BAB V HASIL
B. Hasil Analisis Bivariat
1. Hubungan antara obesitas dengan status dehidrasi jangka pendek
menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Hasil analisis bivariat antara obesitas dengan status dehidrasi jangka
pendek, dapat dilihat pada tabel 5.13 dibawah ini :
Tabel 5.13
Hubungan Obesitas dengan Status Dehidrasi Jangka Pendek pada Remaja Kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Obesitas Status Dehidrasi Total P-value Dehidrasi Tidak Dehidrasi OR (95%CI) N % N % N % Obesitas 5 83.3 1 16.7 6 100 7.321 (0.811-66.086) 0.026 Tidak Obesitas 28 40.6 41 59.4 69 100 Total 33 44.0 42 56.0 75 100
Hasil analisis hubungan antara obesitas dengan status dehidrasi
jangka pendek diperoleh siswa yang obesitas sebanyak 5 siswa (83.3%)
yang mengalami dehidrasi jangka pendek, sementara pada siswa yang tidak
obesitas diperoleh sebanyak 28 siswa (40.6%) yang mengalami dehidrasi
jangka pendek. Hasil uji statistik yang dilakukan diperoleh nilai Pvalue = 0.026 yang dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara
obesitas dengan status dehidrasi jangka pendek.
Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR= 7.321 (0.811-66.086),
artinya siswa yang obesitas memiliki peluang 7.321 kali untuk mengalami
dehidrasi dibandingkan dengan siswa yang tidak obesitas.
2. Hubungan antara jenis kelamin dengan status dehidrasi jangka pendek berdasarkan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin dengan status dehidrasi
jangka pendek dapat dilihat tabel 5.14 berikut ini :
Tabel 5.14
Hubungan Jenis Kelamin dengan Status Dehidrasi Jangka Pendek pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015 Jenis Kelamin Status Dehidrasi Total P-value Dehidrasi Tidak Dehidrasi OR (95% CI) N % N % N % Laki-laki 13 50 13 50 26 100 1.333 (0.513-3.463) 0.728 Perempuan 21 42.9 28 57.1 49 100 Total 34 45.3 41 54.7 75 100
Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan status
laki-laki mengalami dehidrasi jangka pendek dan siswa dengan jenis kelamin
perempuan diperoleh sebanyak 21 siswa (42.9%) yang mengalami
dehidrasi jangka pendek. Hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue = 0.728 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin dengan status dehidrasi jangka pendek pada remaja kelas 1 dan 2
di SMAN 63 Jakarta tahun 2015.
Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR= 1.333 (0.513-3.463),
artinya siswa yang berjenis kelamin laki-laki memiliki peluang 1.333 kali
untuk mengalami dehidrasi dibandingkan siswa yang berjenis kelamin
perempuan.
3. Hubungan antara aktivitas fisik dengan status dehidrasi jangka pendek berdasarkan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Hasil analisis bivariat antara aktivitas fisik dengan status dehidrasi
jangka pendek dapat dilihat pada tabel 5.15 berikut ini :
Tabel 5.15
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Status Dehidrasi Jangka Pendek pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Aktivitas Fisik Status Dehidrasi Total P-value Dehidrasi Tidak Dehidrasi OR 95% CI N % n % N % Ringan 27 42.9 36 57.1 63 100 Sedang 6 60 4 40 10 100 1.333 0.080-22.288 0.594 Berat 1 50 1 50 2 100 0.667 0.032-14.033 Total 34 45.3 41 54.7 75 100
Dari hasil analisis hubungan aktivitas fisik dengan status dehidrasi
diperoleh hasil siswa dengan aktivitas fisik ringan ada sebanyak 27 siswa
(42.9%), sedangkan siswa dengan aktivitas fisik sedang ada sebanyak 6
siswa (60%) dan siswa dengan aktivitas fisik berat ada sebanyak 1 siswa
(50%) yang mengalami dehidrasi. Dari uji statistik diperoleh Pvalue = 0.594 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik
dengan status dehidrasi. Sementara itu nilai OR nya adalah 1.333
(0.080-22.288) dan 0.667 (0.032-14.033) yang artinya siswa yang aktivitas
fisiknya berat memiliki risiko 0.667 kali lebih besar daripada siswa yang
aktivitas fisiknya ringan dan siswa yang aktivitas fisiknya sedang memiliki
risiko 1.333 lebih besar dibandingkan siswa yang aktivitas fisiknya ringan.
