• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 Dapatkah anak membantu memungut mainannya sendiri atau membantu

5.2 Hubungan karakteristik keluarga dengan tumbuh kembang balita

Selain pernikahan dini, karakteristik keluarga juga hubungan dengan tumbuh kembang balita, seperti usia perkawinan, pendidikan keluarga, pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga, dapat dilihat dalam uraian dibawah ini:

a. Usia Perkawinan

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan perhitungan Chi Square

didapati nilai P=0.001 (p < α = 0.05), artinya bahwa ada hubungan usia perkawinan dengan tumbuh kembang balita di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. Berdasarkan hasil penelitian didapati mayoritas gangguan tumbuh kembang terdapat pada usia perkawinan yang semakin lama. Hal ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia perkawinan maka ada kemungkinan ibu mulai tidak mampu memperhatikan gizi balitanya.

Terdapat 91 balita berasal dari keluarga yang telah memiliki usia perkawinan lebih dari 10 tahun. 53 (58,2%) balita mengalami gangguan tumbuh kembang diantaranya 39 (42,8%) mengalami gangguan pertumbuhan meliputi 4 (4,3%) sangat kurus, 27 (29,6%) kurus, dan 8 (8,75) gemuk. Serta terdapat 35 (38,4%) mengalami gangguan perkembangan meliputi 32 (35,1%) meragukan dan 3 (3,2%)

penyimpangan. sedangkan pada balita yang dari keluarga dengan usia perkawinan <10 tahun mayoritas memiliki tumbuh kembang normal 69 (67,6%).

Penelitian ini didukung oleh beberapa penelitian lainnya, hasil penelitian Tsania (2015), didapatkan bahwa lama menikah memiliki hubungan negatif dengan perkembangan anak ditunjukkan nilai (P<0.01). dari hasil uji regresi juga didapati bahwa setiap bertambahnya usia pernikahan maka perkembangan anak akan menurun sebesar 1,290 poin.

Berdasarkan hasil penelitian Kaswari (2012), dari keluarga yang telah lama menikah 6-10 tahun didapati bahwa mayoritas ibu melakukan sikap dan tindakan yang kurang baik dalam pemenuhan status gizi balitanya. Berbeda dengan yang usia menikah 1 – 5 tahun yang cenderung baik.

Semakin bertambah usia perkawinan seseorang maka semakin bertambah pula usia seseorang, akan terjadi perubahan-perubahan aspek fisik. Dalam fase lama pernikahan. biasanya, pasangan suami istri juga sudah memasuki usia lanjut. Dimana jika usia pernikahan sudah lebih > 11 tahun, fase ini menjadi fase yang sulit jika pasangan suami istri masih memiliki anak balita, karena pada periode pernikahan ini biasanya sudah menyiapkan diri untuk menerima kehadiran menantu, dan mempersiapkan diri menjadi kakek nenek (strong dan De vault (1989) dalam Mubarok, 2016).

Berdasarkan Riskesdas (2013) dikatakan bahwa semakin muda umur menikah semakin panjang rentang waktu untuk bereproduksi. Sehingga semakin tinggi jumlah anak dalam keluarga.

Menurut asumsi peneliti, keluarga merupakan bagian terpenting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan balita. Semakin bertambah usia perkawinan maka semakin baik pula keluarga tersebut, hanya saja akan terjadi proses penurunan fisik pada orang tua sehingga akan berpengaruh jika keluarga kembali memiliki anak balita. Berdasarkan hasil penelitian didapati bahwa mayoritas pertumbuhan anak yang tidak normal terdapat pada keluarga yang memiliki usia perkawinan lebih lama, hal ini diakibatkan karena penurunan aspek fisik yang di miliki oleh pasangan suami istri, sehingga anak balita lebih sering di berikan kepada anak yang lebih besar dalam proses pengasuhannya, dan beberapa pasangan suami istri menyewa jasa pengasuh anak dalam proses pengasuhan balita. Pengalihan pola asuh ini menyebabkan kurangnya interaksi dan lepasnya pemantauan orang tua akan menyebabkan anak krisis stimulasi perkembangan, bahkan tidak jarang banyak anak akan mengalami kekurangan nutrisi dikarenakan asupan makan yang diperolehnya tidak baik, hal ini jelas akan mempengaruhi tumbuh kembang balita. Status ekonomi yang rendah juga menjadi faktor ketidaknormalan tumbuh kembang balita, ekonomi yang rendah menyebabkan kedua orang tua harus bekerja sehingga stimulasi terhadap perkembangan anak akan berkurang.

