Jika berbicara mengenai penanaman modal modal asing tentu tidak bisa terlepas dari kedaulatan negara, keduanya memiliki hubungan kausalitas. Penanaman modal dilakukan diatas tanah suatu negara yang berdaulat. Dengan masuknya penanaman modal asing ke suatu negara maka secara tidak langsung negara yang berdaulat tersebut menyerahkan sebagian dari kedaulatan Negaranya untuk dikuasai dan diusahakan oleh penanam modal asing tersebut.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, kedaulatan negara meliputi kedaulatan kedalam (internal) dan kedaulatan keluar (eksternal). Kedaulatan kedalam merupakan kedaulatan negara terkait dengan yurisdiksi negara untuk mengatur dan menegakkan hukum di dalam wilayah negara, termasuk didalamnya adalah
mengatur masalah investasi asing di dalam wilayah negara tersebut. International
Law Association pada Kongres di Seoul pada Tahun 1986 menerima dengan suara
bulat bahwa kedaulatan Negara atas sumber daya alam dan kegiatan-kegiatan ekonomi di wilayah hukum mereka merupakan asas hukum internasional yang
111
S.H. Hymer, The International Operation of National Firms: A Study of Direct Foreign Investment, (dalam) An An Chandrawulan., Ibid. hlm. 70.
harus dipatuhi oleh negara-negara. Konsep mana sebenarnya telah lama
dikemukakan oleh Jean Bodin yang menegaskan bahwa sovereignty as the absolut
and perpetual power bagi suatu negara.112 Dengan demikian kedaulatan adalah bersifat mutlak dan abadi bagi suatau negara. Seperti juga dikemukakan oleh Oppenheim-Lauterpacht bahwa kedaulatan adalah konsep yang sangat fundamental dalam suatu negara. Hanya dengan adanya kedaulatanlah suatu negara dikatakan merdeka. Tanpa kedaulatan yang harus dihormati oleh negara
lain, maka tidak artinya suatu negara.113
Dalam berbagai perundingan dan kesepakatan internasional yang membahas mengenai penanaman modal, isu kedaulatan negara merupakan isu yang selalu masuk di dalam pembahasan. Bahkan merupakan perdebatan yang pertama kali muncul dalam perundingan tentang persetujuan perdagangan yang terkait dengan peraturan penanaman modal multilateral. Kedaulatan negara untuk menentukan sendiri kegiatan ekonomi di wilayah yurisdiksinya sudah sejak lama ditreima dalam hukum internasional. Kedaulatan yang permanen ini dijamin pelaksanaannya dalam resolusi Majelis umum PBB Nomor 3281 (XXIX) tanggal
12 Desember 1974 tentang Charter of Economic Rights and Duties of State.
Article 2 (1) Resolusi ini menyebutkan :
”every state has and shall freely exercise full permanent sovereignty,
including possession, use and diposal, over all its wealth, natural resources and
economic activity.”
112
Jean Bodin, Six Books of the Commenwealth (dalam) Mahmul Siregar, Op. Cit. hlm. 157.
Panel penyelesaian sengketa GATT yang memeriksa perkara-perkara terkait dengan TRIMs, dalam setiap penyelesaian sengketa, panel menjelaskan bahwa panel tidak bermaksud untuk menguji kedaulatan negara dalam mengatur investasi asing di wilayah teritorialnya, hanya saja panel memeriksa apakah kedaulatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan kewajiban internasional dari
negara bersangkutan berdasarkan GATT.114
Namun, dapat dipahami juga bahwa sebesar apapun penghormatan hukum internasional terhadap kedaulatan suatu negara, bukanlah berarti pelaksanaan kedaulatan tersebut tidak mempunyai batasan-batasan. Kedaulatan negara dibatasi oleh kedaulatan negara lain dan juga kewajiban negara pemilik
kedaulatan yang ditetapkan berdasarkan perjanjian-perjanjian internasional.115
Kedaulatan negara-negara berkembang untuk menata sendiri kegiatan investasi asing di wilayah hukumnya tidak bisa dipergunakan sekehendak hati penguasa di negara-negara berkembang, akan tetapi pelaksanaannya harus memperhatikan kesepakatan-kesepakatan internasional dari negara-negara berkembang tersebut. Oleh karena masalah investasi asing di dalamnya terkait masalah-masalah perdagangan internasional, maka pelaksanaan kedaulatan di bidang investasi asing tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan internasional dibidang investasi dan perdagangan yang sudah disepakati oleh
pemerintah negara-negara berkembang.116
Kewenangan untuk mengatur kegiatan investasi asing diakui dalam
berbagai resolusi PBB sebagai kedaulatan permanen dari negara host country.
