• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Nilai Hematokrit dengan Lama Rawat Inap

Dalam dokumen OLEH: RAUDYA IWANA TUZZAHRA NIM: (Halaman 56-62)

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Analisis Bivariat

4.2.3 Hubungan Nilai Hematokrit dengan Lama Rawat Inap

Tabel 4.10 Hubungan nilai hematokrit dengan lama rawat inap

Nilai Hematokrit Lama rawat inap P

≤4 hari >4 hari

Normal 100 (75,8%) 32 (24,2%) 0,630

Meningkat 31 (72,1%) 12 (27,9%)

Dari hasil analisis uji chi square didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara nilai hematokrit dengan lama rawat inap pasien DBD. Hal ini berdasarkan nilai p > 0,05 yaitu p = 0,630.

4.3 Pembahasan

Dari hasil penelitian pada 175 pasien didapat pasien yang mengalami penurunan jumlah trombosit atau trombositopenia (≤100.000 sel/mm3) berjumlah 168 orang (96%) (tabel 4.5), dengan jumlah trombosit terendah adalah 3.000 sel/mm3 dan jumlah trombosit tertinggi adalah 178.000 sel/mm3. Pasien yang mengalami penurunan jumlah leukosit atau leukopenia (≤5.000 sel/mm3) berjumlah 105 orang (60%) (tabel 4.6), dengan jumlah leukosit terendah adalah 1.400 sel/mm3 dan jumlah leukosit tertinggi yaitu 18.900 sel/mm3. Pasien yang mengalami peningkatan hematokrit atau hemokonsentrasi berjumlah 43 orang (24,6%) dari 175 pasien (tabel 4.7), hal ini sesuai dengan teori pada fase kritis DBD yang dinyatakan oleh WHO (2009) bahwa pada fase ini kemungkinan terjadi kebocoran plasma sehingga nilai hematokrit meningkat pada beberapa pasien.20

Berdasarkan distribusi usia (tabel 4.3), pada penelitian ini terlihat pasien DBD yang menjalani rawat inap banyak dialami oleh kelompok usia 18-34 tahun sebanyak 98 orang (56%), disusul oleh kelompok usia 35-44 tahun sebanyak 38 orang (21,7%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nur Purwoko (2012) yang menyatakan bahwa di Kota Mataram pasien berusia ≤ 35 tahun memiliki risiko 1,79 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang berumur >

44

35 tahun.36 Pada penelitian di Brazil mengenai risiko rawat inap dengan usia yang dilakukan oleh Marcelo dkk (2016) tahun 2000-2014, menyatakan bahwa proporsi tertinggi pasien rawat inap terjadi pada pasien yang lebih muda, dengan lebih dari 15% anak berusia < 10 tahun menjalani rawat inap dirumah sakit. Proporsi rawat inap yang relatif tinggi juga terjadi pada pasien demam berdarah dengan usia > 65 tahun sebanyak 12,4%.37 Pada penelitian ini sampel yang diambil hanya terbatas pada pasien usia > 18 tahun, sehingga tidak dapat menggambarkan kejadian rawat inap pada pasien dengan usia lebih muda.

Pada penelitian ini sampel yang terpilih adalah pasien DBD yang menjalani rawat inap dengan lama sakit sebelum dirawat yaitu 3-7 hari, hal ini berdasarkan fase kritis dari perjalanan penyakit DBD menurut WHO (2009) yang menyatakan bahwa perubahan drastis hasil pemeriksaan laboratorium dari trombosit, leukosit dan hematokrit terjadi pada fase ini. Pada fase ini juga dijelaskan dapat terjadi syok atau perburukan penyakit DBD menjadi SSD seiring dengan terjadinya kebocoran plasma.20 Namun hasil dari penelitian ini menunjukan tidak ditemukannya pasien SSD. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa pasien DBD yang menjalani rawat inap di RSU Kota Tangerang selama periode 2014-2015 yaitu pasien DBD derajat I dan DBD derajat II (tabel 4.4).

