TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi Tubuh
2.4 Hubungan Komposisi Tubuh dengan Kebugaran Fisik
Penelitian menyarankan bahwa penilaian komposisi tubuh sebaiknya dilakukan bersamaan dengan penilaian tingkat kebugaran aerobik agar dapat mendapatkan status kesehatan yang akurat dalam suatu populasi. Dalam suatu penelitian pada populasi laki-laki menunjukkan bahwa sampel yang kurus tetapi memiliki tingkat kebugaran yang rendah memiliki risiko penyakit kardiovaskular dan mortalitas (karena semua penyebab) yang lebih tinggi daripada sampel yang
overweight tetapi memiliki tingkat kebugaran yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa memiliki tingkat kebugaran fisik yang baik dapat memberikan proteksi dari risiko penyakit kardiovaskular walaupun sesorang memiliki berat badan berlebih (Burns et al., 2013).
Dua komponen kebugaran fisik utama adalah kebugaran kardiorespirasi (cardiorespiratory fitness) dan kebugaran otot (muscular fitness), namun kebugaran kardiorespirasi memiliki hubungan lebih dekat dengan kesehatan, terutama kesehatan kardiometabolik. Kebugaran kardiorespirasi, disebut juga kebugaran kardiovaskular, kebugaran aerobik, atau kapasitas aerobik, merupakan keseluruhan kapasitas sistem kardiovaskular dan respirasi dalam melaksanakan latihan yang lama (prolonged exercise). Kebugaran kardiorespirasi berdasarkan
VO₂max dapat membedakan antara yang memiliki sindrom metabolik dan yang tidak memiliki sindrom metabolik, dimana tingkat kebugaran fisik yang lebih tinggi berhubungan dengan profil metabolik yang lebih baik. Kebugaran kardiorespirasi juga memiliki hubungan terbalik dengan marker inflamasi tingkat rendah (Burns et al., 2013).
Kebugaran kardiorespirasi dan muskular memiliki hubungan yang positif dan independen dengan kesehatan kardiometabolik. Tingkat kebugaran yang lebih tinggi dapat mengurangi beberapa gangguan kesehatan yang berkaitan dengan obesitas. Walaupun secara intuisi obesitas dapat mengurangi kebugaran fisik, namun sebuah penelitian menunjukkan bahwa hanya sekitar 50% pengurangan kebugaran fisik pada anak dan dewasa muda yang dapat dijelaskan dengan
fatness. Dalam hal ini, rendahnya aktivitas fisik mungkin turut berperan (Voss, 2014).
Hubungan antara komposisi tubuh dan tingkat kebugaran perlu dicari agar dapat mengetahui pengukuran skrining yang dapat mengidentifikasi dewasa muda yang memiliki tingkat kebugaran kardiorespirasi yang rendah dan peningkatan risiko penyakit kronis (Burns et al., 2013). Selain itu, dapat dilaksanakan program-program intervensi yang dapat memberikan manfaat terhadap status kesehatan, seperti berkurangnya lemak tubuh, perbaikan skor sindrom metabolik, efek positif pada tekanan darah, peningkatan densitas tulang, dan peningkatan prestasi akademik (Hanifah et al., 2013).
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa semua parameter komposisi tubuh, yaitu IMT, lingkar pinggang, dan waist-height ratio berkorelasi terbalik dengan VO₂max sebagai marker tingkat kebugaran fisik. Lingkar pinggang merupakan prediktor tingkat kebugaran yang terkuat. Hubungan yang sebenarnya antara lingkar pinggang dan faktor risiko kardio-metabolik masih belum jelas. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa penumpukan lemak intraabdomen merupakan indikator adanya gangguan regulasi penyimpanan energi, yang menyebabkan penumpukan lemak berlebihan di hati. Hal ini mengganggu fungsi regulasi lemak hati yang dapat berakibat dislipidemia dan resistensi insulin (Hanifah et al., 2013). Menurut Klein (2007) dalam Hanifah (2013), hipotesis lain adalah adanya pelepasan asam lemak bebas melalui lipolisis dari adiposit omentum dan mesenterik yang memicu resistensi insulin dan hiperkolesterolemia.