Namun kedaulatan tersebut harus diterapkan sesuai dengan kewajiban host
114 Ibid, hlm. 159. 115 Ibid. 116Ibid.
country berdasarkan perjanjian internasional. Dengan demikian perjanjian internasional adalah salah satu cara untuk membatasi penerapan kedaulatan. Berkaitan dengan masalah investasi asing, maka piranti perjanjian internasional di bidang investasi asing dapat dipergunakan untuk tujuan membatasi keda ulatan
host country.117 Inilah yang dilakukan oleh negara maju terhadap
negara-negara host country yang dalam hal ini adalah Negara-negara berkembang yang
mempertahankan konsep kedaulatan, untuk membatasi keleluasaan host country
menetapkan kebiajakan terhadap investasi asing serta untuk memastikan
perlindungan maksimum pada perusahaan investasi asing, negara-negara home
country pada umumnya mengunakan berbagai kesepakatan internasional baik
yang sifatnya regional maupun bilateral dalam investasi asing.118
Sebagian dari kedaulatan negara untuk mengatur investasi asing telah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan GATT dan WTO . Saat ini dalam kerangka WTO setidaknya ada dua instrumen yang membatasi kedaulatan negara dalam
menentukan kebijakan investasi asing, yakni Agreement on Trade Related
Investment Measures dan General Agreement on Trade in Services.
Agreement on TRIMs tidak membenarkan negara mengeluarkan kebijakan
penanaman modal asing yang dapat mengganggu perdagangan internasional. Syarat-syarat penanaman modal seperti kandungan lokal, keseimbangan perdagangan, pembatasan akses valuta asing maupun pembatasan ekspor dilarang secara hukum, terlepas apakah persyaratan tersebut dibutuhkan oleh negara untuk kepentingan pembangunan ekonominya. Fleksibilitas untuk menghindar hanya dibenarkan jika sebuah negara mengalami kesulitan neraca pembayaran. Negara
117
Ibid, hlm 170. 118
William D. Verwey and N.J. Scrijver, “The Taking of Foreign Property Under
dengan demikian telah menyerahkan sebagian dari kedaulatannya untuk mengatur
kebijakan penanaman modal asing kepada WTO sebagai organisasi multilateral.119
Agreement on TRIMs tidak ditujukan untuk membatasi seluruh kebijakan
penanaman modal asing yang ditetapkan pemerintah negara host country.
Sebagian besar kedaulatan menetapkan persyaratan investasi masih dimiliki oleh
pemerintah host country. GATS kemudian mempersempit kedaulatan negara
untuk menentukan sendiri kebijakan penanaman modal di sektor jasa, yang belum
tercakup dalam Agreement on TRIMs. GATS membatasi kedaulatan negara untuk
menetukan kebijakan investasi menyangkut pembatasan jumlah pemasok jasa, dan pembatasan jumlah personil yang dibutuhkan oleh perusahaan asing dalam
penyediaan jasa di wilayah negara host country. GATS juga membatasi ruang
bagi negara untuk melindungi penyedia jasa domestik yang umumnya dilakukan
pemerintah host country melalui perlakuan yang lebih baik terhadap investor /
investasi jasa domestik.120
Dari konsep penanaman modal diatas, terlihat adanya suatu gambaran bahwa negara tersebut sedang menjual wilayah atau kedaulatannya padahal yang terjadi bukanlah demikian, karena kegiatan penanaman modal justru dilaksanakan guna percepatan pembangunan suatu negara dikarenakan negara belum memiliki kemampuan untuk mengolah sumber daya yang ada. Pembangunan suatu negara tidak terkecuali pembangunan di Indonesia, baru dapat terlaksana jika didukung oleh dana (modal pembangunan) yang cukup dan memadai, dana tersebut
biasanya biasanya berasal dari tabungan dalam negeri (domestic) namun apabila
tabungan tersebut tidak memadai sedangkan pembangunan harus tetap dan cepat
119
Ibid, hlm. 182. 120
berjalan maka untuk menutupi kekurangan tersebut dapat menggunakan sumber dana dari luar negeri, baik berupa bantuan luar negeri maupun penanaman modal asing (PMA). Oleh karena itu, sebenarnya penanaman modal asing merupakan suatu kebutuhan untuk pelaksanaan dan percepatan pembangunan suatu negara
dan keterkaitannya dengan kedaulatan tentu tidak dapat dihindarkan. 121
Reduksi secara signifikan terhadap kedaulatan negara dalam menetapkan
kebijakan investasi asing akan terjadi bila perundingan tentang multilateral
framework on investment berhasil melarang hambatan-hambatan dalam
persyaratan penanaman modal. Jika hal ini dilarang dengan mekanisme
pelarangan secara umum (general prohibition), maka jelas ruang gerak terhadap
pilihan kebijakan negara host country akan hilang. Liberalisasi agresif yang
diinginkan negara maju, akan semakin mempersempit negara-negara berkembang dalam mempergunakan kedaulatannya untuk menentukan kebijakan investasi asing.122
121
H. Abdul Manan., Op. cit., hlm.132-133. 122Ibid, hlm.187.