• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.2 Hubungan Faktor Pendukung dengan Tindakan Ibu untuk

5.2.1 Hubungan Penolong Persalinan dengan Tindakan Ibu

Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2014

Faktor pendukung dalam penelitian yaitu penolong persalinan dan tempat persalinan.

5.2.1 Hubungan Penolong Persalinan dengan Tindakan Ibu untuk Mengimunisasikan HB0 pada Bayi

Hubungan penolong persalinan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi pada analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara penolong persalinan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi. Adapun hasil regresi logistik berganda nilai p < 0,05, artinya ada hubungan yang signifikan antara penolong persalinan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi. Rasio prevalensi sebesar 10,60 dengan 95% CI

(2,288-49,161), artinya kemungkinan ibu bersalin yang ditolong oleh petugas kesehatan lebih efektif dalam tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi sebesar 10,60 kali dibandingkan ibu bersalin ditolong bukan petugas kesehatan (dukun beranak).

Hasil penelitian ini didukung hasil penelitian Gunawan (2009) yang menyatakan bahwa ada pengaruh antara penolong persalinan terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari, dimana ibu bersalin yang ditolong oleh petugas kesehatan memiliki peluang 8 kali untuk memberikan imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari. Jumlah anak, tempat persalinan tidak menunjukkan adanya

pengaruh dengan pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi 0-7 hari. Demikian juga penelitian Asep (2001) menunjukkan bahwa penolong persalinan berpengaruh terhadap kontak pertama imunisasi Hepatitis B pada bayi yang persalinannya ditolong oleh petugas kesehatan.

Data dari Depkes RI (2002), bahwa sebagian besar ibu hamil di daerah terpencil yang sulit dijangkau melahirkan bayinya di rumah yang ditolong oleh bidan atau dukun. Bayi yang lahir di rumah, pada umumnya baru dibawa ke posyandu jika setelah penularan secara vertikal dari ibu yang menderita penyakit Hepatitis B, maka bayi harus diimunisasi pada usia sedini mungkin umur 0-7 hari. Untuk itu diperlukan petugas kesehatan yang mempunyai pengabdian yang sangat tinggi agar tujuan untuk mengimunisasi seluruh bayi lahir dapat tercapai.

Ada hubungan antara penolong persalinan dengan tindakan ibu untuk mengimunisasikan HB0 pada bayi karena ibu melahirkan ditolong petugas kesehatan didukung keterampilan atau Standar Operasional Prosedur (SOP) yang harus dilakukan bidan dalam menolong persalinan. Menurut asuhan persalinan normal bahwa telah diterapkan langkah pemberian imunisasi Hepatitis B segera setelah bayi lahir terhitung mulai 2 jam setelah bayi lahir. Bayi yang kelahirannya ditolong oleh petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap pemberian imunisasi Hepatitis B-0 (Depkes, 2008). Disamping itu, ibu melahirkan ditolong oleh petugas kesehatan mendapatkan pendidikan kesehatan tentang perlunya perawatan dan menjaga kesehatan bayi untuk menghindari terjadinya penyakit.

Namun ditemukan ibu melahirkan ditolong oleh petugas kesehatan, tetapi kurang efektif dalam tindakan ibu mengimunisasikan HB0 disebabkan ibu merasa tidak tega bayinya yang baru lahir harus disuntik, merasa kasihan, takut demam dan kurangnya dukungan suami/keluarga. Sesuai pendapat Gunawan (2009), dukungan keluarga dalam hal ini suami sangat menentukan pengambilan keputusan dalam pemberian imunisasi Hepatitis B pada bayi baru lahir 0-7 hari.

Pemberian imunisasi HB0 hari menjadi kewenangan petugas KIA di mana penjangkauan bayi baru lahir dengan memantau kohort ibu hamil yang dimulai saat

antenatal care (ANC). Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dapat langsung mendapatkan imunisasi hepatitis B pada saat kelahiran, sedangkan persalinan yang ditolong oleh dukun penjangkauannya berdasarkan laporan keluarga/kader/dukun beranak kepada tenaga kesehatan atau bidan di desa sehingga memungkinkan keterlambatan informasi dan keterlambatan dalam pemberian imunisasi HB0.

Ibu yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan sebagian besar ditolong oleh bidan, dan yang lainnya ditolong oleh dokter kandungan, dukun beranak dan keluarga. Menurut Kamil (2006), pemanfaatan pertolongan persalinan oleh tenaga profesional (bidan) di masyarakat masih sangat rendah dibandingkan dengan indikator yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh faktor ibu seperti pengetahuan, sikap terhadap keputusan untuk memanfaatkan tenaga ahli dalam pertolongan persalinan, serta jangkauan ke pelayanan kesehatan.

