• Tidak ada hasil yang ditemukan

Per tanggal 31 Desember 2012, modal ditempatkan dan disetor Perusahaan terbagi atas 1 saham Seri A dan 5.433.933.499 saham Seri B, masing-masing dengan nilai nominal Rp100. Pemerintah, melalui Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara, memiliki 1 saham Seri A dan memiliki hak suara istimewa, serta memiliki 776.624.999 saham Seri B yang mewakili 14,29% saham Perusahaan. Ooredoo Asia memiliki sebesar 3.031.528.000 saham Seri B dan 500.528.600 saham Seri B yang mendasari kepemilikan saham di dalam ADS, atau sebesar 3.532.056.600 lembar saham Seri B yang mewakili 65,0% saham Perusahaan. SKAGEN AS memiliki 196.662.750 saham Seri B dan 102.719.750 saham Seri B yang mendasari kepemilikan saham di dalam ADS, atau sebesar 299.382.400 lembar saham Seri B yang mewakili 5,51% saham Perusahaan. Per tanggal 31 Desember 2012, sebanyak 34.894.850 saham biasa Perusahaan yang mendasari kepemilikan saham Perusahaan di dalam ADS, (tidak termasuk saham-saham yang dimiliki oleh Ooredoo Asia dan SKAGEN) mewakili secara keseluruhan sekitar 0,60% dari seluruh saham Perusahaan yang ditempatkan, dan 790.974.651 saham Seri B (tidak termasuk yang dimiliki oleh Qtel Asia dan SKAGEN) yang mewakili 14,60% saham Perusahaan yang dimiliki oleh publik. Oleh karena saham Seri B dan ADS Perusahaan banyak dimiliki oleh pialang dan lembaga-lembaga lainnya atas nama pemegang efek, kami yakin bahwa jumlah pemegang saham biasa Perusahaan lebih besar. Tabel berikut ini memperlihatkan informasi per tanggal 31 Desember 2012 tentang (i) pihak-pihak yang kami ketahui memiliki lebih dari 5,0% dari saham biasa Perusahaan (baik secara langsung maupung tidak langsung melalui American Depository Shares) dan (ii) jumlah saham biasa Perusahaan yang dimiliki oleh anggota Dewan Komisaris dan Direksi:

Nama Kelas

Nama Pemegang Saham

Jumlah Saham Yang Dimiliki

Persentase dari Jumlah Kelas Saham yang

ditempatkan Seri A Pemerintah ... 1 100,00% Seri B Ooredoo Asia(1) ... 3.532.056.600 65,00% Seri B Pemerintah ... 776.624.999 14,29% Seri B SKAGEN AS... 299.382.400 5,51% Seri B Fadzri Sentosa ... 10.000 0,00*

* Kurang dari 1,0%

(1) Qtel Asia secara keseluruhan dimiliki oleh Qtel. Pemerintah

Sebelum dilakukannya penawaran umum saham perdana Perusahaan di tahun 1994, Pemerintah memiliki 100% saham biasa yang ditempatkan oleh Perusahaan. Sejak awal tahun 2002, Pemerintah memiliki 65,0% dari saham biasa yang ditempatkan oleh Perusahaan. Berdasarkan kepemilikan saham tersebut, Pemerintah mengendalikan Perusahaan dan memiliki kekuasaan untuk memilih seluruh anggota Dewan Komisaris dan Direksi Perusahaan dan untuk menentukan semua tindakan yang memerlukan persetujuan dari para pemegang saham. Selain itu, program pensiun, dana asuransi dan investor Indonesia lainnya yang dimiliki atau dikendalikan oleh Pemerintah, baik secara langsung maupun tidak langsung, membeli sebagian saham biasa pada penawaran saham perdana Perusahaan.

Pada tanggal 16 Mei 2002, Pemerintah menjual 8,1% dari saham biasa yang ditempatkan oleh Perusahaan melalui global tender yang dipercepat, yang mengurangi kepemilikan saham Pemerintah menjadi 56,9%. Pada tanggal 20 Desember 2002, Pemerintah menjual 41,9% dari saham biasa yang ditempatkan oleh Perusahaan kepada ICLM (sebagaimana diuraikan di bawah ini), yang kembali mengurangi kepemilikan sahamnya menjadi 15,0%. Walaupun kepemilikan Pemerintah telah berkurang, Pemerintah tetap memiliki pengaruh yang signifikan atas Perusahaan melalui kepemilikan satu saham Seri A.