Dalam penelitian Gueorguelva et al (2001) juga dikatakan bahwa semakin bertambah usia perkawinan, maka akan semakin timbul perasaan bosan, sehingga akan terjadi beberapa pertengkan didalam keluarga, ibu akan mengalami stres, dan ayah akan lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah, hal ini akan berdampak pada tumbuh kembang balita.

b. Pendidikan Keluarga

Pendidikan Keluarga dibagi berdasarkan pendidikan istri dan suami, tidak ada hubungan pendidikan suami dengan tumbuh kembang anak, diketahui hasil uji P=0.244 (p > α = 0.05). sedangkan ada hubungan pendidikan istri dengan tumbuh kembang balita dengan nilai P=0.001 (p < α = 0.05). Hal ini dikarenakan bahwa istri berperan langsung dalam mengatur pemenuhan gizi keluarga, serta istri yang berperan langsung dalam pengasuhan anak, sedangkan suami bertanggung jawab dalam pemenuhan nafkah keluarga.

Berdasarkan tingkat pendidikan mayoritas istri memiliki pendidikan dasar, dengan balita yang mengalami gangguan tumbuh kembang sebanyak 61 (55,5%) meliputi 41 (37,2%) di antaranya 7 (6,3%) balita dengan berat badan sangat kurus, 29 (26,3%) kurus dan 5 (4,5%) gemuk, serta 40 (36,3%) mengalami gangguan perkembangan meliputi 35 (31,8%) meragukan dan 5 (4,5%) dalam kategori penyimpangan, sedangkan istri yang berpendidikan tinggi mayoritas memiliki tumbuh kembang anak balita normal 58 (69,9%).

Hasil penelitian ini, sama seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh tsania (2015) dan penelitian Pratama (2013) bahwa ada hubungan tingkat pendidikan istri dengan tumbuh kembang balita dengan nilai (p<0,05). Artinya bahwa semakin baik tingkat pendidikan maka semakin baik pula tumbuh kembang balita. Hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin mudah pula ibu menerima informasi mengenai penemuhan nutrisi dan stimulasi pada anak sehingga tumbuh kembang balita menjadi baik.

Pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan seseorang, makin tinggi tingkat pendidikan maka semakin mudah bagi orang itu menerima informasi. Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting untuk mengubah perilaku seseorang, bila pendidikan ibu tinggi, maka ibu akan mudah menerima informasi tentang gizi dan stimulasi anak. Pengetahuan yang cukup akan gizi dan stimulasi anak sangat berperan pada cara pengolahan bahan makanan sehingga anak akan mendapat asupan gizi yang baik, sama halnya jika stimulasi yang diberikan pada anak benar, anak akan mampu melakukan setiap hal sesuai usianya (Notoatmodjo, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian ini didapati bahwa mayoritas pendidikan istri adalah pendidikan dasar, hal ini dipengaruhi oleh usia menikah yang terlalu dini. Sama seperti hasil penelitian Gueorguelva et al (2001) dikatakan bahwa semakin cepat seseorang menjadi ibu di usia muda akan menyebabkan ketidaksempatan untuk merasakan pendidikan yang lebih tinggi.

Berdasarkan tingkat pendidikan suami, suami yang memiliki pendidikan tinggi mayoritas memiliki balita dengan tumbuh kembang normal yaitu 61 (51,7%) sedangkan suami yang memiliki tingkat pendidikan dasar mayoritas juga memiliki balita dengan tumbuh kembang normal 46 (61,3%).

Pendidikan suami tidak memiliki hubungan dengan tumbuh kembang balita, Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan yudi (2007), tidak ada hubungan pendidikan suami/ ayah terhadap status gizi balita dengan nilai P=0.395 (p > α = 0.05). hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran suami terhadp perannya sebagai ayah.

Suami sebenarnya memiliki peran penting dalam pengasuhan anak, tetapi tidak semua ayah menyadari akan perannya dirumah. Suami merasa dirinya hanya berperan dalam nafkah keluarga. Hal ini menyebabkan terbatasnya interaksi antara anak dan ayah yang akan berdampak pada perkembangan anak (Septiari, 2012).

