• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri pada perempuan dewasa awal.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri pada perempuan dewasa awal."

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

vii

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN

OBJEKTIFIKASI DIRI PEREMPUAN DEWASA AWAL

Maria Fiona Ratih

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri pada perempuan usia dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri. Objektifikasi diri merupakan variabel tergantung, sedangkan kepercayaan diri merupakan variabel bebas pada penelitian ini. Subjek penelitian ini terdiri dari 130 subjek perempuan dewasa awal berusia 18-25 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan skala objektifikasi diri dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,901 dan skala kepercayaan diri dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,901. Hasil uji linearitas yang dilakukan terhadap variabel objektifikasi diri dan kepercayaan diri menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tidak linier yang ditunjukkan dengan angka 0,820 (p < 0,05). Koefisien korelasi kedua variabel penelitian ini menggunakan Spearman yang menghasilkan angka -0,014 dengan taraf signifikansi 0,872 (p < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri. Tidak terbuktinya hipotesis penelitian ini diduga karena pola hubungan kedua variabel yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.

(2)

viii

THE CORRELATION BETWEEN SELF-CONFIDENCE

WITH SELF-OBJECTIFICATION IN EARLY ADULTHOOD WOMEN

Maria Fiona Ratih

ABSTRACT

This study aims to determine whether there is a relationship between confidence with self-objectification in early adulthood women. The hypothesis of this study is that there is a relationship between self-confidence with self-objectification. Self-objectification is the dependent variable, while self-confidence is a independent variable in this study. The study subjects consisted of 130 young adult female subjects aged 18-25 years. Data collected by spreading self-objectification scale with reliability coefficient of 0,901 and scale of self-confidence with reliability coefficient of 0,901. Linearity test results conducted on self-objectification variables and self-confidence shows that the linear relationship between the two variables are not shown in figure 0,820 (p < 0,05). The correlation coefficient between the two variables of this study using the Spearman which generates a number -0,014 with a significance level of 0,872 (p < 0,05). These results indicate that there is no significant relationship between confidence with self-objectification. No evidence of the hypothesis of this study is suspected because of the pattern of relations between the two variables that can be affected by many factors.

(3)

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN

OBJEKTIFIKASI DIRI PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Maria Fiona Ratih

109114053

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

HALAMAN PER,SETUJUAN IX}SEN PDMBIMBING

SKRIPSI

HTIBT]NGAITT AI{TARA KF.PERCAYAAI{ DIRI I'ENGAN OBIEKTIXIKASI I}IRI PAITA PEREMPUA}\I I}EWASA AWAL

4

Sylvia Carolina M. Y. IVL, S. Psi., M. Si

(5)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

IIT]BT]NGAN A}TTARA KEPERCAYAAITT DIRI DSNGAIT{

OB.IEKTIXIKASI DIRI PAI'A PEREMPUAN DEWASA AWAL

Dipersiapkandan Ditulis Oleh :

MariaFionaRatih 109ll4t)53

Nama

Penguji

l:

Pengqii 3: C. Sisu'a Widyamoko, M. Psi

Yogyakarra,

l3APR

2015

Psikologi, Universitas Sanata Dhamra Penguji 2: Dra. Lusia

%*#

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“Tahu bahwa kita tahu apa yang kita ketahui dan tahu bahwa kita tidak tahu apa yang tidak kita ketahui, itulah pengetahuan sejati.” -Copernicus-

“It’s nice to be important, but it’s more important to be nice.” -From Dailymanly-

͞Our faith can move mountains.͟ -Anonymous-

“Judge nothing, you will be happy. Forgive everything, you will be happier. Love everything, you will be happiest.” -Anonymous-

“Saying yes to happiness means learning to say no to things and people that stress you out.” -Thema Davis-

“No matter how you feel, get up, dress up, show up, and never give up.” -Anonymous-

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan untuk

Tuhan Yesus Kristus yang Maha Esa karena telah senantiasa membimbing saya dan mendengarkan doa-doa saya,

Papa (Fx. Suprapto), Mama (Fransiska Manik), Adik-adikku (Dio dan Putri) yang selalu mendukung, memotivasi dan memberikan saya nilai-nilai hidup yang berharga

Pacar (Engger) dan Sahabat-sahabatku terkasih (Yovi, Vira, Viga, Nana, Hoyi, Dita, Tita, Agnes) yang senantiasa mendengarkan keluh kesah saya serta memberikan keceriaan dalam hidup saya

Keluarga besar saya dimanapun berada karena telah peduli dan perhatian atas pendidikan dan kehidupan saya

Bapak Ibu Dosen dan seluruh staf maupun karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas ilmu, fasilitas, dukungan, perhatian,

ilmu-ilmu, dan kesempatan belajar yang diberikan kepada saya untuk memperoleh pengetahuan maupun pengalaman yang sangat berharga untuk masa depan saya

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA KEPERCAYAAN DIRI DENGAN

OBJEKTIFIKASI DIRI PEREMPUAN DEWASA AWAL

Maria Fiona Ratih

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri pada perempuan usia dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri. Objektifikasi diri merupakan variabel tergantung, sedangkan kepercayaan diri merupakan variabel bebas pada penelitian ini. Subjek penelitian ini terdiri dari 130 subjek perempuan dewasa awal berusia 18-25 tahun. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan skala objektifikasi diri dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,901 dan skala kepercayaan diri dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,901. Hasil uji linearitas yang dilakukan terhadap variabel objektifikasi diri dan kepercayaan diri menunjukkan bahwa hubungan kedua variabel tidak linier yang ditunjukkan dengan angka 0,820 (p < 0,05). Koefisien korelasi kedua variabel penelitian ini menggunakan Spearman yang menghasilkan angka -0,014 dengan taraf signifikansi 0,872 (p < 0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri. Tidak terbuktinya hipotesis penelitian ini diduga karena pola hubungan kedua variabel yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.

(10)

viii

THE CORRELATION BETWEEN SELF-CONFIDENCE

WITH SELF-OBJECTIFICATION IN EARLY ADULTHOOD WOMEN

Maria Fiona Ratih

ABSTRACT

This study aims to determine whether there is a relationship between confidence with self-objectification in early adulthood women. The hypothesis of this study is that there is a relationship between self-confidence with self-objectification. Self-objectification is the dependent variable, while self-confidence is a independent variable in this study. The study subjects consisted of 130 young adult female subjects aged 18-25 years. Data collected by spreading self-objectification scale with reliability coefficient of 0,901 and scale of self-confidence with reliability coefficient of 0,901. Linearity test results conducted on self-objectification variables and self-confidence shows that the linear relationship between the two variables are not shown in figure 0,820 (p < 0,05). The correlation coefficient between the two variables of this study using the Spearman which generates a number -0,014 with a significance level of 0,872 (p < 0,05). These results indicate that there is no significant relationship between confidence with self-objectification. No evidence of the hypothesis of this study is suspected because of the pattern of relations between the two variables that can be affected by many factors.

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus atas bimbingan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Hubungan antara Kepercayaan

Diri

dengan Objektifikasi

Diri

pada Perempuan Dewasa Awal ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi

ini, banyak

bantuan, dukungan, bimbingan, dan petunjuk berharga yang telah diberikan dari berbagai pihak sehingga penulisan skripsi

ini

dapt

diselesaikan dengan baik. Oleh karena

itu

pada kesempatan ini perkenankan penulis untuk menyarnpaikan dengan kerendahan hati unnrk mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada:

1-

Bapak

Dr.

T.

Priyo Widiyanto,

M.

Si.

selaku Dekan Fakultas Psikologi

Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2-

Ibu Rafi Sunar Astuti, M. Si. selaku Kepala Program Studi Psikologi Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dbarma.

3.

Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M. S" selaku Dosen Pembimbing Akademik

atas dukungan dan motivasinya.

4.

lbu Sylvia Carolina M. Y. M., M. Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas

bimbingan, petunjuk, pengetahuan, dan kesabaran Ibu selama membimbing

(13)

5.

Ibu Monica Eviandaru M. M.App.Psych. atas bantuannya dalam memberikan

informasi, pengetahuan, jumal-jurnal, dan buku elektronik terkait variabel

objektifrkasi diri serta bimbingannya selama mengerjakan penelitian ini.

6.

Seluruh Dosen Fakultas Psikologi yang senantiasa memberikan ilmunya

kepada penulis.

7.

Seluruh staf dan karyawan Fakultas Psikologi, seperti Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gik, Mas Muji, Mas Doni, dan staf lainnya yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu berkat bantuan dan fasilitas yang disediakan.

8.