4. Hubungan antara konsumsi cairan dengan status dehidrasi jangka pendek berdasarkan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Hasil analisis bivariat antara konsumsi cairan dengan status
dehidrasi jangka pendek dapat dilihat pada tabel 5.16 dibawah ini :
Tabel 5.16
Hubungan Konsumsi Cairan dengan Status Dehidrasi Jangka Pendek pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015 Konsumsi Cairan Status Dehidrasi Total P-value Dehidrasi Tidak Dehidrasi OR (95% CI) n % N % N % Kurang 30 62.5 18 37.5 48 100 9.583 (2.852-32.201) 0.000 Cukup 4 14.8 23 85.2 27 100 Total 34 45.3 41 54.7 75 100
Dari analisis hubungan antara konsumsi cairan dengan status dehidrasi
jangka pendek diperoleh hasil bahwa siswa dengan konsumsi cairan yang
kurang ada sebanyak 30 (62.5%), sementara siswa dengan konsumsi cairan
yang cukup ada sebanyak 4 (14.8%). Dari hasil analisis diperoleh Pvalue = 0.000 yang berarti ada hubungan signifikan antara konsumsi cairan dengan
status dehidrasi.
Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR= 9.583 (2.852-32.201),
artinya siswa yang konsumsi cairannya kurang memiliki peluang 9.583
kali untuk mengalami dehidrasi dibandingkan siswa yang konsumsi
cairannya cukup.
5. Hubungan antara pengetahuan tentang air dan dehidrasi dengan status dehidrasi jangka pendek berdasarkan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Hasil analisis bivariat antara pengetahuan tentang air dan dehidrasi
dengan status dehidrasi jangka pendek dapat dilihat pada tabel 5.17 berikut
ini :
Tabel 5.17
Hubungan Pengetahuan tentang Air dan Dehidrasi dengan Status Dehidrasi Jangka Pendek pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Pengetahuan tentang air dan
dehidrasi Status Dehidrasi Total P-value Dehidrasi Tidak Dehidrasi OR (95% CI) N % N % N % Rendah 31 64.6 17 35.4 48 100 14.588 (3.827-55.606) 0.000 Tinggi 3 11.1 24 88.9 27 100 Total 34 45.3 41 54.7 75 100
Dari analisis hubungan antara pengetahuan tentang air dan
dehidrasi dengan status dehidrasi jangka pendek diperoleh hasil bahwa
siswa dengan pengetahuan yang rendah ada sebanyak 31 (64.6%),
sementara siswa dengan pengetahuan yang tinggi ada sebanyak 3
(11.1%). Dari hasil analisis diperoleh Pvalue = 0.000 yang berarti ada hubungan signifikan antara pengetahuan tentang air dan dehidrasi
dengan status dehidrasi jangka pendek.
Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR= 14.588
(3.827-55.606), artinya siswa yang pengetahuan air dan dehidrasi rendah
memiliki peluang 14.588 kali untuk mengalami dehidrasi dibandingkan
74 BAB VI PEMBAHASAN A. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini memiliki beberapa kekurangan akibat keterbatasan
dari peneliti, antara lain :
1. Total pengeluaran air lainnya tidak diteliti karena terlalu sulit dihitung
sebab terdapat beberapa sumber pengeluaran air seperti feses, kulit
(keringat), dan paru-paru (pernapasan) yang membutuhkan alat dan biaya
yang mahal serta pengawasan dalam pengambilan data pengeluaran air
tersebut.
2. Pada penelitian ini pengumpulan data survei konsumsi cairan dilakukan
dengan menggunakan metode recall menggunakan food model pada saat pengumpulan data sehingga food model yang digunakan akan menimbulkan bias karena food model belum tentu sama dengan ukuran yang responden makan.
B. Gambaran status dehidrasi jangka pendek berdasarkan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Dehidrasi jangka pendek adalah kehilangan cairan dari jaringan tubuh
yang berlebihan dalam jangka waktu yang pendek. Dehidrasi terjadi bila
besar dari jumlah natrium yang keluar. Hal ini mengakibatkan peningkatan
tonisitas plasma oleh karena adanya peningkatan kadar natrium plasma
hipernatremia. Akibat peningkatan tonisitas plasma, air intrasel akan bergerak
menuju ektrasel sehingga volume cairan intrasel berkurang yang disebut
sebagai dehidrasi (Santoso dkk, 2012).
Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa status dehidrasi jangka
pendek pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta yang mengalami
dehidrasi jangka pendek lebih sedikit dibandingkan dengan yang tidak
dehidrasi. Status dehidrasi jangka pendek pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN
63 Jakarta didapatkan bahwa 45.3% mengalami dehidrasi jangka pendek, hasil
penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian
Hardinsyah dkk (2009) yang menunjukkan bahwa 41.67% remaja di dataran
rendah yang mengalami dehidrasi. Sedangkan, penelitian The Indonesian Regional Hydration Study (THIRST) tahun 2010, dehidrasi jangka pendek atau dehidrasi ringan terjadi pada kelompok usia remaja (15-18 tahun) sebesar
49,5%.
Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian ini, tingkat kejadian
dehidrasi jangka pendek cukup tinggi jika dibandingkan dengan penelitian
sebelumnya. Apabila kejadian dehidrasi jangka pendek ini tidak diatasi pada
anak usia sekolah, maka kondisi dehidrasi dapat mempengaruhi fungsi
kognitif yaitu menurunnya kemampuan konsentrasi, kewaspadaan dan memori
jangka pendek. Menurut Janice et al (2008) dalam Santoso dkk (2012),
kehilangan berat badan 3-5% akan menimbulkan konsentrasi lebih sulit. Hal
diperkuat oleh D’Anci et al (2006) yaitu anak yang dehidrasi memiliki
kemampuan mengingat jangka pendek (short term memory) yang berkaitan dengan otak.
Otak adalah bagian yang paling rentan terhadap kondisi dehidrasi dan
merupakan bagian tubuh yang mengatur sistem perhatian, kesadaran,
psikomotor, menganalisis, berpikir, mengingat dan sebagainya. Semakin parah
tingkat dehidrasi, semakin banyak pula bagian otak yang terganggu
(Hardinsyah dkk, 2009). Terdapat hubungan yang bermakna pada responden
yang mengalami dehidrasi kaitannya dengan otak seperti melemahnya
konsentrasi, daya ingat, kelelahan, bergerak lamban, masalah keseimbangan,
pusing dan sakit kepala. Sehingga dehidrasi dapat mempengaruhi konsentrasi
belajar siswa dikelas (Akshay et al, 2007).
Apabila tubuh mengalami dehidrasi maka terdapat juga beberapa
gangguan yang timbul seperti gangguan pada kesehatan, performa fisik dan
kebugaran (Hardinsyah dkk, 2009). Gangguan lain yang timbul akibat
dehidrasi yaitu berpengaruh juga pada perubahan termoregulator suhu pada
tubuh (Murray, 2007). Dehidrasi jangka pendek juga berdampak buruk bagi
tubuh karena dehidrasi bisa melemahkan anggota gerak, hipotonia, hipotensi
dan takikardia, kesulitan berbicara, bahkan sampai pingsan. Dehidrasi yang
terjadi terus menerus juga bisa meningkatkan risiko batu ginjal, infeksi saluran
kencing, kanker usus besar dan konstipasi (Popkin et al, 2010).
Pengaruh teknik pengukuran dehidrasi jangka pendek pada penelitian
ini dan sebelumnya merupakan salah satu alasan terjadinya perbedaan pada
penelitian Hardinsyah dkk (2009) menggunakan teknik pengukuran gejala atau
tanda dehidrasi, berat jenis urin, warna urin dan mikroskopik urin. Gejala dan
tanda dehidrasi meliputi volume urin yang sedikit, jarang berkemih, konsistensi
feses yang keras, frekuensi buang air besar yang rendah, keringat berlebih,
haus, pusing dan lemas. Dehidrasi juga dapat diukur dengan urine specific gravity atau berat jenis urin. Teknik urine specific gravity ini membutuhkan perlengkapan alat yang tidak mudah sebab teknik ini membutuhkan alat
laboratorium (Santoso dkk, 2012).
Adapun pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengukuran
warna urin. Teknik ini mudah dan tidak membutuhkan alat laboratorium
sebagai alat pengukuran. Urin yang diambil adalah urin pada jam 08.00-12.00
yaitu pada saat responden berada di sekolah. Alat yang digunakan sebagai alat
ukur dehidrasi pada penelitian ini adalah kartu PURI (Periksa Urin Sendiri).