Sebagai pemegang 1 saham Seri A, Pemerintah memiliki hak suara istimewa. Hak-hak dan batasan-batasan material yang berlaku atas saham biasa juga berlaku atas 1 saham Seri A Perusahaan, kecuali bahwa Pemerintah tidak dapat mengalihkan hak atas saham Seri A. Selain itu, melalui saham Seri A, Pemerintah memiliki hak veto berkenaan dengan tindakan: (i) peningkatan modal Perusahaan tanpa memberikan hak untuk memesan efek terlebih dahulu; (ii) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan yang melibatkan Perusahaan; (iii) pembubaran, likuidasi dan kepailitan; (iv) perubahan Anggaran Dasar Perusahaan sehubungan dengan maksud dan tujuan Perusahaan dan hak veto pemegang saham Seri A.

ICLM dan Ooredoo Asia

Pada tanggal 15 Desember 2002, ICLM, yang pada waktu itu merupakan anak perusahaan dari STT, menandatangani perjanjian jual beli saham (Share Purchase Agreement) dan perjanjian antara pemegang saham (Shareholders Agreement) dengan Pemerintah, yang bertindak melalui Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara, dalam kapasitasnya sebagai pemegang saham Perusahaan. STT seluruhnya dimiliki oleh ST Telemedia, yang dimiliki secara tidak langsung oleh Temasek Holdings (Private) Limited. Berdasarkan perjanjian jual beli saham, Pemerintah menjual kepada ICLM sebanyak 434.250.000 saham Seri B yang merupakan 41,9% dari seluruh saham Seri B yang ditempatkan oleh Perusahaan. Setelah dilaksanakannya transaksi jual beli saham ini, Pemerintah memiliki 155.324.999 saham Seri B, yang merupakan 15,0% dari seluruh saham Seri B yang ditempatkan oleh Perusahaan. Per tanggal 4 Mei 2006, ICLM memiliki 2.171.250.000 (39,96%) dari saham Seri B di Perusahaan, Pemerintah memiliki 1 saham Seri A dan 776.624.999 (14,29%) dari saham Seri B di Perusahaan dan ICLS, sebagai afiliasi dari ICLM, memiliki 46.340.000 (0,85%) dari saham Seri B di Perusahaan.

Pada tanggal 17 Januari 2007, ICLM memberitahukan kepada Perusahaan mengenai rencana Qtel untuk melakukan investasi modal sekitar 25,0% di AMH, yang pada saat itu dimiliki sepenuhnya oleh STT, yang mana kami memahami bahwa transaksi berakhir pada tanggal 1 Maret 2007. Setelah penutupan transaksi, STT secara efektif mengendalikan sekitar 75,0% dari AMH, yang secara langsung memiliki ICLM dan ICLS.

Pada tanggal 22 Juni 2008, setelah melakukan negosiasi dengan ST Telemedia, Qtel membeli semua saham yang diterbitkan dan ditempatkan masing-masing dari ICLM dan ICLS. Sesuai dengan perjanjian jual beli saham, Qtel, melalui anak perusahaannya Qatar South East Asia Holding S.P.C., membeli seluruh saham ICLM dan ICLS milik AMH, yang 75,0% sahamnya dimiliki secara tidak langsung oleh STT dan 25,0% dimiliki secara tidak langsung oleh Qtel. Setelah akuisisi ini, sesuai dengan persyaratan dalam hukum Indonesia, Qtel melakukan penawaran tender wajib untuk membeli sampai dengan 24,19% dari saham seri B kami (termasuk Saham Seri B yang berdasarkan ADS) dan saat ini memiliki saham sebesar 65,0% dari saham Perusahaan. Pada 4 Juni 2009, ICLM menjual kepemilikan sahamnya di Indosat sebesar 39,96% kepada ICLS dan berdasarkan penjualan tersebut, ICLS menjadi pemilik yang sah dari 3.532.056.600 saham yang mewakili 65% saham Indosat. Pada tanggal 11 September 2009, ICLS mengubah namanya menjadi Qatar Telecom Asia (Qtel Asia) Pte. Ltd. dan pada tanggal 7 Maret 2013, Qatar Telecom (Qtel Asia) Pte. Ltd. mengganti namanya menjadi Ooredoo Asia Pte. Ltd. Qtel dimiliki 68% oleh pemerintah Qatar.