Kedua orangtua penulis yang terkasih, Bapak FX. Suprapto dan Ibu Fransiska Manik atas

nilai

dan pelajaran hidup, dukungan, motivasi. pengertian,

perhatian. serta kesabarannya terhadap penulis selama proses penyusunan

skripsi ini.

9.

Seluruh subjek perempuan yang telah bersedia dan senang hati membantu

untuk mengisi skala penelitian guna data penelitian penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

10. Sahabat-sahabat penulis tercinta (Gracia Hoyi, Lidwina Evira Maria Krisna, Yovidia Yofran) atas bantuannya yang banyak, semangat yang diberikan,

dukungan. waktu untuk berdiskusi bersam4 dan keceriaan sehingga penulis tidak mudah penat serta putus asa dalam menyusun skripsi ini.

I l. Pacar saya terkasih, Engger yang selalu senantiasa memotivasi, menduktmg dengan berbagai cara, sabar, mau mendengarkan dengan baik, dan berdiskusi

bersama selama proses p€nyusunan skripsi sejak awal hingga skripsi ini

(14)

12. Teman-teman Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Kelas A, B, Co

dan

D

(terlebih kepada Daning,

Luci4

Pudji, Pino, Ghea Fiona Darnanih

Lola Vienna Esti, Nana Paramita, Ninda Sekar, Tutut, Riska Muyu, Iwan,

Yovi, Kiki, Tyastri, Sandra, kak Ri4 Esri, Suster Marcel, Fili, Tita, Lusi, Dita Mbak Ndut, Agres, Metha Desi, Cha+ha" Riri, Tyas, Ninda, Dian, Helen,

Vian, Vind4 Vero, Maya Kalit, Martha, Astrid Laksita Astrid Rosaria" Tari, M"gu,

Vivi4

Tirsa" Silvia Regina, Uli, Rais4 Silya Celly, dll.) yang selalu kompak, bersedia membanfu dan menemani dalam menyebar maupun mengisi skala penelitian, mau bertukar pikiran, dan mau berbagi informasi serta pengetahuan yang berguna terhadap penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

13. Teman-teman dari segala fakultas

di

Universitas Sanata Dharma yg telah membantu dalam menyebarkan skala penelitian maupun berkenan untuk mengisi skala penelitian ini (di antaranya, Uli, Jepe, Immartha" Rosie, Renny,

Manha

dll.)

dan adik-adik angkatan

di

Fakultas Psikologi

yg

bersedia membantu dalam pengumpulan data (Rona EndalU dll.)

Penulis meft$a bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena

itq

penulis memohon maaf atas kesalahan maupun kelalaian yang

telah diperbuat dalam bentuk sikap, ucapan, penulisan, dan lain-lain sehingga

penulis menerima serta mengharapkan berbagai macam

kritik

dan saran yang

bersifat membangun untuk memperbaiki penulisan skripsi

ini

agar menjadi
(15)
(16)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Manfaat Teoritis ... 10

2. Manfaat Praktis ... 10

(17)

xv

A. Objektifikasi Diri ... 12

1. Pengertian Objektifikasi Diri ... 12

2. Aspek-aspek Objektifikasi Diri ... 15

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Objektifikasi Diri ... 16

B. Kepercayaan Diri ... 20

1. Pengertian Kepercayaan Diri ... 20

2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri ... 21

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepercayaan Diri ... 23

C. Masa Dewasa Awal ... 25

1. Pengertian Masa Dewasa Awal ... 25

2. Perkembangan Fisik Masa Dewasa Awal ... 26

3. Perkembangan Kognitif Masa Dewasa Awal ... 28

4. Perkembangan Sosioemosi Masa Dewasa Awal ... 29

D. Hubungan antara Objektifikasi Diri dengan Kepercayaan Diri pada Perempuan Dewasa Awal ... 31

Gambar 1. Skema Penelitian ... 36

E. Hipotesis ... 36

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Identifikasi Variabel ... 37

C. Definisi Operasional ... 37

1. Objektifikasi Diri ... 37

(18)

xvi

D. Subjek Penelitian ... 41

E. Metode Pengumpulan Data ... 42

1. Skala Objektifikasi Diri ... 42

2. Skala Kepercayaan Diri ... 43

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

1. Validitas ... 46

2. Seleksi item ... 46

3. Reliabilitas ... 51

G. Metode Analisis Data ... 52

1. Uji Asumsi ... 52

a. Uji Normalitas ... 52

b. Uji Linearitas ... 53

2. Uji Hipotesis ... 53

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Pra Penelitian, Pelaksanaan Penelitian, dan Data Demografi ... 54

1. Pra Penelitian ... 54

2. Pelaksanaan Penelitian ... 54

3. Data Demografi Subjek Penelitian ... 56

B. Hasil Penelitian ... 57

1. Analisis tambahan ... 57

2. Uji Asumsi ... 58

a. Uji Normalitas ... 59

(19)

xvii

3. Uji Hipotesis ... 61

4. Pembahasan ... 62

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 66

1. Bagi Individu Dewasa Awal ... 66

2. Bagi Kalangan Masyarakat dan Media Massa ... 67

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Skala Objektifikasi Diri ... 43

Tabel 2. Kisi-kisi Sebaran Item Skala Objektifikasi Diri ... 43

Tabel 3. Blue Print Skala Kepercayaan Diri ... 45

Tabel 4. Kisi-kisi Sebaran Item Skala Kepercayaan Diri ... 45

Tabel 5. Distribusi Item Skala Objektifikasi Diri (setelah uji coba) ... 48

Tabel 6. Distribusi Item Skala Objektifikasi Diri Pengambilan Data Sesungguhnya ... 49

Tabel 7. Distribusi Item Skala Kepercayaan Diri (setelah uji coba) ... 50

Tabel 8. Distribusi Item Skala Kepercayaan Diri Pengambilan Data Sesungguhnya ... 51

Tabel 9. Deskripsi Usia dan Pekerjaan Subjek Penelitian ... 56

Tabel 10. Nilai Minimal, Nilai Maksimal, Mean Teoritis, Mean Empiris, dan Standar Deviasi ... 58

Tabel 11. Hasil Uji Normalitas Sebaran Data Objektifikasi Diri... 59

Tabel 12. Hasil Uji Normalitas Sebaran Data Kepercayaan Diri ... 59

Tabel 13. Hasil Uji Linearitas Variabel Objektifikasi Diri dan Kepercayaan Diri ... 60

(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penampilan fisik dianggap penting pada jaman sekarang ini. Penampilan fisik yang menarik, cantik, dan bentuk tubuh yang ideal lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Banyak perempuan yang melakukan perubahan terhadap tubuhnya seperti bedah plastik untuk diubah sesuai dengan keinginan mereka. Selain itu, makin banyaknya dibangun tempat spa dan berbagai perawatan tubuh pada saat ini memfasilitasi perempuan untuk lebih mementingkan perhatiannya terhadap penampilan fisik mereka.

Banyak perempuan juga sering melakukan pengurangan porsi makan, diet, olahraga, dan mengonsumsi suplemen diet untuk mendapatkan penampilan fisik yang diinginkan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar perempuan penting untuk memiliki penampilan yang cantik. Kaum perempuan akan merasa berhasil sebagai perempuan ideal apabila dirinya dapat tampil cantik.

(23)

merupakan contoh penawaran susu rendah lemak yang memberikan gambaran seorang model perempuan yang memiliki bentuk tubuh sangat langsing menjadi dikagumi banyak orang.

Pengaruh media massa terhadap perempuan membuat banyak perempuan juga berusaha mendapatkan wajah cantik dan menarik dengan melakukan berbagai macam perawatan kosmetik. Menurut sebuah survei tentang penggunaan kosmetik, terjadi pertumbuhan penggunaan kosmetik di daerah Jawa terutama di wilayah pedesaan hingga 27,5% di tahun 2013. Pertumbuhan ini menyaingi pertumbuhan di daerah perkotaan yang hanya mengalami kenaikan 9,4%. Menurut Hellen Katherina, fenomena tersebut disebabkan karena banyak perempuan merasa penting untuk menjadi cantik (www.industri.bisnis.com, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Margraf, dkk. (2013) juga menemukan bahwa sebagian besar subjek setelah melakukan bedah plastik merasa penampilannya semakin menarik sehingga menimbulkan hal positif terkait psikologis, yaitu menjadi lebih bahagia, meningkatnya kualitas hidup, menurunnya kecemasan, depresi, dan phobia sosial.

(24)

sebagai wanita supaya terlihat cantik, menarik, sehingga mereka dapat memandang baik terhadap diri sendiri, puas pada diri sendiri, meningkatnya kepercayaan diri, dan semangat dalam beraktivitas.