Penggunaan metode warna urin akurat sebagai indikasi adanya dehidrasi
jangka pendek. Hal tersebut karena disebabkan ginjal menyaring urin dengan
konsentrasi yang tinggi sehingga warna urin menjadi semakin gelap. Semakin
gelap warna urin, tubuh berada dalam kondisi yang semakin asam dan semakin
membahayakan sel di dalam tubuh, sehingga mengalami risiko dehidrasi yang
semakin berat. Warna ekstrim urin yaitu warna jingga dan cokelat. Jika
seseorang terhidrasi dengan baik maka warna urin akan semakin jernih dan
C. Hubungan antara obesitas dengan status dehidrasi jangka pendek berdasarkan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Pada hasil analisis univariat diketahui bahwa siswa yang mengalami
obesitas lebih sedikit daripada siswa yang tidak mengalami obesitas. Pada
penelitian ini presentase siswa yang obesitas ada sebanyak 6 siswa (8%) dan
siswa yang tidak obesitas ada sebanyak 69 siswa (92%). Dari 6 siswa (8%)
yang mengalami obesitas, didapatkan bahwa ada sebanyak 4 siswa yang
berjenis kelamin laki-laki mengalami obesitas.
Jumlah air di luar sel berbeda menurut tingkat kegemukan seseorang,
yaitu jumlah air lebih rendah pada orang gemuk dan lebih tinggi pada orang
kurus. Jumlah air di luar sel pada orang kurus, kurang lebih 25 % berat badan.
Pada orang yang memiliki berat badan sedang 20 % berat badan. Sedangkan
pada orang yang gemuk hanya 15 % berat badan (Almatsier dkk, 2011).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue = 0.026 yang artinya menunjukkan ada hubungan antara obesitas dengan status dehidrasi
jangka pendek pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta dengan kejadian
dehidrasi jangka pendek lebih banyak dialami pada remaja obesitas yaitu
sebesar 83.3%. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR = 7.321
(0.811-66.086), artinya siswa yang obesitas memiliki peluang 7.321 kali untuk
Batmanghelidj (2007) menjelaskan fenomena ini melalui respon lapar
dan haus yaitu pada penderita kegemukan dan obesitas sinyal lapar dan haus
sulit untuk dibedakan, orang obesitas lebih terbiasa menanggapi sinyal lapar
bila dibandingkan dengan sinyal haus. Kedua sinyal tersebut termasuk respon
subyektif dan dikeluarkan oleh sumber yang sama yaitu histamin. Makanan
dianggap memberikan efek yang lebih besar sebagai sensasi rasa kenyang bila
dibandingkan hanya dengan minum air. Padahal makanan biasanya cenderung
berkontribusi menyumbang energi lebih besar. Energi yang banyak lalu
ditumpuk menjadi timbunan lemak pada beberapa organ tertentu.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prayitno dkk
(2012) di SMP Islam Al Azhar 14 Semarang menggunakan metode studi
observasional dengan desain studi cross sectional didapatkan bahwa terdapat perbedaan status hidrasi antara obesitas dan non obesitas dengan nilai Pvalue = 0.024 dengan kejadian dehidrasi lebih banyak dialami pada remaja obesitas
yaitu sebesar 83,9%. Hal tersebut juga didukung oleh penjelasan Santoso dkk
(2012) bahwa tanda-tanda kekurangan air dalam tubuh pada seseorang yang
obesitas dan kegemukan jarang terlihat jelas. Pada orang obesitas dan
kegemukan kandungan lemak dalam tubuhnya lebih banyak jika dibandingkan
dengan seseorang yang tidak obesitas.
Dengan demikian, kekurangan air lebih cenderung terjadi pada
seseorang yang gemuk dan obesitas. Disamping itu, seseorang yang gemuk dan
obesitas memiliki total air tubuh yang lebih kecil. Defisit cairan akan lebih
besar terjadi pada seseorang yang memiliki total air tubuh yang lebih kecil.
termoregulator. Oleh karena itu, pada penelitian ini untuk siswa yang
mengalami obesitas sebaiknya melakukan penurunan berat badan rata-rata
sebesar 20-30 kg untuk mencapai berat badan ideal sebagai upaya untuk
mengurangi risiko terjadinya dehidrasi jangka pendek dan pada siswa yang
mengalami overweight sangat penting untuk mencegah agar tidak menjadi obesitas dan berisiko untuk dehidrasi jangka pendek sehingga siswa yang
mengalami kegemukan (overweight) sebaiknya melakukan penurunan berat badan rata-rata sebesar 9-15 kg untuk mencapai berat badan ideal.
