• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN

5.2. Hubungan Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah

dan Polutan Dalam Rumah) dengan Kejadian Tuberkulosis Paru

Karakteristik lingkungan yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru dikaitkan dengan kepadatan hunian dengan luas lantai bangunan rumah yang tidak cukup untuk penghuni di dalamnya, lantai rumah dengan tanah akan mempengaruhi kelembaban lantai, ventilasi yang tidak memenuhi persyaratan, pencahayaan yang kurang dapat menerangi seluruh ruangan dan tidak menyilaukan, udara yang tidak segar dan adanya polutan dalam rumah.

5.2.1. Hubungan Kepadatan Hunian Kamar dengan Kejadian Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan

signifikan antara kepadatan hunian kamar dengan kejadian tuberkolosisis paru, dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Pada penelitian ini diperoleh bahwa responden yang menderita tuberkolosis paru lebih banyak kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan kepadatan penghuni yang ditetapkan oleh Depkes RI (1999), yaitu rasio luas lantai seluruh ruangan di bagi jumlah penghuni minimal 10 m2/orang. Luas kamar minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruangan kecuali anak di bawah 5 tahun.

Kepadatan penghuni yang berlebihan (overcrowded) sangat berhubungan

dengan penularan infeksi tuberkulosis paru dari orang dewasa kepada anak. Kuman

seseorang penderita kepada orang lain, dan dapat menularkan pada 10-15 orang disekitarnya (Depkes RI, 2002).

5.2.2. Hubungan Jenis Lantai Dengan Kejadian Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan

signifikan antara jenis lantai dengan kejadian tuberkolosisis paru dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Pada penelitian ini diperoleh bahwa responden yang menderita tuberkolosis paru lebih banyak yang mempergunakan lantai tanah. Jenis lantai rumah dengan tanah mempengaruhi terjadinya tuberkolosis paru dimana lantai rumah dengan tanah akan mengakibatkan kelembaban ruangan rumah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edi Hartono (2004), bahwa jenis lantai menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan kejadian tuberculosis paru dengan nilai p = 0,012.

Menurut penelitian Ariza Adnani dan Asih Mahastuti (2003-2006), bahwa lantai rumah merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBC Paru, resiko untuk menderita TBC Paru 3-4 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang lantainya tidak memenuhi syarat kesehatan.

5.2.3. Hubungan Ventilasi Rumah dengan Kejadian Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan

signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian tuberkolosisis paru dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Pada penelitian ini diperoleh bahwa responden yang menderita tuberkolosis paru lebih banyak dengan ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edi Hartono (2004), bahwa ada hubungan yang bermakna antara luas ventilasi dengan kejadian tuberculosis paru.

Menurut penelitian Ariza Adnani dan Asih Mahastuti (2003-2006), bahwa ventilasi merupakan faktor risiko terjadinya penyakit TBC Paru, resiko untuk menderita TBC Paru 5 kali lebih tinggi pada penduduk yang tinggal pada rumah yang ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan.

Ventilasi yang tidak baik dapat menyebabkan udara tidak nyaman

(kepengapan, bronchitis, asma kambuh, masuk angin) dan udara kotor (penularan

penyakit saluran pernafasan), dan ventilasi yang baik harus memenuhi persyaratan agar udara yang masuk tidak terlalu deras atau terlalu sedikit, luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Untuk luas lubang ventilasi tetap minimum 10% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi yang tidak tetap (dapat dibuka dan ditutup) 10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999).

5.2.4. Hubungan Pencahayaan dengan Kejadian Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan

signifikan antara pencahayaan dengan kejadian tuberkolosisis paru dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Pencahayaan juga tidak kalah pentingnya berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru dan responden yang menderita tuberkulosis paru lebih banyak dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edi Hartono (2004), bahwa ada hubungan yang bermakna antara pencahayaan dengan kejadian tuberculosis paru. Sedangkan penelitian Pertiwi (2004), menyatakan penghuni rumah yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat akan 2,5 kali terkena tuberkulosis dibandingkan penghuni yang pencahayaan rumahnya memenuhi persyaratan di Jakarta Timur.

Pencahayaan alam atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 Lux dan tidak menyilaukan. Pencahayaan yang tidak cukup menyebabkan kelelahan mata, kecelakaan, sukar menjaga kebersiahan, menurunkan produktifitas kerja (Depkes RI, 1999).

5.2.5. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan

signifikan antara kelembaban dengan kejadian tuberkolosisis paru dengan nilai p = 0,004 (p<0,05). Responden yang menderita tuberkulosis paru lebih banyak dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Edi Hartono (2004), bahwa ada hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian tuberculosis paru.

Penelitian ini sesuai dengan pendapat Soemirat (2001), bahwa ruangan rumah perlu dijaga kelembabannya, Ruangan rumah yang lembab akan meningkatkan perkembangan mikroorganisme termasuk kuman mikrobakterium tuberkulosis paru.

5.2.6. Hubungan Suhudengan Kejadian Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan

signifikan antara suhu dengan kejadian tuberkolosisis paru dengan nilai p = 0,000 (p<0,05). Penelitian ini diperoleh bahwa responden yang menderita tuberkulosis paru lebih banyak dengan suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat.

Menurut Depkes RI (1999) bahwa rumah hendaknya dapat berfungsi sebagi tempat untuk menyimpan udara yang segar, suhu udara yang nyaman dalam sebuah

rumah berada pada kisaran 180C sampai 300C. Udara yang segar sangat diperlukan menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan, udara bukanlah lingkungan yang baik bagi perkembangan mikroorganisme, tetapi berbagai agent dapat bertahan hidup untuk beberapa waktu di dalamnya. Terutama dalam lingkungan udara yang tidak bebas lebih mengutungkan bagi agent, kelompok agent yang dapat disebarkan oleh udara tidak bebas di dalam rumah hunian dapat seperti penyakit menular tuberkulosis dan influenza.

5.2.7. Hubungan Polutan dalam Rumahdengan Kejadian Tuberkolosis Paru

Hasil penelitian menunjukkan hasil uji Chi Square terdapat hubungan

signifikan antara polutan dalam rumah dengan kejadian tuberkolosisis paru dengan nilai p = 0,014 (p<0,05). Responden yang menderita tuberkulosis paru lebih banyak dengan ada polutan dalam rumah. Polutan dalam rumah misalnya akibat asap rokok, menggunakan kayu bakar dan penggunaan obat nyamuk bakar.

Penelitian ini sesuai dengan Fran Desmon (2006), bahwa berperilaku merokok dan menggunakan kayu bakar dirumahnya berpeluang besar menderita penyakit tuberkulosis paru. Sedangkan Aditama (1997), menyatakan bahwa kebiasaan merokok terbukti memiliki hubungan dengan penyakit seperti kanker paru-paru dan tuberkulosis paru.

5.3. Hubungan Karakteristik Wilayah (Ketinggian Permukaan Tanah dari

Dokumen terkait