• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.3. Hubungan Faktor Ekstrinsik terhadap Kinerja Petugas

Beban kerja merupakan salah satu faktor yang cukup dominan terhadap pembentukan kinerja sesorang. Hasil penelitian menunjukkan 52,9% beban kerja petugas surveilans DBD termasuk ringan. Hal ini secara umum dapat ditunjukkan bahwa mayoritas petugas surveilans DBD menyatakan bahwa bekerja sebagai petugas surveilans bukan merupakan tangung jawab yang besar, dan laporan yang disusun tidak terlalu banyak serta masih ada waktu luang dalam melaksanakan tugas lain.

Secara proporsi menunjukkan responden dengan kinerja baik, 75,0% mempunyai beban kerja yang tinggi, dan petugas surveilans DBD dengan kinerja kurang, 88,9% mempunyai beban kerja yang rendah. Dari hasil uji statistik dengan uji chi square menunjukkan terdapat hubungan beban kerja petugas surveilans DBD dengan kinerja petugas surveilans DBD dengan nilai p=0,000. (p<0,05).

Rodahl dan Manuaba, dalam Prihatini, (2007), menyatakan bahwa beban kerja dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut :

1) Faktor Eksternal yaitu beban yang berasal dari luar tubuh pekerja, seperti :

a. Tugas-tugas yang dilakukan yang bersifat fisik seperti stasiun kerja, tata ruang, tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi kerja, sikap kerja, sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental seperti kompleksitas pekerjaan, tingkat kesulitan pekerjaan, pelatihan atau pendidikan yang diperoleh, tanggung jawab pekerjaan.

b. Organisasi kerja seperti masa waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, model struktur organisasi, pelimpahan tugas dan wewenang.

c. Lingkungan kerja adalah lingkungan kerja fisik, lingkungan kimiawi, lingkungan kerja biologis, dan lingkungan kerja psikologis. (Manuba)

2) Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh akibat dari reaksi beban kerja eksternal. Reaksi tubuh disebut strain, berat ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Faktor internal meliputi faktor somatis (Jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan), faktor psikis (motivasi, persepsi, kepercayaan. keinginan dan kepuasan. (Rodahl)

Secara konseptual beban kerja dapat ditinjau dari selisih antara energi yang tersedia pada setiap pekerja dengan energi yang diperlukan untuk mengerjakan suatu tugas dengan sukses. Konsep yang mendasari pengukuran kinerja adalah pertama

penyelesaian suatu tugas memerlukan waktu tertentu. Tingkat beban kerja diperhitungkan dari jumlah waktu yang telah dipakai untuk mengerjakan suatu tugas sampai selesai. kedua manusia hanya memiliki kapasitas energi yang terbatas. Sebagai akibatnya jika seseorang harus mengerjakan beberapa tugas pada waktu yang sama maka akan terjadi kompensasi pioritas antar tugas-tugas itu guna memperebutkan energi yang terbatas.

Petugas surveilans DBD kota Pematangsiantar mempunyai beban kerja ringan atau kurang, ini merupakan sebagai akibat dari terlalu sedikit pekerjaan yang akan diselesaikan, dibandingkan waktu yang tersedia menurut standar waktu kerja, dan ini juga akan menjadi pembangkit stres. Pekerjaan yang terlalu sedikit dibebankan setiap hari, dapat mempengaruhi beban mental atau psikologis dari tenaga kerja. Berdasarkan pendapat Munandar (2008) dapat disimpulkan bahwa beban kerja terlalu sedikit, karena tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya atau untuk mengembangkan kecakapan potensinya secara penuh. Keadaan ini menimbulkan kebosanan karena pekerjaan hanya dianggap sebagai rutinitas biasa dan akan menurunkan semangat kerja serta motivasi kerja, timbul rasa ketidakpuasan bekerja, kecenderungan meninggalkan pekerjaan, depresi, peningkatan kecemasan, mudah tersinggung dan keluhan psikosomatik.

5.3.2. Hubungan Dukungan Pimpinan terhadap Kinerja Petugas Surveilans DBD

Dukungan pimpinan merupakan suatu yang mutlak yang harus diberikan pimpinan pada bawahannya atau karyawannya, sehingga karyawan akan merasa

semangat dalam bekerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 52,9% dukungan pimpinan termasuk rendah dalam pelaksanaan program penanggulangan DBD. Bentuk dukungan tersebut bervariasi dan diharapkan mendapatkan dukungan dari kepala puskesmas. Keadaan ini dilihat dari mayoritas petugas surveilans DBD menyatakan kepala puskesmas tidak ikut serta dalam pengumpulan data kelapangan dan mayoritas juga menyatakan bahwa kepala puskesmas tidak mengevaluasi pelaksanaan surveilans DBD.

Secara proporsi menunjukkan bahwa proporsi petugas surveilans DBD dengan kinerja yang baik 62,5% mempunyai dukungan pimpinan yang tinggi, sedangkan kinerja yang kurang 77,8% petugas surveilans DBD dengan dukungan pimpinan yang rendah, dan secara statistik melalui uji chi square menunjukkan terdapat hubungan dukungan pimpinan petugas surveilans DBD dengan kinerja petugas surveilans DBD dengan nilai p=0,017. (p<0,05).

Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian Ngadarodjatun (2013) bahwa terdapat pengaruh kepemimpinan dengan tercapainya kinerja petugas immunisasi di puskesmas Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah dengan nilai

p=0,015.

