• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

6.3. Hubungan kebiasaan makan makanan beragam dengan status gizi

Kebiasaan makan makanan beragam merupakan cara mempertahankan berat badan normal. Makan makanan dalam porsi yang seimbang, jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan teratur akan menyeimbangkan zat gizi yang masuk dan keluar dan menjaga berat badan agar tetap normal (Kemenkes RI, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian didapat semua mahasiswa memiliki kebiasaan makan makanan yang beragam yang tidak sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Semua mahasiswa memiliki jumlah konsumsi yang tidak seimbang dilihat dari porsi setiap makanan yang seharusnya dipenuhi. Kebutuhan makanan pokok paling banyak dipenuhi dengan sumber makanan berupa nasi, mie dan kudapan/gorengan, kebutuhan lauk paling banyak dipenuhi dengan sumber makanan berupa telor, ayam dan ikan, kebutuhan makanan pauk paling banyak dipenuhi dengan sumber makanan tempe dan tahu, sedangkan untuk sayur dan buah konsumsi jumlah komsumsi cenderung kurang dan jarang.

Kesibukan menjadi alasan mahasiswa tidak makan secara terutar dan optimal. Mahasiswa cenderung mencari makanan yang mudah ditemui dikantin atau disekitas

kampus tanpa mempertimbangkan pemenuhan zat gizi. Mahasiswa cenderung memilih makanan seperti gorengan, kue basah atau makanan ringan yang praktis untuk dimakan disela waktu kuliah.

Tempat tinggal dan jumlah uang saku juga salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah asupan. Mahasiswa yang tinggal bersama orang tua atau keluarga cenderung memiliki kebiasaan konsumsi yang lebih baik dari pada mahasiswa yang tinggal di kosan. Mahasiswa yang tinggal bersama orang tua atau keluarga mengkonsumsi makanan yang telah disediakan di rumah sehingga memiliki kebiasaan makan yang teratur, sedangkan mahasiswa yang tinggal di kosan harus memasak atau membeli sendiri makanannya, sehingga sering melewatkan waktu makan. Namun, hasil penelitian Suci (2011) pada mahasiswa FKIK menunjukkan tidak ada hubungan antara tempat tinggal dengan asupan makanan mahasiswa FKIK. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain yang saling mempengaruhi, seperti uang saku.

Menurut Amran (2003), terdapat hubungan antara uang bulanan atau uang saku mahasiswa dengan pola makan. Uang saku menunjukkan daya beli mahasiswa untuk mendapatkan makanan. Semakin besar uang saku, semakin baik kuantitas dan kualitas makanan yang dapat dibeli. Namun, hasil penelitian Suci (2011) pada mahasiswa FKIK menunjukkan tidak hubungan antara uang saku dengan pola makan pada mahasiswa. Hal ini disebabkan karena sebagian mahasiswa tidak menjadikan makanan sebagai tujuan pengeluaran utamanya.

Jika dilihat berdasarkan masing-masing kelompok makanan diperoleh 53.5% mahasiswa mengkonsumsi makanan pokok dalam jumlah yang kurang dan 20.6% lebih, 44.5% mahasiswa mengkonsumsi lauk (protein hewani) dalam jumlah yang kurang dan

25.8% lebih, 98.1% mahasiswa mengkonsumsi pauk (protein nabati) dalam jumlah yang kurang dan 0.6% lebih dan 100% mahasiswa mengkonsumsi sayuran dan buah dalam jumlah yang kurang.

Konsumsi lauk, lauk dan pauk yang kurang atau lebih mengakibatkan kekurangan dan kelebihan zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein dan lemak. Menurut Emilia (2009), pemenuhan sumber energi dan protein berkaitan langsung dengan berat badan dan tinggi badan yang normal. Jika asupan energi tidak terpenuhi, protein digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi namun tidak ada persediaan untuk sintesis jaringan baru atau untuk perbaikan jaringan yang rusak. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan tingkat pertumbuhan dan masa otot meskipun konsumsi protein cukup. Pada remaja akhir dan dewasa, kekurangan zat gizi makro dapat dinilai melalui indeks antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT), yang dilihat hubungannya dalam penelitian ini. Sedangkan konsumsi sayur dan buah memiliki peran utama sebagai zat pengatur, untuk memenuhi kebutuhan mineral, vitamin dan air. Menurut Whitney et al (2005), konsumsi sayuran dan buah yang kurang berisiko terjadinya malnutrisi mikronutrien, seperti defisiensi vitamin A, defisiensi vitamin C dan defisiensi zat besi. Malnutrisi mikronurien dapat diketahui dengan penilaian status gizi secara biokimia, sehingga tidak dapat dilihat hubungannya dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil uji chi-square diperoleh tidak ada hubungan signifikan antara kebiasaan makan makanan pokok dan lauk dengan status gizi dengan Pvalue masing-masing sebesar 0.964 dan 0.858. Hasil uji juga menunjukkan tidak ada hubungan antara kebiasaan makan makanan pokok dan lauk dinilai secara gabungan sebagai sumber energi protein dengan Pvalue 0.982.

