• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Determinan Keluhan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Determinan Keluhan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

i Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)

Disusun Oleh:

SALSABILA TRIANA DWIPUTRI NIM: 1111101000109

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Skripsi, Juni 2016

Salsabila Triana Dwiputri, NIM : 1111101000109

Analisis Determinan Keluhan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016

Xv + 118 halaman, 23 tabel, 9 gambar, 6 lampiran

ABSTRAK

Sick Building Syndrome (SBS) merupakan masalah yang cukup penting diperhatikan, karena SBS pada pekerja dapat berdampak terhadap penurunan produktivitas kerja dan penurunan konsentrasi pekerja. SBS disebabkan oleh kualitas fisik udara, kualitas kimia, kualitas biologi, psikososial, dan karakteristik individu. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 20 pekerja PT Pelita Air Service menunjukkan bahwa 50% pekerja mengalami keluhan sick building syndrome.

Penelitian ini dilakukan di PT Pelita Air Service pada bulan Oktober 2015-Mei 2016. Sampel penelitian sebanyak 100 orang pekerja dengan menggunakan desain studi cross sectional. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square dan Mann Whitney. Variabel yang ditelit antara lain suhu, kelembaban, laju angin, pencahayaan, psikososial, jenis kelamin, umur, perilaku merokok, lama kerja, riwayat alergi, dan riwayat atopi. Data penelitian didapatkan dari hasil pengukuran langsung dan kuesioner.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebanyak 52 pekerja (52%) mengalami keluhan sick building syndrome. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan antara riwayat atopi (P values =0.020) dengan keluhan sick building syndrome.

Perusahaan disarankan untuk melakukan maintenance terhadap AC secara berkala, penambahan tingkat pencahayaan ruangan, menjaga suhu dan kelembaban ruangan tetap stabil. Untuk pekerja sebaiknya selalu menjaga kesehatan dan sering melakukan relaksasi otot ketika mulai merasakan gejala sick building syndrome. Daftar bacaan : 77 (1980-2015)

(4)

ISLAMIC STATE UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE

PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM HEALTH AND SAFETY OCCUPATIONAL Undergraduated Thesis, June 2016

Salsabila Triana Dwiputri, NIM : 1111101000109

Analysis Of Determinants Sick Building Syndrome (SBS) in Workers Building The Pelita Air Service 2016

(XV + 118 pages+ 23table + 9 images + 6 attachment)

ABSTRACT

Sick Building Syndrome (SBS) is a problem that quite important, because SBS on workers can impact decreasing in productivity and concentration of workers. SBS is caused by physical quality of air, quality of chemical and biological, psychosocial, characteristics of the individual. Based on the preliminary study result of 20 workers of PT Pelita Air Service showed that 50% of workers complainingabout sick building syndrome.

This research was conducted at PT Pelita Air Service in October to May in 2015-2016. There were 100 workers for sample by using cross sectional study design. Chi Square and Mann Whitney were used for the statistic test. The variables examined include temperature, humidity, wind rate, lighting, psychosocial, gender, age, smoking behavior, working time, history of allergies, and history of atopy. Research data was obtained from direct measurements and questionnaires.

The results showed that as many as 52 workers (52%) suffered the sick building syndrome. Statistics showed that there was a relationship between a history of atopy (P values = 0.020) with sick building syndrome.

Companies are advised to do maintenance the AIR CONDITIONING on a regular basis, increasing the level of lighting of the room, keep the temperature and humidity of the room stabilize. It’s better for workers to always keep their health and to do muscle relaxant more often when they start to feel symptoms of sick building syndrome.

Refference : 77 (1980-2015)

(5)
(6)
(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Salsabila Triana Dwiputri

Tempat & Tanggal Lahir : Sungai Penuh, 26 Agustus 1994

Agama : Islam

Alamat : Pasar Kersik Tua, No. 34, Kec. Kayu Aro, Kab. Kerinci. Prov. Jambi

Status : Belum Menikah

Nomor telepon : 081219931920

Email : salsabilatriana@gmail.com

Pendidikan Formal

1999-2005 : SD Negeri 161/III Batang Sangir, Kerinci, Jambi 2005-2008 : MTsN Model Padang, Sumatera Barat

2008-2011 : SMA Negeri 3 Padang, Sumatera Barat

2011-Sekarang : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Pengalaman Organisasi

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillah, Puji dan syukur saya ucapkan kepada Illahi Rabbi yang selalu memberikan kenikmatan tak terhingga kepada kita semua. Atas segala kekuatan dan rahmat- Nya, saya berhasil menyelesaikan Skripsi yang berjudul " Analisis Determinan Keluhan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service tahun 2016 ". Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah menuntun umatnya dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang seperti saat ini.

Penulisan skripsi ini semata-mata bukan murni hasil usaha penulis sendiri melainkan banyak pihak yang telah memberikan bantuan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Orang tua tercinta ayah Mirmi Maksim dan ibu Ernawati, serta keluarga tercinta, terima kasih untuk semua dukungan dan doanya yang tidak pernah henti hingga akhirnya penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr. Iting Shofwati, ST. MKKK dan Ibu Meilani M. Anwar, MT serta Bapak Dr. M. Farid Hamzens, M. Si selaku dosen pembimbing yang selalu sabar memberikan bimbingannya. Terima kasih ibu atas waktu dan kesabarannya dan bimbingannya serta memberikan motivasi kepada penulis agar senantiasa berupaya maksimal untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Para Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat, atas semua ilmu yang telah diberikan.

4. Bapak Muhammad Djufri selaku HRD Manager yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis

(9)

6. Seluruh Staff dan seluruh pekerja PT Pelita Air Service yang telah menerima kehadiran penulis dengan baik dan juga turut membantu penulis ketika membutuhkan informasi yang diperlukan.

7. Terkhusus untuk Meta Widya Ningsih, sahabat setia yang selalu setia menemani dan sama-sama berjuang dalam menyelesaikan skripsi.

8. Kawan Sholihah yang selalu memberikan dukungan dalam semua kegiatan 9. Kawan-kawan peminatan K3 2011 dan Kesehatan Masyarakat 2011 yang

tidak dapat disebutkan satu persatu, atas dukungan dan semangatnya.

Dan akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis panjatkan doa dan harapan, semoga kebaikan mereka dicatat sebagai amal shaleh di hadapan Allah SWT dan menjadi pemberat bagi timbangan kebaikan mereka kelak. Amiin

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun sangatlah diharapkan guna perbaikan dimasa yang akan datang.

Jakarta, Juni 2016

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... v

LEMBAR PENGESAHAN ... vi

C. Pertanyaan Penelitian ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan Umum ... 5

2. Tujuan Khusus ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

1. Bagi PT Pelita Air Service ... 7

2. Bagi Pengembangan Keilmuan ... 7

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 7

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

BAB II TINJUAN PUSTAKA ... 9

A. Definisi Sick Building Syndrome ... 9

B. Efek Kesehatan dari Sick Building Syndrome ... 10

C. Kualitas Udara dalam Ruangan ... 13

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sick Building Syndrome ... 15

1. Kualitas Fisik ... 16

F. Instrumen Pengukuran Sick Building Syndrome ... 36

G. Uji Statistik ... 39

H. Kerangka Teori ... 42

(11)

A. Kerangka Konsep ... 43

B. Definisi Operasional ... 46

C. Hipotesis ... 48

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 49

A. Jenis Penelitian ... 49

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 49

C. Populasi dan Sampel ... 49

D. Metode Pengumpulan Data ... 51

E. Instrumen Penelitian ... 56

F. Pengumpulan dan Menejemen Data ... 57

G. Teknik dan Analisis Data ... 59

c. Gambaran Karakteristik Individu Responden ... 73

2. Analisis Bivariat ... 77

a. Hubungan Kualitas Udara dengan Keluhan Sick Building Syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 77

b. Hubungan Karakteristik Individu Responden dengan Keluhan Sick Building Syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 80

BAB VI PEMBAHASAN ... 85

A. Keterbatasan Penelitian ... 85

B. Keluhan Sick Building Syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 85

C. Faktor yang Berhubungan dengan Sick Building Syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 89

1. Hubungan Kualitas Udara dengan Keluhan Sick Building Syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 89

2. Hubungan Karakteristik Responden dengan Keluhan Sick Building Syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 100

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. Simpulan ... 110

B. Saran ... 111

1. Bagi Perusahaan ... 111

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Table 2.1 Nilai Ambang Batas Kebisingan Berdasarkan

