• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan SAT dengan komponen sindrom metabolik β.β.5.1 Obesitas abdominal dan indeks masa tubuh

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Sindrom Metabolik 1 Epidemiologi.1 Epidemiolog

2.2.5. Hubungan SAT dengan komponen sindrom metabolik β.β.5.1 Obesitas abdominal dan indeks masa tubuh

14

Gambar β.γ Obesitas dan sindrom metabolik meningkatkan stres oksidatif (Tangvarasittichai, β015)

Pada gambar diatas dijelaskan bahwa obesitas abdominal dan SM meningkatkan stress oksidatif. Pada obesitas abdominal terjadi penambahan ukuran dan jumlah sel adiposa sehingga menimbulkan gangguan metabolik sehingga terjadi hyperinsulinemia insulin resisten yang merupakan penyebab TβDM. Selain sebagai cadangan energi, sel adiposa merupakan organ yang memproduksi adipokin seperti sitokin proinflamasi, hormon antiinflamasi dan substansi biologi lain.

Obesitas menyebabkan sitokin proinflamasi meningkat sehingga menyebabkan inflamasi dinding vaskuler yang dapat memicu terjadinya aterosklerosis. Selain itu obesitas pada obesitas terjadi peningkatan metabolisme lemak yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi ROS di sirkulasi maupun jaringan adiposa. ROS akan merangsang inflamasi, mengaktivasi matriks metaloproteinase, menginduksi apoptosis, menyebabkan agregasi trombosit dan

15

menstimulasi otot polos. ROS juga berperan dalam memodulasi tonus pertumbuhan dan remodeling vaskular. Peningkatan ROS dalam sel adiposa akan menyebabkan terganggunya keseimbangan reduksi oksidasi, sehingga terjadi penurunan enzim antioksidan dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut stres oksidatif (Lilyasari, β007).

Dalam proses fisiologis obesitas terjadi peningkatan produksi ROS. Hasil produksi tersebut adalah γ ROS utama, yaitu superoxide radical, hydroxyl radical, dan hydrogen peroxide. Peningkatan dari molekul ROS akan menyebabkan terjadinya kerusakan makromolekul seperti lemak, protein dan asam nukleat. Dalam kondisi normal peningkatan ROS dalam tubuh akan dilawan oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri atau dari makanan yang kita konsumsi. Tetapi dalam keadaan obesitas dimana terjadi kelainan metabolik, jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh terhadap ROS turun. Antioksidan tubuh tidak dapat mengalahkan tingginya ROS sehingga terjadi peroksidasi lipid yang mengakibatkan terjadinya aterosklerosis (Tangvarasittichai, β015).

β.β.5.β Resistensi Insulin

Resistensi insulin pada penderita obesitas abdominal diduga merupakan pencetus terjadinya SM. Insulin adalah suatu hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino yang dihasilkan oleh sel beta pulau langerhans pankreas. Pada keadaan yang normal, ketika ada rangsangan pada sel beta pulau langerhans pankreas maka insulin akan disintesis, kemudian akan disekresikan ke dalam darah untuk regulasi glukosa darah sesuai dengan kebutuhan tubuh (Manaf, β014).

16

Insulin memiliki peran yang penting pada berbagai proses biologis dalam tubuh, terutama metabolisme karbohidrat, dalam proses penggunaan glukosa di seluruh jaringan tubuh, terutama otot, lemak dan hati. Insulin penting dalam penyimpanan lemak maupun sintesis lemak dalam jaringan adiposa, sehingga bila terjadi resistensi insulin maka proses penyimpanan lemak maupun sintesis lemak akan terganggu (Sugondo, β014).

Asupan makanan yang tinggi kandungan lemak dan karbohidratnya ketika dikonsumsi akan menghasilkan energi ATP, lemak secara fungsional berperan sebagai stress oksidatif yang mampu menyebabkan disrupsi pada reseptor insulin. Asupan karbohidrat tinggi pada penderita dengan gen resistensi insulin ketika memproduksi energi ATP maka pada membaran bagian dalam dari mitokondrianya khususnya pada rantai transportasi elektron sel akan melepaskan bye product ROS yang berlebihan. Jadi tanpa dielakkan akan mengakibatkan resistensi insulin, dan dampaknya akan memperburuk tingkat sensitifitas insulin sehingga memperburuk resistensi insulin yang mendorong timbulnya ketidakseimbangan oksidan antioksidan atau stress oksidatif pada tingkat seluler. Ini akan membuka akses bagi ROS berinteraksi dengan protein, lipid dan DNA sehingga merusak makromolekul seluler yang berlanjut pada gangguan fungsi sel (Effendi, β01γ).