Dari jumlah pasien 168 orang yang mengalami trombositopenia, pasien yang menjalani rawat inap ≤ 4 hari berjumlah 126 orang (75%), sedangkan pasien yang menjalani rawat inap > 4 hari berjumlah 42 orang (25%) (tabel 4.8). Hubungan antara jumlah trombosit dan lama rawat inap pasien DBD pada penelitian ini menunjukan tidak adanya hubungan bermakna yang ditunjukan dengan nilai p = 1,000 (tabel 4.8). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Nikodemus Siregar (2010) bahwa terdapat hubungan yang sangat lemah (tidak bermakna) antara jumlah trombosit dengan lama rawat inap pasien DBD (r=0,262), hasil tersebut diperoleh dengan analisis uji korelasi pearson dari jumlah sampel sebanyak 68 orang.11

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Akshatha Rao (2015) yang menyatakan bahwa trombositopenia berhubungan dengan kejadian rash,

peningkatan AST dan ALT, dan penurunan albumin. Trombositopenia tidak dapat memprediksi lama rawat inap pasien. Lama rawat inap pasien DBD berhubungan dengan kejadian diare, nyeri abdomen, asites, dan penurunan Hb. Pada penelitian Akshatha Rao (2015) data dianalisis menggunakan analisis regresi logistik multivariat, dengan jumlah sampel sebanyak 207 orang.38

Tetapi hasil pada penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ita Perwira (2011) dengan p=0,009 dari analisis bivariat dan p= 0,013 dari analisis multivariat, serta penelitian Hasri Nopianto (2012) dengan p=0,036 yang menunjukan hubungan yang bermakna antara jumlah trombosit dan lama rawat inap.10,12 Perbedaan hasil dapat terjadi karena pada penelitian Ita Perwira (2011) penelitian dilakukan pada sampel yang lebih banyak yaitu berjumlah 450 sampel, dan menggunakan uji statistik chi square pada analisis bivariat dan uji statistik analisis regresi logistik multivariat pada analisis multivatiat.12 Perbedaan dengan penelitian Hasri Nopianto dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang berjumlah 122 kasus.10

Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Hari Kishan Jayanthi (2016) menyatakan bahwa jumlah trombosit yang menurun memiliki korelasi negatif dengan lama rawat inap (p = 0,00597). Jumlah trombosit yang menurun berhubungan dengan terjadinya non hemorrhagic complication seperti hepatitis, transaminitis, acute respiratory distress syndrome (ARDS), ensefalopati, dan

acute kidney injury (AKI). Penjelasan yang mungkin bisa jadi sesuai adalah

komplikasi terjadi meningkat dengan jumlah trombosit yang menurun, maka terjadi peningkatan durasi lama rawat inap. Pada penelitian tersebut menyatakan bahwa jumlah trombosit dapat memprediksi tingkat komplikasi dan lama rawat inap.39 Perbedaan hasil penelitian dengan Hari Kishan Jayanthi disebabkan oleh desain penelitian yang berbeda yaitu menggunakan prospektif observasional dengan uji korelasi.

Untuk jumlah leukosit, dari 105 pasien yang mengalami leukopenia, pasien yang menjalani rawat inap ≤ 4 hari berjumlah 81 orang (77,1%), dan yang menjalani rawat inap > 4 hari berjumlah 24 orang (22,9%) (tabel 4.9). Hubungan

46

antara jumlah leukosit dan lama rawat inap pasien DBD pada penelitian ini menunjukan hubungan yang tidak bermakna, hal ini ditunjukan dengan nilai p = 0,393 (tabel 4.9). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ita Perwira (2011) dengan p=0,002 dari hasil analisis bivariat dan p=0.024 dari hasil analisis multivariat, serta penelitian Hasri Nopianto (2012) dengan p=0,003 yang menyatakan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jumlah leukosit dengan lama rawat inap.10,12

Leukopenia progresif dan trombositopenia ditemukan pada akhir fase demam dan mendahului terjadinya kebocoran plasma.20 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Raihan dkk (2010) menyatakan bahwa penderita syok dengue lebih banyak ditemukan dengan jumlah leukosit < 5000 mm3.40 Menurut penelitian Yenni Risniati dkk (2011) jumlah leukosit dapat dijadikan sebagai prediktor terjadinya SSD pada anak dengan DBD.41 Kedua penelitian menggunakan sampel anak-anak, pada penelitian Raihan dkk (2010) jumlah sampel sebanyak 276 orang dengan 73 orang (26,5%) memiliki jumlah leukosit ≤ 5.000 sel/mm3 dan mengalami syok, dan uji statistik menggunakan analisis regresi logistik. Penelitian Yenni Risniati dkk (2011) memiliki jumlah sampel 129 orang dengan desain penelitian retrospektif case control, data dianalisis dengan analisis bivariat. dan multivariat.