PERMENAKERTRANS Nomor 13 Tahun 2011 ... 21

Tabel 2.2 Baku Tingkat Kebisingan ... 22

Table 2.3 Perbandingan Instrumen Pengukuran ... 37

Tabel 2.4 Uji Statistik ... 40

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 46

Tabel 4.1 Perhitungan Minimal Sampel Penelitian ... 50

Tabel 4.2 Perhitungan Sampel Berdasarkan Variabel Psikososial ... 50

Tabel 4.3 Perhitungan Sampel Menggunakan Estimasi Proporsi ... 52

Tabel 4.4 Kategori Gejala Penyakit ... 53

Tabel 4.5 Skoring Variabel Riwayat Alergi ... 53

Tabel 4.6 Daftar Kode dan Skoring Variabel ... 58

Tabel 5.1 Distribusi Keluhan Sick Building Syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 66

Tabel 5.2 Gambaran Distribusi Kualitas Udara (Suhu, Kelembaban, Laju Angin, dan Pencahayaan) Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 67

Tabel 5.3 Distribusi Kualitas Udara (Suhu, Kelembaban, Pencahayaan, Laju Angin) Berdasarkan Ruangan Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 68

Tabel 5.4 Distribusi Kualitas Udara (Suhu, Kelembaban, Pencahayaan, Laju Angin) Berdasarkan Pemenuhan Standar pada Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 69

Tabel 5.6 Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik individu Pakerja (Jenis Kelamin, Perilaku Merokok, Riwayat Alergi, dan Riwayat Atopi) Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016...74

Tabel 5.7 Gambaran Distribusi Perilaku Merokok Pada Setiap Divisi Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 74

Tabel 5.8 Gambaran Distribusi Gejala Riwayat Alergi yang dirasakan Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 75

Tabel 5.9 Gambaran Distribusi Responden Berdasarkan Umur dan Lama Kerja Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 76

Tabel 5.10 Hubungan Kualitas Udara (Suhu, Kelembaban, Laju Angin, dan Pencahayaan) dengan Keluhan Sick Building Syndrome Pada Pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 77

(14)
(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Teori ... 42

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 43

Gambar 4.1 Environmental Meter ... 56

Gambar 4.2 Thermohygrometer ... 57

Gambar 4.3 Anemometer Digital ... 57

Gambar 5.1 Distribusi Frekuensi Gejala Sick Building Syndrome Berdasarkan Jumlah Responden yang Mengeluh Gejala Sick Building Syndrome di Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016 ... 65

(16)

1 A. Latar Belakang

Kualitas udara dalam ruangan merupakan masalah yang cukup penting untuk diperhatikan, karena orang-orang di negara industri sebagian besar menghabiskan waktunya berada dalam ruangan. Kualitas udara yang buruk dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, salah satunya sick builing syndrome (SBS) (Lim dkk., 2015). Pada tahun 1984 konsep Sick Building Syndrome pertama kali diperkenalkan oleh kedekteran okupasi sebagai masalah kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan kerja dan berhubungan dengan buruknya kualitas dalam ruangan (Pendleton dkk., 2002).

World Health Organization (WHO) pada tahun 1982 mendefinisikan konsep Sick Building Syndrome (SBS) sebagai kondisi medis yang dialami oleh penghuni di gedung dengan masalah lingkungan didalam ruangan (WHO, 1982). Sick Building Syndrome awalnya dipelajari pada kalangan pekerja kantor, dengan melihat gejala dari mata, saluran pernafasan atas, kulit wajah, sakit kepala dan kelelahan (Norback & Nordstrom, 2008).

(17)

building syndrome adalah ventilas dan kemungkinan akumulasi kontaminan lingkungan didalam ruangan (Norhidayah dkk., 2013). Di Amerika Serikat, sebanyak 1 diantara 3 bangunan di seluruh Amerika dapat dikatakan ―sakit‖, dari 60% bangunan di Amerika memiliki permasalahan kualitas udara yang serius 20% dan kualitas udara yang lumayan serius sebanyak 40% (Bas, 2004).

PT Pelita Air Service terletak di kawasan Pondok Cabe Tangerang Selatan yang merupakan gedung yang terletak di area yang tentunya rawan terhadap polusi udara. PT Pelita Air Service memiliki gedung perkantoran dan juga termasuk gedung yang tertutup dan menggunakan Air Conditioning (AC) guna menjaga kestabilan suhu dalam ruangan kerja. Aktivitas pekerja sebagian besar bekerja didepan layar komputer, bekerja selama 8 jam dalam ruangan dari senin sampai jumat. Jumlah tata ruang dan jumlah pekerja yang cukup banyak, hal ini merupakan kondisi yang perlu diperhatikan karena berpotensi menimbulkan Sick Building Syndrome (SBS) yang dapat mempengaruhi status kesehatan serta menurunkan produktifitas pekerja pada saat bekerja.

(18)

Gejala-gejala SBS apabila tidak segera ditanggulangi dengan cepat maka hal ini lama kelamaan akan menjurus ke arah gangguan kesehatan yang lebih serius yaitu Building Related Illnesses (BRI) yang berdampak gangguan kronis kepada pekerja dimana jika hal ini terjadi, dapat menurunkan produktivitas pekerja dan tentunya akan menimbulkan kerugian tidak hanya pada individu pekerja tetapi juga akan menimbulkan kerugian pada institusi perusahaan berupa penurunan kinerja perusahaan (Wahab, 2011). Seperti yang ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Lukcso dkk (2014) pada bangunan gedung pemerintahan di kota Rockville, Maryland, USA, mengenai SBS dan produktivitas pekerja, dengan dilakukan pengurangan 10% unit dalam prevalensi gejala umum SBS (kelelahan, sakit kepala, mual) berhubungan dengan peningkatan 1,5% dari kinerja pada pekerja dan menurunan angka ketidakhadiran pekerja sebanyak 0,7% (Lukcso dkk., 2014).

Lima faktor utama yang menyebabkan SBS adalah kualitas fisik, kualitas kimia, kualitas biologi udara dalam ruangan, psikososial dan karakteristik individu. Kualitas fisik (suhu, kelembaban, pencahayaan, laju angin, kebisingan dan getaran). Kualitas kimia (kadar partikulat, gas CO2, CO, NO2, SO2, kontaminan VOCs dan formaldehyde). Kulitas biologi (bakteri, jamur dan virus). Psikososial (stress kerja, susasa hati, kontrol pekerjaan, kepuasaan kerja, dukungan sosial dan manajemen). Dan karakteristik individu (jenis kelamin, umur, dan perilaku merokok)(Wahab, 2011).

(19)

kelembaban (RH) (Norhidayah dkk., 2013; Rohizan & Abidin E.Z, 2015), pencahayaan (Jafari dkk., 2015; Laila, 2011). Kualitas kimia seperti karbon monoksida (CO) (Zamani dkk., 2013) dan karbon dioksida (CO2) (Ardian & Sudarmaji, 2014; Lu dkk., 2015; Norhidayah dkk., 2013; Zamani dkk., 2013), Total Volatile Organik Compounds (TVOC) (Lu dkk., 2015; Zamani dkk., 2013), PM10 (Lim dkk., 2015; Zamani dkk., 2013), dan PM 2,5 (Zamani dkk., 2013). Kualitas biologi seperti jamur (Takigawa dkk., 2009; Zhang dkk., 2012; Zhang dkk., 2011). Serta karakteristik individu seperti riwayat alergi, umur, jenis kelamin (Laila, 2011; Lim dkk., 2015; Sun dkk., 2013; Zhang dkk., 2011).

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul analisis determinan keluhan sick building syndrome (SBS) pada pekerja gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016. B. Rumusan Masalah

(20)

determinan keluhan Sick Building Syndrome (SBS) pada pekerja PT Pelita Air Service Tahun 2016.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran keluhan Sick Building Syndrome pada pekerja gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016?

2. Bagaimana gambaran kualitas fisik udara dalam ruangan (suhu, kelembaban, pencahayaan, dan laju angin) gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016?

3. Bagaimana gambaran karakteristik individu (umur, jenis kelamin, lama kerja, riwayat alergi, dan riwayat atopi) pada pekerja gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016?

4. Bagaimana hubungan kualitas fisik udara dalam ruangan (suhu, kelembaban, laju angin, dan pencahayaan) dengan keluhan Sick Building Syndrome pada pekerja gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016?