Qtel menyediakan ahli keuangan, pengadaan, hukum, operasional, pembangunan jaringan dan pemeliharaan, pemasaran, sumber daya manusia, pengembangan bisnis dan dukungan teknis yang signifikan kepada Perusahaan. Qtel memiliki perwakilan manajemen di dalam Perusahaan dan secara aktif berpartisipasi dalam perumusan strategi bisnis. Kami bermaksud untuk mengambil keuntungan dari sinergi yang sudah ada dan diciptakan oleh keanggotaan dalam kelompok Qtel, dengan demikian meningkatkan posisi kami di pasar telekomunikasi Indonesia.

Pada bulan September 2010, kami diinformasikan oleh SKAGEN AS, suatu perusahaan investasi Norwegia dengan sebelas reksadana di bawah manajemennya, yang melalui beberapa pembelian ADS kami, SKAGEN AS memiliki lebih dari 5% saham kami. Per tanggal 31 Desember 2012, SKAGEN AS memiliki sekitar 5,51% saham kami.

Transaksi-Transaksi Dengan Pihak Terkait

Kami adalah pihak dari beberapa perjanjian dan mengadakan transaksi-transaksi dengan sejumlah perusahaan yang terkait dengan kami, termasuk perusahaan usaha patungan, koperasi dan yayasan, dan juga dengan pemegang saham pengendali, yaitu Pemerintah dan Ooredoo Asia, dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan atau dimiliki atau dikendalikan oleh Pemerintah dan Ooredoo Asia. Per 31 Desember 2012, beberapa transaksi utama meliputi kas dan setara kas sebesar Rp1.534,1 miliar (US$158,6 juta) dalam rekening bank-bank milik pemerintah, pendapatan usaha dari Telkom mencapai Rp1.043,6 miliar (US$107,9 juta) dan hutang jangka pendek kepada Bank Mandiri sebesar Rp299,5 miliar (US$31,0 juta). Untuk informasi lebih lanjut mengenai tingkat bunga sehubungan dengan pinjaman terhutang Perusahaan, lihat “Butir 5: Tinjauan dan Prospek Usaha dan Keuangan— Likuiditas dan Sumber Permodalan – Arus Kas - Hutang Pokok.” Selain itu, Perusahaan juga merupakan pihak dari berbagai perjanjian dengan badan usaha milik negara, seperti perusahaan asuransi, bank dan berbagai pemasok. Sebagai bahan diskusi untuk beberapa transaksi signifikan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dapat dilihat di Catatan 30 dari Laporan Keuangan Konsolidasi kami yang dimasukkan di dalam laporan tahunan ini.

Butir 8: INFORMASI KEUANGAN

Laporan Keuangan Konsolidasi dan Informasi Keuangan Lainnya

Lihat “Butir 17: Laporan Keuangan” untuk laporan keuangan Perusahaan yang telah diaudit yang dilaporkan sebagai bagian dari laporan tahunan ini. Tidak ada perubahan signifikan yang terjadi sejak tanggal laporan keuangan konsolidasi Perusahaan tersebut. Proses Perkara Hukum

Dari waktu ke waktu, kami terlibat di dalam proses perkara hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul dari pelaksanaan bisnis Perusahaan. Saat ini, kami tidak terlibat, dan belum terlibat di dalam, proses perkara pengadilan ataupun arbitrase yang menurut kami dapat memberikan dampak material terhadap kondisi keuangan atau hasil usaha kami selain dari yang telah diungkapkan di dalam laporan tahunan ini.

Pada tanggal 5 Mei 2004, Perusahaan menerima putusan Mahkamah Agung No. 1610K/PDT/2003 yang memenangkan Primer Koperasi Pegawai Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata (dikenal sebagai Primkopparseni), berkenaan dengan perselisihan transaksi valuta asing. Putusan Mahkamah Agung mengharuskan kami untuk membayar Rp13,7 miliar ditambah 6,0% bunga per tahun sejak tanggal 16 Februari 1998 sampai dengan tanggal pelunasan dan pada tanggal 22 Desember 2004, Perusahaan telah memenuhi putusan dengan melakukan pembayaran sebesar Rp19,3 miliar kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lebih lanjut, pada bulan Januari 2005, kami mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan Mahkamah Agung. Sampai dengan tanggal 24 April 2013, Mahkamah Agung belum mengeluarkan putusan untuk peninjauan kembali tersebut.

