Zat gizi adalah zat yang diperlukan tubuh seperti hidrat arang, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Bahkan makanan adalah hasil dari produksi pertanian yang berguna untuk kesehatan tubuh. Jenis bahan makanan dapat langsung dimakan sebagai makanan, namun banyak pula bahan makanan memerlukan pengolahan sebelum jadi makanan. Makanan merupakan istilah yang dikandungnya, baik jumlah maupun mutunya. Kebutuhan tubuh akan zat gizi tertentu tergantung pada aktivitas dan proses yang berlangsung dalam tubuh misalnya pada fase pertumbuhan dimana terjadinya proses pertumbuhan jaringan sangat pesat sekali seperti pertumbuhan pada anak anak di bawah 5 tahun (Soekirman, 2002).
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Status gizi merupakan tanda tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004)
Menurut Santoso (1999), status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak akibat interaksi antara makanan dalam tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Nilai keadaan gizi anak sebagai refleksi kecukupan gizi, merupakan salah satu parameter yang penting untuk nilai tumbuh kembang fisik anak dan nilai kesehatan anak tersebut.
Menurut Supariasa, dkk (2002), status gizi adalah keadaan keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat gizi tersebut atau keadaan fisiologi akibat dari tersedianya zat gizi di dalam tubuh. Status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Status gizi merupakan keadaan seseorang sebagai refleksi dari konsumsi pangan serta penggunaannya oleh tubuh. Ketidakseimbangan antara intake dengan kebutuhan mengakibatkan terjadinya malnutrisi. Malnutrisi terdiri dari : 1). under weight, terjadi apabila intake < kebutuhan, dan 2). obesitas, terjadi apabila intake > kebutuhan (Halomoan, 1999)
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan utilitas zat gizi
makanan. Dengan menilai status gizi seseorang atau sekelompok orang maka dapat diketahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut status gizinya baik atau tidak (Riyadi, 2001).
Status gizi merupakan faktor yang terdapat dalam level individu (level paling mikro). Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah asupan makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro lain) dan status kesehatan. Pengaruh langsung dari status gizi dipengaruhi oleh tiga faktor tidak langsung yaitu ketahanan pangan, perawatan ibu dan anak yang cukup dan lingkungan kesehatan yang tepat, termasuk akses terhadap pelayanan kesehatan (Riyadi, 2001).
2.3.1 Penilaian Status Gizi secara Antropometri
Supariasa dkk (2002), mendefenisikan antropometri adalah ukuran tubuh. Maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Pengukuran antropometri relatif mudah untuk dilaksanakan. Akan tetapi untuk berbagai cara, pengukuran antropometri ini membutuhkan keterampilan, peralatan, dan keterangan untuk pelaksanannya. Jika dilihat dari tujuannya antropometri dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Untuk ukuran massa jaringan : pengukuran berat badan, tebal lemak di bawah kulit, lingkar lengan atas. Ukuran massa jaringan ini sifatnya sensitif, cepat berubah, mudah turun naik, dan menggambarkan keadaan sekarang.
2. Untuk ukuran linier : pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, dan lingkar dada. Ukuran linier sifatnya spesifik, perubahannya relatif lambat, ukurannya tetap atau naik, dapat menggambarkan riwayat masa lalu.
Parameter dan indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi anak balita adalah indikator Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) (Depkes R.I.,1995)
2.3.2 Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak) karena massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya karena penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan yang dikonsumsi maka berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara intake dan kebutuhan zat gizi terjamin, berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan perkembangan berat badan yaitu berkembang lebih cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan sifat sifat ini maka indeks BB menurut umur (BB/U) digunakan sebagai salah satu indikator status gizi. Oleh karena sifat berat badan yang stabil maka indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang pada saat kini (current
Penggunaan indeks BB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan kekurangan yang perlu mendapat perhatian.
Kelebihan indeks BB/U yaitu :
1. Dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum 2. Sensitif untuk melihat perubahan status gizi jangka pendek
3. Dapat mendeteksi kegemukan (over weight) Sedangkan kelemahan dari indeks BB/U adalah :
1. Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat oedema
2. Memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk kelompok anak di bawah usia lima tahun (balita). Ketepatan umur untuk kelompok umur ini masih merupakan masalah di negara berkembang, termasuk Indonesia.
3. Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan
4. Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat. Dalam hal ini masih ada orang tua yang tidak mau menimbangkan anaknya karena seperti barang dagangan (Supariasa dkk, 2002).