5. Bagaimana hubungan karakteristik individu (umur, jenis kelamin, lama kerja, riwayat alergi, dan riwayat atopi) dengan keluhan Sick Building Syndrome pada pekerja gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016?

D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

(21)

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran keluhan Sick Building Syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016.

b. Diketahuinya gambaran kualitas fisik udara dalam ruangan (suhu, kelembaban, pencahayaan, dan laju angin) Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016.

c. Diketahuinya gambaran karakteristik responden (umur, jenis kelamin, lama kerja, riwayat alergi, dan riwayat atopi) pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016.

d. Diketahuinya hubungan kualitas fisik udara dalam ruangan (suhu, kelembaban, laju angin, dan pencahayaan) dengan keluhan Sick Building Syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016.

e. Diketahuinya hubungan karakteristik individu (umur, jenis kelamin, lama kerja, perilaku merokok, riwayat alergi, dan riwayat atopi) dengan keluhan Sick Building Syndrome pada pekerja Gedung PT Pelita Air Service Tahun 2016.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi PT Pelita Air Service

(22)

2. Bagi Pengembangan Keilmuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi dalam memberikan masukan yang dapat digunakan sebagai bahan pustaka dan dalam pengembangan ilmu keselamatan dan kesehatan kerja mengenai Sick Building Syndrome.

3. Bagi Peneliti selanjutnya

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan pengalaman langsung serta menambah wawasan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan SBS.

F. Ruang Lingkup

(23)

9 A. Definisi Sick Building Syndrome

Sick Building Syndrome mulai diperkenalkan pada era tahun 1980-an. Istilah SBS dikenal juga dengan High Building Syndrome (HBS) atau Nonspecific Building-Related Symptoms (BRS), adalah situasi dimana penghuni bangunan gedung mengeluhkan masalah kesehatan dan kenyamanan akut, yang timbul berkaitan dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu bangunan, namun tidak memiliki gejala yang spesifik dan penyebabnya tidak dapat diidentifikasikan, karena sindrom ini umumnya ditemukan pada pekerja di dalam bangunan gedung (Wahab, 2011).

Sick Building Syndrome menurut EPA (1991) merupakan istilah untuk menguraikan situasi dimana penghuni gedung atau bangunan dan gangguan kesehatan akut serta efek yang timbul saat berada dalam bangunan, tetapi tidak ada penyebab yang spesifik (EPA, 1991). WHO tahun 1982 dalam Sun dkk (2013) memperkenalkan istilah SBS yang merujuk ke berbagai gangguan fisiologis, kognitif, psikologi dan neurologis yang dialami sementara oleh karyawan di lingkungan kerja, meskipun tidak mengancam kehidupan tetapi dapat menganggu, menyebabkan hilangnya waktu kerja, gangguan produktivitas (Sun dkk., 2013). Menurut Aditama (2002), istilah SBS mengandung dua maksud, yaitu:

(24)

2. Kondisi gedung tertentu berkaitan dengan keluhan atau gangguan kesehatan tidak spesifik yang dialami penghuninya, sehingga dikatakan ―gedung yang

sakit‖ (Aditama, 2002).

SBS adalah gejala-gejala gangguan kesehatan, umumnya berkaitan dengan saluran nafas. Sekumpulan gejala ini dihadapi oleh orang yang bekerja di gedung atau dirumah yang ventilasinya tidak direncanakan dengan baik. SBS merupakan kategori penyakit umum yang berkaitan dengan beberapa aspek fisik sebuah gedung dan selalu berhubungan dengan sistem ventilasi (Zhang dkk., 2012).

Sedangkan menurut EPA (2010) dalam Wahab (2011), Sick Building Syndrome dapat terjadi jika :

1. Terdapat sekumpulan gejala yang dirasakan yang berhubungan dengan waktu yang dihabiskan dalam suatu gedung atau suatu bagian dari gedung.

2. Gejala-gejala tersebut hilang ketika individu tidak sedang berada dalam gedung.

3. Pekerja yang ada memiliki keluhan gejala yang sama yang datang dari semua bagian gedung, satu departemen yang sama, satu ruangan yang sama serta satu lokasi yang sama.

B. Efek Kesehatan dari Sick Building Syndrome

Menurut Yulianti dkk (2012) terdapat tiga patofisiologi untuk menjelaskan terjadinya Sick Building Syndrome:

(25)

terutama pada mata dan hidung. Iritasi saluran nafas menyebabkan asma dan rhinitis melalui interaksi radikal bebas sehingga terjadi pengeluaran histamin, degradasi sel mast dan pengeluaran mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi. Pergerakan sillia menjadi lambat sehingga tidak dapat membersihkan saluran napas, peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar, rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran napas, membengkaknya saluran napas dan merangsang pertumbuhan sel. Akibatnya terjadi kesulitan bernapas, sehingga bakteri atau mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dan memudahkan terjadinya infeksi saluran napas.

2. Faktor bioerosol: dari hasil penelitian cross sectional menunjukkan bahwa individu yang mempunyai riwayat atopi akan memberikan reaksi terhadap VOCs konsentrasi rendah dibandingkan dengan individu tanpa atopi.

3. Faktor penjamu, yaitu kerentanan individu akan mempengaruhi timbulnya gejala. Stress karena pekerjaan dan faktor psikososial juga dapat mempengaruhi timbulnya SBS (Yulianti dkk., 2012).

Gejala Sick Building umumnya berupa penyakit yang tidak spesifik tapi menunjukkan pada standar tertentu, misalnya berapa kali seseorang dalam jangka waktu tertentu menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan ini hanya dirasakan pada saat bekerja didalam gedung dan menghilang secara wajar pada saat istirahat atau pada akhir minggu dan hari libur, keluhan ini lebih sering dan lebih bermasalah pada individu yang mengalami perasaan stress, dan kurang mampu dalam mengubah situasi dalam pekerjaannya (EPA, 2010).

(26)

1. Iritas selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair,

2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk kering,

3. Gangguan neurotoksit (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), 4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa

berat didada,

5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal, 6. Gangguan saluran pencernaan, seperti diare,

7. Gangguan lainnya, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran kencing, dll (Aditama, 2002).

Sedangkan menurut Hedge dkk (1995), eksekutif kesehatan dan keselamatan (1992), Stenberg (1980) dan Finnegan dkk (1984) di dalam Wahab (2011) menyatakan bahwa Sick Building Syndrome dapat menyebabkan gejala kesehatan, seperti berikut ini:

1. Gangguan pernafasan, seperti hidung berair, bersin, sakit tenggorokan kering, hidung mampet, perdarahan hidung, rhinitis alergi (bersin berulang-ulang dan hidung meler), sinusitis, pilek, gejala seperti influenza, batuk kering, iritasi tenggorokan, mengi saat bernafas, sesak nafas, suara serak karena radang tenggorokan dan laring, sensitivitas terhadap bau, dan serangan asma.

(27)

3. Iritasi kulit, seperti ruam kulit, kulit yang gatal, kulit kering, eritema (kemerahan atau peradangan), Iritasi atau kekeringan pada bibir, Dermatitis seboroik, eksim periorbital, rosacca, utitcaria, folikulitis gatal.

4. Keluhan kognitif, seperti sakit kepala yang mempengaruhi kinerja seseorang, migraine, sinus yang menyebabkan sakit kepala karena pembengkakan selaput lendir, kebingungan mental,

5. Kelesuan, seperti lesu, kesulitan dalam berkonsentrasi, kelelahan mental, kelelahan umum yang dimulai dalam beberapa jam setalah datang ketempat kerja dan berhenti setalah meninggalkan tempat kerja, tidak dapat berfikir jernih dan mengantuk.

6. Gangguan gastrointestinal, seperti mual.

7. Gejala lainnya, seperti pusing, reaksi hipersensitivitas, perubahan kepribadian yang mungkin disebabkan oleh stress atau sakit dan eksaserbasi penyakit yang sudah ada sebelumnya, seperti asma, sinusitis atau eksim (Wahab, 2011).

C. Kualitas Udara Dalam Ruangan

(28)

radon). Sedangkan partikel meliputi aerosol (asbes, serbuk sari, debu dll), dan organisme (bakteri, jamur, virus). Polutan tersebut dapat membahayakan kualitas udara dalam ruangan dan pencemaran udara dalam ruangan dapat menyebabkan masalah kesehatan biologis dan psikologis (Wahab, 2011).