17

Gambar β.4 Peran ROS terhadap aterosclerosis dan sumber produksi ROS pada diabetes mellitus tipe β (Tangvarasittichai, β015).

oxLDL: Oxidized low density lipoprotein; FFA: Free fatty acids; AGEs: Advanced glycation end-products; VSMC: Vascular smooth muscle cells; ROS: Reactive oxygen species.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada pasien diabetes mellitus tipe β (TβDM) terjadi peningkatan produksi ROS yang mengakibatkan peningkatan kerusakan oksidatif dan penurunan defenses mechanism (mekanisme pertahanan diri) dari antioksidan. Produksi FFA dan glukosa yang berlebihan dapat menimbulkan efek inflamasi melalui stress oksidatif dan dan penurunan antioksidan (Tangvarasittichai, β015). Peningkatan produksi ROS pada TβDM diaktifkan melalui jalur yang merugikan termasuk jalur hexosamin, formasi AGEs (advanced glycation end-products), dan PKC 1/β. Kondisi hiperglikemia yang

18

persisten dapat meningkatkan oksidatif stress melalui beberapa mekanisme seperti autooksidasi glukosa, jalur polyol, glikosilasi yang menghasilkan produk AGEs, PKC 1/β kinase. Stress oksidatif berkembang dan mengakibatkan translokasi nukleo-sitoplasmik sehingga memberikan faktor transkripsi yang pro-apoptotik (FoxO1) mempengaruhi gen gen yang terkait insulin, transporter glukosa β (GLUTβ) serta glukokinase yang menimbulkan kerusakan pada sel (Efendi β01γ dan Tangvarasittichai, β015). Tingginya asam lemak bebas, leptin dan berbagai faktor sirkulasi pada pasien TβDM juga berperan terhadap produksi ROS yang berlebih (Tangvarasittichai, β015).

Inflamasi terjadi sebagai manifestasi dari stress oksidatif, dan dapat menghasilkan mediator inflamasi termasuk adhesi molekul dan interleukin yang dapat menimbulkan stress oksidatif (Tangvarasittichai, β015). Saat ini konsep bahwa aterosclerosis adalah penyakit inflamasi sudah dikenal. Inflamasi kronis mungkin berperan terhadap patogenesis resistensi insulin dan TβDM. (Tangvarasittichai, β015).

Resistensi insulin adalah suatu keadaan menurunnya kemampuan reseptor insulin yang mengakibatkan terjadinya kegagalan fungsi metabolik tubuh dan akan meningkatkan resiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Resistensi insulin pada obesitas abdominal mendasari SM. Pemeriksaan resistensi insulin dilakukan

dengan pengukuran Homeostasis Model Asessment – Insulin Resistence (HOMA-

IR) (Soegondo dan Purnamasari, β014). HOMA-IR didapatkan dari hasil perhitunagn: insulin darah puasa (µU/ml) × glukosa darah puasa (mmol/ml) / ββ.5 (Budhiarta, β006 dan Simental-Mendía et al., 2012).

19

Dalam keadaan SM dimana obesitas abdominal dan resitensi insulin adalah faktor pemicunya, maka jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh berupa antioksidan terhadap ROS yang berlebihan turun (Tangvarasittichai, β015).

β.β.5.γ Dislipidemia

Klasifikasi Dislipidemia dibagi menjadi primer dan sekunder. Dislipidemia primer adalah dislipidemia yang tidak diketahui penyebabnya, dan dislipidemia sekunder adalah dislipidemia yang memiliki penyakit dasar seperti diabetes, sindroma nefrotik dan hipotiroidisme. Selain itu dislipidemia dapat dilihat berdasarkan profil lipid yang menonjol, seperti hiperkolesterolemi, hipertrigliseridemi, isolated low HDL-cholesterol, dan dislipidemia campuran. NCEP-ATP III β001 telah membuat batasan yang dapat dipakai secara umum yaitu:

Tabel β.4 Kadar Lipid serum

Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserid menurut NCEP ATP III β00β mg/dL

Kolesterol total < β00mg/dL Optimal β00-βγ9mg/dL Diinginkan ≥ β40mg/dL Tinggi Kolesterol LDL < 100mg/dL Optimal

β0 100-1β9mg/dL Mendekati optimal 1γ0-159mg/dL Diinginkan 160-189mg/dL Tinggi ≥190mg/dL Sangat tinggi. Kolesterol HDL < 40mg/dL Rendah ≥ 60mg/dL Tinggi. Trigliserid < 150mg/dL Optimal 150-199mg/dL Diinginkan β00-499mg/dL Tinggi ≥ 500mg/dL Sangat tinggi

Sumber : executive summary of the third report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel iii). JAMA 2001;285:2486-2497 (Adam, β014).