Dari hasil penelitian didapati bahwa mayoritas suami di desa limau manis kecamatan tanjung morawa kabupaten deli serdang memiliki pendidikan yang tinggi, hanya saja rutinitas pekerjaan menyebabkan suami jarang terlibat komunikasi dengan anak balitanya.

Menurut asumsi penulis pendidikan sangat erat kaitannya dengan siklus hidup seseorang, semakin baik pendidikan istri maka akan semakin baik pula perilakunya dalam mengasuh anak, hal ini dikarenakan jika semakin tinggi tingkat pendidikan istri maka akan semakin mudah pula istri menerima informasi terkait gizi seorang anak, sehingga tidak akan ada kesulitan dalam memenuhi asupan pangan balita. Berdasarkan hasil penelitian mayoritas ibu memiliki pendidikan yang rendah, hal ini dikarenakan pengambilan keputusan menikah di usia yang salah seperti menikah dini. sedangkan semakin baik pendidikan suami semakin baik pula pekerjaan yang dilakukannya hanya saja, interaksinya dengan anak berkurang yang dapat menyebabkan adanya gangguan tumbuh kembang balita.

c. Pendapatan Keluarga

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan perhitungan Chi Square

didapati nilai P<0.001(p < α = 0.05), artinya bahwa ada hubungan pendapatan keluarga dengan tumbuh kembang balita di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung

Morawa Kabupaten Deli Serdang tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa dengan semakin tinggi pendapatan memungkinkan anak balita mendapat asupan gizi yang baik sehingga petumbuhan dan perkembangannya baik. Dalam penelitian ini mayoritas pendapatan keluarga adalah dibawah UMR.

Keluarga yang memiliki pendapatan <UMR mayoritas memiliki tumbuh kembang anak yang tidak normal sebanyak 69 (61,1%) balta, di antaranya memiliki gangguan pertumbuhan 47 (41,5%) meliputi 6 (5,3%) sangat kurus, 33 (29,2%) kurus, 8 (7%) gemuk serta gangguan perkembangan 48 (42,4%) meliputi 42 (37,1%) meragukan, 6 (5,3%) penyimpangan. Sedangkan keluarga dengan pendapatan >UMR mayoritas balita mengalami tumbuh kembang normal 63 (78,8%).

Hasil penelitian ini sama seperti hasil penelitian yang dilakukan Pratama (2013), bahwa ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita dengan nilai P=0,026. Dimana pendapatan mempengaruhi pemenuhan status gizi balita, semakin rendah pendapatan menyebabkan keluarga akan mengalami kesulitan dalam membeli bahan pangan sehingga asupan gizi yang di konsumsi keluarga akan kurang baik dan menyebabkan kurang baiknya status gizi anak.

Tingginya pendapatan keluarga menentukan jenis bahan makanan yang dibeli. Semakin tinggi pendapatan semakin besar pula kesempatan memenuhi kebutuhan gizi dalam keluarga. Pendapatan keluarga merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas gizi seseorang (Suhardjo, 2005 dalam Rias, 2016)

Menurut hasil penelitian Bartman dan Talukdar (2014) dikatakan bahwa kurang cukupnya pangan berkaitan dengan ketersediaan pangan dalam keluarga yang

meyebabkan kurang gizi pada balita sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembang balita.

Pendapatan keluarga erat kaitannya dengan gaji atau upah serta pendapatan lainnya yang diperoleh seseorang dalam satu kurun waktu tertentu. Berdasarkan penelitian Conger (2010) dikatakan bahwa pendapatan keluarga menentukan status sosial ekonomi seseorang, yang akan berhubungan langsung dengan kualitas keluarga. Keluarga dengan status ekonomi rendah memiliki pengaruh terhadap tumbuh kembang balita.