Peran manajemen puncak atau pemimpin menurut Subanegara (2005) adalah dapat menanamkan dan menguatkan berbagai aspek budaya kepada bawahan melalui mekanisme: fokus perhatian; para manajer puncak mengkomunikasikan berbagai prioritas, nilai dan concerns mereka melalui pilihan-pilihan tentang apa yang mereka puji, kritik, nilai, tanya dan dukung. Reaksi terhadap krisis; bagaimana para manajer

puncak menghadapi krisis adalah signifikan dalam penanaman nilai-nilai budaya, karena kondisi emosional yang terlibat meningkatkan potensi pembelajaran berbagai asumsi dan nilai.

Sopiah (2008) menyatakan lingkungan juga bisa mempengaruhi kinerja seseorang. Situasi lingkungan yang kondusif, misalnya dukungan dari atasan, teman kerja, sarana dan prasarana yang memadai akan menciptakan kenyamanan tersendiri dan akan memacu kinerja yang baik. Sebaliknya, suasana kerja yang tidak nyaman karena sarana dan prasarana yang tidak memadai, tidak adanya dukungan dari atasan, dan banyak terjadi konflik akan memberi dampak negatif yang mengakibatkan kemerosotan pada kinerja seseorang.

Pemimpin dipandang sebagai orang yang memiliki kecakapan lebih dalam usaha untuk memotivasi orang melakukan sesuatu seperti yang diharapkan. Oleh karena itu dalam meningkatkan kinerja petugas surveilans DBD diharapkan pimpinan puskesmas dapat memberikan arahan sekaligus dapat sesekali turut serta dengan petugas kelapangan, sehingga kepala puskesmas dapat mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi petugas dilapangan. Selain itu juga pimpinan harus menilai kinerja bawahannya, sehingga yang pekerjaanya baik dapat memperoleh reward dan yang buruk mendapat peringatan. Ini perlu dilakukan supaya petugas merasa bahwa kinerjannya diperhatikan oleh atasan dan akan berusaha utuk meningkatkannya. 5.3.3. Hubungan Imbalan terhadap Kinerja Petugas Surveilans DBD

Imbalan merupakan kompensasi yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawan atas jasanya dalam melakukan tugas, kewjiban, dan tanggung jawab yang

dibebankan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 55,9% petugas surveilans DBD menyatakan bahwa imbalan yang diberikan kepala puskesmas masih rendah. Bentuk imbalan tersebut dapat berupa imbalan langsung berupa insentif, atau uang saku, dan imbalan tidak langsung seperti promosi pendidikan dan pelatihan, penghargaan secara tertulis. Secara umum fakta menunjukkan mayoritas petugas surveilans DBD menyatakan bahwa tidak ada sarana transportasi jika kelapangan bagi petugas surveilans, dan tidak ada biaya untuk pelatihan/pertemuan bagi petugas surveilans.

Secara proporsi menunjukkan bahwa proporsi petugas surveilans DBD dengan kinerja yang baik 80,0% memperoleh imbalan yang tinggi, sedangkan kinerja yang kurang 89,5% petugas surveilans DBD dengan imbalan yang rendah, dan secara statistik melalui uji chi square menunjukkan terdapat hubungan imbalan petugas surveilans DBD dengan kinerja petugas surveilans DBD dengan nilai

p=0,000. (p<0,05).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ngadarodjatun (2013) bahwa terdapat pengaruh kompensasi dengan tercapainya kinerja petugas immunisasi di puskesmas Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah dengan nilai p=0,008.

Imbalan yang diterima karyawan baik berupa honorarium maupun dalam bentuk sarana yang lain, berhubungan langsung dengan kebutuhan-kebutuhan pokok petugas. Menurut Stoner (1996) sistem imbalan dalam suatu organisasi menuntun tindakan yang secara umum mempunyai akibat paling besar terhadap motivasi dan kinerja sesorang. Tambahan gaji, bonus dan promosi dapat merupaka motivator kuat

terhadap kinerja individu. Gibson (1997) merinci imbalan menjadi 3 yaitu : 1) ekstrinsik, yang mencakup : gaji dan upah. 2) imbalan interpersonal dan 3) promosi.

Menurut Notoadmodjo ada beberapa keuntungan dengan diberikannya kompensasi pelengkap, yaitu: (1) meningkatkan semangat kerja dan kesetiaan atau loyalitas para karyawan terhadap organisasi atau perusahaan, (2) menurunkan jumlah absensi para karyawan dan adanya perputaran kerja, (3) mengurangi pengaruh organisasi karyawan terhadap kegiatan organisasi, dan (4) meminimalkan biaya-biaya kerja lembur yang berarti mengefektifkan prestasi kerja karyawan (Tohardi, 2002). Ada dua azas penting dalam program pemberian kompensasi (balas jasa) supaya balas jasa yang akan diberikan merangsang gairah dan kepuasan kerja karyawan yaitu: (1) azas adil, (2) azas layak dan wajar.

Operasional kegiatan lapangan puskesmas saat ini telah dibiayai oleh dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dalam pelaksanaannya harus ada perencanaan dari setiap program agar dana tersebut bias digunakan. Untuk kegiatan surveilans DBD dana ini bisa digunakan ke lapangan sebagai bantuan transport. Untuk meningkatkan kinerja petugas surveilans diharapkan kepala puskesmas dapat menyediakan sarana transportasi kepada petugas dengan memanfaatkan kendaraan dinas yang ada, selain itu untuk meningkatkan pengetahuan petugas surveilans dan memotivasinya perlu adanya pelatihan.

Berdasarkan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik berganda diperoleh hasil bahwa imbalan mempunyai pengaruh yang paling dominan terhadap peningkatan kinerja petugas surveilans DBD dengan nilai koefisien Exp (B) sebesar

29.085, dengan p value 0.022. Ini dapat diasumsikan bahwa apabila imbalan yang diberikan kepada petugas lebih ditingkatkan, maka berpeluang sebesar 29.085 kali terhadap perbaikan kinerja petugas surveilans DBD.

Dokumen terkait