Dislipidemia aterogenik pada SM ditandai dengan peningkatan trigliserida dan penurunan HDL kolesterol sesuai kriteria SM yang terbaru adalah IDF tahun β005. Kriteria trigliserida > 150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sudah mendapat terapi untuk peningkatan trigliserid dan HDL kolesterol < 40mg/dL (1,0γ mmol/L) pada pria atau< 50 mg/dL (1,β9 mmol/L) pada wanita, atau sudah mendapat terapi untuk kolesterol (Soegondo dan Purnamasari, β014).

Dislipidemia aterogenik terjadi akibat pengaruh insulin terhadap cholesterol ester transfer protein (CETP) yang memperlancar transfer cholesteryl ester (CE) dari HDL ke VLDL (trigliserida) dan mengakibatkan terjadinya katabolisme dan apoA, komponen protein HDL. Obesitas abdominal meningkatkan terjadinya lipogenesis, peningkatan jumlah insulin sehingga sensitivitas insulin turun dan terjadi resistensi insulin, akumulasi trigliserida serta meningkatkan apoptosis adiposit yang menyebabkan produksi ROS meningkat, sehingga terjadi stres oksidatif (Susantiningsih, β015).

β1

abdominal yang disertai resitensi insulin akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, maka jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh berupa antioksidan terhadap ROS yang berlebihan turun.

β.β.5.4 Peningkatan tekanan darah

Gambar β.5 Peningkatan ROS pada obesitas, sindrom metabolik dan hipertensi (Tangvarasittichai, β015).

FFA: Free fatty acid; SM: Metabolic syndrome; HT: Hypertension; IGT: Impaired glucose tolerance.

Sindrom metabolik terkait dengan salt sensitive hipertension (hipertensi yang sensitif terhadap garam). ROS berperan dalam mekanisme sindrom metabolik dan salt sensitive hipertension, yang mana akan menyebabkan terjadinya over produksi dari ROS. Pembatasan asupan garam dan diet penurunan berat badan pada pasien hipertensi yang mengalami obesitas ternyata dapat lebih menurukan

ββ

tekanan darah daripada pasien hipertensi yang tidak obesitas. Oksidatif stress pada

lemak abdominal meningkatkan sekresi adipositokin seperti TNF-α,

angiotensinogen dan asam lemak non ester. Pada pasien tinggi renin (non-

modulating salt sensitive hipertension) terjadi peningkatan level homeostasis model assessment of insulin resistence (HOMA-IR). Pasien dengan salt sensitive hipertension non obese memiliki sensitifitas insulin yang rendah dibandingkan dengan non-salt sensitive hipertension. Resistensi insulin juga dapat

menyebabkan terjadinya obesitas dengan salt sensitive hipertension dan sindrom metabolik. Peningkatan produksi ROS berlebih dari ginjal juga dapat meningkatkan salt sensitive hipertension. Peningkatan oksidatif stress pada ginjal berkontribusi pada perkembangan salt sensitive hipertension. Selanjutnya produksi ROS yang berlebihan pada sel endotelial akan menekan vasodilatasi NO- dependent yang juga berperan terhadap perkembangan salt sensitive hipertension (Tangvarasittichai, β015).

Resistensi insulin juga memegang peranan penting terhadap pathogenesis hipertensi, insulin merangsang sistem saraf simpatis dengan meningkatkan reabsobsi natrium ginjal, mempengaruhi transpor kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akan menyebabkan terjadinya hipotensi akibat terjanya vasodilatasi, dengan demikian disimpulkan bahwa hipertensi pada resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor (Soegondo dan Purnamasari, β014).

βγ

tahun β005 adalah sistolik ≥ 1γ0mmHg dan diastolik ≥ 85mmHg (Effendi, β01γ dan Soegondo dan Purnamasari, β014).

Peningkatan tekanan darah pada obesitas abdominal yang disertai resitensi insulin akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif, maka jumlah SAT yang mengindikasikan seluruh pertahanan tubuh berupa antioksidan terhadap ROS yang berlebihan turun (Tangvarasittichai, β015).

Dokumen terkait