Selain itu, juga didapatkan bahwa remaja dengan tingkat kebugaran fisik yang rendah berkaitan dengan peningkatan lingkar pinggang sebesar 5,6 cm pada laki-laki dan 2,9 cm pada dibandingkan dengan yang memiliki tingkat kebugaran tinggi. Sebuah studi di Spanyol mengungkapkan bahwa kebugaran kardiorespirasi adalah prediktor terkuat dari IMT, jumlah ketebalan lipatan kulit, dan jaringan lemak subkutan trunkus, dibandingkan dengan tingkat aktivitas fisik. Hal ini menunjukkan bahwa begitu pentingnya gaya hidup yang sehat dimulai sejak usia muda (Hanifah et al., 2013).
Dari suatu studi di Cina, diperoleh hasil bahwa laki-laki dengan IMT normal atau rendah memiliki indeks kebugaran fisik yang lebih tinggi daripada yang memiliki IMT tinggi, sangat tinggi, atau sangat rendah dimana laki-laki yang
memiliki IMT normal rata-rata memiliki nilai indeks kebugaran fisik terbaik pada usia 19-24 tahun, dan yang memiliki IMT rendah pada usia 18 dan 25 tahun, sedangkan hubungan IMT dan indeks kebugaran fisik pada diperoleh hasil yang membingungkan. Sebagai contoh, pada kelompok usia dewasa muda (18-19 tahun) didapatkan indeks kebugaran fisik terbaik berasal dari kelompok IMT terendah, sedangkan pada usia 19 tahun, hubungan antara IMT dan indeks kebugaran fisik menunjukkan hasil yang tidak masuk akal. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor kultural dimana memiliki keinginan untuk bertubuh langsing dengan cara diet yang tidak tepat (Lu et al., 2014).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Menurut Ortega (2007) dalam Olivia (2010), dalam beberapa dekade terakhir ini, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat pesat telah banyak mempengaruhi gaya hidup manusia di seluruh dunia yang dapat dibuktikan dengan banyaknya penggunaan mesin dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan. Gaya hidup modern ini menyebabkan manusia cenderung memiliki
sedentary lifestyle dan aktivitas fisik semakin berkurang. Aktivitas fisik yang rendah merupakan faktor predisposisi terhadap obesitas serta penyakit kardiovaskular dan metabolik lainnya (Cordova, et al., 2013).
Peningkatan dan perkembangan obesitas di dunia yang serius, yang berkaitan dengan rendahnya tingkat aktivitas fisik merupakan penyebab utama penurunan tingkat kebugaran fisik (Thivel et al., 2011). Menurut Riskesdas tahun 2013, dalam prevalensi status gizi penduduk dewasa (>18 tahun) berdasarkan kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) dan provinsi di Indonesia menyatakan bahwa prevalensi status gizi kurang sebesar 11,09%, normal 62,68%, berat badan berlebih 11,48%, dan obesitas 14,76% dimana persentase obesitas tertinggi terjadi di Sulawesi Utara, sedangkan persentase obesitas terendah terjadi di Nusa Tenggara Timur. Prevalensi obesitas semakin meningkat dari tahun ke tahun jika hasil ini dibandingkan dengan hasil Riskesdas tahun 2010, yaitu prevalensi status gizi kurang sebesar 12,6%, normal 65,8%, berat badan berlebih 10,0%, dan obesitas 11,7%. Overweight dan obesitas sebagian besar disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang mendukung intake makanan yang berlebihan dan aktivitas fisik yang rendah (Cordova, et al., 2013).
Menurut Haskell (2000), kebugaran fisik adalah sekelompok atribut yang dimiliki atau didapat seseorang yang berkaitan dengan kemampuannya dalam melakukan aktivitas fisik. Menurut Wiarto (2012), kebugaran jasmani adalah kemampuan tubuh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan fisik yang dikerjakan sehari-hari tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti. Terdapat
beberapa komponen kebugaran fisik yang berkaitan dengan kesehatan, antara lain daya tahan kardiorespirasi, komposisi tubuh, kekuatan otot, daya tahan otot, dan kelenturan tubuh. Daya tahan kardiorespirasi yang menggambarkan kebugaran kardiorespirasi merupakan kemampuan untuk melaksanakan latihan dinamik dengan intensitas sedang-berat dalam periode waktu yang lama dimana kemampuan ini bergantung pada kemampuan fungsional dan fisiologis dari sistem respirasi, kardiovaskular, dan muskuloskeletal yang terintegrasi (ACSM, 2013).