Sedangkan menurut EPA (1995) ada empat elemen yang berpengaruh dalam indoor air quality yaitu :

1. Sumber yang merupakan asal dari dalam, luar dan dari sumber operasional mesin yang berada dalam ruangan,

2. Heating Ventilation and Air Conditioning System (HVAC) 3. Media yaitu berupa udara

4. Pekerja yang berada dalam ruangan tersebut dan memiliki riwayat alergi atau pernafasan (EPA, 1995).

Menurut Wahab (2011) polutan udara dalam ruangan dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, yaitu:

1. Menurut sifat fisik a. Gas dan uap b. Partikel 2. Menurut sifat kimia

a. Organik b. Non organik

3. Menurut efek yang merugikan kesehatan a. Polutan beracun

(29)

c. Polutan karsinogenik d. Polutan mutagenik 4. Menurut sumber

a. Lingkungan luar bangunan b. Penggunaan bangunan c. Produk bangunan

Sick Building Syndrome dapat dipengaruhi oleh multifaktor dan saling berkaitan, seperti yang dijelaskan dalam Indoor Air Quality Handbook (John D. Spengler dkk., 2001). Faktor-faktor tersebut adalah :

1. Suhu dan kelembaban 2. Konsentrasi pertikulat 3. Konsentrasi VOC

4. Konsentrasi mikroorganisme (jamur dan bakteri) 5. Konsentrasi Gas (NO2, CO2, CO, dll)

D. Faktor-faktor yang mempengaruhi Sick Building Syndrome

Teori yang paling umum mengenai Sick Building Syndrome adalah penyakit tersebut disebabkan beberapa faktor (Wahab, 2011), yaitu :

1. Bahan bangunan. Bahan bangunan memungkingkan organisme mikro tumbuh atau bahan bangunan tersebut mengandung bahan kimia atau zat lainnya atau juga mengandung gas yang dapat menyebabkan iritasi kulit atau mencemari udara didalam gedung pada saat orang bernafas.

2. Sanitasi yang buruk,

(30)

4. Peralatan kantor, perabot dan bahan lainnya dan produk yang terletak atau digunakan di gedung yang dapat menghasilkan asap atau dermatitis kontak, 5. Udara yang berasal dari uap kimia atau gas dari apapun di gedung,

6. Pemasangan AC, ventilasi tidak memadai (yang dapat menyebabkan penumpukan karbon dioksida, karbon monoksida atau gas lainnya) dan polutan dari dalam atau diluar gedung yang diedarkan oleh sistem pendingin udara,

7. Jamur, bakteri, tungau, debu, organisme mikro lainnya; endotoksin dan produk mikroba lainnya,

8. Buruknya pemeliharaan dan kebersihan bangunan yang mengakibatkan debu terdapat di udara,

9. Cahaya yang tidak memadai pada ruang-ruang kerja,

10.Faktor lingkungan lainnya yang meliputi suhu bangunan, kelembaban, kurangnya ion negatif di atmosfer, bau bangunan, kebisingan, elektrostatik, getaran di gedung.

11.Masalah psikososial

12.Prakter manajemen yang buruk.

Berikut beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya Sick Building Syndrome, yaitu:

1. Kualitas Fisik

a. Suhu/Temperatur

(31)

udara ruang kerja yang terlalu dingin dapat menimbulkan gangguan bekerja bagi karyawan, yaitu gangguan konsentrasi, karena pekerja berusaha untuk menghilangkan rasa dingin. Menurut standar baku mutu sesuai dengan Kepmen Kesehatan No. 1405/Menkes/SK/XI/2002, suhu dianggap nyaman untuk suasana kerja di gedung perkantoran adalah 18-280C (KEPMENKES, 2002). Kualitas udara dalam ruangan tidak hanya dipengaruhi oleh adanya kontaminan tetapi juga dipengaruhi oleh adanya udara panas. Udara yang panas dapat menurunkan kualitas udara dalam ruang dan mempengaruhi kenyamanan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruang kerja (Mølhave, 2011).

NIOSH merekomendasikan bahwa suhu tidak boleh melebihi 260C untuk pria dan 240C untuk perempuan. Dalam beberapa sumber, suhu yang sesuai direkomendasikan adalah 20-240C untuk musim dingin dan 22-260C untuk musim panas. Prevalensi gejala SBS meningkat secara signifikan pada suhu diatas 220C (Wahab, 2011).

b. Kelembaban

(32)

yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan di membran selaput lendir, sedangkan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu, kelembaban yang lebih rendah <30% berpengaruh terhadap terjadinya SBS. Berdasarkan ASHREA kelembaban yang disyaratkan adalah antara 30-60%, sementara menurut standar Baku Mutu KEPMENKES No. 1405 Tahun 2002, kelembaban dalam ruangan kerja adalah 40-60%.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rohizan dan Abidin (2015) menemukan bahwa kelembaban (OR = 4.05, 95% CI = 1,27-12,9) secara signifikan terkait dengan SBS (Rohizan & Abidin E.Z, 2015). Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Zhang dkk pada tahun 2012 menyatakan bahwa kelembaban dan jamur berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS serta peningkatan respon bronkus dan peradangan eosinophilic (Zhang dkk., 2012).

c. Laju Angin

Laju angin dalam ruangan mempengaruhi pergerakan udara dan pergantian udara dalam ruangan. Laju angin yang kurang dari 0.1 meter/detik atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman karena tidak ada pergerakan udara. Sebaliknya, bila lajua ngin didalam ruangan terlalu tinggi maka akan menyebabkan kebisingan didalam ruangan tersebut (ASHRAE, 2001).

(33)

(KEPMENKES, 2002). Untuk ruangan kerja yang tidak menggunakan pendingin ruangan harus memiliki lubang ventilasi minimal 15% dari luas lantai dengan menerapkan sistem ventilasi silang (ACGIH, 1998). Sedangkan menurut ASHRAE ventilation rate (jumlah suplai udara dalam ruangan) minimum 20cfm/orang dalam suatu ruangan gedung dan untuk ruangan khusus seperti ruangan merokok, ventilation rate yang disyaratkan sebesar 60 cfm/orang (ASHRAE, 2011). Ventilation rate berpengaruh terhadap mitigasi kontaminan dalam ruangan, dan sebagai suplai udara segar bagi penghuni gedung.

d. Pencahayaan

Pencahayaan merupakan salah satu faktor untuk mendapatkan keadaan lingkungan yang aman dan nyaman dan berkaitan erat dengan produktivitas manusia. Pencahayaan yang baik memungkinkan orang dapat melihat objek-objek yang dikerjakannya secara jelas dan cepat. Akibat-akibat penerangan yang buruk adalah :

1) Kelelahan mata dengan berkurangnya daya efisiensi kerja. 2) Kelelahan mental

3) Keluhan-keluhan pegal didaerah mata, dan sakit kepala sekitar mata 4) Kerusakan alat penglihatan

5) Meningkatkan kecelakaan (Jack Rostron, 2005)

(34)

yang terlalu kuat juga bisa menimbulkan glare dan memaksa mata untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk kedalamnya. Kedua kondisi ini pada akhirnya bisa menimbulkan kelelahan dan memicu gejala-gejala SBS lainnya.

e. Kebisingan

Berdasarkan PERMENAKERTRANS No. 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di tempat Kerja, kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Sedangkan berdasarkan KEPMENLH No. 48 Tahun 1996 tentang baku mutu kebisingan, Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.

(35)

dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, NAB kebisingan 85 desibel. Untuk kebisingan yang melampaui NAB waktu pemaparan ditetapkan pada tabel 2.1 sebagai berikut.

Tabel 2.1 NAB Kebisingan Berdasarkan Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 Waktu Pemaparan per Hari Intensitas kebisingan dalam dBA

Jam 24 80

Catatan: tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA walaupun hanya sesaat Sumber : Permenakertrans No. 13 Tahun 2011

(36)

Berikut tabel 2.2 mengenai baku tingkat kebisingan berasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996.

Tabel 2.2 Baku Tingkat Kebisingan Berdasarkan KEPMENLH No. 48 Tahun 1996 Peruntukan Kawasan/ Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan

bB(A)

a Peruntukan Kawasan

1. Perumahan dan pemukiman 55

2. Perdagangan dan Jasa 70

3. Perkantoran dan perdangangan 65

4. Ruang terbuka hijau 50

5. Industri 70

6. Pemerintah dan fasilitas umum 60

7. Rekreasi 70

1. Rumah sakit atau sejenisnya 55

2. Sekolah atau sejenisnya 55

3. Tempat ibadah atau sejenisnya 55

f. Bau

(37)

2. Kualitas Kimia a. Partikulat

Partikulat adalah substansi yang berada dalam atmosfer pada kondisi normal berukuran lebih besar daripada molekul (a angstrom), tetapi lebih kecil daripada 500 um (1 u =1 mikron =10-4). Partikulat di udara tidak hanya dihasilkan dari emisi langsung berupa partikulat , tetapi juga dari emisi-emisi gas-gas tertentu yang mengalami kondensasi dan membentuk partikulat, sehingga terdapat partikulat primer dan partikulat sekunder (Tati Alfiah, 2009).