Untuk menutup pengeluaran yang telah dibayarkan kepada Primkopparseni, Perusahaan kemudian mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menuntut bahwa rapat anggota Primkopparseni dimana di dalamnya para anggota memutuskan untuk memperkarakan Perusahaan adalah tidak sah. Pada tanggal 19 Januari 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan bahwa rapat anggota tersebut adalah tidak sah, tetapi tidak mewajibkan Primkopparseni untuk memberikan kompensasi kepada Perusahaan, telah mendorong Perusahaan dan Primkopparseni untuk mengajukan banding atas putusan tersebut kepada Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 1 Februari 2005. Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusannya No. 483 / PDT / 2005 / PT.DKI memenangkan kami dengan mengeluarkan putusan bahwa rapat tersebut tidak sah, tetapi di sisi lain, tidak mewajibkan Primkopparseni untuk memberikan kompensasi kepada kami. Kami dan Primkopparseni mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk memohon ganti rugi atas biaya hukum dan atas pencemaran nama baik kami, tetapi Mahkamah Agung menolak permohonan kami pada tanggal 13 Agustus 2008 melalui putusannya No. 229/K/PDT/2008. Dikarenakan kami tidak mengambil tindakan hukum lebih lanjut terkait dengan putusan Mahkamah Agung tersebut, maka putusan tersebut menjadi berkekuatan hukum tetap.

Pada tanggal 1 November 2007, KPPU mengeluarkan putusan terkait investigasi awal yang melibatkan kami dan delapan perusahaan telekomunikasi lainnya terkait dugaan penetapan harga untuk jasa SMS dan pelanggaran Pasal 5 dari Undang-Undang Anti Persaingan Usaha. Pada tanggal 18 Juni 2008, KPPU menetapkan bahwa Telkom, Telkomsel, XL, Bakrie Telecom, Mobile-8, dan Smart Telecom (sejak Maret 2011, Mobile-8 telah mengubah namanya menjadi PT Smartfren Telecom Tbk) telah secara bersama-sama melanggar Pasal 5 Undang-Undang Anti Persaingan Usaha. Mobile-8 mengajukan banding terhadap putusan ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana Telkomsel, XL, Telkom, Indosat, Hutchison, Bakrie Telecom, Smart Telecom, Natrindo dipanggil sebagai turut tergugat di dalam persidangan, sedangkan Telkomsel mengajukan banding di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Walaupun KPPU mengeluarkan putusan yang menguntungkan kami terkait dengan dugaan penetapan harga SMS, kami tidak dapat

menjamin bahwa Pengadilan Negeri akan menguatkan putusan KPPU. Pada tahun 2011, Mahkamah Agung menerbitkan putusan menunjuk jurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa keberatan yang disampaikan atas putusan KPPU. Pengadilan Negeri akan mempertimbangan keberatan terhadap putusan KPPU berdasarkan pemeriksaan kembali atas putusan KPPU dan berkas kasus yang disampaikan oleh KPPU.

