• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Karakteristik individu dengan keluhan sick building syndrome

C. Faktor yang berhubungan dengan Keluhan sick building syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service

2. Hubungan Karakteristik individu dengan keluhan sick building syndrome

pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016

Dalam penelitian ini, karakteristik responden yang diteliti yaitu jenis kelamin, umur, lama kerja, riwayat alergi dan riwayat atopi. Berikut dibawah ini pembahasan hubungan karakteristik responden (jenis kelamin, umur, lama kerja, riwayat alergi dan riwayat atopi) dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja gedung PT Pelita Air Service tahun 2016.

a. Hubungan Jenis Kelamin dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016

Pada tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden berjenis kelamin perempuan yang mengalami keluhan sick building syndrome yaitu 16 responden (61.5%), dan responden berjenis kelamin laki-laki yang mengalami keluhan sick building syndrome yaitu 36 responden (48.6%). Pada penelitian ini berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan keluhan sick building syndrome. Sejalan dengan penelitian Vafaeenasab dkk (2015) dan penelitian Lim dkk (2015) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan keluhan SBS (Lim dkk., 2015; Vafaeenasab dkk., 2015). Tetapi, beberapa penelitian lain melaporkan bahwa prevalensi SBS lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki (Laila, 2011; Sahlberg dkk., 2012), dalam beberapa kasus penelitian, prevalensi SBS tidak ada perbedaan pada kedua jenis kelamin responden.

Secara teori perempuan lebih sering melaporkan adanya gejala daripada laki-laki karena perempuan lebih sensitif dan peka merespon gejala, hal ini juga karena adanya perbedaan biologis (Sun dkk., 2013). Namun, dalam penelitian ini justru laki-laki yang relatif lebih banyak menderita SBS. Hal tersebut dapat disebabkan karena bias, akibat hanya 26% responden perempuan yang ikut dalam penelitian sehingga persebaran variasi kurang bisa diprediksi hal ini menyebabkan tidak terdapat perbedaan keluhan SBS antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan. Penyebab keluhan sick building syndrome banyak terjadi pada responden laki-laki mungkin karena responden laki-laki memiliki psikososial kurang baik atau memiliki perilaku merokok, sehingga pada penelitian ini lebih banyak responden laki-laki yang mengalami keluhan sick building syndrome. Tatapi responden perempuan yang memiliki riwayat atopi akan lebih berisiko mengalami keluhan sick building syndrome dibandingkan dengan responden laki-laki.

Meskipun tidak terdapat hubungan yang signifikan jenis kelamin dengan keluhan sick building syndrome. Sebaiknya para pekerja harus selalu menjaga kesehatan dengan cara mengatur waktu yang baik dalam menyelesaikan tugas dan mengontrol waktu antara bekerja dan istirahat, khususnya bagi pekerjan perempuan yang memiliki risiko lebih tinggi, sehingga diharapkan dengan melakukan pengendalian ini, keluhan sick building syndrome dapat dikurangi dan dicegah.

b. Hubungan Riwayat Alergi dan Riwayat Atopi dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016

Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki riwayat alergi dan mengalami keluhan SBS yaitu 13 responden (68.4%) dan responden yang tidak memiliki riwayat alergi dan mengalami keluhan SBS yaitu 39 responden (48.1%). Berdasarkan hasil uji statistik tidak terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat alergi dengan keluhan sick building syndrome, sehingga hipotesis awal yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara riwayat alergi dengan keluhan sick building syndrome di tolak.

Pada penelitian ini, sesuai dengan penelitian Zhang (2011), yang menyatakan bahwa tidak ditemukan hubungan signifikan antara riwayat alergi dengan keluhan sick building syndrome. Hal ini mungkin terjadi karena tingkat kelembaban ruangan pada PT Pelita Air Service sebagian besar sudah memenuhi standar kelembaban ruangan yang ditetapkan sehingga dapat mencegah timbulnya respon alergi pada responden yang menderita asma karena kelembaban yang rendah atau tinggi dapat memicu timbulnya alergi (Property Council of Australia, 2009; Zhang dkk., 2011). Dalam penelitian ini terdapat responden yang tidak memiliki riwayat alergi tetapi mengalami keluhan sick building syndrome, hal ini mungkin terjadi karena berkaitan dengan riwayat atopi responden yang menyebabkan responden tersebut mengalami keluhan sick building syndrome.