Selain itu, dari 130 perempuan, 101 orang di antaranya mengatakan rutin menggunakan kosmetik. Sebagian besar subjek perempuan yang rutin menggunakan kosmetik menyatakan alasan mereka adalah untuk menjaga penampilan terlihat awet muda dan menarik karena sebagai perempuan penting tampil cantik, sehingga dapat menghargai diri sendiri, semakin percaya diri, semangat dalam beraktivitas, dan membuat mood lebih baik.

Dari 130 perempuan, 66 orang di antaranya mengaku sering mengenakan pakaian feminim.Sebagian besar subjek perempuan yang sering mengenakan pakaian feminim menyatakan alasannya bahwa dengan mengenakan pakaian feminim dapat menunjang penampilan atau bentuk tubuh, terlihat menarik, feminim, dan seksi, sehingga membuat diri mereka sendiri lebih nyaman dan semakin percaya diri.

Hasil survei juga ditemukan bahwa paling banyak subjek yang melakukan perawatan tubuh adalah sebulan sekali. Selain itu, paling banyak subjek melakukan pengeluaran untuk rutin merawat tubuh dalam 1 bulan adalah sekitar Rp. 100.000,- sampai Rp. 500.000,-.

(25)

Dapat dikatakan bahwa perempuan akan merasa ideal apabila mereka dapat memiliki penampilan yang cantik serta menarik.

Perilaku-perilaku tersebut yang dilakukan perempuan untuk mengubah tubuh dan penampilannya, dipengaruhi oleh pandangan bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang memiliki tubuh langsing, muda, dan putih (Wolf, 1991).

Konsep mengenai perempuan yang ideal dihasilkan dari budaya yang dibuat oleh masyarakat. Perempuan yang ideal dianggap dapat menarik perhatian banyak pria, mudah untuk mendapatkan pasangan, lebih diperhatikan dan dikagumi orang lain, serta semakin dicintai pasangan. (Fredrickson & Roberts, 1997).

Gambaran konsep perempuan ideal yang dibentuk masyarakat ini disebut dengan budaya objektifikasi. Budaya objektifikasi merupakan sistem budaya yang berisi praktek-praktek objektifikasi seperti mengomentari tubuh, mengevaluasi tubuh, dan sebagainya (Fredrickson & Roberts, 1997).

Budaya objektifikasi tersebut mempengaruhi perempuan untuk memperlakukan dirinya sebagai objek yang diamati dan dievaluasi. Dalam penelitian Muashomah (2010) tentang labelling, ditemukan bahwa perempuan menjadi objek dalam interaksi dan tindakan sosial oleh laki-laki maupun perempuan dalam struktur masyarakat Indonesia yang patriarki.

(26)

perempuan. Budaya objektifikasi lebih menjadikan kaum perempuan sebagai sasaran penilaian oleh laki-laki mengenai penampilan fisik (Bordo, 1993).

Budaya objektifikasi mendorong perempuan untuk mengadopsi cara pandang yang digunakan oleh individu ketiga mengenai kriteria penampilan ideal. Proses mengadopsi cara pandang individu ketiga disebabkan karena banyaknya orang yang mengevaluasi penampilan secara terus menerus. Hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan dan terjadi proses internalisasi.

Proses internalisasi timbul pada saat individu menerima pengaruh disebabkan karena pengaruh yang disosialisasikan oleh masyarakat sesuai dengan sistem nilai yang dimiliki individu tersebut. Pengaruh yang masuk dianggap berguna dalam mengarahkan dan memecahkan masalah yang dimiliki individu (Rakhmat, 2008). Proses internalisasi budaya objektifikasi kemudian membuat individu memiliki objektifikasi diri.

Objektifikasi diri menurut Fredrickson dan Roberts (1997) merupakan penilaian terhadap tubuh yang menekankan pada aspek penampilan fisik (seperti warna kulit, ukuran tubuh) daripada menekankan aspek kompetensi fisik (seperti kesehatan, stamina). Dengan kata lain, individu yang memiliki objektifikasi diri berarti individu tersebut mementingkan penampilan fisik untuk menentukan kualitas dirinya (Fredrickson & Roberts, 1997).

(27)

dicapai. Oleh karena itu, objektifikasi diri akan menimbulkan kesenjangan antara konsep diri ideal dan konsep diri aktual individu.

Perempuan yang mengalami objektifikasi diri membuat individu tersebut mengalami penurunan tingkat kinerja dalam mengerjakan tugas (Quinn, Kallen, Twenge & Fredrickson, 2006). Objektifikasi diri juga membuat perempuan kehilangan dirinya dan mengganggu pikirannya karena perempuan mengadopsi pandangan bahwa dirinya adalah objek yang dinilai dan dievaluasi oleh individu lain (Fredrickson & Roberts, 1997).

Objektifikasi diri juga menjadi hal yang dikhawatirkan karena dapat menghabiskan kinerja untuk mengerjakan tugas matematika, perasaan malu terhadap kondisi tubuh, serta gejala gangguan makan. Selain itu, perempuan yang mengalami objektifikasi diri akan selalu mengawasi penampilannya sehingga hal ini mengganggu kesadaran dan membatasi mental mereka (Fredrickson, Roberts, Noll, Quinn & Twenge, 1998).

Konsekuensi yang lain dari objektifikasi diri, adalah merasa malu, cemas, dan lain-lain. Bahkan lebih parah dapat mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan mental, gangguan fungsi seksual, dan gangguan perilaku makan seperti anorexia nervosa dan bulimia (Fredrickson & Roberts 1997).

(28)

Objektifikasi diri merupakan salah satu aspek dari konsep diri bahwa objektifikasi diri dapat mempengaruhi individu mengubah pandangan dan penilaian terhadap dirinya sendiri atas apa yang dikatakan oleh individu lain terhadap penampilan fisiknya. Oleh karena itu, objektifikasi diri penting untuk dilihat karena dapat membantu mengetahui konsep diri individu atau cara pandang individu terhadap dirinya sendiri.

Objektifikasi diri ini mengalami penelitian secara terus menerus oleh para peneliti mengenai penyebab dan konsekuensi yang dapat ditimbulkan. Beberapa di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Gapinski, Brownell dan LaFrance (2003). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perempuan yang dikondisikan memakai pakaian renang dan mendapat komentar terhadap penampilan fisiknya memiliki objektifikasi diri tinggi yang kemudian berkorelasi dengan rendahnya motivasi intrinsik, efikasi diri, dan fungsi kognitif individu tersebut. Menurut hasil penelitian ini, perempuan yang memiliki objektifikasi diri tinggi turut menggambarkan motivasi, dan keyakinan yang rendah terhadap kemampuannya, serta mengganggu fungsi kognitif individu tersebut karena terus menerus mengawasi penampilan fisik.

(29)

yang memiliki objektifikasi diri tinggi disebabkan karena rendahnya kepuasan individu terhadap kondisi fisiknya, kurang menghargai kondisi tubuhnya sendiri, dan kurang memiliki perasaan berharga terhadap dirinya karena kondisi penampilan fisik yang dimiliki.

Berdasarkan penelitian Strelan dkk. dan penelitian Gapinski dkk. yang telah dijelaskan sebelumnya, harga diri dan efikasi diri menjadi hal yang penting untuk diteliti dengan objektifikasi diri karena harga diri maupun efikasi diri memuat aspek-aspek yang menggambarkan konsep diri individu. Konsep diri merupakan gambaran terhadap diri sendiri dan kumpulan keyakinan mengenai individu seperti apa dirinya sendiri (Hamachek, 1987). Hal ini menjadi sesuatu yang penting untuk dilihat karena dapat berkaitan dengan keyakinan individu akan kemampuan yang dimiliki untuk berhasil mencapai harapannya. Hal ini disebut sebagai kepercayaan diri.

Kepercayaan diri diartikan sebagai suatu sikap dan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga individu tersebut tidak merasa cemas dalam setiap tindakannya, merasa bebas dalam melakukan segala hal yang disenangi, dapat bertanggung jawab, memiliki sikap hangat dan sopan, memiliki sikap menghargai individu lain, serta dapat mengetahui maupun mengenal kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (Lauster, 1995).

(30)

yang kerap diteliti hubungannya terhadap harga diri dan efikasi diri. Dengan demikian, perempuan yang memiliki objektifikasi diri dapat menggambarkan kepercayaan diri perempuan tersebut. Selain itu, objektifikasi diri juga diteliti hubungannya dengan motivasi individu dan kemudian menggambarkan hubungan objektifikasi diri dengan kepercayaan diri.