Ukuran partikulat yang dapat masuk kedalam sistem respirasi adalah kurang dari 10 µm dengan spesifikasi sebagai berikut:

1) Ukuran 5-10 µm akan mudah tersaring secara fisik oleh rambut-rambut halus dalam rongga hidung,

2) Ukuran 2-5 µm akan terendap di alveoli,

3) Ukuran < 2 µm akan mudah masuk kedalam saluran respirasi dan akan mudah keluar kembali bersama udara respirasi (Zannaria dkk., 2009).

(38)

b. Karbon Monoksida (CO)

Karbon monoksida (CO) adalah zat yang tidak berwarna, tidak berbau, gas beracun yang merupakan hasil produk sampingan dari pembakaran yang tidak sempurna. Ketika dihirup, CO sangat mudah bercampur dengan hemoglobin dalam darah, sehingga menghambat kemampuan darah untuk membawa oksigen dan pertukaran oksigen. CO tidak mudah meninggalkan tubuh setelah masuk dan dalam beberapa kasus untuk pengobatan memerluakan transfusi darah. Paparan berlebihan terhadap CO dapat menyebabkan kekurangan oksigen tubuh dan menyebabkan kematian (TSI, 2013).

US EPA telah menetapkan standar nasional primer ambient kualitas udara untuk udara luar yang akan digunakan dalam ventilasi untuk bangunan. Batas paparan CO rata-rata adalah 35 ppm selama satu jam, tidak lebih dari satu kali per tahun, atau 9 ppm selama periode waktu delapan jam kerja. ACGIH dan OSHA juga telah menetapkan batas paparan maksimum di tempat kerja Industri (TSI, 2013). Sedangkan nilai ambang batas untuk CO berdasarkan PERMENAKERTRANS No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat Kerja adalah 29 mg/m3.

(39)

asfiksia (asphyxiate). Dan mengakibatkan racun dengan cara meracuni hemoglobin (Hb) darah. Hb berfungsi mengikat darah dalam bentuk HbO. Setelah CO mengikat hemoglobin darah terbentuk ikatan: HbCO maka otomatis oksigen akan terusir. Dengan mekanisme ini, tubuh mengalami kekurangan oksigen dan gejala asfiksia atau kekurangan oksigen akan terjadi. Sebab afinitas atau sifat pengikatan atau daya lengket karbon monoksida ke hemoglobin darah dibandingkan dengan oksigen jauh lebih besar sebanyak 200–3000 kali lipat. Dalam jumlah sedikit pun gas karbon monoksida jika terhirup dalam waktu tertentu dapat menyebabkan gejala racun terhadap tubuh (Utami dkk., 2013).

c. Karbon Dioksida (CO2)

(40)

d. Volatile Organik Compound (VOC)

Kehadiran pencemar organik mungkin merupakan konstituen terbesar dari aerosol yang ada dalam ruangan. Dikarenakan jumlah spesies bahan kimia hadir di udara dalam ruangan. Formaldehida adalah salah satu salah satu senyawa organik yang termasuk kedalam senyawa polutan yang mudah menguap (VOC), dan merupakan salah satu dari polutan udara di ruangan yang dapat diukur. Pengendalian yang dapat dilakukan adalah mengidentifikasi dan jika mungkin menghapus sumber formaldehida dan jika tidak dapat mengurangi eksposur dengan menggunakan poliuretan atau sealant pada lemari dan perabotan lainnya (EPA, 1995),

e. Sulful Dioksida (SO2)

(41)

berbahaya akibat yang ditimbulkan adalah ancaman bagi seluruh makluk hidup. SO2 adalah pencemar dari sumber industri yang berperan sebagai prekursor asam sulfat (H2SO4), komponen partikel aerosol yang mempengaruhi deposisi asam, iklim global, dan lapisan ozon global. Sumber utama dari SO2 adalah pembangkit listrik tenaga batu bara, pembakaran bahan bakar fosil, dan gunung berapi (Cahyono, 2011). NAB untuk sulfur dioksida berdasarkan Permenakertrans No. 13 Tahun 2011 adalah 0,25 mg/m3.

f. Nitrogen Oksida (NO2)

Gas NO2 adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. NO2 bereaksi dengan senyawa organik volatile membentuk ozon dan oksida lainnya. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas nitrogen oksida adalah paru-paru. Paru-paru terkontaminasi oleh gas NO2 akan menyebabkan pembengkakan sehingga sulit bernafas dan dapat mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernafasan, bila kondisinya kronis dapat berpotensi terjadi bronchitis serta akan terjadi penimbunan nitrogen oksida dan dapat merupakan sumber karsinogenik (Tossin Alamsyah dkk., 2012). Sedangkan nilai ambang batas untuk NO2 berdasarkan Permenakertrans No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat Kerja adalah 3 mg/m3.

3. Kualitas Biologi

(42)

sebagai debu aktif atau sebagai elemen pasif. Jika konsentrasi jamur atau bakteri spora dengan jenis yang sama melebihi 2-300 CFU/mg, maka mereka tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang normal, karena hal itu telah dihasilkan oleh lingkungan didalam ruangan. Perkembangan spora diudara dalam ruangan biasanya berkaitan dengan kondisi cuaca, seperti kecepatan angin, curah hujan dan fluktuasi suhu harian yang memainkan peran dalam penyebaran dilingkungan ruangan (Wahab, 2011).

Standar parameter biologi udara dalam ruangan kerja mengacu pada KEPMENKES No. 1405 tahun 2002, yaitu 700 koloni/m3. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Zhang pada tahun 2012 menyatakan bahwa jamur di udara dalam ruangan berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS serta peningkatan respon bronkus dan peradangan eosinophilic (Zhang dkk., 2012). 4. Psikososial

Psikososial mengacu pada hubungan yang erat antara aspek pengalaman psikologis manusia dan pengalaman sosial yang lebih luas (ARC, 2009). Sebagian besar literatur menunjukkaan bahwa faktor psikososial di tempat kerja berkonstribusi dalam berbagai gangguan kesehatan. Sebagian besar bukti memiliki akumulasi pada hubungan antara non-spesifik psikologis, perilaku dan syndrome somatik dan stres atau kondisi pekerjaan yang tidak menguntungkan. Faktor psikososial yang positif bisa bertindak sebagai hal yang dapat menjaga kesehatan dan agen meningkatkan kesehatan (Medicine, 1997).

(43)

Berbagai faktor yang berhubungan dengan faktor psikososial seperti stress kerja, beban kerja yang tinggi, kurangnya dukungan sosial, konflik di tempat kerja, pola komunikasi yang buruk, manajemen yang buruk dan perubahan organisasi berkaitan dengan pelaporan gejala khas Sick Building Syndrome (Wahab, 2011). Adanya otomatisasi kantor dan teknologi komputer dapat meningkatkan efisiensi kerja, namun dengan kondisi ini pekerja dituntut untuk lebih memaksimalkan performa kerjanya. Pekerja harus meningkatkan kemampuannya dan dapat mengatasi beban kerja yang lebih berat yang dapat menimbulkan stress pada pekerja.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di afrika selatan pada tahun 1995 menemukan bahwa tekanan psikologis menyumbang 15 dan 19 % dari varians dalam gejala SBS (Bachmann MO & Myers JE, 1995). Dalam penelitian yang dilakukankan oleh Laila Tahun 2011 menyatakan bahwa faktor psikososial dengan jenis kelamin memiliki hubungan dengan kejadian SBS, dimana responden yang memiliki jenis kelamin perempuan dengan kondisi psikososial baik berpeluang 5.500 kali untuk mengalami keluhan SBS dibandingkan dengan laki-laki.