Berdasarkan tabel 5.12 juga didapatkan diketahui responden yang memiliki riwayat atopi dan mengalami keluhan SBS yaitu 22 responden (71.0%) sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat atopi dan mengalami keluhan SBS yaitu 30 responden (43.5%). Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat atopi dengan keluhan sick building syndrome. Sehingga hipotetis awal yang menyatakan riwayat atopi memiliki hubungan yang bermakna dengan keluhan sick building syndrome di terima.

Pada penelitian ini riwayat atopi memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan sick builing syndrome, hal ini sejalan dengan penelitian Lim dkk (2015) menemukan bahwa pekerja yang memiliki riwayat alergi serta tingkat FeNO tinggi dan riwayat atopi memiliki hubungan yang signifikan dengan keluhan sick building syndrome. Dan pada penelitian Sahlberg dkk (2012) yang menemukan bahwa terdapat hubungan riwayat atopi dengan keluhan SBS pada gedung kantor (Lim dkk., 2015; Sahlberg dkk., 2012).

Penyakit alergi merupakan penyakit yang memiliki dasar genetik yang kompleks. Beberapa gen tertentu ikut berperan, dan masing-masing gen memiliki derajat keterlibatan yang bervariasi untuk masing-masing individu. Faktor genetik bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh. Beberapa faktor lingkungan seperti paparan alergen, polutan, zat-zat infeksius dan masih banyak lagi lainnya, juga ikut menentukan timbulnya penyakit alergi melalui berbagai mekanisme (Sears MR dkk., 1980). Disarankan kepada perusahaan

untuk selalu membersihkan AC secara berkala, bersihkan debu yang ada pada ruangan untuk mencegah penyebaran paparan allergen dan debu. Menghindari penggunaan perabotan yang dapat menyimpan debu. Disarankan untuk memiliki thermostat dalam sistem AC untuk mengontrol suhu ruangan, dan selalu menjaga kebersihan ruangan untuk mengurangi bahan yang menyebabkan timbulnya alergi di lingkungan kantor.

c. Hubungan umur dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016

Pada dasarnya umur berpengaruh pada daya tahan tubuh, semakin tua usia maka semakin menurun pula stamina tubuh seseorang. Pada penelitian ini berdasarkan hasil analisis, umur termuda responden adalah 23 tahun dan umur tertua 59 tahun. Dengan rata-rata umur adalah 33 tahun. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dan keluhan sick building syndrome. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Antoniusman, 2013) dan (Gómez-Acebo dkk., 2011) yang menyatakan bahwa umur bukanlah pemicu keluhan SBS. Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Fadilah dan Juliana (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara keluhan SBS dengan umur responden (Fadilah & Juliana, 2012).

Keluhan terhadap gejala SBS biasanya ditemukan pada pekerja yang berumur muda dan pertengahan umur dibandingkan dengan pekerja yang berumur lebih tua karena ada kemungkinan bahwa pekerja yang lebih muda akan bekerja di bawah kondisi fisik dan psikososial yang kurang

menguntungkan daripada pekerja yang lebih tua dan lebih berpengalaman. (Wahab, 2011). Tetapi saat usia pekerja bertambah, terutama bagi pekerja yang berusia 40-56 tahun, perilaku merokok dapat menjadi kontributor utama dalam timbulnya masalah kesehatan termasuk timbulnya keluhan sick building syndrome sesuai dengan pernyataan Jones (1999).

Ketimpangan inilah yang dapat menjelaskan peningkatan prevalensi SBS pada orang muda yang lebih sering ditemukan. Disarankan kepada pekerja yang lebih muda ataupun yang lebih tua untuk selalu menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat dapat juga melakukan penjernihan pikiran dengan melihat kearah tumbuhan yang terdapat disekitar bangunan kantor karena hal ini dapat membantu otak untuk berelaksasi dan menjernihkan pikiran sehingga gejala sick building syndrome dapat ditekan.

d. Hubungan Lama Kerja dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016

Berdasarkan hasil analisis, pada penelitian ini rentang lama kerja adalah 1 bulan sampai dengan 540 bulan (45 tahun). Rata-rata lama kerja responden adalah 46 bulan (3 tahun 8 bulan). Berdasarkan hasil uji statistik ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama kerja responden dengan keluhan sick building syndrome. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Laila (2011) yang menyatakan bahwa lama kerja bukan merupakan faktor pemicu terjadinya keluhan sick building syndrome. Hal ini mungkin terjadi karena dengan masa kerja yang terlalu lama kemungkinan

para pekerja sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan tempat kerja yang ada.