Pada tanggal 13 Januari 2012, mantan Direktur Utama IM2, anak perusahaan kami, dituduh melakukan korupsi oleh Kantor Kejaksaan Agung (“Kejagung”). Menurut Kejagung, terdapat kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun yang disebabkan oleh adanya perjanjian antara IM2 dan Perusahaan, yang terkait dengan dugaan adanya penggunaan secara ilegal oleh IM2 atas pita frekuensi 2,1 GHz milik Perusahaan. Kemudian, pada tanggal 24 Februari 2012, Menteri Komunikasi dan Informatika (“Menkominfo”) menerbitkan surat No. 65/M.KOMINFO/02/2012 yang menyatakan bahwa tidak terdapat pelanggaran hukum, kejahatan yang dilakukan, dan kerugian negara yang ditimbulkan dari perjanjian antara Perusahaan dan IM2. Lebih lanjut, Menkominfo juga mengirim surat kepada Kejagung secara langsung yang menyatakan bahwa baik Perusahaan maupun IM2 tidak melanggar peraturan apapun dan kerja sama antara Perusahaan dan IM2 adalah sah berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta juga merupakan praktek umum dalam industri telekomunikasi. Selain itu, BRTI juga telah menyatakan kepada publik bahwa IM2 tidak melanggar undang-undang atau peraturan apapun yang berlaku. Namun demikian, Kejagung mengabaikan surat-surat dari Menkominfo tersebut dan pada tanggal 30 November 2012 menuduh mantan Direktur Utama Perusahaan untuk dugaan korupsi yang serupa. Kemudian, pada tanggal 3 Januari 2013, Kejagung juga mengajukan gugatan korupsi terhadap IM2 dan Perusahaan sebagai terdakwa korporasi untuk dugaan penggunaan secara ilegal atas pita frekuensi 2,1 GHz milik Perusahaan tanpa izin dari Pemerintah. IM2, Indosat dan masing-masing Direktur Utama mereka berusaha untuk membatalkan gugatan yang telah diajukan terhadap mereka dengan berargumen bahwa tuduhan Kejagung berdasarkan Undang-Undang Korupsi adalah tidak berdasar; tindakan pelanggaran (jika ada) dalam industri telekomunikasi harus tunduk kepada Undang-Undang Telekomunikasi, termasuk sanksi-sanksi terkait. IM2 dan Perusahaan juga berusaha untuk membatalkan gugatan terhadap mantan Direktur Utama mereka dengan berargumen bahwa perjanjian antara IM2 dan Perusahaan adalah perjanjian antara dua perusahaan dan ditandatangani sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, termasuk peraturan yang berlaku di bidang telekomunikasi dan pendapatan negara bukan pajak. Perusahaan dan IM2 juga menyatakan bahwa IM2 menggunakan jaringan telekomunikasi seluler Perusahaan secara sah, dan tidak menggunakan pita frekuensi 2,1 GHz terlepas dari jaringan telekomunikasi seluler secara tidak sah, sebagaimana yang dituduhkan. Proses hukum pengadilan terhadap mantan Direktur Utama IM2 dimulai di Pengadilan Korupsi pada Januari 2013. Sebagai salah satu usaha untuk menyanggah dugaan korupsi, mantan Direktur Utama IM2, bersama-sama dengan IM2 dan Perusahaan, telah berusaha mencari pembatalan atas penetapan kerugian negara oleh BPKP ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada tanggal 7 Februari 2013, Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta telah memberikan putusan sela yang menangguhkan keputusan BPKP sampai adanya putusan final atas permohonan pembatalan tersebut. Sampai dengan tanggal 24 April 2013, Pengadilan Korupsi telah memeriksa 17 saksi (termasuk ahli) dan hampir seluruhnya memberi kesaksian bahwa perjanjian kerjasama antara IM2 dan Perusahaan tidak melanggar peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak terdapat penggunaan bersama atas pita frekuensi 2,1 GHz sebagaimana yang dituduhkan (hanya 2 ahli yang memberikan kesaksian bahwa perjanjian tersebut adalah tidak sah).

Pada pemeriksaan pajak terhadap pembayaran pajak kami untuk tahun 2004 dan 2005 oleh Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik Negara (”KPP BUMN”), pada tanggal 4 Desember 2006 dan 27 Maret 2007, kami diberitahu bahwa pemotongan pajak penghasilan untuk bunga pinjaman antar perusahaan (intercompany loans) yang dibayarkan kepada Indosat Finance Company B.V. dan Indosat International Finance Company B.V. sehubungan dengan guaranteed notes jatuh tempo tahun 2010 Perusahaan dengan jumlah pokok sebesar US$300,0 juta dan guaranteed notes jatuh tempo tahun 2012 dengan jumlah pokok sebesar US$250,0 juta adalah 20,0%, bukan 10,0%. Berdasarkan opini dari penasihat pajak kami dan pemahaman kami atas hukum Indonesia, kami berpendapat bahwa perhitungan awal kami atas pemotongan pajak adalah benar dan kami telah mengajukan keberatan kepada KPP BUMN terhadap pemeriksaan tersebut. Pada tanggal 18 Februari 2008 dan 4 Juni 2008, kami menerima Surat Keputusan dari Direktorat Pajak yang menolak keberatan kami terhadap pembayaran pajak tahun 2004 dan 2005, masing-masing sebesar Rp60.493 juta dan Rp82.126 juta. Pada tanggal 14 Mei 2008 dan 2 September 2008, kami mengajukan surat banding kepada Pengadilan Pajak tentang keberatan Perusahaan terhadap revisi pajak penghasilan pasal 26 untuk tahun pajak 2004 dan 2005. Pada tanggal 25 Mei 2010, Perusahaan menerima Surat Keputusan dari Pengadilan Pajak yang menolak keberatan Perusahaan terhadap revisi pajak penghasilan pasal 26 untuk tahun 2004 dan 2005. Perusahaan membebankan koreksi pajak ke dalam usaha periode berjalan, yang ditunjukkan sebagai bagian dari ”Pendapatan (beban) lain-lain – Lain-Lain – Bersih”.

