LANDASAN TEORI
E. HUBUNGAN PRASANGKA DENGAN TRUST PADA PENGUSAHA ETNIS TIONGHOA TERHADAP KARYAWAN ETNIS PRIBUMI
Sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sampai sekarang, bangsa Indonesia tidak pernah lepas dari persoalan etnis minoritas dan etnis mayoritas yang kemudian akan menyebabkan munculnya prasangka antar etnis. Etnis Tionghoa merupakan salah satu etnis minoritas yang ada di Indonesia dengan jumlahnya sekitar 2,8% dari keseluruhan penduduk Indonesia (Mendatu, 2007).
Prasangka antar etnis di Indonesia bisa saja terjadi pada etnis-etnis minoritas lainnya, akan tetapi khusus untuk prasangka terhadap etnis Tionghoa, penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekedar posisi mayoritas dan minoritas. Etnis Tionghoa menjadi kambing hitam atas kegagalan dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik penguasa (Suparlan dalam Damayanti, 2008). Selain itu, konflik-konflik yang terjadi antara etnis Tionghoa dengan etnis Pribumi pada masa lalu juga turut menyumbang tumbuhnya perasaan tidak menyenangkan terhadap etnis Pribumi (Tan, 2003).
Abu Ahmadi (1991) menyatakan bahwa pengalaman yang menyakitkan dan tidak menyenangkan merupakan salah satu penyebab munculnya prasangka, dengan kata lain etnis Tionghoa akan berprasangka terhadap etnis Pribumi atas
Tan (dalam Susetyo, 1999) yang menyatakan bahwa hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Pribumi memang terkesan tegang dan saling curiga.
Menurut Baron dan Byrne (2003) prasangka merupakan sikap negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Sedangkan menurut Gerungan (2002) prasangka merupakan sikap sosial yang negatif terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang berlainan dengan golongan orang yang diprasangkai itu.
Soeboer (1990) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa sumber penyebab prasangka, diantaranya dapat dilihat melalui pendekatan sosial, pendekatan emosional dan psikodinamik, dan pendekatan kognitif. Apabila dipandang dari pendekatan kognitif, salah satu penyebab munculnya prasangka adalah social categorization. Menurut teori social categorization, individu dalam kehidupan sehari-harinya cenderung untuk membagi dunia sosial mereka menjadi dua kategori yang jelas, yaitu “kita” yang dipersepsikan sebagai ingroup dan “mereka” yang dipersepsikan sebagai outgroup. Dalam prakteknya outgroup
dianggap memiliki karakteristik yang kurang dapat diterima oleh ingroup,
selanjutnya outgroup akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan Chatman, 2002).
Baron dan Byrne (2003) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara prasangka dan stereotip. Prasangka dapat menyebabkan munculnya stereotip dan stereotip itu sendiri akan memperkuat prasangka pada kelompok sosial tertentu. Menurut penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1999), stereotip
negatif kelompok etnis Pribumi terhadap kelompok etnis Tionghoa dan sebaliknya masih hadir sampai sekarang. Kelompok etnis pribumi menganggap bahwa orang Tionghoa selalu diberi fasilitas, sedangkan kelompok Pribumi tidak. Orang Tionghoa lebih kaya dari rata-rata orang pribumi, menguasai kekayaan, mengeruk kekayaan dari orang pribumi, ekslusif, kikir, dan sombong. Sedangkan golongan etnis Tionghoa merasa dirinya lebih pandai dan lebih canggih daripada etnis pribumi. Golongan pribumi dikatakan sebagai pemalas, tidak dapat dipercaya, tidak pantas diberi jabatan yang tinggi, dan sebagainya.
Stereotip yang diungkapkan tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh salah seorang staf Human Resources dari perusahaan “A”, perusahaan milik etnis Tionghoa yang menyatakan bahwa dalam praktek di perusahaannya, karyawan etnis Pribumi tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu, terutama posisi yang berkaitan dengan keuangan perusahaan karena dikatakan secara jelas bahwa karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya. Selain itu, karyawan etnis Pribumi juga dinilai sebagai karyawan yang tidak berkompeten, dan dikatakan bahwa alasan dari semua perbedaan perlakuan tersebut adalah prasangka terhadap kelompok etnis Pribumi (Komunikasi Personal, November 2008).
Pada dasarnya, karyawan etnis Pribumi dinilai tidak jujur dan tidak dapat dipercaya, dikarenakan atasan mereka yang beretnis Tionghoa telah membuat suatu kategori sosial (social categorization). Karyawan yang beretnis Pribumi akan dianggap sebagai outgroup, dan karyawan yang beretnis Pribumi akan dinilai sebagai ingroup. Menurut Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007) social
categorization yang merupakan penyebab dari prasangka memiliki hubungan dengan rasa kepercayaan (trust). Ingroup akan memandang kelompoknya sendiri lebih bisa dipercaya sedangkan semua anggota outgroup tidak bisa dipercaya. Hal yang serupa juga terjadi dalam dunia kerja. Menurut Ahmadi (dalam Irmawati, 1996), adanya prasangka dalam diri seorang pengusaha akan menyebabkan pengusaha tersebut membatasi situasi yang bersangkut paut dengan subjek yang diprasangkainya.
Lebih lanjut, Busch dan Hantusch (2000) menyatakan bahwa social categorization merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi trust-building process. Prasangka yang dimiliki seseorang akibat kategorisasi sosial akan membuat ingroup menyederhanakan proses pembuatan keputusan terhadap
outgroup. Sebagai konsekuensinya, outgroup akan dinilai sebagai orang yang kurang bisa dipercaya, tidak terbuka dan tidak jujur.
Hal yang diungkapkan oleh staf HR dari perusahaan “A” tersebut pada kenyataannya sejalan dengan apa yang diungkapkan Brewer dan Miller (dalam Mendatu, 2007), Ahmadi (dalam Irmawati, 1996) dan Busch dan Hantusch (2000) mengenai kaitan antara prasangka sebagai wujud dari social categorization
dengan trust. Secara konkrit, prasangka yang dimiliki pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi akan mempengaruhi trust yang dimilikinya terhadap karyawan etnis Pribumi.
Prasangka muncul sebagai akibat adanya kategorisasi sosial yaitu ingroup
dan outgroup, selanjutnya, outgroup dianggap memiliki karakteristik yang kurang disukai sehingga mereka akan dinilai secara negatif oleh ingroup (Flynn dan
Chatman, 2002). Sejalan dengan penelitian Willmot (dalam Sarwono, 1996) bahwa anggapan (stereotip) golongan etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi sebagai pemalas, tidak berkompeten, tidak jujur, dan sebagainya pada dasarnya akan mempengaruhi trust pengusaha tersebut terhadap karyawan etnis Pribumi yang diprasangkainya.
F. HIPOTESA
Dalam penelitian ini akan diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
“Terdapat hubungan negatif antara prasangka dengan trust pada pengusaha etnis Tionghoa terhadap karyawan etnis Pribumi”.