TINJAUAN PUSTAKA
2.4 Hubungan Hipertensi dengan Parameter Biokimia
Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena alasan penyakit tertentu, hipertensi sering disebut sebagai “silent killer”. Pasien hipertensi sering tidak menyadari bahwa pasien mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti jantung, hati, otak ataupun ginjal yang menyebabkan penyakit komplikasi seperti diabetes melitus, gagal ginjal, stroke dan aterosklerosis (Yogiantoro, 2006). Perlu beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan organ salah satunya dengan pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan parameter biokimia hipertensi diataranya ALT, AST, kreatinin, ureum, total kolesterol, trigliserida, HDL, LDL, VLDL dan glukosa.
a. ALT
Enzim ini mengkatalisis pemindahan satu gugus amino antara lain alanin
Terdapat banyak di hepatosit dan konsentrasinya relatif rendah di jaringan lain. ALT lebih sensitif dibandingkan AST (Sacher dan Person, 2002).
b. AST
Enzim ini berfungsi sebagai katalisator reaksi antara asam aspartat dan asam α- ketoglutarat menjadi glutamat dan oksalasetat yang bersifat reversibel. AST terdapat lebih banyak dijantung dibandingkan di hati, selain itu enzim ini juga terdapat di otot rangka, otak dan ginjal. AST meningkat tajam ketika terjadi infark miokardium (Husadha, 1996). Enzim ini kurang spesifik untuk penyakit hati (Gaze, 2007). Saat sel hati mengalami kerusakan, enzim transaminase tersebut berada di dalam darah, sehingga dapat diukur aktivitasnya. Hal ini disebabkan karena terjadi kerusakan pada struktur dan fungsi membran sel hati, aktivitas ALT lebih dini dan lebih cepat meningkat dari aktivitas AST (Wilmana, 1995).
Peningkatan AST yang tinggi terjadi ketika nekrosis di jaringan hati sudah meluas, seringkali dikaitkan dengan infark miokard. AST terdapat di mitokondria dan sitoplasma sel, sedangkan ALT hanya terdapat di sitoplasma. Tingkat kenaikan AST dan ALT dikelompokkan menjadi tinggi, sedang dan ringan. Peningkatan ringan (1-3 kali lipat) biasanya dijumpai pada hepatitis neonatus yang disebabkan sepsis, perlemakan hati, sirosis, hepatitis steatotik non alkohol, toksisitas obat, dan beberapa gangguan hati lain, terkadang penigkatan ALT juga dijumpai pada orang normal (Thapa dan Walia, 2007).
5% kasus hipertensi telah diketahui penyebabnya, dan dapat dikelompokkan seperti: penyakit parenkim ginjal dimana setiap penyebab gagal ginjal (glomerulonefritis, pielonefritis, sebab-sebab penyumbatan) yang menyebabkan kerusakan parenkim akan cenderung menimbulkan hipertensi dan
dapat mengakibatkan kerusakan ginjal (Gray, et al., 2005). Pemeriksaan darah terhadap kadar kreatinin dan ureum dalam darah diperlukan untuk menegakkan diagnosa gagal ginjal dengan tepat (LabTechnologist, 2010).
c. Ureum
Ureum adalah satu molekul kecil yang mudah mendifusi ke dalam cairan ekstrasel, tetapi pada akhirnya ureum akan dipekatkan dalam urin (LabTechnologist, 2010). Bila ginjal rusak atau kurang baik fungsinya maka kadar ureum darah dapat meningkat dan meracuni sel-sel tubuh karena terjadi penurunan proses filtrasi glomerulus. Ureum secara khusus berguna dalam mengevaluasi fungsi glomerulus. Kondisi klinis lain yang mengakibatkan kesalahan perkiraan laju filtrasi glomerulus yang dilihat dari kadar ureum. Kondisi klinis tersebut adalah volume ekstraseluler dalam tubuh, kadar protein dalam pakan, dan penyakit liver. Keadaan dehidrasi cairan tubuh akan mengakibatkan kadar ureum meningkat. Kadar kreatinin dan ureum bukanlah satu-satunya indikator kerusakan ginjal, tetapi perlu dikonfirmasi lagi dengan histologi jaringan ginjal (Lefever, 2007).
d. Kreatinin
Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatinin disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka yang terikat secara reversibel kepada fosfat dalam bentuk fosfokreatin, yakni senyawa penyimpan energi. Reaksi keratin + fosfat ↔ fosfokreatin bersifat reversibel pada waktu energi dilepas atau diikat (LabTechnologist, 2010). Kreatinin dieskresikan seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus. Kadar kreatinin sendiri tidak dipengaruhi oleh asupan makanan atau minuman sehingga
dianggap lebih sensitif dan merupakan indikator khusus penyakit ginjal. Selain itu, sintesis kreatinin relatif konstan yang dapat menggambarkan pengeluaran kreatinin dari ginjal. Kadar kreatinin dan ureum bukanlah satu-satunya indikator kerusakan ginjal, tetapi perlu dikonfirmasi lagi dengan histologi jaringan ginjal (Lefever, 2007).