Saat ini, kami juga mempermasalahkan kelebihan pembayaran pajak untuk tahun buku 2005 kepada Kantor Pajak. Pada tanggal 27 Maret 2007, kami menerima surat dari Kantor Pajak atas kelebihan pembayaran pajak yang mengindikasikan bahwa Direktorat Jenderal Pajak menyetujui pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak penghasilan badan di tahun 2005 sebesar Rp135.766 juta dimana jumlah tersebut lebih rendah daripada Rp176.645 juta yang kami ketahui. Kami mengajukan keberatan kepada Kantor Pajak pada tanggal 22 Juni 2007 dan menggugat adanya perbedaan jumlah yang bernilai sampai Rp40.879 juta. Pada tanggal 27 Mei 2008, kami menerima Surat Keputusan dari Direktorat Jenderal Pajak yang menerima sebagian keberatan kami, tetapi hanya berjumlah sampai Rp2.725 juta. Pada tanggal 21 Agustus 2008, Perusahaan mengajukan surat banding kepada Pengadilan Pajak mengenai keberatan Perusahaan atas sisa pajak penghasilan badan tahun 2005. Pada tanggal 29 Oktober 2010, Perusahaan menerima Surat Keputusan dari Pengadilan Pajak yang menerima keberatan Perusahaan terhadap koreksi pajak penghasilan badan untuk tahun 2005

sebesar Rp38.155 juta, yang dikompensasikan dengan kurang bayar pajak penghasilan pasal 26 Perusahaan untuk tahun 2008 dan 2009 berdasarkan Surat Tagihan Pajak yang diterima oleh Perusahaan pada tanggal 17 September 2010. Pada tanggal 24 Februari 2011, kami menerima salinan memori permohonan peninjauan kembali dari Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung atas Surat Keputusan Pengadilan Pajak tertanggal 29 Oktober 2010 terkait pajak penghasilan perusahaan kami di tahun 2005. Pada tanggal 25 Maret 2011, Perusahaan mengajukan kontra memori untuk permintaan pertimbangan kembali kepada Mahkamah Agung. Per 24 April 2013, Perusahaan belum menerima putusan apapun dari Mahkamah Agung terkait permintaan tersebut.