5. Karakteristik Individu a. Umur

(44)

lebih mudah mempengaruhi kekebalan orang usia tua (Anies, 2004). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Laila tahun 2011 menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan rata-rata umur antara pegawai yang mengalami keluhan SBS dengan yang tidak mengalami SBS. Dan berdasarkan hasil penelitian mulitivariat didapatkan bahwa umur berpeluang untuk menyebabkan terjadinya keluhan SBS pada pegawai adalah sebesar 1,074 kali pada pegawai yang memiliki umur dibawah 37, setelah dikontrol oleh variabel pencahayaan dan psikososial (Laila, 2011). Berbeda dengan hasil dari penelitian Nur Habibi Rahman dkk (2013) mengenai studi tentang keluhan Sick Building Syndrome (SBS) pada pegawai di gedung rektorat Universitas Hasanuddin Makassar, menyatakan bahwa persentase variabel lebih besar mengalami keluhan SBS yaitu umur tua (> 40 tahun) yakni sebanyak 44%. b. Jenis Kelamin

(45)

Tianjin, Cina menyatakan bahwa siswa dengan jenis kelamin perempuan mengalami lebih sedikit gejala Sick Building Syndrome daripada siswa dengan jenis kelamin laki-laki (Sun dkk., 2013). Dan pada penelitian Jafari dkk (2015) menjelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan berdasarkan tinggi badan (p<0,05) dengan kejadian SBS (Jafari dkk., 2015).

c. Perilaku Merokok

Sebagai pencemar dalam ruang, asap rokok merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Hal ini disebabkan oleh besarnya aktivitas merokok didalam ruangan yang sering dilakukan oleh pekerja yang mempunyai kebiasaan merokok. Asap rokok yang dikeluarkan dari seorang perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Dalam jumlah tertentu asap rokok ini sangat menganggu kesehatan, seperti mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya (Pudjiastuti dkk., 1998).

(46)

d. Lama Kerja

Redlich dkk (1997) dalam Wahab (2011) menemukan bahwa durasi waktu yang dihabiskan bekerja di gedung dapat mempengaruhi terjadinya gejala Sick Building Syndrome (Wahab, 2011). Masa kerja dengan keluhan Sick Building Syndrome semakin lama pegawai bekerja disuatu tempat, semakin besar kemungkinan mereka terpapar oleh faktor-faktor lingkungan kerja baik fisik maupun kimia yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau penyakit akibat kerja khususnya SBS yang pada akhirnya dapat mengakibatkan menurunnya produktifitas kerja seorang pegawai atau pekerja. Dari hasil penelitian Rahman dkk 2013 menyatakan bahwa pekerja dnegan masa kerja ≥ 5 tahun memiliki risiko lebih terhadap Sick Building Syndrome

(Rahman dkk., 2013)

e. Riwayat Alergi dan Riwayat Atopi

(47)

dengan faktor genetik dan lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan. Kondisi lingkungan yang semakin kompleks membuat jumlah alergen meningkat (Wistiani & Harsoyo Notoatmojo, 2011).

Dalam studi yang dilakukan oleh para oleh ilmuwan telah diketahui bahwa individu mempunyai kecenderungan memproduksi IgE dalam jumlah besar terhadap paparan bahan alergen. Kondisi demikian ini disebut atopi, yang sangat dipengaruhi oleh kekerabatan dan dipengaruhi oleh banyak lokus gen. Individu atopi mempunyai jumlah IgE yang lebih banyak pada sirkulasi darah demikian juga level eosinofil jika dibandingkan orang normal. Individu atopi mempunyai kerentanan terhadap penyakit alergi seperti halnya asma dan alergi serbuk bunga. Faktor genetik dan lingkungan masing-masing berkontribusi 50% pada kejadian penyakit alergi seperti asma (Rifa'i, 2011). Seorang anak yang berasal dari keluarga dengan riwayat penyakit alergi akan berisiko mengalami penyakit alergi dua sampai tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak punya riwayat penyakit alergi di keluarganya (Koning H dkk., 2000).

(48)

risiko terjadinya SBS di lingkungan kantor terutama bagi pekerja yang memiliki riwayat alergi dermatophagoides farinae (Der f 1) (Lim dkk., 2015). E. Upaya Pencegahan Sick Building Syndrome

Solusi penanganan dan pencegahan Sick Building Syndrome, antara lain:

1. Memperbaiki sistem tatanan udara dan AC didalam gedung yang dapat menjadi salah satu cara mengurangi polutan yang terdapat didalam gedung. Mesin pendingin ruangan (AC) dan sistem ventilasi harus dirancang untuk memenuhi syarat minimum dari sistem tata udara yang baik dalam satu gedung. Pastikan bahwa sistem tata udara telah beroperasi dan dipelihara dengan baik. Harus ada saluran pembuangan yang langsung mengarah keluar bangunan apabila diketahui adanya sumber polutan berbahaya yang dikeluarkan oleh AC.

2. Memindahkan atau memperbaiki sumber polutan dalam gedung. Cara ini termasuk dengan pemeliharaan rutin terhadap sistem pendingin ruangan (HVAC), membersihkan tempat-tempat yang dapat menjadi tempat genangan air, pelarangan merokok didalam ruangan gedung, atau menyediakan tempat khusus merokok dengan ventilasi yang langsung mengarah ke luar bangunan.

3. Memasang penjaring ruangan,

(49)

Menurut Kusnoputrato (2000), ada beberapa faktor yang dapat diperhatikan dalam upaya pencegahan Sick Building Syndrome (Kusnoputranto, 2000), yaitu :

1. Pemilihan lokasi gedung

Polusi udara dapat berasal dari sumber yang dekat atau jauh dari lokasi gedung. Oleh karena itu, sebelum mendirikan bangunan harus diperhatikan hal-hal berikut:

a. Data tentang tingkat polusi udara daerah b. Analisis sumber polusi di sekitar lokasi

c. Tingkat polusi air dan tanah, meliputi gas radon dan komponen radioaktif lainnya.

d. Informasi tentang cuaca dan iklim yang dominan di lokasi 2. Desain arsitektur

Dalam merancang sebuah gedung harus memperhitungkan faktor kelembaban dalam ruang, perubahan suhu, pergerakan udara, radiasi, serangan bahaya kimia, dan agen biologi atau bencana alam. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan hal berikut ini:

a. Bagian gedung yang terbuka harus terletak jauh dari sumber polusi dan tidak terletak pada posisi yang berlawanan dengan arah angin

b. Perlu diperhatikan tentang pembuangan air

(50)

3. Pengaturan Jendela

Dalam membangun sebuah gedung, pengaturan jendela termasuk dalam perencanaan proyek arsitektur. Keuntungannya adalah untuk menyediakan ventilasi tambahan untuk daerah-daerah yang membutuhkan. Selain itu keuntungan kedua adalah bersifat psikososial yaitu memberikan pemandangan keluar ruangan untuk para karyawan.

4. Perlindungan kelembaban

Hal ini termasuk penting dalam melakukan pengendalian terhadap kejadian Sick Building Syndrome, dengan cara penurunan kelembaban pada pondasi bangunan dimana mikroorganisme terutama jamur dapat menyebar dan berkembang. Isolasi dan pengendalian area yang paling rawan kelembaban perlu dipertimbangkan karena kelembaban dapat merusak bahan-bahan perlengkapan gedung dan biasanya bahan-bahan yang rusak tersebut menjadi sumber kontaminan mikroorganisme.

5. Perencanaan jarak dalam ruangan

Untuk menghindari efek SBS perlu diketahui berbagai aktivitas yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Contoh aktifitas yang dapat menjadi sumber kontaminan yaitu bagian penyiapan makanan, percetakan, pembangunan mesin fotocopy dan merokok. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk membatasi dan mengendalikan sumber-sumber potensial polusi.

6. Pemilihan Bahan

(51)

diperhatikan dalam rangka mencegah timbulnya masalah polusi udara dalam gedung.

F. Instrumen Pengukuran Sick Building Syndrome

(52)

37

Safety and Health (NIOSH) indoor air quality survey questionnaire,

b. American Industrial Hygiene Association

(AIHA) occupational health and comfort

questionnaire, dan

c. Danish Building Research Institute building

diagnostic human resource questionnaire

besar bangunan dan pekerjaan. b. Dapat digunakan secara proaktif

untuk pekerja baru untuk menentukan apah bangunan tersebut sehat.

c. Dapat digunakan sebagai survey tahunan.

kronis lagi atau Building Related Illnesses (BRI)

dibutuhkan konsultasi bersama petugas medis

2 SBARS (The Sick Building

Assessment and Rehabilitation System)

a. SBARS dapat menghasilkan satu set informasi yang berisi

rekomendasi , tetapi dalam khasus tertentu akan dapat merujuk pekerja untuk dating pada dokter spesialis tertentu.