Keluarga dengan status ekonomi rendah, biasanya akan mengalami kesulitan dalam pemberian makanan yang bergizi, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan primer lainnya untuk anak. Keluarga sulit memfasilitasi anak untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal sesuai dengan tahapan usianya. Anak dari keluarga ekonomi rendah pada umumnya lebih kecil dari pada anak memiliki keluarga dari ekonomi tinggi (Maryunani, 2010)

Jumlah pendapatan keluarga dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan keluarga, pada pasangan yang menikah dini biasanya tidak memiliki kesempatan dalam memperoleh pendidikan yang tinggi, hal ini akan berpengaruh terhadap kesulitan mendapatkan pekerjaan dan menyebabkan orang tua sulit menerima informasi terkait tumbuh kembang anaknya. Menurut penelitian Kaswari (2012), sebagian besar ibu balita yang menikah di usia dini memiliki tindakan yang kurang baik dengan tingkat pendidikan rendah dan pendapatan keluarga rendah.

Menurut asumsi peneliti menikah dini hanya menyebabkan seseorang tidak mendapat pendidikan yang baik sehingga akan berdampak sulitnya mendapat pekerjaan yang baik. Hal ini akan berlanjut pada perolehan pendapatan keluarga di bawah rata-rata sehingga akan menagalami kesulitan dalam mencukupi kebutuhan pangan anak balitanya, semakin tidak tercukupi pangan balita maka semakin besar pula resiko balita mengalami gangguan tumbuh kembang. Pendapatan yang tinggi memberikan kemampuan pada keluarga dalam memenuhi sumber pangan keluarga sehingga akan mempengaruhi status gizi anak, pendapatan yang tinggi juga akan membuat anak lebih memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan usia dini sebagai stimulasi perkembangan otak anak, maka jika pendapatan dalam keluarga tinggi dapat menjamin tumbuh kembang balita yang baik. Dalam penelitian ini pendapatan keluarga mayoritas dibawah UMR, hal ini disebabkan oleh pekerjaan kepala keluarga yang tidak tetap sehingga mendapatkan penghasilan yang tidak tetap pula. Pendapatan keluarga akan mempengaruhi tingkat status ekonomi keluarga, semakin baik pendapatan maka semakin tinggi tingkat ekonomi keluarga. Status ekonomi keluarga menjadi faktor penting dalam pertumbuhan dan perkembangan balita.

d. Jumlah Anggota Keluarga

Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan perhitungan Chi Square

didapati nilai P=0.280 (p < α = 0.05). artinya bahwa tidak ada hubungan jumlah anggota keluarga dengan tumbuh kembang balita berdasarkan jumlah anggota keluarga di Desa Limau Manis Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang

tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa besar kecilnya keluarga tidak bisa memastikan bahwa anak balita mendapat asupan gizi yang baik sehingga petumbuhan dan perkembangannya baik. Berdasarkan jumlah anggota keluarga mayoritas keluarga memiliki tumbuh kembang normal, 53 (60,2%) pada keluarga besar dan 54 (51,4%) pada keluarga kecil.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyuni (2003) dan penelitian Rimawati (2005), dimana didapati nilai (p < α = 0.05). artinya tidak ada hubungan jumlah anggota keluarga dengan tumbuh kembang balita.

Penelitian ini bertentangan dengan teori yang mengatakan jumlah anak yang banyak pada keluarga yang mampu dapat menyebabkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima oleh anak, sehingga menyebabkan anak akan kekurangan stimulasi dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Pengasuhan anak dalam setiap keluarga berbeda beda, seperti pengasuhan primitif, otoriter atau demogratif, pola ini berpengaruh terhadap tumbuh kembang balita. Banyaknya jumlah anggota keluarga dalam satu keluarga akan mempengaruhi tumbuh kembang balita (Soetjiningsih, 2014).

Menurut asumsi peneliti, jumlah anggota keluarga berpengaruh dalam tumbuh kembang balita, hanya saja bila dalam keluarga mampu memenuhi asupan gizi anak, dan orang tua memiliki waktu untuk melakukan stimulasi perkembangan pada anak, maka banyaknya jumlah anggota keluarga tidak akan berdampak pada tumbuh kembang balita. Berdasarkan penelitian, mayoritas keluarga dalam penelitian ini adalah keluarga kecil, banyak pasangan yang memilih untuk tinggal dikontrakan kecil

dikarenakan ekonomi yang belum mampu utnuk memiliki rumah sendiri. Dengan memlihi tinggal dirumah kontrakan kecil maka tanggungan keluarga tidak akan banyak sehingga masih mampu memenuhi asupan nutri balitanya.

Dokumen terkait