Survei sederhana yang dilakukan peneliti juga menemukan bahwa perilaku-perilaku objektifikasi diri dilakukan oleh perempuan untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka. Selain itu, penelitian mengenai kepercayaan diri yang dilakukan oleh Scott, S. menemukan hubungannya dengan rutin menggunakan kosmetik. Dalam penelitian ini, sejumlah subjek perempuan yang suka mengenakan kosmetik ketika bepergian menghasilkan bahwa kosmetik dapat menurunkan kecemasan mereka yang kemudian meningkatkan kepercayaan diri mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang melakukan perubahan pada penampilan fisiknya dapat disebabkan oleh bagaimana kepercayaan diri perempuan tersebut. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti hubungan antara objektifikasi diri ( Self-Objectification) dengan kepercayaan diri (Self-Confidence).

(31)

membangun relasi yang intim dan usia ini cukup erat dengan isu budaya mengenai daya tarik fisik yang memunculkan objektifikasi diri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Objektifikasi Diri pada perempuan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui apakah ada hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Objektifikasi Diri pada perempuan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Memberi sumbangan pengetahuan kepada ilmu Psikologi Sosial dan Psikologi Perkembangan tentang Objektifikasi Diri pada perempuan dan adakah hubungannya dengan Kepercayaan Diri perempuan tersebut. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi subjek penelitian

(32)

b. Bagi masyarakat

(33)

12 BAB II

LANDASAN TEORI

A.Objektifikasi Diri

1. Pengertian Objektifikasi Diri

Teori objektifikasi diri membahas tubuh perempuan dalam konteks sosiokultural. Teori ini dikembangkan awalnya oleh Fredrickson dan Roberts (1997) bertujuan untuk melihat dan memahami fakta-fakta dan konsekuensi secara psikologis serta risiko kesehatan mental yang terjadi karena objektifikasi diri.

Objektifikasi diri merupakan salah satu bentuk tekanan gender, dalam hal ini kerap terjadi pada kaum perempuan. Bentuk tekanan tersebut dalam hal ini disebut sebagai praktek objektifikasi, yang terjadi ketika tubuh, organ tubuh, dan fungsi seksual individu dipisahkan dari diri individu dan dipandang sebagai suatu objek.

Dalam proses objektifikasi diri, individu diperlakukan sebagai tubuh semata. Menurut Fredrickson dan Roberts (1997), praktek objektifikasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu dalam bentuk evaluasi seksual sampai dengan tindakan kekerasan seksual. Praktek objektifikasi dalam bentuk evaluasi seksual dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan media massa seperti film, iklan, program-program televisi, majalah, dan lain-lain.

(34)

tubuh laki-laki. Perkembangan objektifikasi diri semakin meluas di lingkungan masyarakat dan membentuk suatu budaya objektifikasi. Budaya objektifikasi ini menempatkan dan memberitahukan kepada kaum perempuan serta masyarakat untuk melihat, mengevaluasi, dan memperlakukan tubuh perempuan sebagai objek.

Pada saat lingkungan menilai dan mengevaluasi tubuh perempuan terjadi secara terus menerus, maka perempuan tersebut akan ikut menilai dan mengevaluasi tubuhnya sendiri berdasarkan pandangan masyarakat dan inilah yang disebut sebagai proses internalisasi. Proses internalisasi ini terjadi ketika terdapat kesukarelaan individu untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dari luar, kemudian mengidentifikasi tuntutan-tuntutan-tuntutan-tuntutan tersebut dan mengakui serta memasukkannya menjadi salah satu bagian dari dirinya, bukan lagi sebagai tuntutan.

Objektifikasi diri timbul setelah terjadi proses internalisasi cara pandang yang digunakan oleh lingkungan sosial terhadap individu, khususnya kaum perempuan. Perempuan akan memandang dirinya sebagai objek untuk dinilai dan dievaluasi oleh individu lain.

(35)

depresi, dan disfungsi seksual (Fredrickson & Roberts, 1997; Fredrickson, Roberts, Noll, Quinn, & Twenge, 1998).

Setelah itu, beberapa peneliti lainnya juga telah melakukan penelitian untuk mencari penyebab dan konsekuensi yang lain dari objektifikasi diri. Beberapa di antaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Gapinski, dkk. (2003). Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa perempuan yang dikondisikan memakai pakaian renang dan mendapat komentar menghasilkan objektifikasi diri tinggi yang berkorelasi dengan rendahnya motivasi intrinsik, efikasi diri, dan fungsi kognitif individu.

Selain itu, ada juga penelitian yang dilakukan oleh Strelan, dkk. (2003) menemukan bahwa perempuan yang berolahraga untuk alasan mendapatkan penampilan menarik memiliki objektifikasi diri tinggi yang berkorelasi dengan kepuasan tubuh, harga tubuh, dan harga diri individu yang rendah.

(36)

Selanjutnya, Fredrickson dan Roberts (1997) menjelaskan bahwa tiap-tiap individu akan memberikan respon yang berbeda-beda terhadap budaya objektifikasi. Respon tersebut dipengaruhi oleh faktor usia, etnis, peran jenis kelamin, dan kepribadian tiap individu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa objektifikasi diri bisa tidak dimiliki semua individu dan pada beberapa tingkat, objektifikasi diri individu satu dengan individu lain dapat berbeda.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan objektifikasi diri merupakan sikap mengutamakan peran aspek penampilan fisik daripada peran aspek kompetensi fisik untuk menentukan kualitas dirinya.

2. Aspek-aspek Objektifikasi Diri

Menurut Fredrickson dan Robert (1997), aspek-aspek objektifikasi diri meliputi sikap mengutamakan peran aspek penampilan fisik daripada aspek kompetensi fisik, yang dijelaskan sebagai berikut:

-Aspek evaluasi penampilan fisik eksternal terdiri dari : 1) Berat tubuh

Berat tubuh merupakan massa relatif tubuh yang menimbulkan gaya gravitasi yang menunjukkan beratnya seorang individu. Berat tubuh individu yang ideal adalah tidak gemuk.

2) Daya tarik seksual

(37)

gaya dan pesona seperti mengenakan pakaian yang dapat menutupi kekurangan pada tubuh, menjaga bau tubuh, dan mengenakan kosmetik di wajah.

3) Daya tarik fisik

Daya tarik fisik adalah sejauh mana ciri-ciri fisik individu dianggap menyenangkan, indah, dan cantik seperti warna kulit yang cemerlang dan penampilan yang terlihat muda.

4) Kekencangan otot

Kekencangan otot menggambarkan kondisi bentuk otot yang kencang, tidak memiliki penimbunan lemak yang berlebihan, dan otot tidak terlihat menggelambir.

5) Ukuran tubuh

Ukuran tubuh merupakan sebuah metode untuk menentukan jumlah, kapasitas, dan dimensi bagian tubuh individu. Objektifikasi diri ditunjukkan seperti ukuran tubuh yang kecil dan langsing.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi objektifikasi diri

a. Praktek-praktek objektifikasi dalam budaya objektifikasi yang muncul dalam tiga hal (Fredrickson & Roberts, 1997) :

1) Dalam hubungan interpersonal dan sosial, yang menunjukkan bahwa: a) Perempuan lebih banyak dan sering merasa diamati, dievaluasi, dan

(38)

b) Laki-laki sering mengamati, menilai, dan mengevaluasi serta memandang perempuan yang berjalan di jalan raya maupun di tempat umum.

c) Pada saat orang lain mengamati perempuan biasanya sering diiringi dengan komentar yang menilai tubuh perempuan tersebut.

2) Dalam berbagai media yang menggambarkan hubungan interpersonal maupun sosial. Menurut Goffman (1979, dalam Fredrickson & Roberts, 1997), iklan yang tayang di televisi maupun media cetak sering melukiskan laki-laki yang sedang mengamati seorang perempuan dari kejauhan dan membayangkan perempuan tersebut. 3) Dalam media visual yang menyoroti tubuh perempuan. Media visual

(39)

b. Kebutuhan dan sistem nilai yang dimiliki individu dalam proses internalisasi budaya objektifikasi

Menurut Fredrickson dan Roberts (1997), budaya objektifikasi yang terbentuk untuk memperlakukan perempuan sebagai objek yang dilihat, diamati, dinilai, dan dievaluasi penampilannya secara fisik membujuk perempuan untuk mengadopsi cara pandang orang lain mengenai tubuh. Oleh karena itu, banyak perempuan yang mengadopsi cara pandang orang lain terhadap tubuhnya. Proses mengadopsi cara pandang orang lain terhadap tubuh diri sendiri inilah yang disebut proses internalisasi.