3 Indoor Air Quality and Work Symptoms Survey EPA (1991) a. Dapat digunakan untuk

menanggualngi faktor risiko SBS yang berhubungan dengan pekerjaan.

(53)

38

dan dapat diandalkan.

b. Pertanyaan disesuaikan dengan tempat penelitian, an terapat juga pertanyaan mengenai psikososial yang berkaitan dengan iklim dalam ruangan kerja.

banyak faktor dan kondisi, termasuk cara yang survei diselenggarakan dan masalah yang terlibat.

Sumber : (Wahab, 2011), (Jack Rostron, 2005), dan (Andersson, 1998).

(54)

39

pengumpulan, penyajian, analisa, dan penyimpulan suatu data mentah, agar menghasilkan informasi yang lebih jelas untuk keperluan suatu pendekatan ilmiah (scientific interferences), dan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu statistik deskriptif dan statistik inferensial (Chandra, 1995). Data dapat diperoleh dari sutau pengukuran dan untuk mendapatkan data yang akurat, diperlukan suatu alat ukur (instrument) yang valid dan reliabel. Tujuan dari statistik adalah untuk menjawab permasalahan dan membuktikan sesuatu dugaan yang belum terbukti (Sabri & Hastono, 2011). Pemilihan uji statistik yang tepat akan menghasilkan penarikan kesimpulan yang tepat pula. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan uji adalah sebagai berikut, yaitu tujuan uji, jenis data, sampel yang diuji, dan jumlah sampel (Fajar dkk., 2009).

(55)

Tabel 2.4 Pemilihan Uji Statistik Variabel

Uji Statistik Independen Dependen

Nominal/Kategorik Nominal/Kategorik Chi Square

Nominal/Kategorik

(dikotom) Numerik Uji T-Independen, Berpasangan Nominal/Kategorik

(>2 Nilai) Numerik Anova

Numerik Numerik Regresi Kolerasi

Dalam penelitian ini menggunakan uji statistik chi square untuk variabel kategorik dan kategorik, serta menggunakan uji T-Independen untuk menghubungkan variabel numerik dengan kategorik (Fajar dkk., 2009).

Uji statistik chi square

Uji chi square dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel kategorik dengan variabel kategorik.

Adapun rumus uji chi square adalah sebai berikut: �2 = ( �−��)

�� df = (k-1) (b-1)

Keterangan : oi = nilai observasi

ei = nilai ekspektasi (harapan) k = jumlah kolom

b = jumlah baris

(56)

Uji T-Independen

Uji T- Independen merupakan ujia statistik terhadap signifikan tidaknya perbedaan nilai rata-rata dari dua sampel yang berbeda. Dalam pengujian statistik, hipotesis yang akan diuji (h0) dan hipotesis alternative (h1) sering dilambangkan dalam notasi, H0 : µ1 = µ2 dan H1 : µ1 ≠ µ2. Analisis ini cocok digunakan untuk data yang meneliti skala interval dan rasio (M, 2011).

Rumus perhitungan t independen sebagai berikut:

� = �1− �2

1−1 �12+ 2−1 �22 1+ 2 −2

1 1+

1 2

(57)

H. Kerangka Teori

Beberapa sumber menyebutkan bahwa terdapat faktor yang dapat menyebabkan Sick Building Syndrome antara lain:

Gambar 2.1 Kerangka Teori

(58)

43 A. Kerangka Konsep

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

Pada kerangka konsep diatas merupakan variabel yang akan diteliti pada penelitian ini. Gejala fisik SBS berhubungan dengan faktor fisik pada bangunan seperti suhu, pencahayaan, kelembaban dan laju angin, serta faktor individu yaitu jenis kelamin, umur, lama kerja, riwayat alergi dan riwayat atopi. Variabel yang tidak diteliti pada penelitian ini adalah :

1. Variabel kualitas fisik kebisingan tidak diteliti pada penelitian ini karena dari hasil studi pendahuluan menunjukkan hasil pengukuran kebisingan dalam ruangan kerja PT. PAS yaitu 65 dB termasuk dibawah NAB berdasarkan Kualitas Fisik :

 Suhu

 Kelembaban

 Laju Angin

 Pencahayaan

Karakteristik Individu :

 Jenis Kelamin

 Umur

 Lama Kerja

 Riwayat alergi

 Riwayat Atopi

(59)

Permenakertrans No. 13 tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat yaitu 85 dB, dan berdasarkan KepmenLH No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, NAB perkantoran yaitu 65 dB sehingga hasil pengukuran masih dibatas aman.

2. Variabel kualitas kimia partikulat, CO, NO2, SO2, CO2, VOCs tidak dapat diteliti karena keterbatasan alat dan dana.

3. Variabel faktor biologi tidak diteliti pada penelitian ini karena keterbatasan dana dan waktu dalam melakukan penelitian terhadap variabel biologi bakteri dan jamur.

4. Variabel psikososial tidak diteliti pada penelitian ini karena berasarkan hasil observasi, psikososial dilingkungan kerja PT PAS sudah baik terlihat dari hubungan antara rekan kerja terjalin dengan baik.

(60)

45

1. Ya, apabila pekerja merasakan minimal satu gejala pada setiap kategori (kategori umum, kategori berkaitan mata, hidung tenggorokan, batuk. Dan kategori yang melibatkan kulit) dalam kurun waktu satu minggu terakhir atau dalam waktu tiga bulan terakhir.

2. Tidak, apabila pekerja tidak merasakan minimal satu gejala pada setiap kategori dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. (Andersson, 1998)

Ordinal

Kualitas Fisik

2 Suhu Menyatakan derajat panas atau

dingin suatu ruangan dan dapat diukur langsung (Wahab, 2011). dan dapat diukur langsung.

Pengukuran Thermohygrometer 1. Memenuhi syarat 40% - 60%.

2. Tidak memenuhi syarat (<40 %atau > 60 %) (KEPMENKES, 2002)

Ordinal

4 Laju angin Parameter fisik udara yang bergerak secara horizontal pada ketinggian dua meter dari lantai.

Pengukuran Anemometer digital

Kestrel 1000 Pocket

5 Pencahayaan Jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan.

Pengukuran Environmental Meter Krisbow

Kw06-291 4in1 Multifuction

1. Memenuhi syarat (≥ 100 lux)

2. Tidak memenuhi syarat (< 100 lux) (KEPMENKES, 2002)

(61)

Tabel 3.1 (Lanjutan)

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Karakteristik Individu

6 Jenis kelamin Perbedaan biologis fisiologis yang dibawa sejak lahir. mulai lahir sampai saat penelitian dilaksanakan.

8 Lama kerja Panjangnya waktu kerja responden yang dihitung dari mulai awal masuk kerja sampai dengan pada saat penelitian ini dilakukan (Laila, 2011).

9 Riwayat Alergi Penyakit terdahulu yang pernah dialami oleh responden

10 Riwayat Atopi Sifat genetik yang dimiliki individu yang diturunkan oleh keluarga, dan menimbulkan gejala alergi yang berhubungan dengan kualitas udara yang buruk (Rifa'i, 2011).

1. ya, jika memiliki riwayat atopi 2. tidak, jika tidak memiliki riwayat

atopi

(62)

47 A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi yang digunakan adalah cross sectional. Desain studi cross sectional dipilih karena dalam penelitian ini variabel dependen dan variabel independen diamati dalam periode waktu yang bersamaan.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Gedung PT Pelita Air Service. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Oktober 2015 sampai dengan Mei 2016.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah pekerja di gedung PT Pelita Air Service dengan jumlah populasi 100 pekerja. Sampel dalam penelitian adalah seluruh pekerja kantor yang berada di tiga gedung PT PAS yaitu 100 pekerja.

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Dalam penelitian ini akan melakukan pengujian hipotesis, maka besar sampel dihitung menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi dua arah, yaitu sebagai berikut:

= Z1-α/2 2P(1-P)+Z1-β P1(1-P1)+ P2(1-P2) 2

P1- P2 2

Keterangan :

(63)

Z1-α : nilai Z pada derajat kemaknaan α pada uji 2 sisi (two tail), yang digunakan adalah 5% (1

2

= 1,96)

Z1-β : nilai Z pada kekuatan 1-β (β = 70%) (Z 1-β = 0.53)

P1 : Proporsi responden yang mengalami SBS dengan faktor psikososial kurang baik (18.2%)

P2 : Proporsi responden yang mengalami SBS dengan faktor psikososial baik (38.8%)

P : Proporsi total (P1+P2/2)= (0.285)

Berikut pada tabel 4.1 perhitungan minimal sampel penelitian berdasarkan variabel pada penelitian sebelumnya.