2.3.3 Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak
seperti berat badan, relatif kurng sensitif terhadap masalah defesiensi zat gizi jangka pendek. Pengaruh defesiensi zat gizi terhadap tinggi badan baru akan tampak pada saat yang cukup lama.
Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lampau dan dapat juga digunakan sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Kelemahan penggunaan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) yaitu: 1. Tidak dapat memberi gambaran keadaan pertumbuhan secara jelas
2. Dari segi operasional, sering dialami kesulitan dalam pengukuran terutama bila anak mengalami keadaan takut dan tegang (Jahari, 1998).
2.3.4 Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memilki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan percepatan tertentu. Seperti halnya dengan indeks BB/U, maka penggunaan indeks BB/TB memiliki keuntungan dan kelemahan, terutama bila digunakan terhadap anak balita.
Keuntungan penggunaan indeks BB/TB adalah :
1. Hampir independen terhadap pengaruh umur dan ras
2. Dapat membedakan keadaan anak dalam penilaian berat badan relatif terhadap tinggi badan: kurus, gemuk, dan cukup dalam keadaan marasmus atau bentuk KEP berat lainnya.
1. Tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan karena faktor umur tidak diperhatikan dalam hal ini.
2. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok anak balita.
3. Sering terjadi kesalahan pembacaan angka hasil pengukuran terutama bila dilakukan oleh kelompok non profesional (B. Abas, 1998).
2.3.5 Klasifikasi Status Gizi Berdasarkan Indeks Antropometri
Untuk mengetahui besarnya masalah gizi pada satu populasi umumnya digunakan indikator status gizi yang merefleksikan suatu kekurangan gizi akut (malnutrisi akut) yaitu indeks berat badan per tinggi badan (BB/TB) yang dibandingkan dengan standart internasional NCHS WH0. Indikator ini merupakan indikator yang paling sensitif dalam menilai terjadinya perubahan status gizi oleh karena suatu kejadian akut seperti bencana alam atau kerusuhan. Disamping itu, inipun sangat sensitif dalam mengukur keefektifan suatu kegiatan intervensi yang dilakukan dalam penanggulangan masalah gizi. Sedangkan untuk status gizi bumil/bufas digunakan hasil pengukuran LILA (Thaha, 2003).
Dalam penelitian status gizi, khususnya untuk keperluan klasifikasi diperlukan ukuran baku (reference). Baku antropometri yang banyak
digunakan adalah baku Havard (1959), baik untuk BB maupun untuk TB. Pada tahun 1979, WHO mempublikasikan baku antropometri yang dikenal sebagai baku WHO NHCS dan dipublikasi ulang pada tahun 1983. Biro Pusat Statistik (BPS) dalam menilai status gizi yang dikelola oleh Direktorat Bina Gizi Masyarakat menggunakan WHO. Pada prinsipnya penggunaan jenis baku antropometri di suatu negara didasari atas kesepakatan bersama antar ahli dibidang ini, dengan melakukan penyesuaian penyesuaian seperlunya menurut kondisi di negara yang bersangkutan. Demikian pula di Indonesia, baku antropometri yang digunakan selama ini (baku havard) didasarkan atas suatu kesepakatan dalam lokakarya antropometri gizi tahun 1975. Untuk klasifikasi status gizi berdasarkan baku antropometri perlu adanya batasan batasan (cut off point) tertentu.
Berdasarkan hasil kesepakatan pakar gizi pada bulan Mei tahun 2000 di Semarang mengenai standar baku nasional di Indonesia (Depkes RI, 2002) disepakati batas ambang dan istilah status gizi untuk indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB, yaitu:
(a) Indeks BB/U
a. Gizi lebih, bila nilai Z terletak > +2 SD
b. Gizi baik, bila nilai Z terletak 2 SD s/d +2 SD c. Gizi kurang, bila nilai Z terletak < 2 SD s/d 3 SD d. Gizi buruk, bila nilai Z terletak < 3 SD
a. Normal, bila nilai Z terletak 2 SD b. Pendek, bila nilai Z terletak < 2 SD (c) Indeks BB/TB
a. Gemuk, bila nilai Z terletak > +2 SD
b Normal, bila nilai Z terletak 2 SD s/d +2 SD c. Kurus, bila nilai Z terletak < 2 SD s/d 3 SD d. Sangat kurus, bila nilai Z terletak < 3 SD