Kelebihan komposisi lemak tubuh dan distribusi lemak dalam tubuh menyebab hiperkolesterol, diabetes, penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan kanker (Goldman dan Klatz, 2007). Hipertensi adalah penyakit yang umum menyertai pada pasien diabetes (McFarlane, et al., 2005). Diabetes melitus dan hipertensi merupakan dua penyakit yang tidak dapat dipisahkan (Slamet Suyono, 1993). Orang dengan diabetes lebih rentan mengidap hipertensi daripada mereka yang tanpa diabetes (Sowers dan Sowers, 2001).
Salah satu komplikasi dari diabetes melitus adalah hiperlipidemia atau dislipidemia. Untuk mengetahuinya pasien harus diperiksa profil lipidnya. Profil lipid adalah pemeriksaan klinik yang diperoleh melalui apusan darah. Profil lipid terdiri dari kolesterol total, LDL, VLDL, HDL, dan trigliserida. Untuk pengukuran yang akurat, profil lipid sebaiknya diukur setelah puasa semalam dan juga 8 jam setelah minum kopi atau alkohol (NIDDR, 2005). Syarat untuk pemeriksaan lipid adalah pasien harus puasa 12-14 jam untuk menghindari efek pasca absorbsi trigliserida (Slamet Suyono, 2005).
e. Total Kolesterol
Kolesterol adalah komponen utama pada struktur selaput sel dan merupakan komponen utama sel otak dan saraf (Movva, 2008). Kolesterol ditemukan pada otak, hati, darah dan empedu. Kolesterol diproduksi terutama di
hati, diperoleh dari hasil sintesis di dalam hati. Bahan bakunya diperoleh dari karbohidrat, protein dan lemak (Almatsier, 2009). Hipertensi dan abnormalitas lipid sering terjadi secara bersamaan. Data-data terakhir menunjukkan bahwa tekanan darah dan hiperlipidemia diwariskan secara genetik. Penelitian pada tikus-tikus yang secara genetik memiliki hipertensi menunjukkan bahwa otot polos pembuluh darah binatang ini mengikat LDL dengan afinitas lebih besar dibanding hewan kontrol yang normotensif (Neutel dan Smith, 2001).
f. Trigliserida
Trigliserida merupakan bentuk lain dari lemak cadangan energi dan dapat menimbulkan penyakit bila jumlahnya berlebihan dalam darah (Elstein, 2005). Trigliserida dapat disintesis dari karbohidrat dan protein. Setiap kali karbohidrat yang memasuki tubuh dipakai segera sebagai energi ataupun disimpan dalam bentuk glikogen, karbohidrat yang berlebihan tersebut dengan cepat diubah menjadi trigliserida (Guyton dan Hall, 2007).
Pembentukan trigliserida terutama terjadi di dalam hati. Atom-atom karbon yang berasal dari glukosa dan asam-asam amino akan di ubah menjadi asetil KoA. Asam lemak ini melakukan esterifikasi dengan gliserol (diproduksi dalam glikolisis) dan akan dihasilkan trigliserida. Trigliserida kemudian dikeluarkan ke dalam aliran darah sebagai very low density lipoprotein (VLDL), yang akan digunakan untuk menghasilkan energi atau disimpan pada sel-sel adiposa (Almatsier, 2009).
Abnormalitas lipoprotein yang secara umum terdapat pada pasien hipertensi disertai diabetes meliputi hipertrigliseridemia dan penurunan kadar kolesterol HDL plasma. Pasien diabetes terutama diabetes tipe 2 juga
mengalami peningkatan produksi VLDL (Goldberg, 2001). Hipertrigliseridemia dan penurunan kolesterol HDL pada pasien diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh produksi lipoprotein kaya trigliserida yang berlebihan oleh hati dan penurunan aktivitas lipoprotein lipase pada jaringan lemak dan otot (Abbate dan Bunzell, 1990).