Lama kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian sick building syndrome karena pekerja menghabiskan waktunya didalam gedung dengan pekerjaan yang banyak dan menumpuk ditambah dengan kondisi ruangan yang tidak memadai akan mempengaruhi pekerja (Rani., 2011). Berdasarkan teori, lama kerja diasumsikan dapat memicu timbulnya gangguan kronis, semakin lama masa kerja semakin banyak dan beragam masalah kesehatan yang dialami. Lama kerja yang cukup lama dalam gedung mempengaruhi tingkat terpajannya responden terhadap polutan didalam gedung (Gomzi & Jasminka Bobic, 2009). Tetapi pada penelitian ini lama kerja tidak terdapat hubungan dengan keluhan sick building syndrome.

Walaupun tidak terdapat hubungan langsung lama kerja dengan keluhan sick builing syndrome, tetapi lama kerja seseorang dapat menimbulkan stress kerja karena seseorang dengan masa kerja yang lama cenderung memiliki pengalaman kerja yang baik sehingga memiliki tanggung jawab pekerjaan yang lebih besar yang dapat memicu timbulnya stress kerja dan masalah psikososial lainnya. Sebaiknya untuk mencegah timbulnya keluhan sick building syndrome pada pekerja, pihak manajemen dapat memastikan pembagian pekerjaan sama rata dan tidak dibebankan lebih banyak pekerjaan kepada pekerja yang memiliki masa kerja yang lebih lama.

98

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terkait dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja di gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016, maka didapatkan simpulan sebagai berikut:

1. Pekerja yang mengalami keluhan sick building syndrome sebanyak 52% yang tersebar pada masing-masing divisi dan ruangan kerja. Gejala yang paling banyak dialami pekerja adalah kelelahan, sakit kepala, batuk, kesulitan berkonsentrasi, dan tenggorokan kering, dan tersebar pada masing-masing divisi dan ruangan kerja.

2. Gambaran kualitas fisik udara dalam ruangan yaitu terdapat 91.0% suhu sesuai dengan standar, 96.0% kelembaban sesuai standar, 67.0% pencahayaan sesuai standar, dan 13.0% laju angin sesuai standar.

3. Gambaran karakteristik responden, Pada penelitian ini responden berjenis kelamin laki-laki 74.0% dan responden berjenis kelamin perempuan 26.0%. terdapat 61.0% responden yang memiliki riwayat alergi, dan 31% responden yang memiliki riwayat atopi. Rata-rata umur responden 34 tahun, dan rata-rata lama kerja responden adalah 54.5 bulan.

4. Tidak ada hubungan antara kualitas udara (suhu, kelembaban, laju angin dan pencahayaan) dalam ruangan dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja di gedung PT Pelita Air Service tahun 2016.

5. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin, riwayat alergi, umur dan lama kerja dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja di gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016.

6. Terdapat hubungan riwayat atopi dengan keluhan sick building syndrome pada pekerja di gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pekerja PT Pelita Air Service Tahun 2016, peneliti mengemukakan beberapa saran diantaranya:

1. Bagi Perusahaan

a. Melakukan maintenance terhadap AC yang ada diruangan secara berkala. Karena memperbaiki sistem sirkulasi udara diruangan dapat menjadi salah satu cara mengurangi polutan didalam ruangan dan dapat mengurangi timbulnya gejala sick building syndrome.

b. Memastikan bahwa pemeliharaan bulanan terlaksana dengan baik, hal ini dilakukan untuk memastikan pendingin ruangan berfungsi dengan baik.

c. Menjaga suhu dan kelembaban tetap stabil untuk mencegah tumbuhnya mikroorganisme dan mempercepat pembentukan gas dari bahan perabotan yang ada pada ruangan, sehingga gejala sick building syndrome dapat dikurangi.

d. Pihak pengelola gedung diharapkan dapat menambahkan tingkat pencahayaan di tepat kerja khususnya pada ruangan VPC, sesuaikan penempatan bola lampu, bersihkan lampu secara berkala, dan lampu yang mulai tidak berfungsi dengan baik agar segera diganti.

e. Untuk ruangan yang menggunakan karpet, diharapkan untuk sering dibersihkan, dikawatirkan debu yang berasal dari sepatu yang dibawa dari luar ruangan oleh pekerja dapat menyebabkan cemaran dalam ruangan dan dapat menimbulkan gejala sick building syndrome.