Hasil tersebut tidak sejalan dengan penelitian Amelia (2008) yang menunjukkan ada hubungan antara konsumsi energi dengan status gizi Pvalue 0.080 namun menunjukkan tidak ada hubungan antara konsumsi protein dengan status gizi (Pvalue

0.106, konsumsi pangan secara keseluruhan juga tidak menunjukkan hubungan dengan status gizi.

Tidak didapatnya hubungan kebiasaan makan makanan pokok dan lauk dengan status gizi juga dimungkinkan pengaruh dari aktivitas fisik. Menurut FAO/WHO (2003) aktivitas fisik dan asupan makanan keduanya secara spesifik saling berinteraksi dan mempengaruhi. Jumlah kebutuhan dipengaruhi oleh besarnya aktifitas fisik seseorang, sedangkan porsi yang ditentukan pada pedoman gizi seimbang ditetapkan berdasarkan AKG yang mempertimbangkan faktor umur, jenis kelamin dan ukuran tubuh rata-rata penduduk Indonesia, serta aktifitas fisik yang ringan, sejalan dengan hasil Riskesdas (2007) bahwa sebagian besar penduduk remaja dan dewasa Indonesia melakukan aktifitas fisik pada kategori ringan. Artinya bagi anak usia sekolah, remaja dan dewasa yang memilki aktifitas aktif dan sangat aktif akan membutuhkan energi lebih banyak lagi. Hal ini mengakibatkan individu dengan aktifitas sedang dan sedang membutuhkan jumlah porsi yang lebih besar dari jumlah yang ditetapkan dalam peoman gizi seimbang (Hardinsyah et al, 2012). Dengan demikian, seharusnya porsi makanan mahasiswa dengan aktifitas sedang dan berat lebih besar daripada porsi yang ditentukan dalam Pedoman Gizi Seimbang 2014, sehingga akan didapatkan lebih banyak mahasiswa yang memiliki kebiasaan makan yang kurang (lebih dari 53% yang memiliki kebiasaan makanan pokok kurang dan lebih dari 44.4% yang memiliki kebiasaan makan lauk kurang) dan pada akhirnya menyebabkan lebih banyak mahasiswa yang memiliki status

gizi kurang. Namun, dalam penelitian ini didapat sebagian besar mahasiswa (60%) memiliki berat badan normal. Hal ini kemungkinan besar disebabkan konsumsi minuman yang tidak dicatat dalam food recall sehingga pemenuhan energi atau protein dari minuman tidak tercakup. Akibatnya, mahasiswa yang mengkonsumsi minuman tertentu yang mengandung energi dan protein untuk memenuhi kebutuhan gizi akan dikatagorikan memiliki kebiasaan makan yang kurang padahal kebiasaannya cukup atau akan dikatagorikan memiliki kebiasaan makan yang cukup padahal kebiasaannya lebih.

6.4. Hubungan pola hidup bersih dengan status gizi

Pola hidup bersih berhubungan dengan bagaimana hygiene sanitasi penyelengaraan makanan keluarga. Upaya pengamanan atau hygiene dan sanitasi makanan pada dasarnya meliputi orang yang menangani makanan, tempat penyelenggaraan makanan, peralatan pengolahan makanan, proses pengolahan makanan, penyimpanan makanan dan penyajian makanan (Purnomo et al, 2009).

Pola hidup bersih berkaitan dengan erat dengan infeksi penyakit. Pola hidup bersih yang kurang beresiko meningkatkan resiko kejadian penyakit infeksi, dan pola hidup bersih yang baik dapat mencegah terjadinya infeksi.