Pada tanggal 24 Desember 2008, kami menerima sebuah Surat Keputusan dari Direktorat Jenderal Pajak yang meningkatkan jumlah lebih bayar sebesar Rp84.650 juta, dalam surat kelebihan pembayaran pajak untuk tahun pajak 2004, dimana jumlah tersebut lebih rendah daripada jumlah yang dinyatakan dalam Surat Keputusan sebelumnya yang kami terima pada tanggal 4 Juli 2008. Pada tanggal 21 Januari 2009, kami telah mengajukan banding terhadap perbedaan jumlah kelebihan pembayaran pajak selama tahun 2004. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal 4 Desember 2009, Pengadilan Pajak telah membatalkan Surat Ketetapan Direktorat Jenderal Pajak No. KEP-539/WPJ.19/BD.05/2008, tanggal 24 Desember 2008. Pada tanggal 17 Maret 2010, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan putusan yang mendukung kedudukan Perusahaan, yang memberitahukan bahwa kelebihan bayar pajak untuk fiskal tahun 2004 seharusnya sebesar Rp126.403 juta bukanlah Rp84.650 juta, yang mana memberikan hak kepada Perusahaan untuk mendapatkan pengembalian dari perbedaan jumlah tersebut, dengan jumlah yang bernilai sampai Rp41.753 juta. Selanjutnya Perusahaan menerima pembayaran dari pengembalian kelebihan bayar pajak sebesar Rp41.753 juta dari Direktorat Jenderal Pajak pada tanggal 13 April 2010. Pada tanggal 5 Maret 2012, Perusahaan mendapatkan Surat Keputusan Pengadilan Pajak yang menyetujui permintaan dari Perusahaan atas kompensasi bunga yang berkaitan dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tahun pajak 2004 sebesar Rp60.674 juta. Berdasarkan evaluasi Perusahaan, realisasi dari pendapatan yang terkait dengan kompensasi bunga hanya merupakan suatu kemungkinan, dan bukan sesuatu yang pasti. Oleh karena itu, kompensasi bunga tidak diakui dalam laporan keuangan Perusahaan. Pada tanggal 29 Juni 2012, Perusahaan menerima salinan memori permohonan peninjauan kembali dari Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung atas Surat Keputusan Pengadilan Pajak tanggal 5 Maret 2012 atas kompensasi bunga yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan lebih bayar pajak untuk tahun fiskal 2004. Pada tanggal 27 Juli 2012, Perusahaan mengajukan kontra-memori untuk permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Per 24 April 2013, Perusahaan belum menerima putusan dari Mahkamah Agung atas permohonan tersebut.

Pada tanggal 8 Juni 2009, Perusahaan menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (”Surat Ketetapan”) dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk pajak penghasilan badan Satelindo untuk tahun pajak 2002 sebesar Rp105.809 juta (termasuk denda dan bunga). Perusahaan menerima suatu bagian dari revisi terhadap pajak penghasilan badan tahun 2002 sebesar Rp2.646 juta yang dibebankan ke dalam usaha periode berjalan tahun 2009. Berdasarkan Hukum Perpajakan Indonesia, wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak kurang bayar dengan jumlah sebagaimana dicantumkan dalam Surat Ketetapan dalam waktu satu bulan sejak tanggal Surat Ketetapan. Wajib pajak dapat menuntut kembali pajak yang dibayarkan melalui proses keberatan atau banding. Pada tanggal 28 Agustus 2009, Perusahaan mengajukan surat keberatan kepada Kantor Pajak mengenai sisa revisi pajak penghasilan badan Satelindo untuk tahun 2002. Pada tanggal 15 Juli 2010, Perusahaan menerima Surat Keputusan No. KEP-357/WPJ.19/BD.05/2010 dari DJP yang menolak keberatan Perusahaan atas revisi pajak penghasilan badan Satelindo untuk tahun pajak 2002. Pada tanggal 14 Oktober 2010, Perusahaan mengajukan surat banding kepada Pengadilan Pajak mengenai keberatan Perusahaan atas revisi pajak penghasilan badan Satelindo untuk tahun pajak 2002. Pada tanggal 25 Juni 2012, Perusahaan menerima keputusan dari Pengadilan Pajak yang menolak keberatan Perusahaan atas revisi pajak penghasilan badan Satelindo untuk tahun pajak 2002. Perusahaan membebankan restitusi pajak terkait sebesar Rp103.163 juta pada usaha tahun berjalan sebagai bagian dari “Beban Pajak Penghasilan Saat Ini”. Pada tanggal 8 Juni 2009, Perusahaan juga menerima Surat Ketetapan dari DJP untuk pajak penghasilan pasal 26 Satelindo untuk tahun 2002 dan 2003, masing-masing sebesar Rp51.546 juta dan Rp40.307 juta (termasuk denda dan bunga). Pada tanggal 27 Agustus 2009, Perusahaan mengajukan surat keberatan kepada Kantor Pajak atas revisi pajak penghasilan pasal 26 Satelindo untuk tahun 2002 dan 2003. Pada tanggal 16 Juli 2010, Perusahaan menerima Surat Keputusan No. KEP-367/WPJ.19/BD.05/2010 dan KEP-368/WPJ.19/BD.05/2010 dari DJP yang menolak keberatan Perusahaan atas revisi pajak penghasilan pasal 26 Satelindo untuk

Dokumen terkait