g. HDL Kolesterol
Lipoprotein densitas tinggi (HDL) berfungsi membawa kolesterol dari jaringan perifer ke hati sehingga dapat dimetabolisme lalu dibuang ke dalam kandung empedu sebagai asam empedu, sehingga penimbunan kolesterol di perifer berkurang. HDL berguna sebagai transportasi serta metabolisme ester kolesterol dalam plasma untuk membersihan kolesterol dan trigliserida (Rader dan Hobbs, 2005). Hipertensi dan abnormalitas lipid sering terjadi secara bersamaan. Pasien dengan hipertensi cenderung mempunyai dislipidemia, dengan konsentrasi trigliserida plasma yang lebih tinggi dan konsentrasi HDL yang lebih rendah dibanding orang normotensif (Reaven, et al., 1996). Hipertensi yang bersamaan dengan diabetes sering berhubungan dengan abnormalitas koagulasi sekaligus gangguan lipid. Orang dengan diabetes dan hipertensi menunjukkan sebuah karakteristik dislipidemia, rendah HDL, tinggi LDL dan VLDL (Sowers dan Sowers, 2001).
h. LDL Kolesterol
Lipoprotein densitas rendah (LDL) merupakan lipoprotein yang merupakan alat transportasi kolesterol yang utama, mengangkut sekitar 70-80 persen dari kolesterol total, yang merupakan metabolit VLDL. Fungsi LDL yaitu membawa kolesterol dari hepar ke jaringan perifer termasuk ke sel otot jantung,
otak, dan jaringan lain supaya dapat berfungsi sebagai sintesis membran plasma dan hormon steroid (Mayes dan Botham, 2003). Kelebihan LDL akan mudah melekat pada dinding sebelah dalam (intima) pembuluh darah dengan risiko penumpukan atau pengendapan kolesterol LDL pada dinding pembuluh darah arteri, yang diikuti dengan terjadinya aterosklerosis (Rader dan Hobbs, 2005). Hal tersebut mengakibatkan abnormalitas lipid baik secara kualitas maupun kuantitas meliputi hiperlipidemia (peningkatan level total kolesterol plasma, trigliserida, dan kolesterol LDL), hipokolesterolemia HDL, perubahan komposisi LDL, dan meningkatnya kerentanan terjadinya oksidasi LDL (Verges, 1999).
i. VLDL Kolesterol
Very Low Density Lipoprotein (VLDL) adalah trigliserida endogen.
Lipoprotein ini dibentuk dari asam lemak bebas di hati yang berfungsi sebagai alat transportasi lemak dari hepar ke jaringan. Trigliserida merupakan bagian terbesar dari VLDL serta ukuran dari VLDL ditentukan oleh jumlah trigliserida yang ada (Rader dan Hobbs, 2005). Trigliserida VLDL dihidrolisis oleh
lipoprotein lipase (LPL) kemudian diubah menjadi VLDL remnant (Mahley, et
al., 2003). VLDL remnant ditangkap kembali oleh hepar melalui reseptor atau dapat tetap dalam sirkulasi dan setelah diambil komponen trigliseridanya dihirolisis oleh Hepatik Lipase (HL) menjadi partikel IDL dan LDL (Rader dan Hobbs, 2005). Hipertensi yang bersamaan dengan diabetes sering berhubungan dengan abnormalitas koagulasi sekaligus gangguan lipid. Orang dengan diabetes dan hipertensi menunjukkan sebuah karakteristik dislipidemia, rendah HDL, tinggi LDL dan VLDL (Sowers dan Sowers, 2001).
Diabetes melitus adalah suatu sindroma metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia yang terjadi karena defisiensi absolut sekresi insulin atau penurunan efektivitas kerja insulin atau keduanya (Masharani, et al., 2004). Hipertensi adalah penyakit yang umum menyertai pada pasien diabetes (McFarlane, et al., 2005). Diabetes melitus dan hipertensi merupakan dua penyakit yang tidak dapat dipisahkan (Slamet Suyono, 1993). Orang dengan diabetes lebih rentan mengidap hipertensi daripada mereka yang tanpa diabetes (Sowers dan Sowers, 2001). Untuk mengetahuinya pasien harus diperiksa glukosa darahnya.
j. Glukosa
Kadar glukosa darah adalah istilah yang mengacu kepada tingka sebaiknya diukur setelah puasa semalam dan juga puasa selama 8 jam. Glukosa adalah digunakan sebagai sumber simpatis memiliki pengaruh metabolik pada pasien hipertensi, yakni menyebabkan pelepasan glukosa dari hati, meningkatkan konsentrasi lipid dan glukosa darah, dan meningkatkan proses glikogenolisis dalam hati dan otot (Guyton dan Hall, 2007).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Penyakit kardiovaskular merupakan jenis penyakit yang melibatkan jantung dan pembuluh darah. Penyakit ini masih merupakan salah satu penyebab utama kematian di dunia. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), 63% penyebab kematian didunia disebabkan oleh penyakit kronis dengan penyakit kardiovaskular sebagai penyebab utamanya. Pada Tahun 2000 American Heart
Association melaporkan terdapat satu kematian terjadi di Amerika setiap 30
detiknya karena penyakit kardiovaskular. Prevalensi dan insidensi penyakit kardiovaskular di Indonesia masih cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Indonesia, kematian akibat penyakit kardiovaskular, tertinggi pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu 2,0% sampai 3,6%, pada tahun 2014, prevalensi kematian akibat penyakit kardiovaskular di Indonesia mencapai 74% (Riskesdas, 2014).
