Konsumsi pangan sumber vitamin A merupakan salah satu upaya sangat penting untuk meningkatkan status kesehatan balita. Konsumsi sumber pangan vitamin A dalam penelitian ini adalah jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi balita dari pangan sumber vitamin A yang dikonversikan sesuai dengan angka kebutuhan gizi yang direkomendasikan Depkes RI dalam Satuan International (SI). Hasil uji chi square menunjukkan pada nilai X2=53,615 terdapat hubungan signifikan konsumsi pangan sumber vitamin A dengan status kesehatan balita dengan nilai p=0,000, artinya jika balita mengkonsumsi pangan sumber vitamin A yang cukup dapat meningkatkan status kesehatan balita yang dilihat dari status gizi dan tidak adanya penyakit infeksi yang menyertainya.
Secara proporsi menunjukkan balita dengan status kesehatan kategori tidak baik 85,5% terdapat pada balita dengan konsumsi pangan sumber vitamin A yang tidak baik dibandingkan balita dengan status kesehatan baik yaitu 14,5%. Sumber pangan vitamin A ini dapat meningkatkan jumlah vitamin A yang dibutuhkan oleh balita sesuai dengan usianya.
Selain itu dapat juga diketahui bahwa balita dengan status gizi baik 65,4% mempunyai konsumsi vitamin A yang cukup, sedangkan balita dengan status gizi buruk, 90,3 % mempunyai suplemen vitamin A yang tidak cukup, artinya secara
nyata dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi konsumsi vitamin A dengan status gizi balita. Hal ini dapat diketahui bahwa salah satu indicator status gizi dapat dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan balita. Vitamin A berpengaruh terhadap sintesis protein dengan demikian terhadap pertumbuhan sel. Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada anak-anak yang kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhan. Vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat.
Menurut Depkes RI, 2005, sumber vitamin A dapat bersumber dari makanan ataupun suplemen vitamin A. Berikut ini dapat dijabarkan sumber sumber vitamin A selain dari kapsul vitamin A, yaitu: (1) Air Susu Ibu, (2) Bahan Makanan Hewani seperti hati, kuning telur, daging, ayam dan bebek, (3) Buah buahan berwarna kuning dan jingga seperti pepaya, mangga masak, alpukat, jambu biji merah dan pisang, (4) sayuran berwarna hijau tua dan warna jingga seperti bayam, daun singkong, kangkung, daun katuk, daun kelor, labu kuning, tomat dan wortel, dan (5) Bahan makanan yang difortifikasi seperti margarine, dan susu. Hasil penelitian menunjukkan 44,4% sumber vitamin A berasal dari sayur bayam, dan 60,4% dari kangkung, sedangkan sumber pangan nabati 65,3% bersumber dari tahu yang dikonsumsi 1 3 kali seminggu. Sedangkan sumber vitamin A dari pangan hewani, mayoritas balita sudah mengkonsumsi ikan basah, namun frekuensi makan mayoritas 1 3 kali seminggu (25,8%), dan hanya 9,33% mengkonsumsi ikan basah satu kali sehari. Hal ini dapat diterima mengingat kondisi perekonomian masyarakat di kecamatan Jeumpa 73,3%
mempunyai pendapatan kurang dari 1.000.000 perbulan, dan letak geografis berada diantara perkotaan dan pergunungan, sehingga relatif kurang memperoleh ikan basah setiap hari. Hal ini didukung oleh konsumsi balita juga mengkonsumsi ikan kering meskipun mayoritas (39,1%) satu kali sebulan, namun 32,0% balita mengkonsumsi telur, sehingga kebutuhan vitamin A dari pangan nabati terpenuhi.
Jenis buah-buahan yang dikonsumsi balita adalah alpokat, jeruk. Hasil penelitian menunjukkan 96,4% mengkonsumsi Alpokat, 92,9% bersumber dari jeruk, dan tidak ada balita yang mengkonsumsi pisang, artinya balita di Kabupaten Bireuen cenderung mengkonsumsi alpokat menggantikan pisang. Hal ini mengindikasikan bahwa buah-buahan sumber vitamin A dari buah-buahan masih rendah. Tingginya konsumsi alpokat karena kemudahan mendapatkan Alpokat relatif mudah, sedangkan pisang diberikan saat masih bayi dan itupun jenis pisang talas (“pisang wak”), dan lazimnya masih di usia 3 bulan. Namun secara faktual pisang setidaknya masih dikonsumsi balita, namun hanya sesekali. Keadaan ini bisa dikaitkan dengan jenis pekerjaan orang tua balita, yaitu 42,7% adalah ibu rumah tangga, dengan pendapatan keluarga 73,3% masih dibawah UMR, sehingga kebutuhan makan keluarga cenderung mengutamakan kebutuhan makanan pokok saja, sementara membelikan buah-buahan hanya sesekali dan cenderung dianggap sebagai “oleh-oleh”
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hilwah (2002) pada balita dari keluarga pra sejahtera di Kelurahan Keramat Jati Jakarta, bahwa status gizi mempengaruhi status kesehatan balita, dan status gizi tersebut dapat dilihat dari jumlah asupan makanan sumber
vitamin A, hasil penelitian menunjukkan 74,9% balita dengan status gizi kurang mempunyai asupan makanan sumber vitamin A tidak cukup.
Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan metabolisme tubuh balita dan fungsi kekebalan tubuh menjadi menurun, sehingga mudah terserang infeksi. Disamping itu lapisan sel yang menutupi trakea dan paru-paru mengalami keratinisasi, tidak mengeluarkan lender sehingga mudah dimasuki mikroorganisme penyebab infeksi saluran pernapasan. Bila terjadi pada permukaan usus halus dapat terjadi diare. Perubahan pada permukaan saluran kemih dan kelamin dapat menimbulkan infeksi pada ginjal dan kantong kemih. Pada anak-anak dapat menyebabkan komplikasi pada campak yang dapat mengakibatkan kematian.
Status kesehatan balita dilihat dari status gizi balita dan status kesakitan balita. Hasil penelitian menunjukkan 76,9% mempunyai status kesehatan yang tidak baik dibandingkan balita dengan status kesehatan kategori baik yaitu 23,1%. Keadaan status balita ini dipengaruhi oleh status gizi dan status kesakitan yang dilihat dari ada tidaknya terjangkit penyakit infeksi seperti ISPA dan Diare. Berdasarkan umur diketahui status kesehatan tidak baik 88,4% terdapat pada balita dengan usia 48-60 bulan, dibandingkan usia lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa anak dengan usia tersebut sudah mendekati usia melewati balita sehingga kecenderungan terpapar dengan factor risiko lain sangat besar seperti terpapar dengan sumber infeksi penyakit seperti cacing, karena sudah mempunyai kebiasaan bermain tanah, dan makan makanan yang berpotensi terhadap penularan terjadi suatu penyakit infeksi pada balita.
Keadaan ini sangat didukung oleh keadaan gizi balita, dimana dalam penelitian ini menunjukkan masih terdapat 23,1% balita dengan keadaan gizi buruk,49,3% balita dengan keadaan gizi kurang dan hanya 27,6% balita dengan gizi baik. Keadaan gizi ini akan mempengaruhi keadaan kesehatan balita secara keseluruhan selain penyakit infeksi yang menyertainya. Keadaan gizi yang kurang akan menyebabkan rendahnya sistem kekebalan tubuh balita sehingga dengan mudah terinfeksi berbagai jenis penyakit khususnya penyakit-penyakit infeksi.
Selain itu faktor penyakit infeksi, juga memberikan kontribusi terhadap gizi balita. Hasil penelitian menunjukkan masih ada 38,2% balita mengalami ISPA dan 29,8% balita mengalami Diare. Penelitian ini sejalan dengan penelitian UNICEF (2006) di Lima Kabupaten di Propinsi NAD, menemukan terdapat korelasi positif antara morbiditas balita dengan keadaan status gizi balita, balita yang mengalami diare 1,23 kali kemungkinan mengalami gizi kurang (kurus), dan balita dengan kejadian ISPA 13,9 kali mengalami gizi kurang.
Hasil penelitian Ukur (2003) terdapat hubungan penyakit infeksi pada balita dengan gizi kurang pada balita, dimana kajian sebelum terjadinya krisis ekonomi, balita yang menderita penyakit diare 2,1 kali lebih tinggi menderita gizi kurang dari pada balita yang tidak diare, penyakit infeksi lainnya yaitu penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Hasil penelitian menunjukkan ada perubahan prevalensi ISPA pada saat krisis ekonomi cenderung meningkat yaitu 35,6% menjadi 44,9%, apabila faktor penyakit ISPA dikaitkan dengan status gizi anak balita, terlihat bahwa sebelum krisis secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna, dimana
kemungkinan terjadinya gizi kurang pada anak ISPA 1,4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak ISPA.
Menurut Laporan Hellen (2000), bahwa pada anak usia dibawah 5 tahun berisiko terhadap penyakit campak, apalagi balita tersebut berada di wilayah risiko campak dengan sanitasi lingkungan yang tidak baik, dan secara umum 50% balita yang mendapat suplemen vitamin A dapat mencegah terjadi campak dibandingkan anak balita yang tidak mendapat suplemen vitamin A.