Keadaan ini menunjukkan bahwa ibu dengan sikap yang setuju belum tentu akan memilih bidan untuk menangani persalinannya, hal ini mungkin saja dipengaruhi oleh faktor lain misalnya faktor akses ke bidan atau pelayanan kesehatan, atau faktor budaya dan faktor kemampuan membayar atau persepsi lain terhadap bidan yang akan menangani pertolongan persalinan.

Hal ini dapat ditegaskan oleh Abbas dan Kristiani (2006) bahwa sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa tenaga medis (paramedis) cenderung belum berpengalaman, karena rata-rata usia mereka sangat muda, sehingga masyarakat kurang percaya terhadap tindakan persalinan yang dilakukan oleh bidan.

Hasil penelitian sejalan dengan Bangsu (2001) di Bengkulu, juga mengemukakan bahwa keputusan masyarakat memilih pertolongan oleh dukun bayi cenderung dipengaruhi oleh kemudahan mendapatkan pelayanan dukun bayi, selain itu pelayanan yang diberikan oleh dukun bayi bersifat “all in”, yaitu menolong persalinan, membantu pekerjaan ibu hamil pada hari persalinannya, memandikan bayi, dan bahkan bersedia merawat bayi hingga lepas tali pusat dan kondisi ibu mulai pulih. Keadaan tersebut juga diduga memberikan kontribusi terhadap pemilihan penolong persalinan oleh ibu bersalin di Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen.

Selain itu juga mencerminkan bahwa faktor budaya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pemilihan penolong persalinan di Kabupaten Bireuen, mengingat masih ada beberapa daerah yang terisolir dan relatif sulit dijangkau oleh fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, maka akan semakin membuka peluang

dukun beranak untuk melakukan tindakan medis khususnya pertolongan persalinan, serta akan semakin menumbuhkan pemikiran yang permanen dan membudaya bagi masyarakat untuk memanfaatkan dukun beranak sebagai penolong persalinan.

Di Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen diduga masih ada sebagian masyarakat yang sangat fanatik dengan budaya dan adat istiadatnya sehingga penerimaan bidan desa akan sangat sulit, untuk itu perlu dilakukan penelitian mendalam tentang pengaruh budaya masyarakat terhadap penolong persalinan, karena keadaan ini akan berimplikasi terhadap derajat kesehatan masyarakat khususnya kematian ibu dan anak.

Dari hasi penelitian ini menunjukkan persalinan ibu-ibu di Wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kuala Tahun 2014 lebih banyak ditolong oleh dukun beranak yaitu 51 orang, sedangkan tempat persalinannya lebih banyak di tempat pelayanan kesehatan yaitu 40 orang, adanya kesenjangan tersebut dikarenakan bidan-bidan yang ditempatkan di desa masih belum familiar dibandingkan dukun beranak. Para bidan justru dipandang sebelah mata karena masyarakat mengira bahwa dengan usia bidan tersebut yang masih muda dan pengalaman yang dilmiliki minim. Adanya perbedaan tersebut dikarenakan bidan yang bertugas di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kuala di tahun 2014 adalah petugas baru, dimana kebiasaan masyarakat di desa tersebut bahwa mereka belum percaya terhadap petugas (bidan) yang baru dalam mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan.

Oleh karena itu, perlu dicari suatu kegiatan yang dapat membuat kerja sama saling menguntungkan antara bidan dengan dukun beranak, dengan harapan

pertolongan persalinan akan berpindah dari dukun beranak ke bidan. Dengan demikian, amgka kematian ibu dan bayi diharapkan dapat diturunkan dengan mengurangi risiko yang mungkin terjadi bila persalinan tidak ditolong oleh tenaga kesehatan yang kompeten dengan menggunakan pola kemitraan bidan dengan dukun bayi.

Di dalam kemitraan ini, bidan dan dukun beranak mempunyai peran dan tanggung jawab masing-masing. Maka dari itu, perlu diberi pengertian bahwa peran dukun bayi tidak kalah penting dibandingkan perannya dahulu. Proses perubahan peran dukun menuju peran barunya yang berbeda, memerlukan suatu adaptasi dan hubungan interpersonal yang baik antara bidan dan dukun.

Di dalam konsep sosialisasi kemitraan antara bidan dan dukun beranak ini, dukun beranak perlu diberikan wawasan dan pengetahuan dalam bidang kesehatan ibu dan bayi baru lahir, terutama tentang tanda bahaya pada kehamilan, persalinan, nifas hingga pemberian imunisasi HB0, serta persiapan yang harus dilakukan oleh keluarga dalam menyongsong kelahiran bayi.

5.2.2 Hubungan Tempat Persalinan dengan Tindakan Ibu untuk

Dokumen terkait