yang melepas histamin. Histamin menimbulkan vasodilatasi

dan kontraksi otot polos. Prostaglandin juga berperan dalam vasodilatasi dan

(55)

38

Dalam beberapa jam setelah awitan perubahan vaskular, neutrofil

menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga

jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respon

inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin (IL-1, IL-6 dan

TNF-α) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel

endotel seperti TNF-α yang meningkatkan ekspresi selektin-E, IL-1 menginduksi peningkatan ekspresi ICAM-1 dan VICAM-1. Neutrofil, monosit dan limfosit

mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan

selanjutnya ke jaringan. IL-1 dan TNF-α juga memacu makrofag dan sel endotel

untuk memproduksi kemokin yang berperan pada influx neutrofil melalui

peningkatan ekspresi molekul adhesi. IFN- dan TNF-α juga mengaktifkan makrofag dan neutrofil, meningkatkan fagositosis dan penglepasan enzim ke

rongga jaringan. Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar

tidak terjadi kerusakan jaringan. TGF- membatasi respon inflamasi dan memacu

akumulasi dan proliferasi fibroblast dan endapan matriks ekstraselular yang

diperlukan untuk perbaikan jaringan (Gambar 2.7.) (Baratawidjaja dan Rengganis,

Gambar

Gambar 2.1. Variasi letak apendiks vermiformis (Wakeley, 1933)
Tabel 2.1.
Tabel 2.2.
Gambar 2.2. Mikroskopis apendisitis akut supuratif. Tampak infiltrat inflamasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

diakses 13 Desember 2015.. 4 rokok dan iklan rokok yang beredar di Indonesia, wajib menampilkan gambar peringatan bahaya merokok yang tercetak menjadi satu dengan

CAT MOBIL BIASANYA DILAKUKAN SELAIN UNTUK MENUTUP LUKA GORESAN / JUGA UNTUK MEMBERIKAN KESAN TERSENDIRI BAGI SANG PEMILIK //. HINGGA SAAT INI CUKUP BANYAK USAHA PENGECATAN

Analisis yang digunakan dalam meng- hitung debit banjir pada Daerah Aliran Sungai Ranoyapo menggunakan 3 (tiga) metode yaitu Hidrograf Satuan Sintetik Gamma

Sebagai salah satu tindak lanjut kebijakan itu, dibentuklah oleh Feme- rintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra

Maka dari itu, dengan adanya arahan yang jelas mengenai keharusan untuk cerdas dan berprestasi, maka mahasiswa etnis Cina yang masih mengikuti budayanya lebih dapat mengatur

As a result, many countries around the world is modernizing the cadastral database from legacy cadastre or relative cadastre to accurate coordinate based cadastre known

Metode pembelajaran yang digunakan dalam matakuliah kewirausahaan adalah metode production based learning, dengan sintaksnya antara lain adalah: pertama, metode.. Pada

Data penelitian sebelumnya Prakoso (2003), Prahesti (2010), Hutabarat (2012), Hutabarat (2013) telah menjelaskan bahwa kawasan Segara Anakan Cilacap dimanfaatkan