Komposisi tubuh adalah proporsi relatif jaringan lemak dan jaringan bukan lemak (tulang, otot, jaringan, dan organ) dalam tubuh. Ada beberapa teknik pengukuran komposisi tubuh, mulai dari yang sederhana seperti indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan tebal lipatan kulit sampai yang membutuhkan peralatan canggih dan personil profesional seperti BIA, DEXA, DPA, TOBEC, dan Hydrodensitometry (ACSM, 2013).
Salah satu teknik pengukuran komposisi tubuh yang sering dilakukan selain IMT adalah lingkar pinggang (LP). LP yang berkorelasi dengan jumlah lemak intraabdominal juga sering dijadikan sebagai metode pengukuran skrining terhadap lemak viseral dalam yang berkaitan dengan peningkatan risiko obesitas, penyakit kardiovaskular dan metabolik (Williams, 2007). Menurut Riskesdas (2007) dalam Bantas (2013), LP rata-rata seluruh responden yang berjumlah 13.262 orang yang merupakan penduduk di perkotaan di seluruh provinsi di Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas adalah 78,09 cm, dengan LP rata-rata pada responden pria adalah 77,164 cm dan pada responden wanita adalah 78,860 cm, sedangkan LP terkecil pada seluruh responden adalah 60 cm, dan LP terbesar adalah 129,8 cm.
Pada penelitian ini, teknik pengukuran komposisi tubuh yang digunakan adalah IMT dan lingkar pinggang. Keduanya merupakan teknik sederhana yang paling sering digunakan untuk mengukur komposisi tubuh dalam praktik klinik, sedangkan kebugaran kardiorespirasi dinilai berdasarkan VO₂ maks yang diukur dengan tes latihan submaksimal menggunakan treadmill.
Sebelumnya sudah ada beberapa penelitian tentang hubungan komposisi tubuh dan tingkat kebugaran. Di antaranya adalah penelitian BMC Public Health
tahun 2013 yang berjudul indeks komposisi tubuh dan tingkat kebugaran pada remaja di Malaysia, yang menyatakan adanya hubungan sedang yang berbanding terbalik antara indeks komposisi tubuh dan tingkat kebugaran dengan nilai koefisien korelasi antara indeks komposisi tubuh dan physical fitness score (PFS) adalah -0,360 dan -0,413 masing-masing untuk indeks komposisi tubuh IMT dan LP dengan nilai p < 0,001. Hasil ini menunjukkan bahwa LP memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kebugaran fisik dibandingkan IMT (Hanifah et al., 2013). Dari penelitian lain pada siswa dewasa di Cina tahun 2014, diperoleh kesimpulan bahwa hubungan IMT dan tingkat kebugaran pada subjek laki-laki tidak linear, yaitu mempunyai hubungan parabolik, bervariasi terhadap usia dimana pengaruh IMT terhadap tingkat kebugaran lebih besar pada pria usia pertengahan daripada pria usia muda, sedangkan hubungan IMT dan tingkat kebugaran pada subjek masih tidak jelas, dimana terdapat perbedaan bentuk grafik hubungan IMT dan tingkat kebugaran untuk setiap kelompok usia dari 18-31 tahun sehingga tidak dapat ditarik sebuah kesimpulan tentang hubungan antara IMT dan tingkat kebugaran pada . Hal ini merupakan alasan mengapa subjek dalam penelitian ini hanya berjenis kelamin .
Kebugaran fisik sangat penting bagi seseorang untuk menjalankan aktivitas sehari-hari secara optimal sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Selain itu, obesitas dengan prevalensi yang meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia merupakan faktor risiko terjadinya penurunan kebugaran kardiorespirasi dan berbagai penyakit. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk memilih judul penelitian “Hubungan Teknik Pengukuran Komposisi Tubuh Berdasarkan Indeks Massa Tubuh dan Lingkar Pinggang dengan Kebugaran Kardiorespirasi pada Mahasiswi FK USU”.