Costanzo (1992) berpendapat bahwa proses internalisasi diiringi oleh sosialisasi yang efektif dari lingkungan dengan adanya kerelaan diri individu, kemudian saling mengenal sehingga pada akhirnya menggugat kepememilikan nilai dari lingkungan menjadi milik individu tersebut yang akan selalu bersama individu dalam kehidupan sehari-harinya. Selain itu, proses internalisasi timbul karena individu menganggap pengaruh budaya objektifikasi sesuai dengan sistem nilai yang dimiliki bahwa berguna untuk mengarahkan dan memecahkan masalah individu tersebut (Rakhmat, 2008).

(40)

Selain itu, kepuasan tubuh, harga tubuh, dan harga diri yang rendah juga berkorelasi dengan objektifikasi diri individu yang tinggi (Strelan, dkk., 2003).

Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu yang kurang memiliki keyakinan, kurang berharga, kurangnya motivasi, dan kurangnya kepuasan terhadap tubuh akan menginternalisasi budaya objektifikasi supaya mendapatkan perasaan berharga, keyakinan, motivasi, dan kepuasan tubuh atas pengakuan sosial serta pengartian diri dari masyarakat terhadap diri individu tersebut (Fredrickson & Roberts, 1997).

Dengan kata lain, individu menginternalisasi budaya objektifikasi sehingga memiliki objektifikasi diri dan menghasilkan perilaku-perilaku objektifikasi diri. Hal ini disebabkan karena individu tersebut berusaha memperoleh perasaan berharga atau memenuhi kebutuhannya melalui pengartian diri dan pengakuan sosial dari masyarakat atau lingkungan sekitarnya.

(41)

banyak menyoroti tubuh perempuan dan membuat tubuh perempuan sebagai sasaran penilaian. Selain itu, objektifikasi diri juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan yang dimiliki individu untuk menginternalisasi budaya objektifikasi.

B.Kepercayaan Diri

1. Pengertian Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri diartikan sebagai suatu sikap dan keyakinan terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga individu tersebut tidak merasa cemas dalam setiap tindakannya, merasa bebas dalam melakukan segala hal yang disenangi dan bertanggung jawab atas tindakan yang telah dilakukan, memiliki sikap hangat dan sopan ketika berinteraksi dengan individu lain, memiliki sikap menghargai individu lain dan dapat mengenal kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (Lauster, 1995).

Menurut Lauster (1990), kepercayaan diri merupakan sifat kepribadian yang menentukan kehidupan individu. Neill (2005) menambahkan bahwa kepercayaan diri mengacu pada keyakinan nilai pribadi seseorang dan kemungkinan untuk berhasil. Kepercayaan diri adalah kombinasi dari harga diri dan efikasi diri secara umum.

(42)

percaya diri yang mendorong individu untuk dapat terlihat dan bertindak kepada lingkungan sekitar yang menunjukkan bahwa individu tersebut memiliki keyakinan terhadap dirinya sendiri. Kedua jenis percaya diri ini saling mendukung dalam diri individu.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan dan penilaian positif yang dimiliki individu terhadap kemampuan yang dimiliki untuk berhasil, tanpa merasa takut untuk mencoba dan melakukan sesuatu, bertanggung jawab, memiliki interaksi yang baik dengan individu lain, dan merasa mampu untuk mencapai tujuan dan keinginan, serta merasa puas terhadap diri sendiri. Selain itu, individu yang percaya diri juga memiliki rasa aman dan mengetahui kebutuhan yang dimiliki.

2. Aspek-aspek Kepercayaan Diri

Lauster (1990) menjelaskan aspek-aspek kepercayaan diri terdiri dari : a. Memiliki perasaan aman

Perasaan aman adalah perasaan yang dimiliki individu untuk merasa bebas dari rasa takut dan ragu-ragu terhadap lingkungan sekitarnya. b. Memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri

(43)

c. Tidak mementingkan diri sendiri dan memiliki perasaan toleransi

Tidak mementingkan diri sendiri dan memiliki toleransi menggambarkan bahwa individu mengetahui dan menerima kekurangan yang dimiliki serta dapat menerima pendapat orang di sekitarnya.

d. Memiliki ambisi yang normal

Memiliki ambisi yang normal menggambarkan individu memiliki ambisi yang disesuaikan dengan kemampuannya, tidak melakukan kompensasi terhadap ambisi yang berlebihan, dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik, dan bertanggung jawab terhadap tindakannya.

e. Mandiri

Mandiri yang dimaksud disini menunjukkan individu tidak merasa tergantung pada orang lain dan tidak membutuhkan dukungan serta bantuan orang lain pada saat melakukan sesuatu.

f. Optimis

Optimis menjelaskan individu yang memiliki pandangan dan harapan yang positif terhadap dirinya sendiri dan masa depan yang dimilikinya.

(44)

dalam melakukan sesuatu dan berinteraksi dengan orang lain, serta dapat bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan. Individu yang percaya diri juga ditunjukkan dengan tidak mementingkan diri sendiri dan dapat menerima kekurangan serta pendapat dari orang lain.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri

Menurut Santrock (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri yaitu :

a. Penampilan fisik

Individu yang memiliki anggota badan lengkap dan tidak memiliki cacat fisik akan cenderung memiliki rasa percaya diri yang lebih tinggi daripada individu yang memiliki cacat fisik tertentu. Selain itu, individu yang obesitas maupun overweight cenderung memiliki percaya diri yang rendah.

b. Penerimaan dan penilaian teman sebaya

Individu yang mendapatkan penerimaan sosial dari teman sebaya secara positif akan membuat individu cenderung lebih percaya diri dalam melakukan sesuatu. Hal ini dikarenakan dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap suatu hal secara positif.

c. Dukungan dari orangtua dan keluarga

(45)

keluarga yang baik sangat mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri individu.

d. Prestasi

Individu yang memiliki kecerdasan dan wawasan tinggi cenderung menghasilkan prestasi yang baik sehingga kemudian meningkatkan kepercayaan dirinya.

Myers (2012) menambahkan hal lain yang mempengaruhi kepercayaan diri individu yaitu :

a. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial terdiri dari orang-orang yang berada di lingkungan sekitar individu seperti keluarga, teman, pacar, guru atau dosen, dan sebagainya. Lingkungan sosial juga memberikan pengaruh terhadap kepercayaan diri individu. Penerimaan dari lingkungan sosial terhadap individu akan mempengaruhi individu memiliki konsep diri yang positif sehingga meningkatkan kepercayaan dirinya dalam menjalani kehidupan dan dalam menghadapi lingkungan sekitar. Di sisi lain, penolakan dari lingkungan sosial terhadap individu cenderung akan mempengaruhi individu memandang dirinya secara negatif sehingga membuat individu merasa cemas dan tidak percaya diri dalam menghadapi kehidupan dan lingkungan sekitar.

(46)

Semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki individu cenderung akan membuat individu lebih yakin dan optimis terhadap kemampuan yang dimiliki sehingga akan meningkat kepercayaan dirinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penampilan fisik berpengaruh terhadap kepercayaan diri karena penampilan fisik merupakan salah satu gambaran individu terhadap dirinya sendiri untuk melihat kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Selain itu, pola asuh yang diterapkan oleh orangtua di dalam suatu keluarga dapat mempengaruhi individu dalam berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan, dan prestasi yang dicapai individu juga berpengaruh terhadap kepercayaan diri individu. Individu yang percaya diri juga mendapatkan dukungan dan penerimaan yang baik dari lingkungan sosial termasuk teman sebaya. Selain itu, kepercayaan diri juga dipengaruhi oleh tingkat wawasan maupun latar belakang pendidikan yang dimiliki individu.

C.Masa Dewasa Awal

1. Pengertian Masa Dewasa Awal

(47)

romantis dan intim serta ingin memulai hidup berumah tangga. Sedangkan secara psikologis, individu dewasa awal ditandai dengan membangun suatu hubungan (Papalia & Feldman, 2014).

Terdapat dua kriteria yang menunjukkan bahwa individu berada dalam periode masa dewasa awal yakni individu tersebut telah mandiri secara ekonomi dan dapat membuat keputusan sendiri. Individu yang mandiri secara ekonomi berarti individu telah memiliki pekerjaan tetap. Selain itu, biasanya individu pada masa dewasa awal telah menyelesaikan pendidikan SMA, adapula yang telah melalui pendidikan di universitas maupun pascasarjana bahkan ada yang menjalani pendidikan di universitas sambil bekerja.

Individu dewasa awal juga telah dapat membuat keputusan secara mandiri yang berarti individu dapat membuat keputusan dalam hidup secara luas seperti keputusan mengenai karir, nilai-nilai, keluarga dan hubungan. Selain itu, individu pada masa dewasa awal lebih banyak memiliki kesempatan untuk melakukan berbagai gaya hidup maupun nilai-nilai dari lingkungan (Santrock, 2002).