2. Bagi Pekerja

a. Untuk pekerja disarankan untuk selalu menjaga kesehatan tubuh, dengan cara mengontol waktu antara bekerja dan istirahat, khususnya pekerja perempuan yang memiliki risiko lebih tinggi.

b. Melakukan relaksasi atau peregangan otot atau melihat kearah pepohonan yang ada disekitar lingkungan gedung kantor ketika gejala sick building syndrome mulai dirasakan.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

a. Untuk peneliti selanjutnya, diharapkan untuk meningkatkan jumlah sampel penelitian.

b. Untuk peneliti selanjutnya, diharapkan untuk dapat meneliti variabel-variabel lain seperti variabel-variabel biologi dan variabel-variabel kimia dalam ruangan untuk mendeteksi sumber kontaminan di ruangan yang diduga berhubungan dengan keluhan sick building syndrome yang tidak diteliti pada penelitian ini.

c. Diperlukan penelitian lebih lanjut agar dapat menjawab semua permasalahan SBS dengan perhitungan sampel yang sesuai dengan desain penelitian, agar kekuatan tes lebih baik sebagai validitas kebutuhan analisis.

d. Untuk peneliti berikutnya diharapkan melakukan penelitian di tempat lain yang memiliki karakteristik sendiri.

e. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat meneliti variabel psikososial dengan menggunakan instrument penelitian psikososial yang lebih lengkap.

102

Edition. Cincinnati, Ohio: American Conference of Govermental Industrial Hygienists.

ACGIH TLVs and BEIs. (2012). Threshold Limit Values for Chemical Substance and Physical Agents & Biological Exposure Indices. United States: ACGIH Defining the Science of Occupational and Environmental.

Aditama, T. Y. (2002). Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Jakarta: universitas Indonesia.

Ahmad, A. R. (2011). Hubungan Karakteristik Karyawan dan Kualitas Fisik Uara dengan Kejadian Sick Building Syndrome di Gedung Nusantara I DPR-RI. Universitas Airlangga, Surabaya.

Andersson, K. (1998). Epidemiological Approach to Indoor Air Problems. Indoor Air, Vol. 4:32-39.

Andersson, K., Fagerlund, I., Norlen, U., & Nygren, M. (1999). The Association Between SBS Symptoms and The Physical and Psychosocial Environment of School Personal. Proceeding of Indoor Air-99, Vol 4:360 - 365.

Anies. (2004). Problem Kesehatan Masyarakat dan Sick Building Syndrome. Jurnal Kedokteran Yarsi, Jakarta.

Antoniusman, M. (2013). Hubungan Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Ruang dan Faktor Demografi Terhadap Kejadian Gejala Fisik Sick Building Syndrome (SBS) pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013. (S1), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta. ARC. (2009). Study Material, Fondation Modul 7-Psychosocial Support ARC

Resource Pack

Ardian, A. E., & Sudarmaji. (2014). Faktor yang Memengaruhi Sick Building Syndrome di Ruangan Kantor. Journal Kesehatan Lingkungan, Vol. 7, No. 2.

ASHRAE. (2001). Indoor Air Quality A Guide to Understanding ASHRAE Standard 62-2001. United Stade: American Society of Heating,Refrigerating and Air-Conditioning Engineers, Inc.

ASHRAE. (2011). 2011 ASHRAE HANDBOOK Heating, Ventilating, and Air-Conditioning Applications. 1791 Tullie Circle, N.E., Atlanta, GA 30329: American Society of Heating, Refrigerating and Air-Conditioning Engineers, Inc.

Bachmann MO, & Myers JE. (1995). Influences on sick building syndrome symptoms in three buildings. Soc Sci Med, 40(2):245–251.

Baratawidjaja, K., & Rengganis I. (2009). Gambaran Umum Penyakit Alergi Alergi Dasar, Edisi ke-1 Jakarta: Interna Publishing.