Pada penelitian ini sampel yang diambil adalah pasien dewasa, dan tidak ditemukan pasien dengan diagnosis akhir SSD, sehingga pada penelitian ini jumlah leukosit tidak dapat dijadikan prediktor terjadinya SSD dan terlihat dari hasil analisis menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara jumlah leukosit dengan lama rawat inap. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fiyya (2007) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara rata-rata jumlah leukosit dengan kejadian syok (p= 0,554) pada pasien dewasa di RSUP Dr. Kariadi Semarang.42 Perbedaan penelitian ini dengan Fiyya (2007) terdapat pada kriteria sampel yang berusia > 14 tahun, cara uji statistik yang menggunakan uji chi square dan uji Mann Whitney, jumlah sampel yang berjumlah 271 orang, serta derajat penyakit yang mencakup DBD derajat I, II, III, dan IV.

Pada DBD masa penyembuhan cepat dan tanpa gejala sisa, sama seperti syok sepsis. Sepsis berhubungan dengan migrasi leukosit yang diaktivasi dari aliran darah ke jaringan inflamasi dan bersamaan dengan produksi leukosit di sumsum tulang yang intensif dikeluarkan kedalam aliran darah. Ketika leukosit melekat pada endotel, gangguan vaskuler mulai terjadi. Perlekatan ini terjadi karena teraktivasinya endotel, neutrofil, dan limfosit oleh sitokin dan kemokin yang dikeluarkan oleh monosit/makrofag. Neutrofil yang merupakan salah satu komponen dari leukosit serta trombosit masing-masing mengeluarkan faktor-faktor yang saling mengaktifkan satu sama lain. Pada penderita dengan sepsis menunjukan peningkatan α4-integrin-dependent yang dapat meningkatkan perlekatan sel pada pembuluh darah.41,43 Hal ini menjelaskan terjadinya leukopenia dan trombositopenia pada DBD yang terjadi lebih dahulu.20

Hasil penelitian menunjukan terjadi peningkatan hematokrit pada 43 orang pasien, dengan jumlah pasien yang menjalani lama rawat inap ≤ 4 hari berjumlah 31 orang (72,1%) dan lama rawat inap > 4 hari berjumlah 12 orang (27,9%) (tabel 4.10). Untuk nilai hematokrit, pada penelitian ini ditemukan hasil bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai hematokrit dan lama rawat inap pasien DBD, hal ini ditunjukan dengan nilai p = 0,630 (tabel 4.10). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasri Nopianto (2012) dengan p=0,697 yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara nilai hematokrit dengan lama rawat inap, dengan pasien yang mengalami peningkatan hematokrit berjumlah 101 orang (82,8%). Pada penelitian Hasri Nopianto cut off point dari nilai hematokrit yaitu ≤ 35% dan > 35%.10 Nilai hematokrit yang tinggi atau hemokonsentrasi diatas nilai awal menggambarkan keparahan kebocoran plasma.20

Kebocoran plasma mencapai puncaknya pada saat syok. Hemokonsentrasi yang ditandai dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih, mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler, perembesan plasma, dan berhubungan dengan beratnya penyakit.40 Namun pada penelitian ini nilai hematokrit tidak dikategorikan dengan melihat peningkatan nilai awal hematokrit 20% atau lebih, karena tidak didapatkan nilai hematokrit awal pasien sebelum sakit dan sulit

48

membandingkannya, sehingga nilai hematokrit dikategorikan sesuai dengan nilai

baseline yaitu pada laki-laki > 46% dan perempuan > 44%.32 Nilai hematokrit juga rentan dipengaruhi oleh penggantian cairan, intake kurang, dehidrasi, dan perdarahan.40

Pada penelitian ini, rata-rata pasien rawat inap DBD datang ke rumah sakit setelah sakit selama 4,7 ± 1,1 hari. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Marcelo dkk (2016) yang menyatakan bahwa risiko rawat inap pasien DBD meningkat pada pasien yang menunda kehadiran pertama ke rumah sakit > 2 hari. Risiko hampir 3 kali lipat untuk penundaan kedatangan antara 3-5 hari, dan hampir 5 kali lipat untuk penundaan lebih dari 5 hari.37 Perbedaan yang terlihat pada hasil penelitian ini dengan beberapa penelitian lain terjadi karena perbedaan dari cut off point dari beberapa variabel, jumlah sampel penelitian, metode penelitian dan metode analisis. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan bermakna yang signifikan karena proporsi pasien cenderung memiliki jumlah trombosit dalam kategori trombositopenia, jumlah leukosit dalam kategori leukopenia, dan nilai hematokrit dalam kategori normal sehingga sulit untuk mendapatkan hubungan antar variabel.

Dalam dokumen OLEH: RAUDYA IWANA TUZZAHRA NIM: (Halaman 56-62)

Dokumen terkait