• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Motivasi dengan Pencegahan Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Pakam Pekan Kabupaten Deli Serdang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar motivasi kategori positif yaitu sebanyak 114 orang (54,3%). Hasil uji statistik diperoleh nilai

p = 0,178 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara

motivasi dengan pencegahan hipertensi. Mengacu pada hasil penelitian, motivasi tentang pencegahan hipertensi pada masyarakat secara nyata menunjukkan tidak ada hubungan dengan pencegahan hipertensi ( p > 0,05).

Menurut Sarwono (2007) bagi mereka yang memiliki motivasi rendah untuk bertindak diperlukan rangsangan yang lebih intensif untuk mencetuskan respon yang diinginkan, sebab bagi kelompok semacam ini penghayatan subyektif terhambatan/ resiko negatif dari pengobatan penyakit, jauh lebih kuat daripada gejala objektif dari penyakit itu atau pun pandangan/saran professional kesehatan. Tetapi bagi mereka

yang sudah termotivasi untuk bertindak, maka rangsangan sedikit saja sudah cukup untuk menimbulkan respon tersebut.

Responden yang memiliki motivasi positif akan terlihat dari perilakunya dalam upaya melakukan pencegahan hipertensi. Motivasi adalah bagian dari psikologis individu yang terdapat dari dalam diri individu untuk melakukan pencegahan hipertensi, artinya semakin baik motivasi masyarakat, maka akan melakukan pencegahan hipertensi. Hal ini sesuai dengan pendapat

Menurut Susanto (Djoko & Yustina, 2007), seseorang akan termotivasi untuk berperilaku tertentu jika kebutuhan itu telah dirasakannya. Masalahnya tidak semua kebutuhan dirasakan seseorang itu merupakan kebutuhan yang nyata, demikian sebaliknya, tidak semua kebutuhan yang nyata benar-benar telah dirasakan seseorang. Lebih lanjut Hick & Gullet (2002) menyatakan bahwa berbagai kebutuhan keinginan dan harapan yang terdapat dalam pribadi seseorang dapat menyusun motivasi orang tersebut. kekuatan ini mempengaruhi pribadinya dengan menentukan berbagai pandangan, yang menurut giliran untuk menentukan tingkah laku dalam situasi khusus. Selain itu kepentingan, keinginan dan hasrat seseorang adalah juga unik karena kesemuanya ditentukan oleh faktor yang membentuk kepribadiannya, penampilan biologis, fisiologis dan psikologisnya. Berdasarkan hasil penelitian dan konsep diatas, dapat diasumsikan bahwa pengetahuan dan sikap, bagian dari motivasi yang mendorong responden dalam melakukan pencegahan hipertensi. Responden yang memiliki motivasi positif harus terus dipertahankan karena dapat menjadi daya

dorong atau motivasi responden untuk melakukan pencegahan hipertensi yang baik tanpa adanya paksaan.

Hasil studi Kusumawardhani (2007) tentang hubungan antara tanggapan pasien dan kepatuhan pasien terhadap pencegahan sekunder hipertensi di kelurahan Abadijaya Depok Jawa Barat dengan desain deskriptif analitik dan bersifat

cross-sectional menyimpulkan sikap penderita hipertensi di wilayah kerja puskesmas Abadi

Jaya mengenai penyakit hipertensi sudah baik, tetapi masih belum ditunjang oleh perilaku mereka, antara lain seperti takut untuk rutin periksa tensi, minum obat hanya jika ada keluhan. Dari hasil studi Kusumawardhani tersebut telihat kurang adanya motivasi dari responden pada hal sudah menderita hipertensi.

Menurut Rowley (1999), karakteristik masyarakat termasuk keinginan (motivasi) untuk sembuh merupakan faktor penting yang diperlukan dari individu untuk mengikuti seluruh anjuran yang dianjurkan dalam proses pengobatan penyakit.

Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa tindakan merupakan wujud nyata dari pengetahuan dan sikap, meskipun suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung (support) dari pihak lain.

Upaya untuk meningkatkan motivasi responden untuk melakukan pencegahan hipertensi dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan kesehatan tentang pencegahan hipertensi yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan Puskesmas Pakam Pekan Kabupaten Deli Serdang serta dukungan dari keluarga responden. Penyuluhan tentang pencegahan hipertensi dengan materi yang mencakup keseluruhan materi

tentang pencegahan hipertensi sangat penting dilakukan sebagai upaya meningkatkan pelayanan kesehatan. Metode penyuluhan yang digunakan juga harus sesuai dengan kemampuan masyarakat, sehingga apa yang menjadi tujuan penyuluhan dapat tercapai, misalnya dengan menampilkan gambar tentang komplikasi hipertensi karena tidak melakukan pencegahan hipertensi.

Peningkatan pengetahuan saja belum tentu dapat merubah sikap atau motivasi responden tentang pencegahan hipertensi, oleh karena itu harus dirumuskan suatu pendekatan yang lebih baik, misalnya melibatkan keluarga, dan tempat kerja untuk mensosialisasikan pemeriksaan berkala dan gaya hidup sehat.

Menurut Rogers E.M (1983) perlu menumbuhkan kesadaran sangat dalam rangka perubahan perilaku. Menumbuhkan kesadaran dapat dilakukan dengan memberikan sosialisasi tentang pentingnya pemeriksaan berkala. Sosialisasi tentang pentingnya pencegahan kesehatan untuk kegiatan preventif memang sudah banyak dilakukan namun yang memanfaatkan untuk pemeriksaan masih rendah.

Menurut pendapat Girois dkk (2001) secara garis besar tujuan dari pencegahan adalah supaya mereka yang memiliki resiko dianjurkan untuk memakan makanan yang lebih bervariasi, mengkomsumsi lebih sedikit lemak, secara khusus yang mengadung kolesterol dan jenuh lemak, mengkonsumsi lebih banyak sayuran dan buah, lebih sedikit mengkonsumsi garam, mengurangi konsumsi alkohol dan rokok, meningkatkan aktifitas fisik dan mengendalikan berat badan.

Menurut Depkes RI (2007) strategi pencegahan jangka pendek bertujuan mengurangi risiko timbulnya penyakit jantung dan pembuluh darah baru yang terjadi

pada masa dekat (dibawah 10 tahun). Keadaan ini ditujukan bagi populasi yang memiliki kemungkinan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah tinggi untuk itu diperlukan intervensi yang lebih intensif. Perubahan pola hidup tetap menjadi elemen penting dari penurunan resiko jangka panjang, Pencegahan seumur hidup memprioritaskan perubahan pola hidup yang menjadi penyebab utama faktor resiko, seperti kegemukan, kurang aktifitas dan pola makan

Pendekatan perubahan juga bisa ditempuh pada lokasi spesifik, sebagaimana dianjurkan oleh Brownson dkk (2001). Pendekatan perubahan melalui komunitas tertentu akan lebih efektif jika dilakukan dengan baik, misalnya melalui promosi kesehatan mengingat ada faktor pengaruh faktor kultural di dalam faktor resiko ini (Hesketh dkk, 2001).

Puskesmas atau pelaku kesehatan lainnya memiliki peranan penting. Berperan sebagai pelaku konseling atas masalah-masalah yang berhubungan dengan pencegahan hipertensi. Dalam konsep konseling, pemberian konseling bertujuan membantu responden mengenal diri sendiri, menerima diri secara realistis dapat memutuskan pilihan dan rencana lebih bijaksana sehingga dapat berkembang secara konstruktif di lingkungannya. Hal ini berarti individu tidak hanya memperoleh pengetahuan dan motivasi dari konselor yang akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap konsistensi terhadap pernyataan motivasi dengan tindakannya.

Dokumen terkait