Bas, E. (2004). Indoor Air Quality a guide for facility managers 2nd edition. Liburn, Georgia, New York and Basel: The Fairmont Press, inc. Marcel Dekker, inc.

CA Erdmann, KC Stainer, & MG Apte. (2002). Indoor Carbon Dioxide Concentrations And Sick Building Syndrome Symptoms In The Base Study Revisited: Analyses Of The 100 Building Dataset. USA.

Cahyono, W. E. (2011). Kajian Tingkat Pencemaran Sulfur Dioksida dari Industri di Beberapa Daerah di Indonesia. Jurnal Berita Dirgantara, Vol. 12, No. 4, hal. 132-137.

Chandra, B. (1995). Pengantar Statistik kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Dahlan, M. S. (2008). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit Salemba.

EPA. (1991). Indoor Air Facts No. 4 (revisied) Sick Building Syndrome. United States: Environmetal Proection Agency.

EPA. (1995). Indoor Air Pollution An Introduction for Health Professionals. Diakses pada 4 Oktober 2015 dari http://www2.epa.gov/indoor-air-quality-iaq

EPA. (2010). Indoor Air Facts No. 4 (revised): Sick Building Syndrome (SBS). Washington, D. C: Environmental Protection Agency.

Fadilah, N., & Juliana, J. (2012). Indoor Air Quality (IAQ) and Sick Buildings Syndrome (SBS) among office workers in new and building in Universiti Putra Malaysia, Serdang Health and Environment Journal, Vol. 3, No. 2. Fajar, I., Isnaeni DTN, Astutuk Pudjirahaju, Isman Asmin, B. Rudy Sunindy, &

Aswin, A. A. (2009). Statistika Untuk Praktisi Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Gómez-Acebo, I., Llorca, J., Ortiz-Revuelta, C., Angulo, B., Gómez-Álvarez, S., & Dierssen-Sotos, T. (2011). Sick building syndrome in a general hospital and the risks for pregnant workers. International Journal of Gynecology &

Obstetrics, 113(3), 241-242.

doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.ijgo.2011.01.008

Gomzi, M., & Jasminka Bobic. (2009). SICK BUILDING SYNDROME Do we live and work in unhealthy environment. PERIODICUM BIOLOGORUM, Vol. 111, No 1, , 79-84.

Jack Rostron. (2005). Sick Building Syndrome Concepts issues and practice. london and New York: the Taylor & Francis e-Library.

Jafari, M. J., Ali Asghar Khajevandi, Seyed Ali Mousavi Najarkola, Mir Saeed Yekaninejad, Mohammad Amin Pourhoseingholi, Leila Omidi, & Saba Kalantary. (2015). Association of Sick Building Syndrome with Indoor Air Parameters. National Research Institute of Tuberculosis and Lung Disease, Iran, Tanaffos; 14(1): 55-62.

John D. Spengler, Jonathan M. Samet, & John F. McCarthy. (2001). Indoor Air Quality Handbook. New York, : McGRAW-HILL.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, (2002).

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-48/MENLH/11/1996 Tentang Baku Tingkat Kebisingan, (1996).

Koning H, Baert MRM, Oranje AP, Savelkoul HFJ, & Neijems HJ. (2000). Development Of Immune Functions, Related To Allergic Mechanisms, In Young Children T and B cell activation in childhood allergy (pp. hlm. 11-41). Rotterdam: Pubmed.

Kusnoputranto. (2000). Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia, Depok.

Laila, N. N. (2011). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keluhan SIck Building Syndrome (SBS) pada Pegawai di gedung Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. (S1), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta.

Lim, F.-L., Hashim, Z., Md Said, S., Than, L. T.-L., Hashim, J. H., & Norbäck, D. (2015). Sick building syndrome (SBS) among office workers in a Malaysian university — Associations with atopy, fractional exhaled nitric oxide (FeNO) and the office environment. Science of The Total

Environment, 536, 353-361.

doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.scitotenv.2015.06.137

Lisyastuti, E. (2010). Jumlah Koloni Mikroorganisme Udara Dalam Ruang Dan Hubungannya Dengan Kejadian Sick Building Syndrome (Sbs) Pad Pekerja Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS) BPPT di Kawasan Puspitek Serpong Tahun 2010. (S2), Universitas Indonesia, Depok.