Tabel 4.1 Perhitungan Minimal Sampel Penelitian

P1 P2 P n Nx2 Keterangan

Berdasarkan hasil perhitungan sampel pada tabel 4.1 dengan rumus uji beda dua

proporsi didapatkan hasil jumlah sampel pada penelitian ini adalah 92 responden dengan

menggunakan derajat kemaknaan 5% dan kekutan uji 70%. Pada tabel 4.2 perhitungan minimal sampel yang seharusnya pada penelitian ini.

Tabel 4.2 Perhitungan Sampel Berdasarkan Variabel Psikososial

(64)

Berdasarkan tabel 4.2 hasil perhitungan besar minimal sampel yang seharusnya pada penelitian ini dengan menggukan rumus uji beda dua proporsi, menggunakan derajat kepercayaan 5% dan nilai kekuatan 80% adalah 162 responden. Tetapi pada penelitian ini jumlah populasi adalah 100 responden sehingga dilakukan perhitungan sampel menggunakan rumus estimasi proporsi. Berikut perhitungan sampel menggunakan rumus estimasi proporsi:

= �1−�2�(1− �) d2

Keterangan :

n : Jumlah atau besar sampel minimal

Z1-α : nilai Z pada derajat kemaknaan α yang digunakan adalah 5% (1

2

= 1,96)

P : Proporsi variabel dependen dan variabel independen d : derajat akurasi/presisi mutlak (10%)

Tabel 4.3 Perhitungan Sampel Estimasi Proporsi

P n Nx2 Keterangan

Psikososial 0.285 41.95 83.9 Laila (2011) Perilaku Merokok 0.325 42.99 85.98

Umur 0.4105 47.42 94.84 Rahman

(2013)

Masa Kerja 0.392 46.71 93.42

(65)

penelitian padapenelitian ini, peneliti menggunakan seluruh populasi pekerja di PT PAS yaitu sebanyak 100 responden.

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh secara langsung melalui kuesioner mengenai karakteristik pekerja dan mengenai keluhan SBS, serta observasi tempat penelitian dan data hasil pengukuran kualitas fisik di tempat kerja. 1. Cara pengumpulan data SBS untuk variabel karakteristik individu dan

keluhan SBS.

Data keluhan Sick Building Syndrome terlebih dahulu didapatkan dengan cara memberikan kuesioner. Kuesioner diberikan setelah 10-15 menit pekerja masuk kedalam ruangan kerja. Dalam kuesioner ini bagi menjadi lima bagian, yaitu identitas diri, lingkungan kerja, psikososial, riwayat penyakit dan gejala SBS.

a. Untuk pertanyaan lingkungan kerja berisi 12 pertanyaan dengan tiga skala pengukuran, yaitu sering, kadang-kadang, dan tidak pernah. b. Pertanyaan gejala SBS untuk menentukan kasus sick building syndrome,

gejala dikategorikan menjadi tiga (Tetsuya Mizoue dkk., 2001), yaitu pada tabel 4.4 berikut ini:

Tabel 4.4 Kategori gejala penyakit

Skor Kategori

1 Gejala umum terdiri dari kelelahan, kepala terasa berat, sakit kepala, mual/pusing, kesulitan berkonsentrasi

(66)

Responden dikatakan mengalami SBS apabila melaporkan setidaknya satu gejala umum dan satu gejala mata, hidung, tenggorokan atau kulit dalam kurun waktu satu minggu atau tiga bulan sebelumnya. d. Untuk pertanyaan riwayat alergi, gejala diketagori menjadi tiga, yaitu

riwayat asma, riwayat rhinitis alergi, dan riwayat penyakit kulit. Terdapat alternatif jawaban ya dan tidak.

Tabel 4.5 Skoring Variabel Riwayat Alergi Skor Jawaban

1 Ya

2 Tidak

Tiga pertanyaan riwayat alergi terdiri dari pertanyaan riwayat asma (memiliki riwatar asma), riwayat rhinitis (memiliki riwayat rhinitis), dan riwayat kulit (memiliki riwayat penyakit kulit). Setiap pertanyaan memiliki jawaban alternatif 1 sampai 2 dengan kisaran skor jawaban (3-6). Dari hasil perhitungan, variabel riwayat alergi dikategorikan yaitu apabila jumlah skor kurang dari 6 maka responden memiliki riwayat alergi, dan apabila jumlah skor 6 maka kondisi memiliki riwayat alergi. Responden dikatakan memiliki riwayat alergi apabila memiliki salah satu dari riwayat alergi (Andersson, 1998). 2. Cara pengumpulan data untuk variabel kualitas fisik.

(67)

pengambilan data SBS dari responden melalui pengisian kuesioner, denah lokasi titik pengukuran terdapat pada lampiran 3.

a. Pengukuran suhu udara, kelembaban menggunakan alat Thermohygrometer, pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan selama 15 menit dan 10 menit untuk aklimatisasi alat pada setiap titik ruangan. Dalam satu ruangan dilakukan pengukuran pada setiap responden dengan pertimbangan ruangan menggunakan AC central dan tertutup, sehingga udara akan terdistribusi merata. Cara pengukurannya :

1) Mempersiapkan alat, memasang baterai. 2) Menekan tombol power,

3) Lakukan pengukuran 10 menit untuk aklimatisasi,

4) Kemudian lakukan pengukuran selama 15 menit pada setiap titik, 5) Membaca hasil pengukuran suhu dan kelembaban pada alat, pada

setiap titik dilakukan 3 kali pengukuran. 6) Mencatat hasil pengukuran pada lembar hasil.

b. Pengukuran pencahayaan dengan menggunakan alat environmental meter Krisbow Kw06-291 4in1 Multifuction Untuk pengukuran pencahayaan, alat ukur cahaya diletakkan di atas meja kerja responden. Cara pengukurannya yaitu:

1) Mempersiapkan alat, memasang baterai pada tempatnya,

(68)

3) Membaca hasil pengukuran pada layar monitor setelah menunggu beberapa saat sehingga didapat nilai angka yang stabil.

4) Mencatat hasil pengukuran pada lembar hasil. Pengukuran tiga kali pada setiap titik.

c. Pengukuran laju angin dalam ruangan dengan menggunakan alat anemometer digital Kestrel 1000 Pocket Wind Meter. Dimana alat akan bekerja pada saat tertiup angin, baling-baling yang terdapat pada anemometer akan bergerak sesuai arah angin. Anemometer harus ditempatkan didaerah terbuka dan diletakkan 1-1.5 meter dari platfom. Baling-baling pada anemometer akan berputar dengan sendiri jika tertiup angin. Di dalam anemometer terdapat alat pencacah yang akan menghitung kecepatan angin yang dapat dilakukan pembacaan langsung. Cara pengukurannya yaitu :

1) Siapkan alat, pegang alat ukur dan berdiri didekat responden sambil mengangkat tangan ke atas.

2) Kemudian membaca hasil pengukuran setelah menunggu beberapa saat sehingga didapatkan nilai angka yang stabil.

3) Mencatat hasil pada lembar hasil. Pada setiap titik dilakukan tiga kali pengukuran.

E. Instrumen Penelitian

Instrument dalam penelitian ini meliputi :

(69)

untuk meneliti karakteristik individu responden dan keluhan SBS yang dirasakan oleh responden. Kuesioner yang digunakan terlampir pada lampiran 2.

2. Alat Environmental Meter Krisbow Kw06-291 4in1 Multifuction, alat ini digunakan untuk mengukur pencahayaan dengan menggunakan metode pembacaan langsung.

Gambar 4.1 Environmental meterKrisbow Kw06-291 4in1 Multifuction 3. Thermohygrometer,Dual Temp./RH% Monitor mode 87792 in/out temp./RH

monitor. Alat ini digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban dengan menggunakan motede pembacaan langsung.

Gambar 4.2 Thermohygrometer

Gambar

Tabel 2.1 NAB Kebisingan Berdasarkan Permenakertrans No. 13 Tahun 2011
Tabel 2.2 Baku Tingkat Kebisingan Berdasarkan KEPMENLH No. 48 Tahun 1996
Tabel 2.3 Perbandingan Instrumen Pengukuran
Tabel 2.3 (Lanjutan)
+7

Referensi

Dokumen terkait