2. Perkembangan Fisik Masa Dewasa Awal

Menurut Santrock (2002) dan Papalia serta Feldman (2014), perkembangan individu dewasa awal ditandai dengan masalah- masalah mengenai kondisi fisik seperti :

(48)

Pada jaman sekarang, tidak sedikit individu yang memiliki berat badan berlebih. Masalah kelebihan berat badan adalah persoalan umum yang dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, masalah kelebihan berat badan ini lebih banyak dirasakan oleh perempuan. Menurut penelitian Fallon (1990, dalam Santrock, 2002), hal ini disebabkan karena perempuan memiliki gambaran tubuh ideal yaitu tubuh yang lebih kurus dari berat rata-rata perempuan sehingga banyak perempuan yang merasa dirinya lebih berat dari gambaran berat tubuh ideal.

Oleh karena itu, banyak perempuan yang melakukan berbagai gaya hidup di antaranya seperti diet, mengonsumsi obat penurun berat badan, dan olahraga.

Banyak individu sekarang ini melakukan diet untuk mengurangi berat badan mereka agar sesuai dengan gambaran tubuh ideal yang kemudian menjadi obsesi bagi sebagian besar individu dimanapun.

Selain itu, saat ini banyak individu yang mengkonsumsi obat penurun berat badan. Ada beberapa obat-obatan yang diproduksi khusus digunakan untuk membantu individu dalam melakukan pengurangan berat badan.

(49)

mempertahankan penurunan berat badan dalam jangka waktu yang lebih lama.

b. Gangguan makan dan citra tubuh

Individu yang sangat memperhatikan citra tubuhnya membuat dirinya mengontrol berat badan (Davison & Birch, 2001; Schreiber dkk., 1996; dalam Papalia & Feldman, 2014). Perhatian yang berlebihan pada berat badan dan citra tubuh akan menimbulkan gejala anorexia nervosa dan bulimia nervosa yang merupakan gejala abnormal dari pola asupan makanan. Gangguan-gangguan tersebut telah terjadi dimana-mana dan paling banyak dialami oleh perempuan muda. Banyak faktor yang mempengaruhi individu mengalami gangguan makan, salah satunya adalah sikap dari masyarakat sekitar terhadap individu khususnya perempuan tentang gambaran tubuh ideal yang harus kurus.

3. Perkembangan Kognitif Masa Dewasa Awal

(50)

peroleh selama masa perkembangan sebelumnya untuk mencapai tujuannya pada masa dewasa awal, yakni membina sebuah keluarga dan bekerja.

4. Perkembangan Sosioemosi Dewasa Awal

Salah satu tugas perkembangan individu dewasa awal adalah menjalani hubungan intim dengan orang lain yang akan menjadi pasangan hidup serta kemudian memiliki keturunan untuk mempertahankan spesies. Dalam menjalani hubungan intim selalu dilalui dengan proses ketertarikan antara individu satu dengan individu lain. Setelah itu, individu akan menjalin hubungan yang lebih dekat dan intim sehingga menimbulkan perasaan emosional yang berupa perasaan cinta terhadap pasangannya tersebut (Santrock, 2002).

Individu dewasa awal khususnya mahasiswa telah banyak yang menganggap penting hubungan intim karena pada masa dewasa awal ini individu mulai memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dekat dengan individu lain agar dapat mengalami perasaan emosional dan hubungan yang intim (Santrock, 2002).

(51)

perhatian, jujur, dapat diandalkan, baik hati, dan memiliki penghasilan yang baik. Sedangkan pria cenderung memilih pasangan yang memiliki penampilan menarik, terampil memasak, dan dapat berhemat (Buss & Barnes, 1986; Eastwick & Finkel, 2008; dalam Santrock, 2011).

Ketertarikan fisik ini dapat berbeda-beda tentang individu seperti apa yang menarik. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria cantik pada perempuan dapat berbeda-beda antar budaya maupun dalam budaya itu sendiri. Misalnya, pada tahun 1950-an kriteria cantik ideal adalah perempuan yang penuh berisi. Akan tetapi, pada jaman sekarang ini kriteria cantik ideal telah berubah menjadi tubuh yang sangat kurus.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa individu dewasa awal merupakan individu yang memulai tugas perkembangannya sebagai dewasa yang mengalami penyesuaian dan mulai mencapai tujuan hidup dengan bekerja dan mencari pasangan untuk membina sebuah keluarga. Selain itu, individu dewasa awal mengalami perkembangan pada aspek fisik, pemikiran kognitif, dan perkembangan sosioemosi.

(52)

kriteria tubuh ideal yang dibentuk masyarakat saat ini. Oleh karena itu, banyak individu mengadopsi kriteria tubuh ideal dan mulai mengawasi berat badan. Apabila pengawasan berat badan terjadi secara berlebihan, maka individu akan mengalami gangguan makan seperti anorexia nervosa dan bulimia nervosa.

Dalam perkembangan kognitif, individu dewasa awal mengalami perubahan kognitif seperti penuturan Schaie (1977). Menurut Schaie, individu dewasa awal akan mengalami tahap pencapaian bahwa individu tersebut mulai menerapkan pengetahuan yang dimiliki ke dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan perkembangan seperti membina keluarga dan berkarir.

Sedangkan dalam perkembangan sosial dan emosi, individu dewasa awal mengalami kebutuhan untuk membangun hubungan yang intim. Oleh karena itu, banyak individu dewasa awal mulai mencari dan memilih pasangan serta membangun hubungan intim bersama pasangannya tersebut. Dalam membangun hubungan intim terdapat aspek ketertarikan fisik yang diyakini mempengaruhi individu sebagai syarat memilih pasangan pada saat ini.

D.Hubungan antara Objektifikasi Diri dengan Kepercayaan Diri pada Perempuan Dewasa Awal

Praktek-praktek budaya objektifikasi sesuai dengan isu-isu dalam perkembangan dewasa awal.

(53)

peningkatan berat badan yang dialami oleh perempuan dewasa awal membuat mereka merasa tidak bahagia.

Di dalam penelitian Fallon (1990, dalam Santrock, 2002), hal ini dikarenakan faktor tekanan budaya dari masyarakat yang membentuk citra tubuh ideal bagi perempuan sehingga banyak perempuan yang merasa dirinya lebih berat dari berat tubuh ideal. Oleh karena itu, banyak perempuan yang mulai menginternalisasi citra tubuh ideal ke dalam dirinya. Hal ini mengakibatkan banyak perempuan mengawasi berat tubuhnya dan melakukan berbagai usaha untuk menurunkan berat badan seperti diet, mengonsumsi obat penurun berat badan, dan melakukan olahraga.

Apabila perempuan dewasa awal melakukan pengawasan yang berlebihan akan mengakibatkan perempuan tersebut mengalami gejala gangguan makan, seperti anorexia dan bulimia nervosa. Hal ini juga sesuai dengan objektifikasi diri yang disebabkan karena adanya budaya objektifikasi yang berisi kriteria perempuan yang ideal dinilai dari penampilan perempuan tersebut harus menarik dan ideal. Oleh karena itu, budaya ini diinternalisasi untuk memperoleh pengakuan dan pengartian diri dari masyarakat karena adanya kebutuhan akan penghargaan diri atau kebutuhan lain sehingga individu menginternalisasi budaya objektifikasi dan mengalami objektifikasi diri.

(54)

yang menginternalisasi suatu pandangan disebabkan karena pandangan tersebut dibutuhkan oleh sistem nilai individu, digunakan untuk memecahkan masalah, dan kemudian menjadi bagian dari diri individu. Oleh karena itu, perempuan dewasa awal yang menginternalisasi budaya objektifikasi disebabkan karena kebutuhan untuk memenuhi tugas perkembangannya.

Santrock (2002) dan Papalia serta Feldman (2014) menyatakan bahwa dewasa awal memiliki tugas perkembangan kognitif yaitu menerapkan pengetahuan yang dimiliki ke dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai tujuan perkembangan seperti membangun relasi yang intim dan bekerja. Selain itu, individu dewasa awal memiliki tugas perkembangan sosial emosi untuk memenuhi kebutuhan akan keintiman dengan cara mencari dan memilih pasangan serta membangun relasi intim yang kemudian membina keluarga.

Menurut Santrock (2011), dalam proses membangun relasi intim dibutuhkan adanya ketertarikan individu satu pada individu lain berupa ketertarikan terhadap penampilan fisik. Beberapa penelitian menemukan bahwa ketertarikan terhadap fisik lebih banyak dimiliki oleh laki-laki dalam mencari pasangan. Hal ini sesuai dengan budaya patriarki di masyarakat yang selalu menuntut perempuan untuk melayani dan mengikuti keputusan yang dibuat oleh laki-laki.