Penyakit yang menunjukkan case fatality rate (CFR) akibat penyakit kardiovaskular tertinggi yaitu gangguan hantaran dan aritmia jantung sebesar 13,95%. CFR yang paling rendah yaitu penyakit jantung iskemik lainnya sebesar 5,99%, sedangkan infark miokard akut memiliki CFR sebesar 13,31%. Banyak faktor risiko yang menjadi penyebab terjadinya penyakit kardiovaskular yaitu hipertensi, peningkatan kadar lipid serum, merokok, diabetes, gagal ginjal, kerusakan hepar, aterosklerosis dan jantung koroner. Dari faktor-faktor risiko diatas, hipertensi menjadi faktor risiko utama dari penyakit kardiovaskular.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara kronik dalam jangka waktu lama. Hipertensi salah satu penyakit pembunuh diam-diam (silent killer) yang dikenal sebagai penyakit kardiovaskular. Meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner, gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal (Depkes RI, 2006). Banyak faktor risiko yang dapat mempengaruhi naiknya tekanan darah, salah satu faktor tersebut adalah asupan garam yang berlebih. Naiknya tekanan darah akibat asupan garam berlebih karena kandungan ion natrium dalam garam mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah bertambah dan meningkatkan tekanan darah (Tjay dan Rahardja, 2007).
Konsumsi garam di dunia yang dianjurkan oleh WHO pada masyarakat secara umum kurang dari 5 gram per hari (WHO, 2012). Konsumsi garam yang tinggi dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah meningkatkan aktivitas renin angiotensin, menurunkan kemampuan vasodilatasi oleh endotelial pembuluh darah, meningkatkan aktivitas saraf simpatis, dan meningkatkan volume cairan ekstrasel (Lailani, 2013).
Kelebihan garam di dalam cairan ekstrasel akan meningkatkan osmolaritas cairan keadaan ini selanjutnya akan merangsang pusat haus diotak yang menyebabkan keinginan minum lebih banyak air untuk mengembalikan konsentrasi garam ekstrasel kembali normal. Kenaikan osmolaritas yang disebabkan oleh kelebihan garam dalam cairan ekstrasel juga merangsang mekanisme sekresi kelenjar hipotalamus hipofise posterior untuk mensekresi lebih banyak hormon antidiuretik. Hormon antidiuretik kemudian menyebabkan ginjal
mereabsorbsi air dalam jumlah besar dari cairan tubulus ginjal, dengan demikian mengurangi volume urin yang dieksresikan tapi meningkatkan volume cairan ekstrasel (Siska, 2011).
Pencegahan hipertensi seringkali memerlukan obat antihipertensi untuk menormalkan tekanan darah. Obat-obat kimia antihipertensi dipasaran tergolong mahal, sementara prinsipnya obat antihipertensi harus diminum seumur hidup agar tekanan darah pasien dapat dikontrol. Permasalahan harga obat kimia dapat diminimalisir dengan lebih memaksimalkan penggunaan obat herbal. Banyak pengobatan tradisional herbal yang telah direkomendasikan sebagai alternatif untuk mengobati hipertensi. Kebanyakan tumbuhan yang telah ditemukan mengandung beberapa senyawa seperti alkaloid, terpenoid, flavonoid glikosida dan saponin. Tetapi baru sedikit yang telah diketahui aksi yang spesifik dari tumbuhan tersebut dalam pengobatan hipertensi (Loew dan Kaszkin, 2002).
Buah inggir-inggir merupakan salah satu tanaman obat yang dimanfaatkan sebagai obat antihipertensi karena termasuk genus solanum yang telah terbukti memiliki efek antihipertensi, dan diketahui bahwa tanaman ini mengandung banyak kandungan bioflavonoid dan monoterpen (Iranloye, 2011). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui aktivitas farmakologi buah inggir-inggir antara lain sebagai antihipertensi (Aminunsyah, 2014), diuretik (Sinaga, 2014), antihiperurisemia (Marpaung, 2016), antikanker (Wastuti, 2015), antidiabetes (Thongpukdee, et al., 2010) dan hepatoprotektif (Ernawati, 2015).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis perlu melakukan penelitian mengenai efek ekstrak etanol buah inggir-inggir terhadap parameter biokimia pada tikus jantan yang diinduksi NaCl 2,5% dan metilprednisolon untuk melihat
kemampuan ekstrak etanol buah inggir-inggir dalam mempengaruhi parameter biokimia tikus yang diukur.