Hasil penelitian menunjukkan 38.1 % mahasiswa menerapkan pola hidup bersih yang kurang (skor < 20). Median yang cukup besar yaitu 20 dari 28 poin, menunjukkan pola hidup bersih mahasiswa yang cenderung baik. Hal dapat disebabkan oleh telah baiknya pengetahuan mahasiswa sebagai mahasiswa bidang kesehatan tentang pentingnya pola hidup bersih, sejalan dengan hasil penelitian Sani (2011) bahwa ada hubungan antara pengetahuan mahasiswa terhadap perilaku hidup bersih. Sedangkan

38.1 % yang memiliki pola hidup bersih yang kurang resiko yang lebih besar untuk mengalami penyakit infeksi. Hasil penelitian Pramitasari (2013) ada hubungan pola hidup bersih kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan dengan kejadian demam tifoid (Pvalue 0.001). Sejalan dengan Kemenkes (2014) yang menyatakan bahwa dengan membiasakan perilaku hidup besih menghindarkan sesorang dari paparan sumber infeksi yang merupakan faktor penting yang mempengaruhi status gizi seseorang secara langsung.

Bertolakbelakang dengan pernyataaan Kemenkes (2014), hasil uji chi-square

penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada signifikan hubungan antara pola hidup bersih dengan status gizi (Pvalue 0.183). Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena sebagian besar mahasiswa tidak menyiapkan makanannya sendiri, dimasakkan oleh orang tua atau membeli diwarung sehingga jawaban yang diberikan merupakan kemungkinan tidak dilakukannya sendiri. Hal ini berakibat bias dan mengakibatkan tidak didapatkannya hubungan antara pola hidup bersih dan status gizi mahasiswa.

6.5. Hubungan aktivitas fisik dengan status gizi

Aktivitas fisik yang meliputi segala macam kegiatan tubuh termasuk olahraga merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan zat gizi utamanya sumber energi dalam tubuh (Kemenkes RI, 2014).

Aktifitas fisik merupakan suatu rangkaian gerak tubuh yang menggunakan tenaga atau energi. Jenis aktifitas fisik yang sehari-hari dilakukan antara lain, berjalan kaki, berlari, berolahraga, mengangkat dan memindahkan benda, mengayuh sepeda dan lainlain. Aktifitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Kelebihan energi

karena rendahnya aktifitas fisik dapat meningkatkan risiko kegemukan dan obesitas (Sada, 2012).

Hasil penelitian menunjukkan 39.4% mahasiswa memiliki aktivitas fisik ringan, 49.0 % memiliki aktivitas fisik sedang dan 11.6% dan memiliki aktivitas fisik berat. Berdasarkan ketentuan WHO (2010), hasil ini menunjukkan sebanyak 39.4% mahasiswa memiliki aktivitas fisik kurang (aktivitas ringan) dan 60,6% mahasiswa memiliki pola aktivitas fisik cukup (aktivitas sedang dan berat). Dengan demikian, 39.4% mahasiswa yang memiliki aktivitas fisik kurang beresiko mengalami obesitas atau status gizi lebih. Namun, hasil uji chi square menunjukkan bahwa menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara aktivitas fisik dengan status gizi (Pvalue 0.782). Berbeda dengan hasil penelitian Sada (2012) yang menunjukkan ada hubungan signifikan antara aktivitas fisik dengan status gizi (Pvalue 0,001). Cara pengukuran yang berbeda dimungkinkan sebagai sebab hasil yang berbeda.

Pada penelitian Sada (2012), aktifitas fisik dinilai dengan menilai intensitas kegiatan menggunakan tenaga atau energi berdasarkan jenis aktifitas fisik yang sehari-hari dilakukan antara lain, berjalan kaki, berlari, berolahraga, mengangkat dan memindahkan benda, mengayuh sepeda dan lain-lain serta sudah berapa lama kebiasaan tersebut dilakukan, namun tidak menggunakan kuesioner IPAQ seperti yang dilakukan pada penelitian ini.

Penggunaan kuesioner IPAQ pada penelitian ini bertujuan menilai semua kegiatan yang menggunakan energi yang dilakukan dalam seminggu. Kelebihan kuesioner ini aktifitas fisik yang digambarkan tidak hanya kegiatan berat atau olahraga, namun juga semua kegiatan intensitas dilakukan selama seminggu, baik kegiatan sehari-hari maupun

kegiatan berat atau olahraga yang disengaja. Kuesioner ini memperkecil bias peneliti, karena kuesioner ini dapat diisi sendiri oleh responden sehingga pengaruh peneliti yang menyesuaikan aktifitas fisik dan status gizi tidak terjadi pada penelitian ini. Namun yang menjadi kelemahan kuesioner ini, responden seringkali hanya dapat mengingat kegiatan yang dilakukan selama seminggu tetapi tidak dapat memperkirakan jumlah waktu yang digunakan secara tepat sehingga dapat memunculkan jumlah aktifitas fisk yang tidak sesuai dengan sesungguhnya. Hal ini mengakibatkan tidak didapatkannya hubungan antara aktifitas fisik dan status gizi.