(55)

memilihnya sebagai pasangan dalam membangun relasi intim. Hal ini juga sesuai dengan penjelasan Fredrickson dan Roberts (1997) bahwa individu yang memiliki tubuh ideal akan semakin dikagumi, disayang, dan diperhatikan oleh orang lain. Penelitian dalam Santrock (2011) juga menunjukkan bahwa salah satu kriteria ideal laki-laki dalam mencari pasangan adalah penampilan fisik. Oleh karena itu, perempuan dewasa awal menginternalisasi budaya objektifikasi ke dalam dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam tugas perkembangan masa dewasa awal.

Perempuan dewasa awal yang memiliki objektifikasi diri turut menggambarkan bagaimana gambaran diri individu. Hal ini menunjukkan bahwa objektifikasi diri dapat menjadi salah satu gambaran penilaian individu mengenai kualitas dirinya karena penilaian individu lain terhadap penampilan fisiknya. Oleh karena itu, objektifikasi diri penting untuk dilihat karena dapat menggambarkan keyakinan individu terhadap dirinya sendiri. Keyakinan individu terhadap dirinya sendiri itu disebut sebagai kepercayaan diri.

(56)

objektifikasi diri dapat menggambarkan bagaimana kepercayaan diri perempuan tersebut. Berdasarkan definisi Neill di atas, maka kombinasi harga diri dan efikasi diri yang merupakan kepercayaan diri dapat memiliki hubungan dengan objektifikasi diri.

Dapat dikatakan bahwa harga diri dan efikasi diri atau disebut dengan kepercayaan diri juga menjadi alasan perempuan dengan rela menginternalisasi budaya objektifikasi. Seperti penuturan Costanzo (1992) dan Rakhmat (2008), perempuan yang menginternalisasi budaya objektifikasi karena mereka memiliki kebutuhan atau sistem nilai yang sesuai dari menginternalisasi budaya objektifikasi. Perempuan yang menginternalisasi budaya objektifikasi dikarenakan memerlukan pengakuan atau penghargaan orang lain dan pengartian diri dari lingkungan sekitarnya.

Selain itu, dalam penelitian Gapinski dkk. (2003) terhadap individu yang memiliki objektifikasi diri ditemukan hasil bahwa ada hubungan antara objektifikasi diri dengan motivasi intrinsik individu tersebut. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan diri individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang didorong oleh motivasi individu tersebut untuk yakin dalam mencapai tujuan dan menyelesaikan tugasnya. Oleh karena itu, perempuan yang menginternalisasi budaya objektifikasi sehingga dirinya memiliki objektifikasi diri dapat disebabkan karena kebutuhan kepercayaan dirinya.

(57)
[image:57.595.99.523.171.569.2]

memiliki objektifikasi diri memiliki hubungan dengan kepercayaan diri perempuan tersebut.

Gambar 1. Skema Penelitian

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan pada sub bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kepercayaan diri dengan objektifikasi diri pada perempuan dewasa awal.

Praktek-praktek budaya objektifikasi seksual

Proses Internalisasi budaya objektifikasi

Objektifikasi diri

(58)

37 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel satu dengan variabel lain yang dianalisis menggunakan metode statistika (Azwar, 2003). Penelitian ini diadakan bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan antara variabel objektifikasi diri dengan variabel kepercayaan diri.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas : Kepercayaan Diri 2. Variabel Tergantung : Objektifikasi Diri

C. Definisi Operasional 1. Objektifikasi Diri

Objektifikasi diri merupakan sikap mengutamakan peran aspek penampilan fisik daripada peran aspek kompetensi fisik dalam menentukan kualitas dirinya. Adapun objektifikasi diri akan digambarkan melalui skala objektifikasi diri yang mengacu pada aspek yang diungkapkan oleh Fredrickson dan Roberts (1997), yaitu :

(59)

Berat tubuh merupakan massa relatif tubuh yang menimbulkan gaya gravitasi yang menunjukkan beratnya seorang individu. Berat tubuh individu yang ideal adalah tidak gemuk.

2) Daya tarik seksual

Daya tarik seksual merupakan daya tarik individu melalui seluruh kelebihan yang dimiliki untuk menjadi menarik secara seksual karena gaya dan pesona seperti mengenakan pakaian yang dapat menutupi kekurangan pada tubuh, menjaga bau tubuh, dan mengenakan kosmetik di wajah.

3) Daya tarik fisik

Daya tarik fisik adalah sejauh mana ciri-ciri fisik individu dianggap menyenangkan, indah, dan cantik seperti warna kulit yang cemerlang dan penampilan yang terlihat muda.

4) Kekencangan otot

Kekencangan otot menggambarkan kondisi bentuk otot yang kencang, tidak memiliki penimbunan lemak yang berlebihan, dan otot tidak terlihat menggelambir.

5) Ukuran tubuh

(60)

Metode yang digunakan dalam skala objektifikasi diri akan diukur menggunakan metode summated ratings atau model Likert (Azwar, 2003). Dalam metode ini, respon subjek akan diberi skor yang sesuai dengan nilai jawaban terhadap masing-masing item. Dengan kata lain, skor respon subjek ditentukan oleh nilai tiap jawaban terhadap tiap item, sehingga apabila semakin tinggi skor total subjek maka semakin tinggi pula respon subjek terhadap objektifikasi diri dan semakin rendah skor total subjek maka semakin rendah pula respon subjek terhadap objektifikasi diri.

2. Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri merupakan keyakinan dan penilaian positif yang dimiliki individu terhadap kemampuan yang dimiliki untuk berhasil, tanpa merasa takut untuk mencoba dan melakukan suatu aktivitas, bertanggung jawab, memiliki interaksi yang baik dengan individu lain, dan merasa mampu untuk mencapai tujuan dan keinginan serta merasa puas terhadap diri sendiri. Selain itu, individu yang percaya diri juga memiliki rasa aman dan mengetahui kebutuhan yang dimiliki. Kepercayaan diri akan digambarkan melalui skala kepercayaan diri yang mengacu pada aspek kepercayaan diri yang diungkapkan oleh Lauster (1990), yaitu :

a. Memiliki perasaan aman

(61)

Keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri adalah perasaan individu yang tidak memerlukan perbandingan antara dirinya sendiri dengan orang lain dan tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. c. Tidak mementingkan diri sendiri dan memiliki perasaan toleransi

Tidak mementingkan diri sendiri dan memiliki toleransi menggambarkan bahwa individu mengetahui dan menerima kekurangan yang dimiliki serta dapat menerima pendapat orang di sekitarnya. d. Memiliki ambisi yang normal

Memiliki ambisi yang normal menggambarkan individu memiliki ambisi yang disesuaikan dengan kemampuannya, tidak melakukan kompensasi terhadap ambisi yang berlebihan, dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik, dan bertanggung jawab terhadap tindakannya.

e. Mandiri

Mandiri yang dimaksud disini menunjukkan individu tidak merasa tergantung pada orang lain dan tidak membutuhkan dukungan dan bantuan orang lain pada saat melakukan sesuatu.

f. Optimis

Optimis menjelaskan individu yang memiliki pandangan dan harapan yang positif terhadap dirinya sendiri dan masa depan yang dimilikinya.

(62)

nilai jawaban terhadap tiap-tiap item. Oleh karena itu, apabila semakin tinggi skor total subjek maka semakin tinggi pula respon subjek terhadap kepercayaan diri dan semakin rendah skor total subjek maka semakin rendah pula respon subjek terhadap kepercayaan diri.

D. Subjek Penelitian

(63)

E. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Objektifikasi Diri

Skala objektifikasi diri ini terdiri dari 25 item yang disusun sendiri oleh peneliti mengacu pada aspek-aspek objektifikasi diri yang diungkapkan oleh Fredrickson dan Robert (1997), yaitu :

- Aspek evaluasi penampilan fisik eksternal, yang terdiri dari berat badan, daya tarik seksual, daya tarik fisik, kekencangan otot, dan ukuran bagian tubuh.

(64)

Tabel 1.

[image:64.595.100.521.160.615.2]

Blue Print Skala Objektifikasi Diri

Tabel 2.

Kisi-kisi Sebaran Item Skala Objektifikasi Diri

Skala objektifikasi diri ini akan diujicobakan terlebih dahulu sebelum diuji validitas, reliabilitas, dan dianalisis.

