• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Objektifikasi Diri dengan Kepercayaan Diri pada

BAB II. LANDASAN TEORI

D. Hubungan antara Objektifikasi Diri dengan Kepercayaan Diri pada

menerapkan pengetahuan yang dimiliki ke dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan perkembangan seperti membina keluarga dan berkarir.

Sedangkan dalam perkembangan sosial dan emosi, individu dewasa awal mengalami kebutuhan untuk membangun hubungan yang intim. Oleh karena itu, banyak individu dewasa awal mulai mencari dan memilih pasangan serta membangun hubungan intim bersama pasangannya tersebut. Dalam membangun hubungan intim terdapat aspek ketertarikan fisik yang diyakini mempengaruhi individu sebagai syarat memilih pasangan pada saat ini.

D. Hubungan antara Objektifikasi Diri dengan Kepercayaan Diri pada Perempuan Dewasa Awal

Praktek-praktek budaya objektifikasi sesuai dengan isu-isu dalam perkembangan dewasa awal.

Individu dewasa awal mengalami berbagai isu tentang citra tubuh dan gaya hidup dikarenakan berat badan berlebih khususnya lebih banyak dirasakan oleh perempuan. Beberapa penelitian menemukan bahwa

peningkatan berat badan yang dialami oleh perempuan dewasa awal membuat mereka merasa tidak bahagia.

Di dalam penelitian Fallon (1990, dalam Santrock, 2002), hal ini dikarenakan faktor tekanan budaya dari masyarakat yang membentuk citra tubuh ideal bagi perempuan sehingga banyak perempuan yang merasa dirinya lebih berat dari berat tubuh ideal. Oleh karena itu, banyak perempuan yang mulai menginternalisasi citra tubuh ideal ke dalam dirinya. Hal ini mengakibatkan banyak perempuan mengawasi berat tubuhnya dan melakukan berbagai usaha untuk menurunkan berat badan seperti diet, mengonsumsi obat penurun berat badan, dan melakukan olahraga.

Apabila perempuan dewasa awal melakukan pengawasan yang berlebihan akan mengakibatkan perempuan tersebut mengalami gejala gangguan makan, seperti anorexia dan bulimia nervosa. Hal ini juga sesuai dengan objektifikasi diri yang disebabkan karena adanya budaya objektifikasi yang berisi kriteria perempuan yang ideal dinilai dari penampilan perempuan tersebut harus menarik dan ideal. Oleh karena itu, budaya ini diinternalisasi untuk memperoleh pengakuan dan pengartian diri dari masyarakat karena adanya kebutuhan akan penghargaan diri atau kebutuhan lain sehingga individu menginternalisasi budaya objektifikasi dan mengalami objektifikasi diri.

Objektifikasi diri juga berhubungan dengan isu-isu dalam perkembangan kognitif dan sosial emosi. Dengan kata lain, individu dewasa awal juga mengalami hal-hal yang menyebabkan individu khususnya perempuan menginternalisasi budaya objektifikasi. Menurut Rakhmat (2008), individu

yang menginternalisasi suatu pandangan disebabkan karena pandangan tersebut dibutuhkan oleh sistem nilai individu, digunakan untuk memecahkan masalah, dan kemudian menjadi bagian dari diri individu. Oleh karena itu, perempuan dewasa awal yang menginternalisasi budaya objektifikasi disebabkan karena kebutuhan untuk memenuhi tugas perkembangannya.

Santrock (2002) dan Papalia serta Feldman (2014) menyatakan bahwa dewasa awal memiliki tugas perkembangan kognitif yaitu menerapkan pengetahuan yang dimiliki ke dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan perkembangan seperti membangun relasi yang intim dan bekerja. Selain itu, individu dewasa awal memiliki tugas perkembangan sosial emosi untuk memenuhi kebutuhan akan keintiman dengan cara mencari dan memilih pasangan serta membangun relasi intim yang kemudian membina keluarga.