Lu, C.-Y. L., Jia-Min Lin, Ying-Yi Chen, & Yi-Chun Chen. (2015). Building-Related Symptoms among Office Employees Associated with Indoor Carbon Dioxide and Total Volatile Organic Compounds. Int. J. Environ. Res. Public Health, 12, 5833-5845. doi:doi:10.3390/ijerph120605833 Lukcso, D., Guidotti TL, Franklin DE, & Burt A. (2014). Indoor Environmental

and Air Quality Characteristics, Building-Related Health Symptoms, and Worker Productivity in a Federal Government Building Complex. Arch Environ Occup Health.

M, I. M. (2011). Aplikasi Praktis Riset Pemasaran cara praktis meneliti konsumen dan pesaing: Gramedia Pustaka Utama.

Medicine, I. o. (1997). Chapter: 4 Psychosocial Factors and Prevention Dispelling the Myths About Addiction: Strategies to Increase Understanding and Strengthen Research (pp. 240). Washington, DC: The National Academies Press.

Mølhave, L. (2011). Sick Building Syndrome. In J. O. Nriagu (Ed.), Encyclopedia of Environmental Health (pp. 61-67). Burlington: Elsevier.

Moore, F. (1993). Environmental control systems : heating, cooling, lighting. Singapore: McGraw-Hill.

Norback, D., & Nordstrom, K. (2008). Sick building syndrome in relation to air exchange rate, CO2, room temperature and relative air humidity in university computer classrooms: an experimental study. Int Arch Occup Environ Health, 82:21–30. doi:DOI 10.1007/s00420-008-0301-9

Norhidayah, A., Chia-Kuang, L., Azhar, M. K., & Nurulwahida, S. (2013). Indoor Air Quality and Sick Building Syndrome in Three Selected Buildings.

Procedia Engineering, 53, 93-98.

doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.proeng.2013.02.014

P S Burge. (2003). Sick Building Syndrome. Occup Environ Med, Vol. 61, Pages 185-190. doi:doi:10.1136/oem.2003.008813

Pendleton, C. D., District Chief, Rural/Metro Fire Department, & Tucson. (2002). Response to Sick Building Syndrome and Building Related Illness Incidents. Retrieved from

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER.13/MEN/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, (2011).

Property Council of Australia. (2009). Managing Indoor Environment Quality. In Property Council Of Australia (Ed.). Sydney: NSW.

Pudjiastuti, Rendra, Santosa, & HR. (1998). Kualitas Udara Dalam Ruang. Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Rahman, N. H., Furqaan Naiem, & Samsiar Resseng. (2013). Studi Tentang Keluhan Sick Building Sydrome (SBS) Pada Pegawai di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makasar. Universitas Hasanuddin, Makasar. Rani., A. P. (2011). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Sick Building

Syndrome (SBS) Pada Pegawai Kantor Dinas Perindustrian dan Perdangangan Provinsi Jawa Barat. (S2), Universitas Negeri Semarang Semarang.

Rifa'i, M. (2011). Alergi dan Hipersensitif. Malang: Universitas Brawijaya.

Robert T. Sataloff, & Joseph Sataloff. (2005). Hearing Loss Fourth Edition. New York, London: Taylor &. Francis Group.

Rohizan, N. A., & Abidin E.Z. (2015). Assessment on Physical Faktor of Thermal Comfort, Sick Building Syndrome Symtoms and Perception of Comfort Among Occupants in A public Recearch university Laboratory Building. Internasional Journal of Public Health and Clinical Sciences, Vol. 2: No. 3

Sabri, L., & Hastono, S. P. (2011). Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers. Sahlberg, B., Norbäck, D., Wieslander, G., Gislason, T., & Janson, C. (2012).

Onset of mucosal, dermal, and general symptoms in relation to biomarkers and exposures in the dwelling: a cohort study from 1992 to 2002. Indoor

Air, Vol. 22 (4), 331-338. Retrieved from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22257085

Sears MR, Chow CM, & DJ., M. (1980). Serum total IgE in normal subjects and the influence of family history of allergy. Clin Allergy, Vol. 10(4): 23-31. Sun, Y., Zhang, Y., Bao, L., Fan, Z., Wang, D., & Sundell, J. (2013). Effects of

Dokumen terkait