D. Hubungan antara jenis kelamin dengan status dehidrasi jangka pendek berdasarkan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Total air tubuh dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran tubuh. Usia
lebih dari 12 tahun akan mempengaruhi total air tubuh antara laki-laki dan
perempuan, dimana pada laki-laki lebih banyak kandungan air tubuhnya
dibandingkan perempuan (Briawan dkk, 2011). Wanita secara proporsional
mempunyai lemak tubuh yang lebih banyak dan air tubuh yang kurang
dibanding pria (Berman dkk, 2009). Sehingga adanya kecenderungan dehidrasi
terjadi pada perempuan.
Pada analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi siswa yang
berjenis kelamin perempuan lebih banyak sebesar 49 siswa (65.3%) dan siswa
yang berjenis kelamin laki-laki ada sebanyak 26 siswa (34.7%). Selain itu
karena perempuan mempunyai lemak tubuh yang lebih banyak dan air tubuh
yang kurang dibanding laki-laki.
Hasil analisis hubungan jenis kelamin dengan status dehidrasi diperoleh
sebanyak 13 siswa (50%) dengan jenis kelamin laki-laki mengalami dehidrasi
jangka pendek dan siswa yang berjenis kelamin perempuan diperoleh sebanyak
21 siswa (42.9%) yang mengalami dehidrasi jangka pendek. Berdasarkan hasil
uji statistik menunjukkan bahwa diperoleh nilai Pvalue = 0.728 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
status dehidrasi jangka pendek. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Prayitno dkk (2012) di SMP Islam Al Azhar 14 Semarang
menggunakan metode studi observasional dengan desain studi cross sectional yang diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan status hidrasi berdasarkan jenis
kelamin dengan Pvalue= 0,186.
Menurut Prayitno dkk (2012) menyatakan mulai usia remaja awal
komposisi tubuh antara laki-laki dan perempuan berbeda, yaitu kandungan air
pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan karena laki-laki
mempunyai massa tubuh yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sehingga
adanya kecenderungan perempuan untuk terjadinya dehidrasi karena
perempuan mempunyai lemak tubuh yang lebih banyak dan air tubuh yang
kurang dibanding laki-laki.
Hubungan status dehidrasi dengan jenis kelamin menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan dan diketahui bahwa status dehidrasi
kali siswa yang berjenis kelamin laki-laki memiliki peluang untuk mengalami
dehidrasi dibandingkan siswa yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini
mungkin disebabkan karena adanya pengaruh obesitas, kejadian obesitas lebih
tinggi terjadi pada remaja laki-laki yaitu sebesar 15.4% dibandingkan
perempuan yang hanya 4.1% sehingga pada kondisi obesitas sangat rentan
terhadap kehilangan air. Orang dengan persentase lemak tubuh lebih tinggi
mempunyai cairan tubuh yang lebih sedikit karena sel lemak mengandung
sedikit atau tidak ada air, dan jaringan tidak berlemak mengandung banyak air.
Konsumsi cairan yang kurang juga lebih tinggi terjadi pada remaja laki-laki
yaitu sebesar 65.4% bila dibandingkan dengan perempuan sebesar 63.3%.
Hal tersebut juga didukung oleh penjelasan Santoso dkk (2012) yaitu
pada orang obesitas dan kegemukan kandungan lemak dalam tubuhnya lebih
banyak jika dibandingkan dengan seseorang yang tidak obesitas. Dengan
demikian, kekurangan air lebih cenderung terjadi pada seseorang yang gemuk
dan obesitas. Jumlah air di luar sel berbeda menurut tingkat kegemukan
seseorang, yaitu jumlah air lebih rendah pada orang gemuk dan lebih tinggi
E. Hubungan antara aktivitas fisik dengan status dehidrasi jangka pendek menggunakan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) dengan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh karena otot meningkatkan
pengeluaran melalui tenaga dan energi (kalori). Aktivitas fisik akibat kontraksi
otot rangka mengakibatkan pengeluaran tenaga. Aktivitas hidup seseorang
sangat berpengaruh terhadap kebutuhan cairan dan elektrolit. Aktivitas
menyebabkan peningkatan proses metabolisme dalam tubuh.
Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui bahwa sebagian besar
siswa memiliki aktivitas fisik ringan. Aktivitas fisik ringan ada sebanyak 63
siswa (84%), aktivitas sedang ada sebanyak 10 siswa (13.3%) sedangkan
aktivitas fisik berat sebanyak 2 siswa (2.7%).
Baik aktivitas tinggi maupun rendah, keduanya memiliki peluang
terhadap dehidrasi. Aktivitas fisik yang rendah juga dapat menyebabkan
berkurangnya konsumsi minum sehingga terdapat peluang untuk terjadinya
dehidrasi (Briawan, dkk, 2011). Beberapa kejadian dehidrasi dan lemah
performa fisik ditemui pada seseorang yang beraktivitas berat dalam durasi
yang lama. Hal ini menyebabkan pengeluaran yang tidak disadari melalui kulit
(keringat) dan paru-paru (pernafasan) berupa peningkatan kecepatan respirasi.
Hal ini mengakibatkan peningkatan keluaran cairan melalui keringat. Dengan
demikian, jumlah cairan yang dibutuhkan juga meningkat. Selain itu,
peningkatan akibat peningkatan laju pernapasan dan aktivasi kelenjar keringat
(Tamsuri, 2009).
Berdasarkan penelitian ini menunjukkan hasil analisis hubungan antara
aktivitas fisik dengan status dehidrasi, yang paling banyak mengalami
dehidrasi jangka pendek yaitu siswa yang memiliki aktivitas berat sebanyak 1
orang (50%) dan siswa yang memiliki aktivitas fisik ringan sebesar 27 siswa
(42.9%) sedangkan siswa yang memiliki aktivitas fisik sedang ada sebanyak 6
siswa (60%). Pada penelitian ini jumlah siswa yang memiliki aktivitas berat
lebih sedikit ada sebanyak 2 siswa (7.7%) dan siswa yang mengalami dehidrasi
jangka pendek hanya ada sebanyak 1 siswa (50%) sehingga persentase aktivitas
berat lebih besar.
Hasil uji chi square diperoleh Pvalue = 0.594 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan status dehidrasi jangka
pendek. Hal ini sejalan dengan penelitian Hardinsyah dkk (2012) yang
dilakukan di Indonesia menggunakan desain cross sectional study didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara status dehidrasi dengan tingkat aktivitas
fisik dengan nilai P value sebesar 0.918.
Menurut Kant et al (2009) aktivitas yang tinggi memiliki hubungan
dengan air dari minuman dan total asupan airnya. Aktivitas fisik memiliki
hubungan dengan asupan air, remaja lebih sering mengalami dehidrasi
dikarenakan banyaknya aktivitas fisik remaja yang dapat menguras tenaga dan
cairan tubuh, sehingga menyebabkan kurangnya konsumsi cairan (Briawan
dkk, 2011). Apabila terjadi ketidakseimbangan cairan di dalam tubuh, akan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
status dehidrasi jangka pendek dengan aktivitas fisik. Hal ini dikarenakan
dehidrasi jangka pendek lebih tinggi terjadi pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan, dehidrasi jangka pendek banyak terjadi pada laki-laki
disebabkan karena obesitas lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini juga sejalan
dengan penelitian Sudikno dkk (2010) didapatkan hasil bahwa risiko obesitas
lebih tinggi pada laki-laki yang aktivitas fisiknya kurang (OR=1,59)
dibandingkan dengan perempuan yang aktivitas fisiknya kurang (OR=1,29).
Sehingga diduga pengaruh obesitas lebih besar untuk terjadinya dehidrasi bila
dibandingkan dengan pengaruh dari aktivitas fisik.
F. Hubungan antara konsumsi cairan dengan status dehidrasi jangka pendek berdasarkan hasil pengukuran PURI (Periksa Urin Sendiri) menggunakan grafik warna urin pada remaja kelas 1 dan 2 di SMAN 63 Jakarta tahun 2015
Konsumsi cairan sangat dibutuhkan oleh tubuh karena air memiliki
banyak fungsi yang dibutuhkan oleh tubuh sebagai medium transportasi,
pengatur suhu tubuh, pembentuk sel dan cairan tubuh serta sebagai pelarut