Menurut Santrock (2011), dalam proses membangun relasi intim dibutuhkan adanya ketertarikan individu satu pada individu lain berupa ketertarikan terhadap penampilan fisik. Beberapa penelitian menemukan bahwa ketertarikan terhadap fisik lebih banyak dimiliki oleh laki-laki dalam mencari pasangan. Hal ini sesuai dengan budaya patriarki di masyarakat yang selalu menuntut perempuan untuk melayani dan mengikuti keputusan yang dibuat oleh laki-laki.

Penjelasan tersebut berkaitan dengan objektifikasi diri pada perempuan dewasa awal yang mengalami kebutuhan untuk membangun relasi yang intim. Namun, di Indonesia yang sebagian besar masih menganut budaya patriarki membuat perempuan dewasa awal menarik perhatian laki-laki untuk

memilihnya sebagai pasangan dalam membangun relasi intim. Hal ini juga sesuai dengan penjelasan Fredrickson dan Roberts (1997) bahwa individu yang memiliki tubuh ideal akan semakin dikagumi, disayang, dan diperhatikan oleh orang lain. Penelitian dalam Santrock (2011) juga menunjukkan bahwa salah satu kriteria ideal laki-laki dalam mencari pasangan adalah penampilan fisik. Oleh karena itu, perempuan dewasa awal menginternalisasi budaya objektifikasi ke dalam dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam tugas perkembangan masa dewasa awal.

Perempuan dewasa awal yang memiliki objektifikasi diri turut menggambarkan bagaimana gambaran diri individu. Hal ini menunjukkan bahwa objektifikasi diri dapat menjadi salah satu gambaran penilaian individu mengenai kualitas dirinya karena penilaian individu lain terhadap penampilan fisiknya. Oleh karena itu, objektifikasi diri penting untuk dilihat karena dapat menggambarkan keyakinan individu terhadap dirinya sendiri. Keyakinan individu terhadap dirinya sendiri itu disebut sebagai kepercayaan diri.

Menurut Neill (2005), kepercayaan diri merupakan kombinasi dari harga diri dan efikasi diri. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang percaya diri dapat menghargai kondisi dirinya sendiri dan yakin terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mencapai hasil yang diinginkan. Harga diri dan efikasi diri ini dekat hubungannya dengan objektifikasi diri. Hal ini terlihat dari penelitian yang dilakukan oleh Gapinski dkk. (2003) dan Strelan dkk. (2003). Kedua penelitian tersebut menunjukkan adanya hubungan antara objektifikasi diri dengan harga diri dan efikasi diri. Oleh karena itu, perempuan yang memiliki

objektifikasi diri dapat menggambarkan bagaimana kepercayaan diri perempuan tersebut. Berdasarkan definisi Neill di atas, maka kombinasi harga diri dan efikasi diri yang merupakan kepercayaan diri dapat memiliki hubungan dengan objektifikasi diri.

Dapat dikatakan bahwa harga diri dan efikasi diri atau disebut dengan kepercayaan diri juga menjadi alasan perempuan dengan rela menginternalisasi budaya objektifikasi. Seperti penuturan Costanzo (1992) dan Rakhmat (2008), perempuan yang menginternalisasi budaya objektifikasi karena mereka memiliki kebutuhan atau sistem nilai yang sesuai dari menginternalisasi budaya objektifikasi. Perempuan yang menginternalisasi budaya objektifikasi dikarenakan memerlukan pengakuan atau penghargaan orang lain dan pengartian diri dari lingkungan sekitarnya.

Selain itu, dalam penelitian Gapinski dkk. (2003) terhadap individu yang memiliki objektifikasi diri ditemukan hasil bahwa ada hubungan antara objektifikasi diri dengan motivasi intrinsik individu tersebut. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan diri individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang didorong oleh motivasi individu tersebut untuk yakin dalam mencapai tujuan dan menyelesaikan tugasnya. Oleh karena itu, perempuan yang menginternalisasi budaya objektifikasi sehingga dirinya memiliki objektifikasi diri dapat disebabkan karena kebutuhan kepercayaan dirinya.

Oleh karena itu, berdasarkan dinamika hubungan objektifikasi diri dengan kepercayaan diri menunjukkan bahwa perempuan dewasa awal yang

memiliki objektifikasi diri memiliki hubungan dengan kepercayaan diri perempuan tersebut.

Gambar 1. Skema Penelitian

Dokumen terkait