Tidak didapatnya hubungan antara aktivitas fisik dengan status gizi dimungkinkan dipengaruhi hubungan kebiasaan makan makanan pokok, lauk dan pauk lebih. Menurut FAO/WHO (2003) dan asupan makanan keduanya secara spesifik saling berinteraksi dan mempengaruhi.

6.6. Hubungan pemantauan berat badan normal dengan status gizi

Berat badan adalah indikator kesehatan yang penting bagi setiap orang. Oleh karena, itu perlu dilakukan pemantauan berat badan secara teratur. Menurut Kemenkes (2014), pemantauan berat badan normal merupakan upaya untuk mencegah mencegah penyimpangan berat badan dari berat badan normal dan apabila menyimpang dapat dilakukan pencegahan dan penanganan. Dengan kata lain penimbangan berat badan secara teratur membuat seseorang menjaga status gizi normalnya.

Hasil penelitian 80,6 % ini diketahui mahasiswa melakukan penimbangan berat badan lebih dari satu minggu yang lalu atau tidak tahu/ingat kapan terakhir ia melakukan penimbangan berat badan. Namun, hasil uji chi square tidak ada hubungan signifikan

antara penerapan pemantau berat badan ideal dengan status gizi. Hasil wawancara pada mahasiswa menunjukkan pada mahasiswa yang melakukan penimbangan berat badan lebih dari 1 minggu sebelum penelitian, penimbangan berat badan yang dilakukan sebagian besar hanya pada saat mendapat tugas kuliah mengenai penilaian status gizi atau mengikuti penelitian yang memerlukan penimbangan berat badan, sehingga dapat disimpulkan penimbangan tidak bertujuan untuk memantau berat badannya., sedangkan pada yang melakukan penimbangan kurang seminggu dari penelitian sebagian besar memiliki keinginan untuk melakukan penurunan berat badan atau peningkatan berat badan baik yang memiliki status gizi normal, kurang atau lebih. Hal ini kemungkinan besar menjai sebab tidak didapatkannya hubungan antara pemantau berat badan normal dengan status gizi.

Pemantauan berat badan yang jarang dilakukan dapat mengakibatkan gambaran tentang status gizi individu yang salah. Hasil penelitian menunjukkan 75.4% mahasiswa yang salah menyebutkan status gizinya melakukan penimbangan berat badan lebih dari 1 minggu yang lalu atau tidak tahu/ingat kapan terakhir ia melakukan penimbangan berat badan. Hal ini dikhawatirkan dapat menimbulkan body image salah.

Pengetahuan tentang status gizi berhubungan dengan persepsi tentang citra tubuh (body image). Body image adalah suatu konsep pribadi seseorang tentang penampilan fisiknya. Hasil penelitian menunjukkan 5.7% tidak tahu status gizinya, 1.3% memiliki status gizi kurang tapi merasa normal, 0,6% memiliki status gizi kurang tapi merasa lebih, 8.4% memiliki status gizi normal tapi merasa kurang, 19.4 memiliki status gizi normal tapi merasa lebih dan 1.3% memiliki status gizi lebih tapi merasa normal. Persepsi yang salah tersebut dapat juga dipengaruhi oleh body image yang keliru. Body

image dapat diidentifikasi melalui persepsi dari ukuran tubuh. Laki-laki lebih mengarah pada bentuk tubuh yang besar, berotot dan berisi sehingga cenderung merasa berat badannya kurang dan berusaha menaikkan berat badan, sedang perempuan menginginkan tubuh langsing, cenderung merasa berat badannya lebih dan berusaha menurunkan berat badan (Emilia, 2009), dalam pada penelitian tidak didapat hubungan yang bermakna body image dengan jenis kelamin. Secara alami, gangguan body image

berhubungan dengan masalah makan, pola makan yang tidak sehat dan ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh (Hastuti, 2013).

Menurut penelitian Sada (2012) pada mahasiswa Politeknik Kesehatan Jayapura, terdapat hubungan yang bermakna antara body image dengan status gizi (Pvalue = 0.001). Hal ini senada dengan penelitian Widianti et al (2012) pada Remaja Putri di SMA Theresiana Semarang, yaitu didapat adanya hubungan yang bermakna antara body image dengan status gizi (Pvalue = 0.001).

100 7. BAB VII

Dokumen terkait