2. Skala Kepercayaan Diri

Skala kepercayaan diri ini terdiri dari 60 item yang disusun sendiri oleh peneliti untuk mengetahui tingkat kepercayaan diri individu yang mengacu pada aspek-aspek yang diungkapkan oleh Lauster (1990), yaitu : a. Memiliki perasaan aman

b. Memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri

Aspek Item Jumlah

Berat tubuh 5 item 5 item (20%)

Daya tarik fisik 5 item 5 item (20%)

Daya tarik seksual 5 item 5 item (20%)

Kekencangan otot 5 item 5 item (20%)

Ukuran tubuh 5 item 5 item (20%)

Total 25 item 25 item (100%)

No Aspek Nomor Item Jumlah

Item 1. Evaluasi

Penampilan Fisik Eksternal

Berat tubuh 7,9,14,17,19 2,3,11,13,21 1,22,23,24,25 4,5,10,12,16 6,8,15,18,20 5 Daya tarik

fisik 5

Daya tarik

seksual 5

Kekencangan

otot 5

Ukuran tubuh 5

(65)

c. Tidak mementingkan diri sendiri dan memiliki perasaan toleransi d. Memiliki ambisi yang normal

e. Mandiri f. Optimis

Dalam skala kepercayaan diri ini, terdapat item yang bersifat

favorable (pernyataan berbentuk positif) dan unfavorable (pernyataan berbentuk negatif). Setiap item diberikan empat alternatif jawaban, yaitu “Sangat Setuju” (SS), “Setuju” (S), “Tidak Setuju” (TS), dan “Sangat Tidak Setuju” (STS). Kriteria pemberian skor untuk tiap-tiap item

(66)

Tabel 3.

Blue Print Skala Kepercayaan Diri

Aspek Favorable Unfavorable Jumlah

Rasa aman 5 item

(8,33%)

5 item (8,33%)

10 item (16,67%) Memiliki keyakinan terhadap

kemampuan diri sendiri

5 item (8,33%) 5 item (8,33%) 10 item (16,67%) Tidak mementingkan diri

sendiri dan memiliki perasaan toleransi 5 item (8,33%) 5 item (8,33%) 10 item (16,67%) Memiliki ambisi yang

normal 5 item (8,33%) 5 item (8,33%) 10 item (16,67%)

Mandiri 5 item

(8,33%)

5 item (8,33%)

10 item (16,67%)

Optimis 5 item

(8,33%)

5 item (8,33%)

10 item (16,67%)

[image:66.595.100.520.151.693.2]

Total 30 item (50%) 30 item (50%) 60 item (100%)

Tabel 4.

Kisi-kisi Sebaran Item Skala Kepercayaan Diri

No Aspek Nomor Item Jumlah

Item

Favorable Unfavorable

1. Rasa aman 27,31,33,35,54 26,42,43,57,58 10

2. Memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri

sendiri

29,30,37,38,56 28,32,34,36,55 10

3. Tidak mementingkan diri sendiri dan memiliki

perasaan toleransi

19,23,25,46,48 11,13,14,16,21 10

4. Memiliki ambisi yang

normal 4,6,8,9,44

20,24,47,49,50

10

5. Mandiri 12,15,17,18,22 5,7,10,40,45 10

6. Optimis 3,39,41,52,53 1,2,51,59,60 10

Jumlah 30 30 60

(67)

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas

Dalam suatu penelitian, penting untuk memerlukan validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian. Hal ini disebabkan karena peneliti dapat mengetahui bagaimana kecermatan suatu alat ukur untuk melakukan fungsinya dalam mengukur melalui pengujian validitas. Peneliti telah melakukan uji validitas isi dengan expert judgement dimana dalam hal ini adalah dosen pembimbing skripsi sebelum pelaksanaan uji coba alat ukur. Uji validitas ini dilakukan dengan cara menyesuaikan isi dari tiap-tiap item dengan indikator-indikator dari masing-masing variabel objektifikasi diri dan kepercayaan diri. Cara tersebut dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh item-item dalam alat ukur dapat mengungkap dan mencakup keseluruhan isi dalam alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini dan tidak keluar dari isi indikator variabel yang telah ditentukan (Azwar, 2009). Setelah itu, item-item dalam skala objektifikasi diri dan kepercayaan diri akan dianalisis untuk mengetahui konsistensi internal antar item yang dilakukan dengan cara mengkorelasikan skor tiap-tiap item dengan skor total dari keseluruhan item pada masing-masing skala. Teknik yang digunakan untuk mengkorelasikan adalah statistik berupa korelasi product moment yang dihitung menggunakan SPPS versi 16. 2. Seleksi item

(68)

dan perlu diperhatikan dalam menentukan item-item berkualitas adalah daya diskriminasi item. Daya diskriminasi item dapat membantu peneliti untuk melihat bagaimana item dapat menunjukkan perbedaan antara individu dengan sekelompok individu lain baik yang memiliki dan tidak memiliki atribut psikologis yang diukur (Azwar, 2009). Apabila skala objektifikasi diri menunjukkan item berdaya beda tinggi, maka dapat dikatakan bahwa item tersebut mampu menunjukkan manakah individu yang memiliki objektifikasi diri tinggi dan tidak, begitu pula sebaliknya. Selain itu, apabila skala kepercayaan diri menunjukkan item yang berdaya beda tinggi, maka hal ini menunjukkan bahwa item tersebut mampu menunjukkan manakah individu yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan tidak, begitu pun sebaliknya. Oleh karena itu, daya diskriminasi item menjadi indikator korelasi antara fungsi item dengan fungsi skala secara keseluruhan yang disebut sebagai koefisien korelasi item total atau sering dikenal sebagai parameter daya beda item. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan program aplikasi SPSS versi 16.

(69)
[image:69.595.100.547.188.593.2]

Dalam skala objektifikasi diri, dari 25 item terdapat 6 item yang gugur karena tidak memenuhi parameter daya beda item, yaitu item dengan nomor : 4, 13, 15, 22, 23, dan 25. Oleh karena itu, distribusi item yang gugur setelah uji coba (try out) dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 5.

Distribusi Item Skala Objektifikasi Diri (setelah uji coba)

( ) = item yang gugur setelah uji coba

No Aspek Nomor Item Jumlah

Item

1. Evaluasi Penampilan

Fisik Eksternal

Berat tubuh 7,9,14,17,19

2,3,11,(13),21 1,(22),(23),24,(25)

(4),5,10,12,16 6,8,(15),18,20

5 Daya tarik

fisik 4

Daya tarik

seksual 2

Kekencangan

otot 4

Ukuran

tubuh 4

(70)
[image:70.595.99.518.227.630.2]

Distribusi item yang digunakan dalam pengambilan data sesungguhnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6.

Distribusi Item Skala Objektifikasi Diri Pengambilan Data Sesungguhnya

Sedangkan dalam skala kepercayaan diri, dari 60 item terdapat 16 item yang gugur karena tidak memenuhi parameter daya beda item 0,30, yaitu item dengan nomor : 2, 4, 6, 11, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 23, 34, 44, 46, 48, dan 50. Oleh karena itu, distribusi item yang gugur setelah uji coba (try out) dapat dilihat pada tabel berikut.

No <

Gambar

figure 0,820 (p < 0,05). The correlation coefficient between the two variables of this study using the Spearman which generates a number -0,014 with a significance level of 0,872 (p < 0,05)
figure 0,820 (p < 0,05). The correlation coefficient between the two variables of this study using the Spearman which generates a number -0,014 with a significance level of 0,872 (p < 0,05)
Gambar 1. Skema Penelitian ...............................................................
Gambar 1. Skema Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Memiliki kepercayaan diri yang tinggi merupakan harapan bagi para pria dan hal ini membuat para pria berusaha agar kepercayaan diri yang dimiliki individu dapat

Kepercayaan diri adalah suatu kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat menentukan arah dan tujuan hidupnya.Dengan memiliki kepercayaan diri yang

Lauster (1997) menyatakan kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa dirinya mampu berperilaku seperti yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil

Individu yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi pada umumnya merasa yakin terhadap apa yang dilakukannya, merasa dapat diterima dalam kelompoknya, merasa yakin pada

Kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas dalam tindakan-tindakannya, merasa

Lauster menyatakan bahwa kepercayaan diri merupakan suatu sikap atau perasaan yakin atas kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak terlalu cemas

Rintyastini dan Challote (2005: 132) sikap percaya diri adalah sikap positif seseorang individu untuk merasa memiliki kompetensi, kemampuan serta keyakinan dan percaya

Kepercayaan diri ialah suatu sikap atau perasaan yakin akan kemampuan diri sendiri sehingga orang yang bersangkutan tidak cemas dalam bertindak, dapat merasa